Pastikan dirimu sudah subscribe , ya!
Selamat membaca!****'Terus saja kamu berpura-pura, Mas. Sampai kamu ketahuan berkhianat dariku, akan kubuat kamu menyesal seumur hidupmu.'****Jam dinding hampir menunjukkan pukul 22:00 malam, tapi Helmi masih saja anteng dengan ponselnya, entah apa yang sedang ia lihat hingga membuatnya senyum-senyum sendiri.Dinda mengambil ponselnya di atas nakas, mengecek hasil bajakan aplikasi whatsappnya tapi kosong.'Mas Helmi sedang apa sebenarnya?' Dadanya bergejolak, penasaran dengan apa yang sedang dilakukan suaminya."Dinda, belum tidur?" tanya Helmi tanpa menoleh, tatapannya masih fokus pada layar ponsel yang menyala."Belum, Mas. Nggak tau kenapa Aku susah tidur, Mas sendiri lagi ngapain jam segini belum tidur? Bukannya besok ada acara di Jakarta?" tanya Dinda berapi-api."Belum ngantuk, tadi aku ngopi di kantin. Jadinya nggak ngantuk gini," kilah Helmi beralasan."Ya sudah, Dinda temani, ya!" tawar Dinda. Ia menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Helmi. Namun, Helmi beringsut menjauh."Nggak usah, Dinda bobok saja, ya!" tolak Helmi dengan cepat.'Mencurigakan sekali. Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, Mas? Apa kamu benar-benar berpaling dariku? Setelah 15 tahun kita menjalani bahtera rumah tangga kita.' Dinda mencoba untuk menahan sesak dan air mata yang hendak jatuh dari kedua sudut matanya. ia berpikir,harus dengan cara apa lagi biar bisa membuktikan kecurigaannya?Hana. Ya, ia salah satu karyawan lamanya. Dinda mencoba akan meminta bantuannya, atau kalau perlu ia akan membayarnya untuk pekerjaan tambahan itu.****[Hana, temui Ibu di parkiran sekarang! Bilang saja kamu izin ke toilet atau apa sajalah terserah kamu!]Dinda mengirim pesan itu kepada Hana, Karyawan terlama yang ikut dengannya. Sedangkan ia tetap berada di dalam mobilenunggu karyawannya Sepuluh menit kemudian, Hana baru datang menghampiri atasannya dengan terburu-buru. lalu, Dinda segera memintanya untuk masuk ke dalam mobil."Ada apa, Ibu memanggil saya?" tanya Hana terlihat canggung."Kalau ke toko, Bapak ngapain saja, Hana?" tanya Dinda. ia mulai mengintrogasi Hana."Ngapain, ya? Seperti biasa mengecek penjualan atau kadang beristirahat di ruangannya," jawab Hana seperti bingung dan mengingat-ingat sesuatu.Kebetulan, di setiap toko dia selalu membuat ruangan untuk istirahat para karyawan dan ada beberapa toko yang memiliki ruangan khusus untuknya beristirahat dan memantau semua pekerjaannya dari sana. "Oh, kalau ada yang mencurigakan tentang Bapak, tolong kasih tahu saya!" ucap Dinda."Baik, Bu! Oh iya, Bu. Beberapa hari lalu Bapak meminta Luna untuk di mutasi ke jakarta, memang di sana kekurangan orang, ya?" tutur Hana kemudian.Pertanyaan Hana membuat Dinda memijit keningnya dengan kuat.'Kenapa Mas Helmi harus memutasi karyawan dari sini lagi, sih? Padahal, di sana sudah ditaruh karyawan-karyawan kepercayaannya. Seharusnya, ia tinggal membuka lowongan kerja di sana dan karyawan lama cukup memberi pengarahan saja. Beres,kan?'Oke, kali ini Dinda gagal lagi mencari bukti penghianatan