Share

BAB 6

Author: jasheline
last update Last Updated: 2025-07-21 21:34:02

Udara di ruangan itu terasa berat, sesak dengan tangis yang baru saja mereda. Pria yang tadi mendekap Amoora dengan sabar, Aiden, memecah keheningan dengan nada lembut. "Sudah merasa lebih baik?" Hampir setengah jam Amoora terisak dalam pelukannya, membuat Aiden khawatir adiknya akan dehidrasi.

"Mau minum?" tawar Aiden lagi, saat Amoora akhirnya melepaskan pelukan mereka. Amoora mengangguk lesu, "Boleh."

Tanpa menunggu lama, Aiden beranjak berdiri. Dengan sigap, ia mengisi segelas kaca dengan air minum, lalu menyodorkannya pada Amoora.

"Terima kasih," ucap Amoora dengan senyum tipis, meneguk air itu hingga tak bersisa.

"Sekarang, bisakah kamu ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi, Amoora?" desak Aiden, tatapannya penuh perhatian.

Amoora menarik napas panjang, suaranya tercekat. "Enzo selingkuh."

Mendengar pengakuan itu, Aiden seketika mematung. Jemarinya tanpa sadar mengepal erat, rahangnya mengeras.

"Dia berani mengkhianati kamu?" suaranya tajam, sarat amarah.

"Iya, Bang. Aku sendiri yang memergoki pria brengsek itu tadi pagi," Amoora tersenyum miris, bayangan pengkhianatan itu kembali menghantuinya.

Aiden segera mengusap puncak kepala adiknya, mencoba menenangkan. "Sudah, jangan menangis lagi!" Ia menatap Amoora dengan keyakinan, "Kamu sudah di sini. Itu artinya, kamu sudah siap untuk melepaskan laki-laki itu, kan?"

Amoora mengangguk mantap, sorot matanya kini memancarkan tekad. "Iya, Bang. Mora sudah siap. Mora akan menceraikan laki-laki pengkhianat itu!"

Senyum tipis tersungging di bibir Aiden. "Bagus! Abang dukung keputusan kamu."

Suara lirih Amoora memecah keheningan di antara mereka, "Bang..."

"Ada apa? Apa kamu butuh sesuatu yang lain?" tanya Aiden lembut.

"Maaf.." ucap Amoora, air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. "Maaf, karena sudah mengecewakan dan menyakiti hati Abang. Mora menyesal. Andai waktu itu Mora mendengarkan peringatan dari Abang, nggak mungkin hal seperti ini baIdenn terjadi."

Aiden menggeleng pelan. "Sudah. Nggak ada gunanya kamu menyesal. Yang sudah terjadi, biarkan saja berlalu. Sekarang, yang lebih penting adalah menata kembali hati kamu. Jangan buang-buang waktu dengan menyesali sesuatu yang tidak bisa kita putar ulang kembali. Sia-sia, Amoora!"

"Padahal... Abang keluarga satu-satunya yang Mora miliki. Tapi, bisa-bisanya Mora malah ninggalin Abang dan memilih untuk bersama pria brengsek macam Enzo," lanjut Amoora, suaranya dipenuhi penyesalan.

Aiden hanya tersenyum kecil mendengarnya. Kilas balik menyambangi pikirannya. Dulu, hatinya begitu sakit karena adiknya lebih memilih lelaki yang baru dikenalnya dibandingkan dirinya, sang kakak kandung. Namun, seiring waktu dan kesibukannya, Aiden perlahan belajar ikhlas dan menghormati keputusan adiknya.

Ia bahkan sempat menjauh, menepi, dan menepati janjinya untuk tidak lagi muncul di hadapan sang adik setelah sebuah taruhan yang disetujui tanpa pikir panjang oleh Amoora lima tahun lalu. Kala itu, Amoora dengan mata berbinar-binar pernah berkata, "Aku cinta sama Mas Enzo, Bang! Dia satu-satunya lelaki yang bisa bikin aku ngerasa hidup dan nggak kesepian. Bersama dia, Mora pasti bisa bahagia."

Lima tahun yang lalu, Amoora pernah memohon restu kepada Aiden untuk menikah dengan Enzo. Namun, Aiden dengan tegas menolak permintaan adiknya itu. "Sampai mati pun, restu Abang tidak akan pernah kamu dapatkan," ucap Aiden penuh penekanan.

"Kenapa, Bang? Tolong kasih aku alasan yang logis!" desak Amoora kala itu.

"Dia tidak sepadan dengan keluarga kita, Amoora!" jawab Aiden.

"Mas Enzo pria yang baik. Dia pantas berada di keluarga kita," balas Amoora, bersikukuh.

