****"Apa kamu sudah pikirkan baik-baik, Din?" tanya Vio, sahabat terdekat perempuan yang beberapa hari lalu di talak suaminya karena tak ingin di madu."Ya, memangnya kenapa, Vi?" Dinda balik bertanya."Enggak, sih! Membuang buaya buntung itu udah yang paling tepat, tapi bagai mana dengan Adam dan Alif?" ujar Vio."Mungkin, nanti aku akan cari waktu yang tepat untuk menjelaskan pada anak-anak," lirih Dinda hampir tak terdengar.Dinda tahu, hal yang paling menyakitkan untuk dirinya adalah ketika kedua anaknya tahu kebenarannya. Mungkin saja sekarang Alif terlihat biasa saja karena belum paham, Namun beda lagi ceritanya dengan Adam, dia cukup dewasa untuk mengerti semuanya."Hai, jangan melamun! Aku tahu kamu dalam situasi sulit, yang sabar, pasti ada jalan!" ucap Vio sambil menepuk pelan bahu Dinda."Apapun keputusan kamu, aku do'akan agar menjadi keputusan yang
****Pagi-pagi sekali Dinda dapat kabar dari Bu Nuri, kalau adam sedang sakit. tentu saja membuatnya sangat khawatir dengan kondisi Adam saat ini, apalagi Adam tengah jauh dari dirinya."Ibu Dinda tenang saja, semalam sudah di bawa ke klinik terdekat. Tapi, jika siang ini Adam belum membaik Ibu dan Bapak boleh menjemputnya, untuk di rawat di rumah saja." Bu Nuri pelan-pelan menjelaskan lewat sambungan telepon.Kekhawatiran Dinda mulai menjadi ketika mengingat rumah tangganya yang telah pincang, bagai mana jika Adam menanyakan Mas Helmi ketika di rumah nanti? Apa yang akan ia katakan pada putra sulungnya?Dinda terus merapalkan do'a untuk kesembuhan Adam, walau bagaimanapun ini bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya kepada Adam, apalagi saat ini ia sedang sakit.Akhirnya Dinda meminta saran Umi Aisyah, karena masalah ini menyangkut kesehatan putranya, tak mungkin juga ia tega membiark
****"Assalamu'alaikum, Mas Adam!" Suara itu begitu Adam kenal, ia menoleh. Seketika saja ia tersenyum. Dinda, hanya menunduk karena tak sanggup menahan air mata yang memaksa jatuh, demi melihat pemandangan yang begitu menyakitkan di depan matanya."Ayah," panggil Adam."Maaf, Ayah baru datang. Ayah ..." ucap Helmi ragu."Adam tahu, Ayah sibuk, kan?" sahut Adam, wajahnya tertunduk lesu."Maaf," ucap Helmi, ia mengusap rambut putranya dengan lembut.Setelah bercengkrama sejenak dengan Adam, Helmi meminta Dinda untuk berbicara di luar saja.Dinda mengangguk, meski dalam hatinya amarah membuncah untuk Helmi.Ketika di luar, Dinda tampak berdiri di dekat pintu ruangan, meskipun beberapa kali Helmi memintanya untuk duduk di sampingnya."Dinda, demi Tuhan aku tak sengaja, aku baru mengecek ponsel tadi subuh, aku enggak tahu kamu mengh
****"Ma, gimana aku mau punya bayi perempuan, Mas Helmi, tuh sibuk mulu sama Mbak Dinda!" adu Mariah pada Wulan, ibu mertuanya."Hm, kamu itu sebenarnya bisa gak buat Helmi itu benar-benar jatuh cinta sama kamu? Atau jangan-jangan kamu hanya sekadar pelampiasan saja?" sahut Wulan."Ih, Mama bukannya bantuin aku malah ngomong gitu. Payah!" gerutu Mariah jengkel."Daripada kamu mikir yang tidak-tidak, mending kamu cuciin baju Mama, ya!" titah Wulan dengan senyum yang menampakkan barisan giginya yang masih utuh di usianya."Loh, kok, aku? Kan ada Bibi, Ma." Mariah menolak."Eh, kamu nggak sadar apa? Helmi itu sudah nggak bisa bayar pembantu, kamu lupa gara-gara siapa? Gara-gara kamu!" cecar Wulan."Kok, sekarang malah nyalahin aku, sih!" Mariah bingung dengan sikap Mama mertuanya, bentar-bentar baik, bentar-bentar judes lagi."Terus nyalahin