suaminya. Atau mungkin ia terlalu curiga kepada Helmi? Bisa saja penipuan jaman sekarang aneh-aneh, transfer ke nomor rekening Adek atau ke nomor rekening Mama, Mama lagi di kantor polisi. Ah, buang-buang waktu saja!Dinda perlahan meninggalkan parkiran dan memutuskan pulang saja. Namun niatnya terhenti ketika sebuah mobil yang begitu sangat dikenalnya memasuki area parkiran. Dia bersama perempuan muda, dan berpakaian seksi dengan rambut sebahu. "Astaga, Mas Helmi!" gumam Dinda.Dengan cepat Dinda kembali memasuki parkiran dan memarkirkan mobil agak jauh dari mobil Helmi. Tangannya menyambar sebuah kaca mata hitam di dalam tas, ia tak boleh kehilangan jejak mereka lagi.Mereka berjalan menuju toko, membuat keyakinan Dinda tentang perselingkuhan Helmi kembali memudar.'Jika wanita itu pasangan selingkuhnya Mas Helmi, logikanya mana mungkin dia nekat membawanya ke toko, untuk apa? Sedangkan dia tahu hampir semua karyawan tahu, kalau Mas Helmi sudah beristri.'Dinda masih mengikuti mereka, hingga wanita itu benar-benar dibawa memasuki toko, karyawannya menyapanya. Bahkan Hana, dia justru memeluknya dengan erat.'Apa-apaan ini? Siapa wanita itu?'Dinda melihat Hana berbicara sesuatu kepada Helmi dan meraka terlihat sangat serius. Namun, sayang Dinda tak dapat mendengar percakapannya,karena jarak yang lumayan cukup jauh.Disaat wanita itu ikut masuk ke ruangan khususnya Helmi, Dinda semakin yakin mereka ada apa-apanya. Ia tak boleh gegabah, agar ia bisa mendapatkan bukti dengan sempurna.Dua puluh menit kemudian, Helmi kembali keluar dengan wanita itu, mereka meninggalkan toko dan Dinda kembali membuntutinya. Ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menuju arah kawasan Lembang.Hawa dingin mulai Dinda rasakan, menelusup terasa hingga ke tulang-tulang. Di pinggir jalan raya berjejer hotel dan vila-vila, mobil Helmi berbelok memasuki sebuah Hotel yang terbilang mewah. Jika mereka tak ada apa-apanya, tak mungkin pula mereka sampai berniat dua-duaan di kamar hotel.Dugaan Dinda ternyata benar. Bahkan, terjadi di depan matanya. Ia cukup frustasi mengingat pernikahannya yang sudah berlangsung selama 15 tahun ini, namun baru kali ini Dinda memergoki kegilaan suaminya.'Kamu jahat, Mas! Jika ada kekuranganku yang tak kamu sukai setidaknya kamu bilang, bukan begini caranya! Kamu bahkan lupa saat aku menerimamu menjadi kekasihku kamu hanya pelayan biasa di toko kaus kaki. Lewat tanganku dan keluargaku Allah angkat derajatmu hingga menyandang gelar sarjana.'Dinda pastikan mereka sudah memasuki kamarnya. lalu, ia turun kembali dan memesan kamar tepat di sebelahnya kamar Helmi. Sekitar tiga jam Dinda berada di kamar hotel, menunggu seseorang yang sedang menjalankan tugasnya. Ya, Dinda berhasil meminta tolong kepada pemilik hotel untuk mencari bukti perselingkuhan mereka, meski harus adu mulut terlebih dahulu, karena menurutnya akan mengganggu kenyamanan tamu-tamunya. Namun, bukan Adinda namanya jika tak bisa membuat mereka diam seribu bahasa, saat ia memperlihatkan sebuah video suami suaminya memasuki hotel ini dengan