Riasanya Winarno sangat ingin bertanya, akan ke mana arah jalan setapak itu menuju? Tetapi, dia sudah di beri tahu tadi oleh Bapak. “
“Jangan berbicara atau bertanya sepatah kata pun jika tidak diberi titah oleh Mbah Lasiem.”
Keduanya terus berjalan, jantung Winarno kembali berdegup saat tiba-tiba saja! Mbah Lasiem menghentikan langkah! Tepat di dekat sebuah dinding batu nan kokoh. Dinding itu seperti tiba-tiba saja muncul di depan mata telanjang.
Terlihat dari warnanya, batu kokoh itu sudah berusia ratusan tahun. Tampak berserakan takir yang sudah mengering di antara serakkan daun-daun gugur. Sepertinya sebelumnya sudah banyak orang yang datang, bahkan mungkin ribuan.
Mbah Lasiem duduk bersimpuh. Bapak tergesa membuka wadah sesaji yang sedari tadi dia bawa. Mbah Lasiem mengambil satu bungkus dupa. Bapak mematik macis tanpa titah, membuat dupa yang digenggam Mbah Lasiem terbakar. Kemudian Mbah Lasiem menancapkan dupa ke perut bumi, tepat di depan dinding kokoh.
Cekatan Bapak mengambilkan takir(wadah dari daun pisang) kemudian memberikan kepada Mbah Lasiem. Tanpa bicara perempuan tua itu mengambil satu putik kembang kantil. Bapak membuka tutup botol air mineral ukuran mini dan menaruh di samping Mbah Lasiem.
Hening hanya suara kicau burung bersahutan, memecah keheningan hutan. Mbah Lasiem menuang air ke dalam wadah alumunium yang memang sudah ada sejak lama di sana. Sebagai media peralatan sesaji.
Mbah Lasiem mengangkat kedua tangannya selang beberapa menit. kemudian dia menangkup jemarinya ke atas sejajar pucuk kepala. Sudah terselip di antara ujung celah jemarinya kembang kantil tadi.
Japu mantra kejawen keluar dari bibirnya lagi. “Heng wilaheng .... Heng wilaheng langgeng sekar jagat.” Sangat lirih nun magis begitu sakral, menghipnotis masuk membius lupa indra pendengaran.
Bapak dan Winarno setia duduk bersila di atas dedaunan kering tepat di belakang Mbah Lasiem. Tersirat gurat tegang wajah Winarno. Berulang kali dia menarik napas panjang.
Sebenarnya Mbah Lasiem bukanlah seorang Pekuncen. Akan tetapi, setelah kematian Mbah Karso, juru kunci yang namanya tersohor seantero tanah Jawa. Membuat Mbah Lasiem harus mengambil alih posisi suaminya itu. Karena mereka tidak memiliki keturunan.
Banyak klien yang sudah menjadi pelanggan tetap suami Mbah Lasiem, mereka harus datang kembali menyambung tali silaturahmi. Membawa anak keturunan sebagai penerus. Seperti yang dilakukan oleh Haji Karsan.
Lumayan lama Mbah Lasiem melakukan ritual. Tanpa sepengetahuan mata telanjang, dinding batu kokoh itu kini tidak tampak lagi di depan sana, berganti pintu raksasa membentang!
Sementara Winarno dan Bapak masih belum bisa melihat itu. Mbah Lasiem memalingkan wajahnya. Kemudian tangannya memercikkan air dari kembang kantil ke wajah keduanya hingga mengenai kornea mata. Dalam hitungan detik Bapak sudah bisa bernapas lega. Dia sudah melihat pintu gua yang dulu di datanginya. Senyum pria bertubuh gempal itu mengembang.
