Share

Kejutan Untuk Mereka

****

"Bagaimana keadaanmu, Nak?" tanya Umi ketika mereka berkumpul di ruang keluarga.

"Aku baik-baik saja, Mi," jawab Dinda. Ia mencoba tersenyum semanis mungkin di depan Umi, wanita terhebatnya.

"Maaf, Umi tak bisa berlama-lama di sini, kasihan Abi di rumah sendirian. Mungkin Disha, sementara waktu akan tinggal di sini, untuk menemani kamu dan Alif." Sambil mengusap punggung putrinya, Umi berkata dengan lembut.

"Iya, Umi."

"Tenang, Kak. Disha akan jagain Kak Dinda dari orang-orang jahat!" sahut Disha sambil cengengesan.

"Jagain Kakak kamu dan Alif dengan baik, ya, Dis!" pesan Umi lagi. 

'Sekhawatir itukan Umi padaku? Berasa masih di perlakukan seperti anak kecil, nyatanya sekarang usiaku sudah masuk di angka 37. Ah, Umi I Love You!'

****

Sepeninggalnya Umi, Dinda masih duduk di ruang keluarga. Menyandarkan kepalanya di kepala kursi, tatapannya menatap kosong ke luar jendela. video berdurasi beberapa menit itu menyisakan luka dan kehampaan dalam jiwanya.

Suara bel pintu menyadarkan lamunannya. Mbak Sri sepertinya masih sibuk di belakang, Disha dan Alif tengah bermain di dalam kamar. Mau tak mau ia terpaksa beranjak, mengayunkan langkah kakinya ke depan untuk melihat siapa tamu yang datang?

Kebetulan, pintu rumahnya terbuat dari kaca berpadu dengan kayu jati yang diukir dengan indah. Siapapun tamu yang datang, akan terlihat dari dalam rumah.

"Mama," gumam Dinda. Ia segera membukakan pintu untuk Mama Wulan, mertuanya.

"Bukain pintu saja, leletnya minta ampun!" gerutu mertuanya, sambil menjatuhkan bokongnya di sofa.

Wanita tua dengan kisaran usia sekitar 65 tahunan, mulutnya terbiasa pedas kepada Dinda.

'Andai dia bukan mertuaku, andai dia bukan orang yang harus di hormati, andai dia seumuran denganku, akan kuruwes mulut jahatnya yang selalu menyakitiku!'

"Harusnya salam dulu kalau bertamu, Ma!" Dinda mencoba mengingatkannya. Heran saja, baru datang sudah ngomel-ngomel nggak jelas!

"Kamu itu pandai nyela orang tua. Makanya, kamu tak becus melahirkan anak perempuan!" cibir Wulam, membuat tanduk di kepala Dinda hendak keluar.

"Ma, mau minum apa?" tanya Dinda kemudian. Ia mencoba mengalihkan topik pembicaraan agar suasana hatinya tak semakin hancur.

"Tidak perlu! Bawakan saja koper Mama di mobilnya Galuh!" ucapnya sambil berlalu ke kamar tamu.

Dinda bergegas kembali ke depan, mencari-cari keberadaan Mbak Galuh, yang ternyata dia duduk di dalam mobil. Ia turun ketika melihat Dinda menghampiri mobilnya.

"Loh, Mama datang sama Mbak Galuh, kenapa tak masuk dulu?" tanya Dinda pada Mbak Galuh.

"Aku sedang buru-buru, Din. Laura dan Hanif nggak ada yang jagain, tapi Mama maksa minta aku mengantarnya kemari. Padahal, aku tahu kamu sedang ada masalah. Maaf, ya!" jelas Mbak Galuh.

"Ya ampun, Mbak, kenapa minta maaf segala? Mama, kan mertuaku juga, jadi nggak masalah. Mbak tenang saja!" sahut Dinda. Ia menepuk-nepuk pundak iparnya dengan lembut.

"Din, kamu yang sabar, ya!" 

Tiba-Tiba, Mbak Galuh memeluk Dinda. Ia mencoba menguatkan batinnya agar selalu tersenyum menghadapi luka jiwa yang terasa begitu perih dan semakin menganga.

****

Dinda berkutat di dapur dengan berbagai bahan makanan untuk di jadikan hidangan kesukaan mertuanya, anggap saja untuk sekadar menyambut kedatangannya.

"Non Dinda duduk saja, sambil kasih arahan. Biar saya saja yang kerjakan." Mbak Sri mungkin merasa tak enak karena tugas masaknya tiba-tiba diambil alih oleh majikannya.

