Share

BANGKITNYA MENANTU YANG DIHINA
BANGKITNYA MENANTU YANG DIHINA
Penulis: Pena_kinan

Bab 1

BAB 1

"Jual saja cincin pernikahan kita. Besok aku ganti jika ada rezeki." Seketika aku menoleh ke arah Mas Bambang. Lelaki yang sudah membersamaiku selama dua tahun ini. Menjadi sosok imam yang bertanggung jawab meskipun kini kami tengah diuji. 

Mas Bambang terkena PHK. Dua bulan yang lalu. Dimana pabrik yang selama ini menjadi tempat dia mengais rejeki bangkrut. 

Perkenalkan namaku  Wiranti menikah dengan Mas Bambang dua tahun yang lalu. Pernikahan kami digelar secara sederhana. Mahar seratus ribu sudah cukup bagiku. Semula aku begitu kecewa dengan mahar yang diberikan Mas Bambang kepadaku. Layaknya wanita lain aku ingin dihargai, ingin diberikan yang terbaik. Namun Mas Bambang memberiku satu alasan yang membuatku harus menerima mahar tersebut dengan lapang dada.

"Gimana, Dek?" Pertanyaan Mas Bambang membuyarkan lamunanku. Aku mengusap perutku yang sudah besar. Benar saja usia kehamilanku menginjak delapan bulan. 

"Mas, bukannya Ibumu baru saja menjual sapi? Kenapa kamu tidak meminjam uang kepada Ibu? Kenapa harus menjual cincin pernikahan kita? Itu satu-satunya benda berharga yang aku miliki atas pemberian mu." Lelaki yang tengah duduk di sofa itu terdengar menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Pandangannya tertuju pada langit-langit rumah. 

"Kamu tahu sendiri sikap  ibu bagaimana?"

"Kamu juga anaknya, Mas. Jika kita belum bisa memberi beliau uang tiap bulannya berarti memang kita belum cukup. Lihat, untuk sekedar makan sehari-hari saja kita masih kurang." Aku mencoba bernegosiasi, agar cincin yang sudah memudar warnanya ini tidak lepas dari jari manis ku.

"Ya sudah kalau begitu, nanti Mas akan mencoba bicara pada Ibu. Siapa tahu Ibu mau meminjamkan uang pada kita." Aku mengangguk. Ada kelegaan di hati, meskipun ada banyak keraguan jika sang mertua mau meminjamkan uang kepada kami. Karena selama ini beliau terbilang pilih kasih pada Mas Bambang. Yang notabenenya adalah anak kandungnya. 

Mas Bambang tiga bersaudara. Semua laki-laki, saudaranya yang nomor dua sudah bekerja namun belum menikah. Baru lamaran bulan kemarin, rencana tahun depan akan menikah.  Sedangkan saudaranya yang ketiga tengah menempuh kuliah semester terakhir. 

Mas Bambang menyeruput kopi hitam, kini pandangannya tertuju padaku. Diusapnya perutku yang sudah besar lalu lelaki itu mencoba berbicara dengan janin yang tengah aku kandung. Aku tersenyum melihat tingkah nya. Meskipun kami tengah kesulitan. Lelaki itu tetap memperlakukanku begitu istimewa.

*****

"Ada apa kesini? Kamu tahu Ibu baru jual sapi. Makanya kamu datang kemari. Kalau tidak, mana mungkin kamu mau jenguk Ibu. Memberi uang pada Ibu saja tidak pernah!" Suara Ibu mertuaku langsung menusuk hati. Padahal kaki baru saja menginjak halaman rumah. Belum sempat melangkah masuk kedalamnya. Namun wanita tua itu sudah menyambutku dengan ucapan yang begitu menyakitkan. Padahal dia tahu. Putranya baru saja terkena PHK. 

"Kita baru saja nyampek lho, Bu. Belum juga duduk. Ibu sudah bicara seperti itu. Kalau Bambang ada uang pasti Bambang ngasih Ibu uang. Kan Ibu tahu sendiri kalau Bambang baru aja kena PHK." Mas Bambang terlihat menghampiri sang Ibu. Mencium tangannya dengan takzim lalu membantuku berjalan mendekati sang Ibunya. Begitu juga aku, meskipun Ibu mertua menyambut tanganku tanpa mau melihat ke arahku.

"Alesan! Kesini cuma tangan kosong? Nggak bawa apa-apa? Kamu ini gimana sih, Ran. Seharusnya kalau mau datang ke rumah mertua itu bawa oleh-oleh. Bawa buah atau yang lainnya. Ini malah nggak bawa apa-apa. Nggak malu kamu!" Kini pandangan Ibu tertuju padaku. Memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala. 

Lalu tangannya dilipat didepan dada.