Berbeda dengan Winarno. Dia nyaris saja berdiri dan berlari saat matanya menatap sekeliling dan gerbang gua raksasa. Winarno baru menyadari bila kiri dan kanannya di apit hutan belantara. Setahunya tadi dia sedang menyusuri jalan setapak sebuah desa. Kembali membuat mata Winarno mendelik saat sadar dia duduk di depan pintu gua raksasa, menganga itu.
Mbah Lasiem bangkit, beliau berjalan tertatih masih setia memegangi tongkatnya. Bapak mengikuti langkahnya, pun Winarno. Mereka masuk ke dalam gua.
Mata Winarno menyalang, menatap penuh selidik dinding gua yang kokoh berhias stalaktit runcing ke bawah. Gemercik suara air jatuh dari langit dari stalaktit-stalaktit berwarna mutiara, airnya begitu jernih terasa dingin saat berulang kali menyentuh kulit Winarno. Hingga membuat hoodie putih yang dikenakannya basah.
Begitu juga dengan Bapak. Dia berulang kali membenahi peci putih miliknya. Rupanya tetesan jernih ujung stalaktit itu menembus hingga kepalanya yang plontos basah. Kehadiran ketiganya mengusik kawanan kelelawar. Hewan itu terbang ke luar. Aroma gua begitu harum dominan aroma melati, menguar.
Fisik Mbah Lasiem masih kuat, dia begitu lincah. Kini tubuh bungkuk Mbah Lasiem sudah berada di atas sebuah batu, berbentuk datar dan lebar, di ikuti oleh Bapak dan Winarno. Terlihat di depan sana ada batu kokoh yang lebih mirip singgasana. Kiri dan kanan berhias stalagmit runcing ke atas laksana penjaga. Ketiganya sekarang sudah duduk bersila di atas batu yang sama.
Mbah Lasiem kembali menangkup tangan, mulutnya komat-kamit. Sementara Bapak memberikan isyarat pada Winarno agar mengikutinya menangkup tangan seperti yang dilakukan oleh Mbah Lasiem. Seraya memejamkan mata.
Selang beberapa waktu seorang wanita cantik sudah duduk di atas singgasana emas, beserta para penjaga. Dia begitu cantik, sempurna, membuat Winarno menelan saliva, sesaat setelah membuka mata. Winarno tidak pernah sekalipun melihat wanita secantik itu, sepanjang hidupnya. Bapak melirik melihat ekspresi wajah Winarno yang mendadak sangat bernafsu.
Kekeh tawa khas Mbah Lasiem kembali menggelegar nyaring. Membuat kelelawar hitam penghuni gua terbang tunggang langgang menjauhi gua, untuk sementara pergi.
"Maafkan abdimu ini, Nyai ratu!" Mbah Lasiem membuka percakapan seraya terkekeh. Memamerkan deretan gigi hitam kecokelatan miliknya.
Nyai ratu tersenyum, bahagia sekali. Bola mata nun indah itu menatap tajam wajah tampan Winarno. Sontak membuat jantung dan pikiran pria mana pun akan bermanuver. Sementara Bapak tidak berani mengangkat wajahnya, semenjak kedatangan Nyai Ratu.
"Aku senang atas kehadiranmu, Mbok Lasiem! Kau adalah abdiku yang terbaik." Suara Nyai Ratu lirih, begitu mendamaikan dan membangkitkan gairah.
"Hehehehe! Hehehehe! Saya datang membawa kabar gembira, Ratu." Mbah Lasiem menjawab.
"Ba---ik, katakan saja."
"Anak muda ini, dia ingin meneruskan perjanjian orang tuanya. Dia meminta bantuan, campur tangan darimu agar menjadi orang kaya raya." Setelah menjelaskan, kembali Mbah Lasiem terkekeh.
Beberapa saat kemudian, Nyai Ratu memberi isyarat agar Mbah Lasiem dan Bapak untuk keluar segera. Kini hanya Winarno dan Nyai Ratu.