"Nggak pa-pa, aku ingin memanjakan lidah Mama mertuaku dengan masakan hasil tanganku sendiri, Mbak."  Dinda memberi alasan yang cukup mudah.

Ya, Dinda nggak tahu sampai kapan ia menjadi menantunya Mama Wulan? Mengingat pernikahannya yang sudah di ambang kehancuran.

"Non Dinda itu hebat, berhati malaikat pula!" puji Mbak Sri, ia mengacungkan kedua jempol tangannya. Mungkin, sedikit banyaknya ia tahu masalah yang sedang di hadapi majikannya saat ini.

"Masak, kok, ngobrol!" cibir mertuanya dengan sinis.

'Hadeh, apa-apa segala di komentarin!'

"Kamu tidak dengar Mama ngomong, Din?" tanya mertuanya, matanya melotot menatap Dinda.

"Loh, bukannya Mama bilang lagi masak nggak boleh ngobrol?" jawab Dinda datar.

"Nyela saja terus bisanya, pantas saja suamimu tak betah di rumah. Selain tak becus memberiku cucu perempuan kamu juga tak becus jadi istri!" pekik mertuanya tiba-tiba.

Degh!

Begitulah mertuanya. Semenjak Adam lahir ia seolah memusuhi Dinda terus-menerus. Alasannya, sangat klasik bagi siapapun, dia menginginkan cucu perempuan bukan laki-laki. Bahkan, ketika Dinda hamil anak kedua dan mengetahui janinnya laki-laki lagi, mertuanya meminta ia untuk progam hamil lagi sampai berhasil memiliki anak perempuan. Hal yang gila bukan?

Namun, sayangnya saat Dinda melahirkan Alif, ia mengalami placenta akreta. Istilah lainnya di sebut placenta yang lengket ke rahim, sehingga mengakibatkan rahimnya robek dan terpaksa harus di angkat saat itu juga.

Mama mertuanya tentu saja murka dan meminta Helmi untuk menceraikannya saat itu juga. Namun, saat itu Helmi mati-matian membela istrinya di depan mamanya.

Tiba-tiba, Alif berlari ke arah Dinda dan memeluk kakinya dengan kuat. 

"Oma, jangan marahin bundaku!" teriak Alif sambil menangis sesenggukan.

Dinda terkejut dengan kata-kata yang keluar dari bibir mungil bocah lima tahun itu. Dinda sejajarkan tubuhnya, mengecup keningnya dengan lembut, lalu segera menghapus air matanya yang telah tumpah di pipinya.

"Sayang, Oma nggak sedang marah, Nak! Bunda dan Oma sedang berakting seperti yang di televisi itu, loh. Iya, kan, Oma?" Dinda melirik mertuanya yang acuh dengan keberadaan cucunya.

"Tapi Alif nggak suka Oma teriak-teriak sama Bunda," ucap Alif. 

'Astaga, sepeka itukah perasaanmu, Nak? Lalu bagaimana kalau pada akhirnya kamu tahu, ayahmu menyakiti Bunda dengan sengaja?'

****

Jam dinding menunjukan pukul 19:00 malam. Dinda, Disha, Alif juga mertuanya sudah duduk di meja makan. Mereka sudah siap untuk menikmati makan malam yang di hidangkan oleh Dinda sendiri.

"Jam berapa suamimu pulang?" tanya mertuanya menatap Dinda dengan tajam. 

"Mm, kalau ada kerjaan darurat bisa sampai larut malam, Ma." Dinda berbohong. Padahal, beberapa hari lalu Helmi sudah Dinda usir.

"Suamimu, kan kerja di perusahaan sendiri, kenapa kamu porsir tenaganya sampai larut malam? Sial sekali Helmi beristrikan perempuan seperti kamu!" bentak Mama Wulan. Tentu saja ucapannya membuat Dinda memejamkan mata, karena ucapannya menghujam tepat di jantungnya!

"Ma, tolong, jangan bicara begitu! Ada Alif di sini." Dinda memelas, berharap mertuanya mau mengerti.

"Mama, nggak mau makan sebelum Helmi pulang ke rumah ini!" teriaknya. Ia berdiri lalu melangkahkan kakinya meninggalkan meja makan.

'Sudah tua nggak punya adab! Astagfirullah!'

"Ajaib, ya, Kak?" bisik Disha, sambil terkikik di telingaku.