Astagfirullahaladzim

Astagfirullahaladzim

Astagfirullahaladzim

Aku beristighfar berkali-kali dalam hati. Jika saja aku tidak sedang mengandung. Aku akan menjawab dengan lantang. Bagaimana aku membawa buah tangan jika untuk makan saja kami kesulitan.

Ya Tuhan, berikan hamba kesabaran yang luas untuk menghadapi mertua yang demikian adanya.

"Kami lagi nggak ada uang, Bu," jawab Mas Bambang setelah melihat lirikan mataku.

"CK …." Ibu mertuaku berdecak lalu masuk kedalam rumah lebih dulu. Wanita tua itu menjatuhkan bokongnya di kursi. Kemudian aku dan juga Mas Bambang mengikuti dari belakang. Duduk di kursi yang berhadapan dengan wanita itu.

"Terus mau kamu kesini apa?" tanya Ibu mertua. Aku menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Menyiapkan hati dan juga batinku jika saja nanti mendengar ucapan yang lebih menyakitkan. 

"Bu, Bambang butuh uang. Untuk makan, nanti kalau ada rejeki Bambang pasti ganti." Mas Bambang berbicara. Aku yang mendengar penuturan lelaki itu hanya bisa mengusap perut. Lalu memperhatikan Ibu yang terlihat mencebik.

Tidak ada rasa Iba dari wanita itu. Justru terkesan meremehkan dan juga tidak peduli.

"Kamu mau ganti pakai apa? Kamu aja nggak kerja. Makanya dengerin apa kata  Ibu. Jangan nikahi Wiranti, terbuktikan dia ini istri pembawa sial. Nyatanya setelah kamu menikah dengannya tidak lama kamu di PHK."

"Astagfirullahaladzim, Bu. Kenapa Ibu bicara seperti itu?" Mas Bambang terlihat terkejut begitu juga aku.

"Lho bener kan apa kata Ibu? Kamu di PHK setelah menikah dengan Wiranti. Coba kamu menikah dengan wanita pilihan Ibu pasti jabatanmu sekarang naik. Kamu hidup enak dan juga tidak kekurangan suatu apapun."

Duar

Bak disambar petir di siang hari. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Entah mengapa ucapan Ibu begitu menusuk hati.

Aku meremas ujung jilbab yang aku kenakan. Namun dengan susah payah aku menahan bibir ini untuk menjawab. Bagaimanapun aku tengah mengandung dan orang yang berbicara baru saja adalah ibu kandung Mas Bambang.

"Ibu kok bicara seperti itu? Semua sudah terjadi. Aku ikhlas menikahi Wiranti, Bu. Saya mohon Ibu berhenti bicara seperti itu. Wiranti selama ini baik lho sama Ibu." Mas Bambang mencoba menjadi penengah yang baik. Dia tidak ingin menyakiti Ibunya begitu juga denganku.

"Hidup itu nggak butuh kata baik aja, Bambang. Hidup itu keras, kalau kamu nggak bisa nyari istri yang buat kamu beruntung. Setidaknya istrimu tidak membawa sial."

"Kalau memang Ibu tidak bisa meminjamkan kami uang. Tidak apa-apa, Bu. Tapi jangan bicara seperti itu pada Wiranti. Dia tengah hamil."

Ibu terlihat mencebik. Pandangannya dialihkan ke sembarang arah.

"Mas …."

"Kita pulang sekarang, Ti!"

"Tapi, Mas…." Mas Bambang menarik tanganku, aku pun mengikutinya dengan langkah tertatih. Mas Bambang terus saja berjalan menggandeng tanganku menuju motor yang terparkir di halaman rumah.

Aku menoleh, namun tidak kudapati wanita yang bergelar mertua itu di ambang pintu. 

"Mas, uang buat makan bagaimana?" Aku masih sempat menanyakan hal itu. Dimana Mas Bambang sudah terlihat akan membawa motornya pergi dari rumah Ibunya. 

"Sudah, kita pikirkan lagi di rumah." Kini Mas Bambang benar-benar sudah membawa kendaraan roda dua itu meluncur. 

Sepanjang perjalanan aku terus berpikir. Apakah nantinya lelaki ini akan kembali meminta aku untuk menjual cincin ini? Pertanyaan itu terus timbul dalam pikiran. Tidak berapa lama motor yang semula melaju perlahan menepi. 

"Lho, ada apa, Mas? Ban-nya kempes?" tanyaku pada Mas Bambang yang sudah menghentikan motornya. Aku turun dari jok belakang lalu ikut melihat ban yang terlihat baik-baik saja.

"Nggak papa, kenapa turun?" 

Lelaki itu terlihat menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Tidak pernah aku pungkiri lelaki itu masih sama. Dia mengusap keringat yang hendak menetes pada kening. 

"Dek, kamu jual dulu ya cincin kamu."

" …."

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status