Wanita cantik sempurna itu tersenyum. Dia menatap tajam bola mata Winarno. Tanpa disadari kejanggalan terjadi. Winarno seperti terkena japu mantra sihir. Saat satu telunjuk mengarah padanya. Ratu memberikan isyarat agar Winarno mendekat.
Winarno bangkit dan berjalan mengikuti langkah Ratu. Selendang warna hijau itu menjuntai menyapu lantai batu mengkilap bak kaca. Mereka menuju ke sebuah kamar pribadi milik, Nyai Ratu.
Sepanjang jalan masuk menuju kamar, deretan para Emban dan Dayang-dayang duduk bersimpuh menunduk kepala, bukti tanda hormat.
*Tujuh belas tahun kemudian.Malam itu kembali keduanya memadu kasih, libido wanita ayu itu membuncah. Jemarinya mengusap lembut rahang kekar Winarno, dengan rakus Rahayu mencecap leher kokoh dengan deretan bulu halus menghias. Tangan Winarno bergerak lincah, bermain sesuka hatinya ke segala penjuru.Rahayu sedikit menjauhkan tubuh Winarno, berat hati pria dengan sorot mata tajam melepaskan pelukannya, seraya mendesis, "Sayang ...." Rahayu berjalan ke sudut ruang, kaki jenjang tanpa alas kaki dan tubuh tanpa sehelai benang pun berjalan di bawah temaram redup bohlam kamar. Sesampainya, jemari Rahayu menyalakan VCD player. Lagu milik Mariah Carey terdengar lirih . Akan tetapi, cukup meredam desahan keduanya tidak terdengar dari luar kamar. "Sudah tidak sabar, ya ...." Rahayu menggoda. Tiada jawaban, Winarno hanya menyeringai, lalu meraih tubuh Rahayu secara kasar dan menjatuhkan di atas ranjang empuk. "Sayang ...." "Mas ....""Rahayu, Sayang----" "Oh,
“Dung, ya Tuhanku.” Rahayu membatin seraya menengok ke arah bawah.Untung saja tiada yang mengetahuinya, secepatnya Rahayu meninggalkan tempat itu. Cekatan bahkan nyaris berlari dia menuju anak tangga, menuruni tergesa. Suasana hening, memang terasa berbeda. Seperti ada khodam menjadi penghuni toko elektronik itu.Rahayu sejenak berdiri di depan pintu kamar, dia menarik napas dalam-dalam lalu membuka pintu dengan sangat hati-hati. Sesampainya di dalam Rahayu kemudian masuk dan merebahkan diri seperti tidak terjadi apa-apa. Namun, tetap saja ada yang mengganjal Rahayu membenamkan wajahnya dalam dada Winarno, mencoba mengusir rasa takutnya.Cukup lama mata Rahayu enggan terpejam, otaknya masih mengingat jelas apa yang dilihat tadi. Deretan sesaji dan ranjang berselimut beludru lantai bak ret karpet yang akan menyambut Nyai Ratu dan pasangannya. Pemandangan itu terus saja berkutat menjejal otak, enggan lenyap."Mas ...!" Rahayu mencoba mengus
Rahayu membuang napas, apalah daya dia tidak berani mengusik apa pun itu. Dengan hati diliputi rasa campur aduk dia kembali menutup pintu kamar dari dalam. Belum juga dia membalikkan badannya, pelukan Winarno menyambutnya hangat."Aduh, Mas!""Rah ....”"Mengagetkan tahu, gak!?""Maafkan, suprise bukan?""Iya, sih. Tapi ....""Apa, Sayang?""Kenapa harus gelap-gelapan, sih?""Kan suprise, Sayang.""Berarti kalau gelap gak—""Iya, mana bisa lama jika terang, iya enggak?""Hemmm...."Keduanya saling bertukar tanya jawab masih dengan posisi berdiri dan tubuh Rahayu tersandar di daun pintu akibat impitan tubuh kekar Winarno. Napas Winarno memburu jemarinya mulai nakal menggerayangi. Rahayu sesekali menggeliat, pikiran tadi sudah lenyap dari otaknya. Terbayar oleh belaian cinta suaminya.Winarno membopong tubuh Rahayu menuju pembaringan. Dengan mesra Rahayu bergelayut di leher kekar milik suaminya. Seperti biasa