selingkuhannya, tak sengaja nama hotel ini terekam dengan sangat jelas."Permisi!"Dinda segera menghapus air matanya, dan segera menemui orang itu."Ini, sesuai dengan apa yang Ibu minta, jadi kami mohon video yang menyertakan nama hotel kami untuk segera di hapus." Lelaki itu memohon pada Dinda, ia menangkupkan kedua tangan di depan dadanya."Baik, terimakasih!" ucap Dinda.Dinda duduk di sudut ranjang, memperhatikan sebuah rekaman video hasil dari CCTV yang sengaja di letakkan di kamar Helmi beberapa saat lalu ketika petugas mengantarkan kopi pesanan Helmi.Dinda membekap mulutnya saat rekaman itu menayangkan kebejatan Helmi, sungguh menjijikan. Mereka bermain dengan sangat liar, bahkan terlihat seperti sudah biasa melakukan hal haram tersebut.Air mata Dinda kembali menggenang di kedua sudut matanya, lalu menangis sesenggukan. Ia rasa tak apa-apa menumpahkan semua kesedihan itu di sini, asal anak-anak dan keluarganya jangan sampai tahu busuknya kelakuan sang suami. Sebelum ia mengambil sebuah keputusan dan membuat Helmi menjadi gembel sekalian.****"Dinda, seharian ini kamu kemana saja?" tanya Helmi saat istrinya baru saja sampai rumah.Ya, saat Dinda mengikutinya, hingga menemukan bukti-bukti perselingkuhannya, Dinda sengaja tak menjawab panggilan telepon darinya."Ke rumah Mama. Bukannya kamu hari ini ke Jakarta, Mas?" tanya Dinda sinis."Nggak jadi. Aku sengaja tak datang karena malam ini aku ingin mengajakmu makan di luar," jawabnya beralasan.Dinda berlalu begitu saja dari hadapan lelaki yang tak berakhlak itu, tanpa menanggapi ajakan makan malamnya. Hatinya telah hancur dengan pengkhianatan yang telah dia lakukan yang entah sejak kapan.'Tak akan ada maafku untukmu, Mas!'______________________****"Mariah, kamukah itu?" Dinda mengernyitkan keningnya, melihat Mariah yang berdiri di depannya, jelas banyak berubah dengan Mariah yang di kenalnya selama ini."Iya, ini aku, Mbak!" ucap Mariah sambil tersenyum.Dinda terdiam. Ia khawatir Mariah akan melakukan hal yang membahayakannya seperti dulu."Mbak jangan takut, aku sengaja datang ke sini untuk meminta maaf sama Mbak Dinda!" ucapnya lagi.Dinda masih bergeming. Mariah menurunkan anak kecil itu dari gendongannya hingga anak itu duduk beralaskan rumput taman. Kemudian Mariah menurunkan tubuhnya sampai berjongkok. Tidak sampai di situ, Mariah seperti hendak bersujud tepat di kakipermpuan yang dulu telah di sakitinya."Mar, Bangun, Mar! Kamu mau ngapain, Mar?" teriak Dinda. Ia mundur beberapa langkah demi menghindari Mariah yang masih bersimpuh."Mbak Dinda, Maafkan aku! Aku memang salah sudah merebu
****"Dua minggu lagi aku akan menikahi Dinda, Ma. Aku harap, Mama bisa menerima keputusan ini dengan hati yang lapang!" ucap Bram. "Hm, apa kamu sudah pikirkan baik-baik? Masalahnya, Helmi mengidap penyakit kelam*in. Ada kemungkinan Dinda juga sudah tertular, Bram!" sahut Wulan."Beberapa hari lalu, Dinda sudah melakukan cek darah di sebuah klinik. Alhamdulilah, hasilnya negatif.""Apa? Jadi Dinda baik-baik saja?" seru Helmi. Ia baru saja datang dan ikut bergabung dengan