Share

Bab 03 Medayoh

Keesokan harinya, Ibu terlihat begitu antusias. Bapak menerima uluran  wadah dibungkus taplak  meja motif batik dari Ibu. Wadah  itu berisi sesaji. Syaratnya  wajib jika bertandang ke rumah Mbah Lasiem. 

Terdiri dari kemenyan, dupa, kembang setaman, rokok, gula, air mineral dan masih banyak lagi yang lainnya.

Winarno sudah berada dalam mobil, Bapak tergopoh keluar, lalu bergegas masuk duduk di samping kemudi. Tidak menunggu titah, Winarno memacu mobil menembus kemacetan jalanan  Kota Surabaya. Mereka akan ke luar kota. 

Embusan angin sepoi-sepoi saat mobil keluar dari keramaian jalanan kota.  Sepanjang menyusuri  jalanan  desa  yang jauh dari keramaian. 

Mobil terus melaju hingga terlihat gerbang kokoh di depan bertuliskan.

"SELAMAT DATANG DI DESA KARANG ANYAR"

Winarno memperlambat, laju kendaraan saat Bapak memberikan titah, berhenti sejenak!

Saat mobil sudah berhenti, Bapak keluar. Dia mengambil satu buah  takir(wadah dari daun pisang) berisikan beberapa warna bunga.

Kemudian, dia duduk bersila di atas rerumputan. Tepat di bawah gerbang desa. Tidak lama, setelah komat-kamit Bapak  kembali masuk  mobil.

Winarno menarik napas panjang dia terlihat tegang. Berbeda dengan Bapak visual semringah tersirat menghias wajah tua. Sebentar lagi mereka akan sampai tujuan!

Mobil  mewah  putih keluaran terbaru itu berhenti, di halaman sebuah rumah. Terlihat  paling mentereng  di antara rumah penduduk di desa itu. Hilir mudik kendaraan bermotor melewati jalanan  depan rumah tersebut.  

Bapak  antusias turun dari mobil sembari membawa tentengan. Seorang perempuan renta memegang tongkat sudah  menyambut di depan pintu. Senyum tersungging di bibir merah karena susur(kinang) dia memamerkan deretan giginya yang hitam kecokelatan. Kekeh tawa khasnya melengking. 

Saat  Bapak dan Winarno segera mendekat. Perempuan tua   menyapa dengan ramahnya. 

"Oalah, Kaji Karsan!" Kembali dia memperdengarkan kekeh tawa khasnya, seraya menepuk lengan Bapak.  Bola matanya menatap tajam. Terkesan misterius membuat bulu kuduk  Winarno bergidik.

"Ngeh niki kulo Mbah, Kaji Karsan. Saya kira Mbah Lasiem sudah  lupa?" Bapak mencairkan suasana dengan logat khas Jawanya yang begitu kental.

Mbah Lasiem kembali terkekeh. "Mana mungkin, saya lupa sama kamu!" sambarnya seraya kembali menepuk lengan bapak berulang, membuat Bapak meringis.

 Sesaat kemudian Mbah Lasiem mengekeh lagi. Mata elangnya menatap tajam wajah tampan Winarno. Sontak membuat jantung Winarno berdegup. Dia merasa akan ditenjangi kemudian  dimangsa hidup-hidup.

Bapak meraih pucuk jemari tangan Mbah Lasiem dan menciumnya. “Mbah, perkenalkan ini anak saya.” Bapak berkata setelah melepaskan salimnya, seraya menunjuk jempol.

Tanpa menunggu titah, cekatan Winarno meraih, kemudian mencium takzim punggung tangan Mbah Lasiem. Sama  seperti yang bapak lakukan. Tidak mengangkat kepalanya hingga jemari perempuan tua itu mengusap rambutnya.

Keduanya dipersilahkan masuk. Mata Winarno menyalang menatap penuh selidik sudut tiap-tiap  ruangan. Udara rumah itu terasa lembab dan hening hawanya dingin menjamah menyapa kulit.

Lantai keramik putih pun tampak berdebu. Begitu juga dengan satu set tempat duduk berbahan kayu jati. Debunya tampak tebal sepertinya tidak pernah sekalipun diduduki.  Sarang laba-laba menghias langit rumah, menambah ketakutan di hati Winarno. 