"Hust, dia masih mertuaku," Sahut Dinda. Ia kembali berbisik juga di telinga adiknya.

****

"Dinda, hubungi suamimu, sekarang!" titah mertuanya tanpa basa-basi lagi.

"Untuk apa, Ma?" tanya Dinda acuh.

"Kamu itu jadi istri benar-benar nggak becus, ya! Tahu rasa kalau suamimu di ambil perempuan lain yang lebih tulus menyayanginya," sahut mertuanya kemudian. Membuat Dinda ingin tertawa terbahak-bahak.

"Ya sudah, Dinda coba telepon, ya."

Dinda menghubungi orang yang di perintahkannya tadi untuk melacak tempat terakhir yang Helmi kunjungi di sebuah aplikasi canggih.

"Mama rindu Mas Helmi, kan? Ayo berangkat sekarang, Mas Helmi sudah menunggu kita di sana, Ma!" ajak Dinda pada mertuanya.

Mertuanya terlihat semringah saat mendengar kabar tentang anaknya. Dinda ke kamar sebentar, sekadar merapikan pakaian dan jilbabnya, lalu menyambar tas kecil yang tergeletak di meja rias miliknya.

"Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya, dong!" mertuanya mengeluh, mungkin ia takut terjadi hal-hal yang tak di inginkan.

"Ini nggak ngebut. Oya, Mama siap-siap, Mas Helmi akan memberi Mama kejutan spesial." Dinda tersenyum sinis. Ia membayangkan apa yang akan terjadi sebentar lagi?

Dinda berhenti tepat di depan sebuah rumah berlantai dua, tidak besar tapi terkesan elegan dan rapi.

"Ini rumah siapa, Dinda? Tak mungkin Helmi ada di sini, kamu jangan bercanda sama orang tua!" ucap mertuanya dengan wajah penasaran, menatap rumah sederhana yang berdiri di depannya.

"Ayo turun, Ma!" ajak Dinda sambil menarik tangan keriput itu, tanpa menghiraukan lagi ocehan-ocehannya.

Ia pun turun mengikuti langkah menantunya. Dinda mengetuk pintu rumah itu beberapa kali, namun tak ada jawaban dari dalam.

"Mas, aku tahu kamu ada di dalam, Keluarlah! Aku membawa mamamu ke sini, katanya dia rindu!" teriak Dinda tak ragu-ragu.

Beberapa tetangga memperhatikan Dinda dan mertuanya. Mungkin, mereka heran dan risih dengan sikap Dinda yang berteriak-teriak.

Beberapa menit kemudian, pintu itu perlahan terbuka. Perempuan muda terbelalak kaget, seperti sedang melihat hantu, saat melihat Dinda berdiri di depannya.

"Sayang, siapa?" Suara lelaki dari dalam rumah terdengar tak asing di telinga Dinda. Karena pemilik suara itu adalah suara lelaki yang telah membersamainya selama lima belas tahun terakhir.

"He-Helmi, kamu sedang apa di rumah ini?" pekik Wulan. Ia seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.

"A-aku, Aku ..." Helmi gugup.

"Ma, kenalkan ini gundiknya Mas Helmi. Dan Mas Helmi sekarang tinggal di sini. Mungkin, lebih detailnya nanti Mama ngobrol saja sama perempuan pelakor ini!" 

Dinda melirik perempuan muda itu. Perempuan itu sepertinya marah ketika Dinda menyebutnya dengan sebutan pelakor. Wajahnya memerah, beringas seperti hendak ingin mencakar Dinda.

"Dinda, tolong dengarkan penjelasan Mas dulu!" ucap Helmi memohon pada Dinda. Ia masih mengharapkan pengampunan dari Dinda.

Dinda hanya tersenyum sinis menanggapi ucapan Helmi. Lalu, ia melangkah menjauh dari rumah itu sambil melambaikan tangan.

Dari dalam mobil, Dinda melihat beberapa tetangga memaki-maki Helmi dan perempuan itu. Sepertinya, warga baru sadar kalau pemeran video mesum itu tinggal di sini antara mereka. Bahkan, ada beberapa orang yang melempari perempuan itu dengan telur busuk.

'Nikmati karma yang sedang merangkak ke arahmu, Mas! Ini belum seberapa dengan sakit yang kurasakan.'

________________

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Jess
ceritanya gak nyambung
goodnovel comment avatar
Riwu Yohanes
setimpal dengan perbuatannya
goodnovel comment avatar
Hilman Rayagung
good, menyentuh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status