Aiden mendengkus kasar. Adiknya yang sedang dimabuk cinta benar-benar sulit diberi nasihat. "Ini yang bikin aku malas punya adik perempuan. Selalu mengedepankan perasaan dibanding logika!" ucap Aiden frustasi. "Orang miskin yang tiba-tiba diberi kemewahan suatu saat pasti akan langsung lupa diri, Amoora. Awalnya, mereka akan berpura-pura menerima semuanya dengan penuh rasa syukur dan terima kasih. Tapi, semakin hari, mereka justru akan menginginkan hal yang lebih lagi, hingga akhirnya, mereka berhasil menggerogoti dan mencuri semua hal yang kita miliki."

"Mas Enzo orang baik. Mana mungkin dia seperti itu," Amoora membela.

"Kamu terlalu dibutakan cinta, Amoora. Apa kamu mau, seluruh harta kita direbut oleh pengemis yang kamu pungut dari jalanan itu?" tanya Aiden dengan nada meninggi.

"Mas Enzo bukan pengemis," jawab Amoora keras.

"Ya, dia pengemis," balas Aiden tak Idenh sengit. Keduanya saling bertatapan dengan tajam. Ego keduanya sama-sama tinggi, tak ada yang mau mengalah.

"Kalau Abang terlalu takut harta Abang akan dirampas, ya sudah..." Amoora menjeda kalimatnya. "Abang boleh ambil semua harta yang orang tua kita tinggalkan. Abang nggak usah peduliin aku. Nikmati saja semua harta itu sendirian!" lanjutnya penuh penekanan.

"Abang tidak seserakah itu, Amoora!" Aiden menggeleng. "Bagianmu akan tetap Abang jaga. Tapi, kamu hanya boleh menikmatinya setelah berhasil membuktikan bahwa lelaki pengemis itu bukanlah pria matre. Pergilah! Hiduplah dengan dia tanpa sokongan dana dari keluarga kita! Lagian, Abang juga penasaran, bagaimana reaksi pengemis itu jika dia tahu bahwa kamu ternyata tak punya apa-apa untuk dia manfaatkan."

"Oke. Mora akan keluar dari rumah ini!" angguk Amoora, menerima tantangan itu.

"Jangan lupa! Kamu juga tidak boleh membawa-bawa nama keluarga kita di mana pun kamu berada! Hiduplah sebagai orang baru tanpa bayang-bayang nama Ardheon di belakang nama kamu. Mengerti?" tegas Aiden.

"Oke. Mora akan lakukan semua yang Abang minta. Tapi, Mora punya satu pertanyaan," ujar Amoora. Aiden terdiam, menunggu kelanjutan kalimat dari mulut adiknya.

"Apa yang akan Mora dapatkan jika Mora berhasil membuktikan bahwa Mas Enzo bukanlah orang serakah dan jahat?" tanya Amoora, sorot matanya menantang.

"Ambil sepuluh persen saham milikku!" ucap Aiden tanpa berpikir panjang, sebuah janji yang melampaui batas keraguannya.

"Oke, aku setuju," Amoora mengangguk.

"Jangkanya sepuluh tahun, Amoora. Jika kau berhasil membuktikan bahwa Enzo adalah pria baik-baik yang tidak haus akan harta dalam waktu sepuluh tahun, maka sepuluh persen sahamku akan benar-benar jadi milikmu."

"Baik. Aku akan pastikan kalau Abang benar-benar salah dalam menilai Mas Enzo," balas Amoora penuh keyakinan.

"Sebaliknya, jika kamu yang kalah, maka Abang berhak mendapatkan lima persen saham milik kamu. Bagaimana?" tawar Aiden.

"Oke," angguk Amoora. "Aku bakal buktiin kalau tuduhan Abang ke Mas Enzo adalah salah. Dan, mulai hari ini, Mora akan pergi dari rumah ini. Mora janji, Mora nggak akan menemui Abang sampai sepuluh tahun ke depan. Selamat tinggal! Semoga Abang betah hidup kesepian untuk selamanya."

Kata-kata itu bagai belati yang menusuk hati Aiden. Ia tak pernah menyangka bahwa jatuh cinta akan membuat adiknya buta, sampai-sampai tak bisa membedakan mana pria baik dan mana pria yang buruk.

Selang beberapa detik, Amoora berbalik. Ia benar-benar pergi meninggalkan Aiden yang seketika ambruk dan jatuh terduduk di lantai, hatinya hancur. Ia telah merawat Amoora sendirian selama tujuh belas tahun terakhir. Masa mudanya benar-benar ia habiskan hanya demi menemani tumbuh kembang Amoora. Dan, kini saat Amoora telah dewasa, Amoora malah pergi bersama lelaki lain tanpa pernah berpikir dua kali.

