Beberapa hari kemudian, Fani sudah kembali menjalani rutinitas perkuliahan seperti biasa.
Buku diary yang Nia ambil, sudah dikembalikan pada tempat semula dengan dititipkan Dinda jadi, Fani sama sekali tidak tahu bila masalah pelik yang sedang dialami telah diketahui oleh kakaknya.
Yuda yang telah berjanji pada Nia juga sudah mulai mendekati Arya untuk bisa membantu Fani kembali meneruskan skripsi yang ia kerjakan. Pemuda itu bahkan mulai mengintai aktivitas Ilma setelah pulang kuliah.
"Tolong, Pak. Kasihan Fani. Aku tahu, Bapak pasti ilfeel banget kan sama dia karena sifatnya yang urakan dan gak pantas disebut sebagai mahasiswa. Dia itu memang lebih pantas jadi tukang kredit keliling. Tapi, bagaimanapun, dia manusia, Pak. Yang harus kita bantu saat mendapatkan kedzaliman," ucap Yuda berapi-api. Membuat Arya mengernyitkan dahi.
Dosen muda itu me
"Apa selama ini, Mas merasa tertekan?" Sheren balik bertanya."Jika iya?" Sheren berpaling, memandang ke arah air mancur tidak pernah berhenti bersuara."Ya sudah, malam ini kita tidak usah pergi.""Baiklah kalau itu mau kamu." Arya yang sudah kesal menghadapi gadis pilihan orangtuanya berbalik hendak pulang."Apa begitu sulit untukmu berganti baju demi aku, Mas?" Sheren bertanya saat Arya sudah melangkahkan kaki."Bukankah selama ini, aku yang selalu nurut sama kamu? Segala hal tentang aku, semenjak kita bertunangan seolah kamu yang berhak untuk menentukan. Aku hanyalah boneka yang selalu patuh kemana kamu menggerakkan aku. Berangkatlah sendiri. Daripada kamu malu dengan aku yang memakai baju yang beda dengan bajumu. Bilang saja sama mereka, aku ada urusan mendadak." Arya kembali meneruskan langkah.&nb
"Gara-gara kamu, aku jadi tidak bisa menangkap Ilma!" gerutu Yuda di atas kendaraan yang melewati jalan perumahan."Lha 'kan kamu yang bikin ulah tadi! Lagian, kenapa sih kamu ngebet banget buntutin Ilma?""Aku penasaran aja dia di rumah Pak Juan ngapain," jawab Yuda. Motor mereka telah berhenti di dekat rumah yang berpagar tinggi.Alex turun dan ngeluyur hendak membuka pintu gerbang."Alex! Ngapain?" Yuda sedikit meninggikan suara. Namun, masih dalam batas wajar agar tidak terlalu keras."Eh, iya ya?" Alex nyengir sambil menggaruk kepala."Kita tunggu di gardu sana!" Yuda menunjuk bangunan gazebo yang berada di ujung jalan.Kedua sahabat itu kini duduk sambil bermain ponsel."Aku kenapa kemarin berdiri menu
"Turun, Alex!" hardik Ilma marah."Oh, tidak bisa," jawab Alex santai."Ketahuan 'kan sekarang? Kamu ngapain tadi di ruamah Pak Juan?" tanya Yuda penuh selidik."Bukan urusan kamu!" jawab Ilma kesal. "Berhenti mencampuri urusan orang lain, Yuda!" tambahnya lagi."Kalau begitu, kamu juga harus berhenti mencampuri urusan Fani!" tukas Yuda sengit."Betul, itu!" sahut Alex mantap."Kamu tidak tahu apapun tentang urusan antara aku dan dia jadi, berhenti melakukan hal bodoh!" sergah Ilma."Kamu yang bodoh ternyata. Kamu rela melakukan hal yang menjatuhkan harga dirimu hanya karena obsesi kami terhadap seorang lelaki,""Yuda!" bentak Ilma di bawah cahaya lampu yang remang."Apa?"
