Diam. Aku hanya melamun memandangi jendela yang gordennya tersisih. Sepertinya, tubuhku sudah tak bertenaga untuk menggendong mereka.
"Zara! Kamu dengar Ibu gak, sih? Lihat, dong, anak kamu menjerit kayak gini kenapa cuek gitu?" Kali ini, nada bicara Ibu meninggi.Susah payah, kuangkat tubuh beranjak menuju kamar. Menuruti perintah Ibu untuk menggendong Hanum yang masih terbaring di atas kasur. Tangisnya menusuk telingaku. Pada saat itu juga, kesabaranku rasanya mau habis.Pada bayi kecil yang kini ada dalam gendonganku, ingin sekali kucubit pipi gempal itu agar diam. Tak bisakah ia berhenti?Gejolak emosi terus berperang dengan kasih yang tersemat dalam jiwa. Masa muda yang indah berseliweran dalam ingatan. Harusnya aku tak menikah dulu. Kalaupun menikah, harusnya aku menunda memiliki anak sampai aku dan Mas Haidar siap menjadi orang tua.Kutahan genangan yang entah keberapa kali menumpuk di pelupuk mata. Ingat, Zara. Ada Ibu di sini. JTerpaksa, kuikuti keinginan Ibu yang tetap pada pendiriannya. Haura dan Hanum kami bawa ke rumah Mak Iroh menaiki taksi online yang sudah kupesan sebelumnya.Nenek dari bayiku itu bercerita betapa hebatnya dukun beranak dalam mengatasi masalah penyakit pada bayi. Entah untuk merayuku atau perkataannya memang benar."Kalau ada apa-apa, Ibu dulu selalu ke Mak Iroh. Waktu Haidar pernah jatuh dari kasur, Ibu langsung bawa ke Mak Iroh untuk dipijit. Untung saja langsung ditangani. Kalau gak, bisa saja Haidar ada kelainan di tulang bahunya."Tak kurespons penjabaran Ibu tentang keahlian dukun beranak lainnya. Aku hanya merasa zaman dulu dan sekarang sangat berbeda. Jika pilihan Ibu dan aku tak sama, harusnya ia terima. Bukan malah memaksa kehendaknya sendiri.Lima belas menit kami sampai di sebuah rumah tipe duduk jendela. Sebagian dindingnya tembok, sebelah lain triplek dan bilik berukir. Rumah yang bagus pada zamannya.Tak perlu menunggu lama
Sebelum pergi, Ibu menyelipkan sebuah amplop pada Mak Iroh. Entah diisi berapa, akan kutanyakan nanti di rumah dan kuganti uangnya. Setelah dirasa Hanum dan Haura membaik-menurut Ibu dan Mak Iroh-akhirnya kami pamit pulang.Puluhan nasihat Ibu lontarkan saat berada masih dalam mobil. Saat kudengar Ibu nyerocos, kata-katanya memang masuk telinga kananku, tetapi keluar lagi dari telinga kiri.Di saat seperti ini, aku tak membutuhkan nasihat. Aku hanya ingin ditemani dan diberi semangat. Setiap dengan Ibu, memang selalu diberi solusi. Walaupun pendapatnya harus dipenuhi, tak pernah menimbang bagaimana menurutku sebagai ibu Haura dan Hanum, setidaknya aku bisa sedikit bernapas lega. Walaupun batin dan pikiranku tersiksa karena sikap Ibu, tetapi ragaku bisa sedikit beristirahat karena ada yang menggendong salah satu bayiku.Satu hal yang membuatku kaget saat kami telah sampai rumah kembali, Ibu memberi saran yang membuatku naik darah."Makanya, kata Ib
Saat pintu terbuka, tradisi wanita antara kami terjadi. Jeni memelukku erat sekali. Perempuan itu paling dekat denganku semasa kerja. Disusul yang lain, mereka mengucapkan selamat dan cipika-cipiki.Kupersilakan mereka masuk ke dalam. Tampak seorang pria berdiri paling ujung, memandangku datar, lalu tertunduk. Saat pandangan kami beradu, seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan."Haura dan Hanum sedang tidur. Kalian masuk ke kamar aja, ya. Tapi, jangan terlalu berisik, mereka baru saja terlelap," ujarku sembari merayap ke dalam.Karena langkahku sangat pelan, alhasil teman-teman mengikuti gerakku dari belakang. Jeni mendampingiku berjalan ke dalam."Wah, kamu tau aja kita suka berisik," timpal Nova, temanku paling ceriwis. Kami menahan tawa bersama. Langkah sudah masuk ke dalam kamar dan tampaklah dua malaikat kecilku tengah terpejam dengan wajah imutnya.Mereka seperti terpesona melihat wajah ayu kedua bayiku. Beberapa di ant
"Boro-boro ngurus diri, Nova. Yang ada setelah punya bayi, apalagi kembar waktu kita sebagai ibu akan tersita, lho. Gak ada waktu buat diri sendiri," bela Jeni, seperti bisa menangkap perasaan yang menimpa hatiku."Dari mana kamu tahu, Jeni? Kayak udah nikah aja," celah Nova. Meski tujuannya bercanda, tetapi ucapannya terkesan meremehkan."Yey, aku kan punya adik banyak. Tahu lah seluk-beluk gimana ribetnya jadi ibu. Makanya, sampai sekarang belum nikah. Ya, walaupun mau, tapi mentalku belum siap.""Gak laku kali. Ha ha ha."Pluk. Jeni melempar teman lelaki yang mencoba menjahilinya. Sejenak, tawa mereka membahana. Hal itu membuat Haura dan Hanum kaget hingga bangun.Meski perhatian telah beralih pada kedua bayiku, pikiranku masih saja berisi tentang ucapan Nova. Apa seburuk itu penampilanku? Apa aku terlihat seperti orang gila?Untung saja Jeni langsung membela. Dia paham bagaimana susahnya menjadi seorang ibu, meskipun belum me