"Semoga kamu bahagia, Mora! Abang benar-benar berharap bahwa penilaian Abanglah yang salah," bisik Aiden, kepedihan menguar dari suaranya.

***

"Abang?" Suara Amoora membuyarkan lamunan Aiden tentang masa lalu.

"Ya, ada apa?" Aiden tersentak dari lamunannya.

"Abang dengar, apa yang Mora bilang tadi?"

"Ya, Abang dengar, kok," jawab Aiden.

"Bang... Sekali lagi, maaf!" Amoora memohon.

"It's oke, Mora! Abang paham, kalau saat itu kamu masih sangat muda. Emosi kamu masih labil. Wajar, kalau kamu melakukan kesalahan," Aiden berusaha memahami. Mata Amoora kembali meneteskan air mata. Buru-buru, wanita itu menghapusnya dengan telapak tangan.

"Jadi, kapan kamu akan menggugat cerai pengemis itu, Mora?" tanya Aiden, nadanya kini lebih tenang.

"Nanti, Bang. Tunggu sampai aku puas bermain-main dengan dia dan keluarganya," jawab Amoora dengan dingin.

"Kamu punya rencana apa?" Aiden mengangkat alis.

Amoora menyeringai sinis, tatapan matanya berkilat penuh dendam. "Aku ingin bersenang-senang dulu dengan mereka, Bang. Aku ingin sekali melihat mereka menangis darah. Dan, untuk itu... aku butuh bantuan Abang."

"Apa yang bisa Abang bantu?" tanya Aiden, sedikit terkejut dengan rencana adiknya.

"Kuras habis isi ATM ini!" ucap Amoora seraya mengeluarkan dua lembar kartu ATM dari dalam dompet pria yang sempat ia curi sebelum pergi. Ya, itu memang dompet milik Enzo.

"Masalah gampang. Biar Abang yang lakukan," Aiden turut tersenyum sinis, aura gelap kini menyelimutinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rhena Altika
tai kokean tingkah
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 143

    Di tengah terik matahari yang hangat, suasana di teras rumah Jericho dan Amora dipenuhi aroma bawang goreng, kecap, dan kacang yang menggugah selera. Kandungan Amora kini sudah semakin membesar. Perutnya sudah menjadi bundar, menandakan usianya sudah memasuki bulan kelima. Kehamilan ini telah membawa rutinitas baru yang aneh, didominasi oleh ngidam mendadak Amora.Hari ini, keinginan Amora mencapai puncaknya: ia ingin makan ketoprak, tetapi dengan syarat tukang ketopraknya harus siaga di sampingnya saat ia makan. Tidak hanya itu, ia juga butuh dessert berupa es dawet, dan entah mengapa, Jericho dipaksa cosplay menjadi tukang es dawet dengan gerobak pinjaman yang sudah bersih mengkilat."Dek, Abang mau ngomong," kata Aiden yang tampak ragu-ragu saat hendak mengutarakan niatnya. Ia melihat ke sekeliling, merasa canggung dengan seting drama ngidam ini."Ngomong aja, Bang!" timpal Amora. Perempuan hamil itu sedang menikmati ketoprak yang baru saja dibelikan oleh sang suami. Ia mengunyah

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 142

    Keheningan yang mencekam telah menyelimuti ruang tunggu di luar kamar mandi sejak Amora masuk beberapa menit yang lalu. Jericho, yang biasanya tenang dan percaya diri, kini mondar-mandir seperti setrikaan, mengabaikan statusnya sebagai seorang 'Jericho' yang seharusnya selalu berkepala dingin. Setiap detik terasa seperti jam."MASSSS!" teriak Amora dari arah kamar mandi. Suara itu bukan jeritan ketakutan, melainkan ledakan syok dan emosi yang campur aduk.Jericho yang memang sedari tadi menunggu di depan pintu segera berlari untuk masuk. Ia menerobos masuk, jantungnya berdebar kencang. Takut, jika sesuatu yang buruk terjadi kepada sang istri. Ia membayangkan skenario terburuk, mulai dari hasil negatif hingga Amora terpeleset."Iya, kenapa, Sayang?" tanya Jericho panik. Matanya langsung menyapu lantai, mencari tanda-tanda bahaya."I-ini..." Amora berdiri mematung, wajahnya pucat, tetapi matanya berkaca-kaca. Amora menyerahkan testpack itu dengan tangan gemetar. Ia tidak sanggup menata