Arya semakin curiga. Apalagi bila mengingat prestasi Ilma di kampus, juga karakternya yang terkenal alim. Tentu saja Arya paham. Sebagai seorang yang masih berstatus bujangan, tidak menampik bila dirinya akrab dengan beberapa mahasiswa, termasuk Ilma. Terlebih, gadis itu terkenal dengan kecerdasannya."Aku mau masuk,""I-iya, silakan!"Dengan masih memendam rasa curiga dan penasaran, Arya memasuki rumah yang kecil tapi terlihat apik.Setelah mengucapkan salam, Arya dipersilakan duduk oleh Ilma. Netranya tidak lepas mengawasi gadis alim yang mengumpulkan tumpukan kertas yang berantakan."Pak Arya mau minum apa?" tanya Ilma gugup."Wah, sepertinya kamu sudah terbiasa sekali di rumah ini ya?" Arya Belik bertanya."Eh, itu, Pak, iya, anu, aku han
Arya sejenak berhenti. Meskipun keduanya telah berhenti berdebat tapi, bila langsung masuk akan membuat mereka mencurigai Arya mendengar semua pembicaraan.Kini, dalam hatinya tidak hanya mengkhawatirkan skripsi Fani tetapi juga timbul rasa penasaran akan hubungan antara Ilma dengan Juan.'Jangan-jangan mereka?' pikir Arya dalam hati.Adzan Maghrib berkumandang setelah kurang lebih dirinya berdiri di teras selama dua menit."Tok ... tok ... tok ...." Arya memberanikan diri mengetuk pintu. Agak lama tidak terbuka. Akhirnya, dirinya mengulangi lagi. Kali ini, Juan berdiri di ambang pintu dengan wajah kaget."Mas Arya?" sapanya gugup."Iya, Pak. Maaf, hape saya ketinggalan tadi," jawab Arya tenang seolah dirinya tidak tahu apa yang dibicarakan Juan dengan Ilma.
Selesai perkuliahan, satu per satu mahasiswa keluar kelas. Karena memang setelahnya sudah tidak ada jam lagi. Hingga tinggallah Arya yang berpura-pura sibuk dengan laptop. Sementara Ilma denga. perasaan takut mendekati dosen muda yang duduk di tenang di kursi depan."Pak Arya," panggil Ilma lirih membuat Arya mendongak."Ya?""Tentang kemarin sore?" Ilma berhenti. Agak ragu untuk melanjutkan kata-kata."Aku tidak akan mencampuri urusan orang lain, Ilma. Sejauh hal itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan aku. Jadi, kamu tidak usah takut aku akan memberitahu orang lain. Lagipula, aku akan memberitahu siapa? Aku dosen, tidak mungkin membuat sebuah pengumuman pada seluruh mahasiswa tentang sesuatu yang tidak penting," ucap Arya sambil terus menatap layar laptop.Ilma menelan salivanya. Bertahun-tahun menjaga kre
(Alur mundur sedikit)Sepulangnya Nia setelah bertemu dengan Yuda, dirinya tidak mendapati anak-anak di rumah, karena dibawa jalan-jalan oleh Irsya."Jangan harap bisa menyogokku melalui anak-anak," desis Ilma lirih saat memasuki ruang tamu.Setelah membersihkan badan, Nia mengunjungi rumah orang tuanya karena ingin melihat keadaan Fani.Sampai di rumah yang dituju, Nia tidak membahas apapun. Hanya saja, sesekali mengejek Fani yang ternyata tidak sekuat yang ia sangka."Mikir apa sih, sampai sakit gitu? Mbak kira kamu gak akan pernah tumbang, Fan! Masa iya, kamu bisa lemas tidak berdaya seperti itu?""Ya 'kan namanya manusia, Mbak! Ada kalanya sehat, ada kalanya sakit!" gerutu Fani kesal.Nia kembali lagi ke rumah setelah mendapat telepon dari Dinta kalau
Di rumahnya, Irsya merasa gelisah. Berkali-kali meminta maaf pada Nia tapi, pesannya tidak pernah dibaca sama sekali. Hingga malam hari, tanda centang belum berubah menjadi hijau.Iseng, dilihatnya story istrinya."Tidak akan aku biarkan siapapun untuk masuk ke dalam wilayahku. Seperti kata pepatah mengatakan, kejahatan terjadi juga karena adanya kesempatan. Situ kasih kesempatan, saya mending mundur!"Jantung Irsya mendadak berdegup kencang. Takut kalau-kalau hanya karena masalah Ilma, Nia meminta cerai."Kenapa aku bodoh sekali, membuat marah Nia yang pernah trauma. Seharusnya aku lebih sabar dan mengalah. Toh selama ini, dia tidak pernah bersikap yang membuatku marah," lirih Irsya menyesal.Pria itu menyugar rambutnya kasar."Aku harus bagaimana sekarang?" tanya Irsya seora