"Dari mana aja, Mas?"Kemunculan Mas Haidar di ambang pintu kamar langsung kuserang dengan pertanyaan dan unek-unek yang mengganjal. Aku tak bisa lebih sabar. Terlebih, mengingat perkataan Nova tadi, bagaimana kalau Mas Haidar benar-benar mencari perempuan lain di luar untuk memuaskan?"Dari rumah Tio. Maaf, ya, temenku baru balik lagi ke kota barusan. Wajar, udah lama gak ketemu. Hampir satu tahun. Eh, di saat pulang malah denger kabar dia cerai sama istrinya."Aku memicingkan mata. Giliran temannya, selalu mendapat posisi istimewa."Oh, gitu. Udah temen kamu, apa kamu mau cerita hal sama pada mereka?""Maksud kamu?" Saat Mas Haidar menggantungkan jaket di paku, ia berbalik menatapku."Kenapa kamu pulang, Mas? Kenapa gak sekalian aja nemenin Tio atau siapalah teman kamu itu?""Aku baru pulang, lho, Zara. Gak sepantasnya sikap kamu seperti itu.""Aku baru melahirkan, lho, Mas. Gak sepantasnya kami bersikap seper
"Jangankan kamu, Mas. Aku pun kehilangan diriku yang dulu. Itu semua semenjak jadi ibu. Aku sadar, ini semua akan terjadi pada setiap wanita. Tapi, lihatlah suami orang lain, Mas. Mereka siap siaga membantu istrinya mengurus rumah, atau minimal menjaga bayi saat malam tiba. Jika menurut kamu itu hal sepele, kalau gitu kita gantian saja. Biar aku yabg kerja dan kamu urus mereka," paparki panjang lebar. Aku tak bisa menahan ini terus-menerus. Sebelum aku menjadi gila, lebih baik kuutarakan saja. "Berhenti membandingkan kehidupan sendiri dengan kehidupan orang lain, Zara. Apalagi perihal suami. Aku itu bekerja. Butuh istirahat saat malam. Kalau di rumah aku capek, bisa-bisa kerjaanku kacau. Soal merawat bayi, wajar, dong, kalau kamu habiskan waktu dengan merawat bayi. Kamu itu ibunya.""Dan kamu ayahnya. Wajar bila berbagi waktu bersama anak-anakmu. Saat libur pun, apa yang kamu lakukan? Memilih berkumpul bersama teman, kan? Ingat kemarin malam ngapain? Kamu malah no
Sudah kuduga, saat menghadapi masalah seperti ini Mas Haidar pasti angkat kaki dari rumah. Tak peduli langit sudah gelap, bahkan gerimis mulai menghujam tanah. Sedari tadi, air mataku enggan berhenti mengalir. Ada kepedihan yang teramat besar, tak berdarah dan tak kasat mata. Berkali, kucoba hubungi nomor Mas Haidar. Ia tak kunjung mengangkat. Malahan, kini nomornya tidak aktif.Aku semakin yakin bahwa aku salah memilih suami. Harusnya, dulu kuperjuangkan Bama. Bukan menerima Mas Haidar yang datang dengan segenap harta yang ia punya pada Mama. Lintasan masa lalu itu hadir lagi. Berdosakah aku jika merindukan dia yang ternyata bukan jodoh? Di saat kondisi terpuruk seperti ini, suami sendiri malah tak peduli.Permintaanku untuk diantar pulang ke rumah orangtua tak digubris sama sekali."Sampai kapan mau mengeluh, Zara? Mandirilah. Coba perluas sabar dan ikhlas. Dengan pulang tanpa sebab seperti ini, martabatku sebagai suami akan sangat buruk. Kamu
Saat pulang bekerja petang, Mas Haidar akan fokus pada ponselnya. Malah, akhir-akhir ini dia sering pulang malam. Alasannya lembur, buat tambah-tambah pemasukan karena pengeluaran kian membengkak. Lelaki itu sering tertidur di ruang tengah, terpisah denganku dan anak-anak. Entah enggan terganggu dengan tangisan mereka atau malas bertemu denganku, yang akan berujung debat.Aku merasa pernikahanku semakin tak berarti. Tak ada makna keluarga di dalamnya. Mas Haidar mungkin bisa dikatakan bertanggungjawab soal materi, tetapi kalau dia terus bersikap dingin dan cuek pada keluarga, mana nafkah batin yang harusnya didapatkan?Saat Mas Haidar pulang larut, aku tak pernah bertanya lagi dia darimana. Bangun pagi, ia urus diri sendiri lalu berangkat ke kantor lagi. Sesekali menyapa Haura dan Hanum saat aku tertidur atau di kamar mandi.Di lain hari, kuhubungi Mama. Kurasa, aku sudah tak mampu menjalani semua ini sendirian. Kukatakan, Mas Haidar sangat sibuk di kantor