Galih menatap dirinya di cermin. Setelan jas berwarna hitam dengan dasi berwarna biru dongker itu membuatnya terlihat bersinar. Rambutnya tersisir rapi, jam tangan di pergelangan tangan kirinya membuatnya semakin tampan.
Galih melangkah ke luar kamar, menuju kamar Jason. Bocah itu sudah mengenakan tuksedo berwarna hitam dengan rambut tersisir rapi.“Udah siap, Boy?” Galih mengulurkan tangan pada duplikat dirinya versi kecil itu.“Udah, Pa. Kita langsung ke gedung tempat pernikahannya, Pa?” tanya bocah lelaki itu.Sambil berjalan menuju garasi, Galih menjawab, “iya, Boy. Papa anterin kamu dulu ke sana sama Nenek dan Kakek, ya. Karena Papa mau jemput seseorang.”“Calon Bunda aku ya, Pa?” pertanyaan Jason membuat Galih tertawa pelan.“Semoga ya Boy. Semoga jalan Papa menjadikan dia Bunda kamu berjalan lancar,” kata Galih.“Amin, Pa.”Galih membukakan pintu mobil untuk putranyBallroom mewah itu telah berubah menjadi negeri dongeng. Awan-awan gantung dari krep putih bergerak lembut di langit-langit, seolah menari-nari ditiup angin AC. Dua buaian kecil berhias pita sutra biru muda berdiri megah di panggung utama, dikelilingi oleh balon-balon berbentuk burung bangau yang seolah terbang membawa kabar bahagia. Galih, yang biasanya selalu tampil sempurna dalam setelan jas, hari itu membiarkan keriputan di kemejanya. Ia lebih memilih kenyamanan untuk berlutut di samping Aster yang duduk di sofa khusus dengan perutnya yang membesar seperti bulan purnama. Galih berdiri di depan tamu-tamu yang telah berkumpul, jari-jarinya gemetar memegang mikrofon. Kaus kasual bertuliskan "Daddy of Twins" yang melekat di tubuhnya terasa asing. Seolah sebuah pembebasan dari belitan dasi dan setelan jas yang biasa mengekangnya. "Terima kasih..." Suaranya pecah di tengah kalimat ketika pandangannya tertumbuk pada sosok Aster yang baru s
Pukul 11:36 malam. Galih baru saja menutup laptopnya ketika Aster muncul di pintu ruang kerjanya. Tangannya menopang punggung yang pegal, matanya berkaca-kaca dengan tatapan yang bahkan sudah dihafal Galih.Tatapan "ngidam" yang berbahaya untuknya. Entah apa yang Aster minta kali ini."Mas..." Suaranya seperti anak kecil yang memohon permen. Galih menghela napas dalam, sudah bisa menebak arah pembicaraan itu. "Apa yang mau kamu makan malem-malem begini, Sayang? Mangga muda dicocol sambel? Es krim rasa durian? Atau—" "Cilok," Aster memotong kalimat Galih. "Tapi bukan beli. Aku mau Mas yang bikin." Galih membeku. Tangannya yang sedang meraih kacamata terhenti di udara. "Kamu tahu Sayang, aku bahkan nggak bisa bedain antara tepung kanji sama tepung beras, ‘kan?" Aster melangkah mendekat, meletakkan tangan di perutnya yang membesar. "Si kembar bilang, mereka juga mau….” Galih meng
Lorong rumah itu sunyi ketika Jason muncul di balik pintu kamar Galih. Ia membawa bantal kesayangannya yang sudah usang terjepit erat di bawah ketiak.Rambutnya yang masih lembap setelah mandi berantakan, dan piyama bergambar dinosaurus terlihat sedikit kecil untuk tubuhnya yang mulai besar dan bertambah tinggi. Ia berdiri di ambang pintu, jari-jari kakinya menggaruk-garuk karpet dengan gugup. "Bunda... Papa..." Suaranya kecil karena ragu, terdengar seperti rintihan angin malam. "Aku boleh tidur di sini malam ini?"Aster yang sedang bersandar di tumpukan bantal langsung menoleh ke arah Galih, menatap dengan tatapan memohon. Perutnya yang membuncit membuatnya kesulitan bergerak, tetapi matanya sudah mengatakan "ya" sebelum mulutnya terbuka. Galih, yang sedang memijat kaki bengkak istrinya mengangkat alis. "Kasur kamar Papa udah sempit, Boy. Ditambah perut Bunda yang udah makin besar—" "Aku janji nggak akan ng