Wulan dan Bram."Ya, Dinda negatif, Hel!""Lalu, dari mana sumber penyakit ini? Karena akhir-akhir ini aku tidak pernah melakukan hubungan itu dengan perempuan manapun!" umpat Helmi kesal."Coba kamu ingat-ingat lagi! Mungkin kamu pernah transfusi darah atau menggunakan jarum suntik yang tidak steril? Karena penularan penyakit itu tidak melulu dari hubungan badan saja, Hel!""Aku bukan pem
****"Bram, silakan duduk!" sambut Abi Ahmad terdengar ramah.Bram mengangguk dan mengikuti perintah Abi Ahmad. Ia sedikit demi sedikit berusaha mengurai kegugupannya di depan orang tuanya Dinda.Bibi datang dengan nampan berisi minuman di tangannya. Dinda dengan cekatan membantu pekerjaan ART-nya.'Sungguh, calon istri idaman!' puji Bram dalam hati."Maksud kedatangan Nak Bram sudah kami dengar dari Dinda. Namun, kali ini kami ingin mendengarnya langsung dari Nak Bram. Apa keberatan?" Pertanyaan Abi Ahmad mampu meluluh lantakkan pertahanan Bram untuk tetap tenang di depan orang tua kekasihnya. Namun, detik kemudian Bram berhasil menguasai dirinya kembali."Bismillahirrohmanirrohim, saya datang kesini karena saya ingin meminta restu dari Abi dan Umi. Saya mencintai Adinda dan berniat menikahinya dalam waktu dekat. Itupun jika Abi dan Umi memberikan restu."Singkat, padat dan j
****Samudra bertamu dengan membawa kabar baik untuk Dinda, ia akan melakukan pernikahan dengan Amel dalam waktu dekat ini."Selamat, ya, Sam. Akhirnya kamu menemukan cinta sejatimu di rumahku!" kelakar Dinda setelah memberi ucapan selamat untuk Samudra."Haha, kamu bisa aja, Din! Tapi ... Maaf,nih, mungkin setelah aku menikahi Amel, Amel akan berhenti bekerja sebagi baby sitternya Alif. Kamu nggak pa-pa, kan?" tanya Samudra ragu-ragu."Nggak pa-pa, Sam. Lagipula, aku sudah memprediksikan ini. Mana mungkin istri seorang pengusaha masih bekerja jadi baby sitter di rumahku?" sahut Dinda."Makasih, untuk pengertiannya, Din. Kamu memang sahabat terbaikku!""Sama-sama, tapi jangan lupa kamu harus jaga Amel layaknya berlian!" tegas Dinda."Siap!"Dinda semringah melihat lembaran undangan berwarna cream di tangannya. Nama Amelia dan Samudra tertulis di sana dengan indah. Ia jadi membayangkan bagaimana pernikahannya nanti dengan Samudra? Apa harus meriah atau han
****"Hai, Om Bram!" Alif menyambut Bram dengan sangat ramah. Bahkan, kadang-kadang ia tak akan sungkan untuk memeluk lelaki dewasa itu."Apa kabarmu? Bagaimana sekolahmu?" tanya Bram pada bocah itu."Kabarku baik dan sekolahku sangat menyenangkan. Aku sudah bilang pada teman-temanku, kalau Om Bram sebentar lagi menjadi papaku!" Dengan polosnya Alif bercerita."Wow! Alif di ajarin siapa cerita-cerita begitu?" Dinda tampak bertanduk mendengar cerita dua lelaki beda usia di depannya."Memangnya nggak boleh, ya, Bunda?" Alif balik bertanya, tatapannya berubah menjadi sendu."Sutt!" Bram memberi kode isyarat."Em, boleh. Tapi cuma ke teman dekat saja ,ya!" jawab Dinda sedikit terpaksa karena kode dari Bram."Siapa teman dekatnya Alif?" Bram menyela pembicaraan antara Dinda dan Alif."Itu, anaknya Bu RT. Namanya Salwa, Om."