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 141

    Plak!Suara tamparan itu memecah keheningan sore. Wajah Vanya tertoleh ke samping ketika sang Ayah tiba-tiba saja menamparnya dengan sangat keras. Kemurkaan jelas tergambar di wajah pria tua itu. Matanya merah, urat-urat di lehernya menegang."Ba-bapak?" lirih Vanya tak percaya. Air mata yang sudah mengering karena syok, kini mengalir lagi, bercampur dengan rasa sakit di pipi. Ayahnya, pria yang seharusnya menjadi pelindungnya, kini menjadi algojonya."Ini semua gara-gara kamu! Kamu yang sudah membuat kita semua jadi gembel!" tuding sang Ayah penuh kebencian. Ia tidak mau mengakui kesalahannya menandatangani kertas kosong. Lebih mudah menyalahkan Vanya, yang membawa Herman ke dalam hidup mereka.Vanya menggeleng dengan air mata yang mengalir deras. Kerasnya tamparan itu tak hanya menyisakan sakit di pipi tapi juga di hati. Ia merasa hancur, dikhianati oleh kekasih, dan kini disalahkan oleh keluarganya sendiri."Kenapa malah nyalahin Vanya sih, Pak? Kan, Bapak sendiri yang mau tanda ta

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 140

    Dulu, Herman kehilangan segalanya karena ketahuan selingkuh oleh istrinya. Ia mengingat tatapan kosong istrinya, tuntutan cerai yang dingin, dan pintu yang tertutup di wajahnya. Dan, selingkuhan Herman kala itu adalah Vanya.Herman mengakui kebodohannya, tetapi rasa sakitnya berlipat ganda karena Vanya, sumber dari kehancurannya, malah melenggang bebas dan mendapatkan kehidupan baru. Harta, status sosial dan segala kemewahan yang dulu Herman dapatkan dari sang istri seketika musnah tak bersisa. Ia jatuh dari langit ke lumpur. Sementara, Vanya pun langsung pergi begitu saja dan malah menikah dengan Enzo tanpa peduli lagi pada nasib Herman. Kebahagiaan Vanya adalah racun bagi Herman.Jadi, wajar jika Herman sekarang membalas dendam pada Vanya, kan? Baginya, ini bukan sekadar pembalasan, melainkan reklamasi keadilan yang harus ia ambil sendiri."Hahahahaha!! Hanya modal duit sedikit, tapi sekarang aku bisa dapatkan uang yang jauh lebih banyak. Ini sih namanya ketiban durian runtuh," uca

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 139

    Di ruang perawatan rumah sakit yang kini hening, ketegangan akibat kedatangan Enzo telah berganti menjadi rasa lega yang dangkal. Pintu terbuka, dan Herman masuk, membawa aura percaya diri yang mencolok."Gimana, Mas?" tanya Vanya pada pria yang baru saja memasuki ruang perawatannya. Vanya tersenyum, senyum yang dipaksakan dan penuh harapan. "Sudah aku bayar semuanya, Va," jawab Herman tersenyum. Senyumnya lebar, seolah ia baru saja memenangkan lotre, padahal ia baru saja membayar biaya persalinan selingkuhannya. "Sekarang, kita bisa pulang." Ia melangkah mendekat, memberikan sentuhan di bahu Vanya, sebuah gestur kepemilikan."Syukurlah!" ucap Ibunda Vanya penuh kelegaan. Ia menarik napas dalam-dalam, mengusap dadanya. Ketakutan akan tuntutan rumah sakit telah lenyap. "Terima kasih ya, Nak Herman! Kalau nggak ada Nak Herman, mungkin Vanya dan bayinya masih akan tetap ditahan oleh pihak rumah sakit." Pujian itu tulus dari perspektifnya yang hanya melihat uang dan kebebasan.Pria itu

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 138

    Di ruangan yang dingin dan berbau obat, keheningan Enzo setelah keterkejutannya langsung dipecah oleh reaksi panik Vanya. Vanya reflek menutupi wajah bayinya kembali. Ekspresi gugup tak bisa ia sembunyikan. Matanya melebar, napasnya tersengal, dan keringat dingin membasahi pelipisnya."Namanya juga bayi baru lahir, Mas. Maklumlah, kalau wajahnya agak beda sama kamu," ujar Vanya beralasan. Suaranya terdengar terlalu keras, mencoba menutupi getaran panik di dalamnya. Ia berharap Enzo yang dulu, Enzo yang mudah dibujuk dan dibutakan oleh rasa bersalah, masih ada.Mendengar alasan mantan istrinya, Enzo langsung tersenyum kecewa. Ia menyadari, dia tidak sebodoh yang Vanya kira lagi. Pengkhianatan Vanya, ironisnya, terasa seperti pengakuan terakhir bahwa ia telah sepenuhnya lepas dari bayang-bayang masa lalunya yang naif."Tapi, nggak beda sampai semua-muanya juga kan, Va?" celetuk Enzy sambil tertawa kecil. Tawa Enzy adalah tawa kemenangan yang dingin. Ia menatap Vanya dengan tatapan menil

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status