Lampu bintang-bintang kecil di langit-langit kamar Jason memantulkan cahaya redup, menari-nari di dinding seperti peri yang bersembunyi di balik bayangan. Aster mengatur posisi duduknya dengan susah payah, perutnya yang membuncit membuatnya harus bersandar pada tumpukan bantal ekstra. Jason sudah berbaring di tempat tidur, selimut bergambar dinosaurus terseret sampai ke dagunya, hanya matanya yang berbinar-binar terlihat. Mata yang penuh harap dan sedikit rasa bersalah.Jason melirik Aster, lalu berbisik penuh harap. "Bunda, aku minta sesuatu boleh?” tanyanya.Aster menatap Jason. “Minta apa, Sayang?”“ Aku minta bacain dongeng yang seru. Satu buku aja, Bunda. Yang ada ksatria sama naganya,” ucapnya, ia mengecilkan suaranya seperti bisikan angin malam.Aster mengangguk. “Ya udah, tapi Kakak yang ambil bukunya, ya?”Jason beringsut dari tempat tidur menuju rak buku. Meraih satu buku kisah ksatria dan naga laku meny
Meja makan besar di rumah Winda dan Kesuma dipenuhi berbagai hidangan lezat. Rendang, sayur lodeh, sambal terasi, dan ikan bakar yang masih mengepul. Lampu chandelier di atas meja memantulkan cahaya hangat pada wajah-wajah bahagia di sekelilingnya.Aster tersenyum, duduk di kursi khusus dengan bantal tambahan, perutnya yang membesar hampir menyentuh meja. Winda meraih piring, lalu menyendokkan nasi untuk Aster. "Aster sayang, makan yang banyak ya. Soalnya kamu perlu makan untuk tiga orang sekarang!" Kesuma tersenyum lalu dengan bijak memberi nasehat putra sulungnya itu. "Galih, kamu harus ekstra perhatian sekarang. Istri yang hamil kembar butuh support penuh. Jangan sampai dia stres menjelang lahiran." Jason yang duduk di antara kakek-neneknya tiba-tiba berdiri dengan gelas jus di tangan. "Tolong dengerin aku dulu, semuanya! Aku mau kasih pengumuman! Sebagai calon kakak, aku janji akan bantu j
Malam minggu yang tenang di ruang keluarga tiba-tiba pecah ketika Jason melompat ke pangkuan Galih yang sedang asyik membaca laporan kantor. Matanya berbinar dengan tekad yang sudah dipendam berbulan-bulan. "Papa, ingat janji Papa waktu Bunda baru hamil? Katanya kalau aku jagain Bunda baik-baik, nanti adiknya bisa jadi laki-laki..." tanya Jason dengan nada serius. Galih salah tingkah, laporannya terjatuh. Aster yang sedang minum teh di seberang tersedak. Aster terbatuk-batuk. "Jason sayang, itu kan—" Jason melirik Galih dengan tatapan tajam. "Sekarang Bunda hamil kembar, tapi kata dokter bisa jadi dua-duanya adik perempuan juga!" Ia melipat tangan di dada, "Papa bohong ya?" Galih menghela napas panjang, menarik Jason ke pelukannya. Di sudut ruangan, Winda yang sedang berkunjung menutupi tawanya dengan serbet. "Sayang, jenis kelamin bayi itu bukan Papa yang nentuin. Itu kayak..