# Kejanggalan❤️Bapak dan Ibu sudah terlebih dahulu sampai di toko. Mereka sudah berada di dalam, tentu saja keduanya bisa masuk karena kunci duplikat. Ibu terlihat antusias menyambut kedatangan Winarno beserta keluarganya. Saat mobil pick up biru tiba. Sudah lumayan lama perempuan tua itu tidak bertemu dengan cucunya, bahagia menyelimuti hatinya seiring senyuman meluas sempurna saat kedua bocah lelaki itu masih mengenalinya."Eyang!"Keduanya berteriak dari jendela mobil, sesat kemudian tergesa membuka pintu mobil lalu berhamburan keluar."Oalah, cucuku. Arya .... " Ibu menyambut seraya melebarkan kedua tangannya."Eyang ...."Ibu terlihat bingung seraya mengusap wajah kedua bocah lelaki yang terlihat laksana pinang dibelah dua. Wajahnya tampan, mirip Winarno, dengan rambut bergelombang menghias."Ini, yang Arya mana? Wiguna mana?" tanya Ibu sambil menggandeng tangan keduanya masuk."Aku, Arya Kusuma, Eyang!""Aku, Wiguna Kus
#Pindah ke Toko Hari ini Winarno tidak pergi lagi, berhubung semua sudah finis. Malam di lewati bersama keluarga kecilnya. Kenangan tinggal di rumah jauh dari kata layak akan segera berakhir. Tinggal menghitung jam.Keempatnya duduk di tempat favorit, satu-satunya. Mereka menonton televisi, Rahayu dan Winarno menemani kedua jagoannya hingga akhirnya film animasi kesukaan mereka usai.“Ayo, ayo! Semua masuk ke kamar. Cepat tidur besok kita sudah pindah!” Rahayu memberikan titah.“Horeee! Horeee! Besok, Bunda?” Celoteh anaknya bertanya dengan polosnya.“He-emm, iya, besok!”“Asyik! Kita akan pindah!” Dua bocah itu berkelakar penuh bahagia seraya masuk ke kamar. Tingkah polos itu mengundang senyum di sudut bibir Rahayu.Sementara Winarno asyik dengan sebatang rokok di celah jemarinya. Menyaksikan keluarga kecilnya yang begitu antusias. Ada bangga dalam benaknya, bisa kembali memberikan fasilitas layak untuk anak-anak. Winarno mengambil gelas kopi, kemudi
#Nafkah Batin NyaiDasimah.Winarno meluaskan senyum, sesekali meraba rahang kokoh miliknya, kemudian mengusap bulu-bulu halus yang tumbuh di area itu, walau sudah coba bersikap biasa, bayangan Nyai Dasimah mengambil separuh hatinya. Permainan ranjang yang sangat luar biasa, dia tidak pernah sekalipun merasakan hal seperti itu selama berhubungan intim dengan Istrinya.***"Win, kamu jangan pulang malam, ini!" teriak Bapak dari lantai dasar, ruko miliknya. Beliau mengingatkan."Iya!" Winarno menjawab singkat seraya menuruni anak tangga, setelah mengunci pintu kamar atas.Keduanya berjalan beriringan keluar, Winarno mengantarkan kepergian Bapak untuk pulang. Seharian beliau memantau anaknya menata barang hingga selesai. Winarno menemani hingga pelataran yang sepi karena hujan rintik-rintik, perlahan mobil putih meninggalkan dirinya seorang di toko berlantai dua dengan sentuhan kesan elegan, minimalis.Toko elektronik sekaligus menjadi huniann