****"Pak, bangun, Pak! Ini sudah siang, Pak Helmi sudah melewatkan sarapan dan minum obat setengah jam yang lalu." Rena memberanikan diri untuk membangunkan Helmi."Hoam!" Helmi menguap sambil menggeliat. Entah kenapa akhir-akhir ini ia sering mengantuk padahal semalam tidurnya sangat nyenyak."Ini sarapan dan obatnya saya taruh di sini, ya!" ucap Rena lagi. Lalu, ia kembali keluar kamar karena ada pekerjaan yang harus di selesaikannya.Helmi berjalan tertatih, tangannya bertumpu pada tembok. Ia melakukan terapi sendirian. Dari tempat tidur ke kamar mandi saja, Helmi membutuhkan waktu yang lumayan lama, karena kakinya terasa sangat lemas."Argh, andai saja aku tak ceroboh,tak mungkin aku akan menderita seperti ini!" gerutu Helmi. Dengan penuh perjuangan, akhirnya ia sampai juga di kamar mandi.Di dapur Rena berpapasan dengan Wulan, jangankan menyapa dengan ramah, sekadar senyum pun tidak.
****Seminggu kemudian dari kejadian Bram mengenalkan Dinda sebagai calon istrinya, kesehatan Helmi kembali menurun. Kepalanya yang sering tiba-tiba sakit dan demam tinggi sering menyerangnya malam-malam. Beruntung ia sudah mendapatkan orang yang bersedia untuk merawat serta mengurus semua keperluannya. Dari mulai makan, menyiapkan pakaian, juga hal-hal kecil lainnya."Hel, apa kamu yakin ingin mengurus Amera sedangkan kondisi kamu saja seperti ini?" tanya Wulan. Ia tiba-tiba masuk kamar dengan wajah yang kusut. Pasti gara-gara belum di kasih jatah bulanan."Terus kalau bukan kita yang urus, mau siapa lagi, Ma?" Helmi balik menatap mamanya."Ya, misal di titip di panti asuhan. Kita bisa menjenguknya kapanpun kita mau. Iya, kan?" ucap Wulan sambil menunduk.Sebenarnya ia tak enak memberi ide seperti ini kepada Helmi. Apalagi, dulu ia sangat menginginkan cucu perempuan dari Helmi. Tetapi ketika Helmi
*****Sore hari, Helmi pulang ke rumah. Baru saja ia sampai di ruang tamu, Wulan menyambutnya dengan bibir yang mengerucut."Hel, bagaimana kabar si Amera? Apa sudah ada kemajuan hari ini?" tanya Wulan dengan mata yang sedikit mendelik."Belum, Ma.""Harus berapa lama lagi dia di rawat di NICU? Lama-lama bisa tekor persediaan uang kita, tabungan Mama sudah mulai berkurang, loh!" sungut Wulan, tampak sedikit kesal."Sabar, ya,Ma. Kita berdo'a untuk Amera agar berat badannya cepat stabil dan bisa di rawat di rumah saja.""Pasti," sahut Wulan datar."Aku mandi dulu, ya, Ma.""Hm!"Helmi mengayuh roda kursi yang ia duduki dengan dua tangannya. Ia harus belajar mandiri, apalagi nanti kalau Amera sudah pulang ke rumah, ia harus bisa mengurus diri sendiri dan mengasuh Amera sekaligus.Helmi mengguyur tubuhnya yang terasa lengket dengan air hangat. Aroma sabun mandi yang menyegarkan menguar dari t
****Bram tampak segar sore ini, setelah mandi dan bersiap-siap ia segera melangkah ke kamar putrinya dengan cepat."Kamu sudah siap, Laura?" teriak Bram sambil mengetuk pintu kamar putrinya yang mulai beranjak remaja."Sedikit lagi, Pa!" teriaknya dari dalam tanpa membukakan pintu untuk papanya."Huh, perempuan sama saja! Masih bocah atau dewasa sama saja, sama-sama suka lama kalau dandan!" gerutu Bram di depan pintu kamar anaknya."Papa tunggu di depan saja, ya!" "Iya, Pa."Bram berjalan ke depan dengan gontai sambil bersiul-siul. Wajahnya kali ini tampak riang tak sekusut sebelumnya, berharap apa yang telah di susun rapi dengan putrinya berjalan sesuai dengan keinginannya.Setengah jam kemudian, Laura menghampirinya sambil senyum-senyum. Dandanan Laura kali ini bikin sakit mata. Bagaimana tidak? Dia memakai rok selutut warna kuning, di padukan dengan atasan k