siapa? Nyalahin ru
****"Hana, bagai mana penjualan toko hari ini?" tanya Helmi pada Hana, kepercayaannya sejak lama. Termasuk, awal mula terjadi hubungannya dengan Mariah."Membaik dari hari-hari sebelumnya, Pak." "Baguslah, saya ingin segera membawa Mariah ke Jakarta. Bisa kamu carikan rumah petak yang bisa di sewa perbulan?" ungkap Helmi."Rumah petak? Apa Bapak tak salah bicara? Padahal, dulu Mariah ingin tinggal di rumah mewah milik Bu Dinda, kasihan sekali!" cibir Hana."Kita harus memulainya dari nol, Hana. Makanya, besar harapan saya toko ini bisa membantu perekonomian saya. Meskipun Dinda tak mau menjadi suplier toko kita lagi," ucap Helmi."Wajar Bu Dinda marah dan mengambil semuanya, kasalahan Bapak terlalu besar untuk di maafkan!" ujar Hana lagi membuat Pak Helmi tertunduk.Ya, Helmi menyadari itu.****Adam berubah, wajahnya tampak murung tak bersem
****"Ini semua gara-gara kamu Mas!""Bukan cuma aku, tapi kamu juga ada andil. Andai saja kamu tak berlebihan mendramatisir keadaan dan tak meminta kita berpisah, keluarga kita akan baik-baik saja," bantah Helmi."Hah, aku yang berlebihan? Apa kamu tak lupa? Ini semua awalnya dari kamu! Kamu yang selingkuh!" Ucapan telak dari Dinda membuat Helmi bungkam, ia tak bisa menbantah dan membela diri lagi.Dinda terduduk dengan perasaan yang kalut, mencerna setiap kejadian demi kejadian yang sebelumnya tak pernah ia kehendaki.Merasa lelah dengan semuanya, akhirnya ia berdiri dan memutuskan untuk bertemu Umi Aisyah.''Jangan terlalu di paksakan, beri dia waktu untuk menerima semua, ini tak mudah. Percaya, pada akhirnya semuanya akan baik-baik saja!''Umi Aisyah mengelus punggung putrinya yang berada dalam dekapannya, ia tahu beban yang Dinda hadapi sangat berat.
****Raut kecewa tergambar jelas di wajah Helmi. Ia tak habis pikir dengan sikap Mariah yang selalu kekanak-kanakkan dan tak terkendalikan. Tak masalah jika ia menganggap Dinda sebagai saingannya, tapi jika anak-anak rasanya tak pantas untuk disaingi."Adam itu anakku. Dewasalah sedikit!" ucap Helmi penuh penekanan."Mas, ini nggak semuanya salah aku juga, wajar aku cemburu, karena kamu tak bisa membagi waktumu.""Hah, cemburu? Lagi-lagi kamu cemburu. Mariah dengar aku, Adam itu anakku!" tegas Helmi sekali lagi.Helmi berharap Mariah bisa memposisikan dirinya sebagai Ibu dari anak-anaknya."Aku tak cemburu dengan Adam, Mas. Aku cuma tak suka kamu dekat-dekat lagi dengan Mbak Dinda!" kilah Mariah, membuat Helmi pusing seketika."Astaga, susah kalau ngomong sama kamu!" Helmi beranjak dari duduknya, ia mengacak rambutnya dengan kasar, lalu berjalan
****"Bram, cepat masuk! Sebentar lagi pelajaran akan segera di mulai," seru gadis cantik berambut lurus pada anak lelaki berkaca mata yang usianya tak jauh beda dengannya."Kamu saja yang masuk!" balas anak lelaki itu. Ia membalikkan badannya, lalu berjalan menjauh dari gedung sekolah dengan wajah murung dan tertunduk."Loh, Bram. Kamu mau kemana?""Pulang.""Kenapa?""Apa kamu tak lihat bajuku kotor begini?"Ya, Anak lelaki berkacamata itu namanya, Brama Araskha. Sering di panggil Bram. Namun, anak-anak yang hobinya membully akan memanggilnya dengan sebutan si Cupu!"Justru dengan baju yang kotor begini, kamu akan mudah mengadukan perbuatan mereka , Bram. Ayo ikut aku!" ajak sang gadis sambil menarik tangan Bram dengan kasar."Ta-tapi ....""Sudah, ayo!""Mereka akan semakin marah jika aku mengadukannya.""Aku tidak peduli," tukas gadis itu, kukuh pada pendiriannya