Sepertinya Mbah Lasiem tinggal seorang diri. Sekarang semuanya sudah duduk bersila di lantai tanpa alas  tikar di bilik khusus. Aromanya begitu pekat menyengat indra penciuman. Khas wangian dupa dan kemenyan mendominasi. 

Mbah Lasiem mengenakan kebaya hitam kombinasi tapih batik.  Rambutnya yang putih sempurna digelung tusuk konde, berhias kembang melati. Dia antusias  menanyakan perihal maksud kedatangan Bapak lagi. 

Bapak mendekatkan wajahnya di samping cuping telinga Mbah Lasiem. Beliau memberi tahu tujuannya, tetapi dengan nada berbisik. Lirih hingga tidak terdengar sedikit pun, bahkan Winarno.

 Setelah Bapak berbisik Mbah Lasiem  menganggukkan kepalanya. Cekatan Mbah Lasiem  memeriksa wadah terbungkus taplak meja batik yang diulurkan oleh Bapak. Kemudian  Mbah Lasiem berdiri lalu beranjak. Kembali membuat mata Winarno menyalang.

"Kenapa kamu ini,  Win? Tegang  sekali wajahmu." Bapak protes.

Winarno hanya mematung dalam kebisuan. Dia seperti berada di tempat uji nyali.  Benar-benar pengalaman yang  cukup memacu adrenalinnya. 

Selang beberapa saat kemudian, Mbah Lasiem kembali dengan membawa bara api di atas wadah tanah liat. Kemudian di taruhannya di atas meja kayu tepat berada di  hadapan Bapak dan Winarno.

Mata Winarno enggan berkedip walau sedetik. Sementara bapak tampak enjoy. Asap  mengepul sesaat setelah Mbah Lasiem menabur serbuk kemenyan di atas bara api yang kian  menyala memerah darah. Menjilati rakus serbuk magis itu. 

Mbah Lasiem meraih satu bungkus  dupa dari wadah bawaan Bapak, kemudian  menyalakannya. Sesaat setelah itu mengangkat tinggi  sejajar kepala. Mulutnya komat-kamit sesekali matanya mendelik menatap wajah tampan Winarno penuh telisik. Entah apa yang ada dalam benak perempuan tua itu. 

Japu Mantra kejawen lirih keluar dari bibir Mbah Lasiem. “Hom wilaheng, hom wilaheng!” Berulang dia membacanya.

Begitu sakral hingga seakan membawa raga Bapak dan Winarno pergi ke alam berbeda. Bapak mencuri pandang pada Winarno dia tahu bahwa anaknya sedang bergelut dengan iman-Nya. 

"Pak—“ Suara Winarno lirih. Sepertinya dia kaget saat melihat dua kornea mata Mbah Lasiem mendelik membulat berubah putih bersih. Menatap tajam padanya.

Bapak geming, kemudian memberi isyarat dengan satu telunjuk. Sontak membuat Winarno mengunci rapat mulutnya. Tiba-tiba saja tubuh Mbah Lasiem seperti dibentur oleh sesuatu. Sekelebat bayangan hitam tadi berusaha masuk ke dalam raga Mbah Lasiem, tanpa terlihat oleh mata telanjang.

Japu Mantra terus dia rapal walau dengan tubuh bergetar. Jemari Mbah Lasiem masih menangkup tinggi sejajar kepala. Dupa tampak tinggal separuh. Pemandangan itu Membuat jantung Winarno seakan-akan sudah tidak ada lagi tergantung dalam dadanya.

Tubuh renta Mbah Lasiem tersentak! Asap hitam yang menyerupai sosok makhluk, sudah masuk ke dalam raga sepenuhnya. Sontak membuat bola matanya mendelik, tampak kornea matanya berubah warna, kian merah menyerupai warna darah. Selang beberapa saat kemudian Mbah Lasiem berdiri. Tanpa titah bapak mengikuti langkahnya ke luar. Winarno spontan mengikuti. 

Keduanya berjalan beriringan, tepat di belakang Mbah Lasiem. Sepanjang jalan berhamburan dedaunan kering. Kicau burung bersahutan, udaranya sejuk. Sepertinya mereka kembali ke dunia nyata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status