Share

CHAPTER 3

Author: Ri
last update Last Updated: 2021-06-21 11:27:23

       Sepagi ini Lisa telah tiba di peron terminal. Tadi malam, Sarita banyak bercerita tentang isu pergantian beberapa staf pemegang brand. Dalam isu tersebut, nama Lisa termasuk yang akan memegang brand terbaru. Itu artinya kinerjanya mendapat hasil yang baik, dan diberi kepercayaan menangani produk yang pertama kali akan dijual di Indonesia. Isu itu membuatnya sulit tidur. Awalnya ia hanya  mendengar bahwa perusahaannya akan menjual beberapa brand baru, namun kabar tentang staf yang akan memegang produk baru tersebut tak pernah ia dengar sebelumnya.

       “Kalau isu itu benar, kita akan berpisah. Jangan lupakan aku, ya.”

       Lisa tertawa. 

       “Itu baru isu. Aku belum dipanggil oleh Bu Tari.”

       “Semoga benar, Lis.”

       Dan pagi ini, Lisa duduk di pojokan peron, memerhatikan orang-orang yang lalu lalang sambil menunggu. Ada seorang ibu dengan anak lelaki berusia kira-kira tiga tahun. Terlihat ia kelelahan mengejar anaknya yang begitu aktif, penuh rasa ingin tahu. Sempat anak tersebut mendekati Lisa sambil tertawa-tawa lalu kembali berlari. Peron seperti tempat bermainnya. Sedang sang ibu dengan sabar mengejar. Hingga bus tujuannya tiba, sang ibu menggendong anaknya dan masuk ke dalam badan bus. 

       Lisa mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk peron. Gadis berpakaian modis itu juga telah tiba. Kali ini ia mengenakan kemeja putih, celana panjang abu-abu dan blazer dengan warna sama. Tote  bag warna peach di pergelangan kiri, berikut sepatu berwarna senada dengan tas. Wajahnya cerah, sapuan blush pink muda menambah fresh wajahnya. Dengan cepat ia menulis, ‘Tote bag milik gadis modis itu cantik. Seleranya bagus. Sampai sekarang aku menyukai pilihan tas yang dikenakannya. Sayangnya, meski aku pun menyukai keseluruhan penampilan gadis itu, aku masih belum bisa berhigh heel di dalam bus. Bagaimana jika aku keserimpet karena buru-buru masuk ke dalam bus dan terjatuh? Ah, tak mampu membayangkan.’

       Lisa menggelengkan kepala. Sepertinya cukup high heel ia kenakan di kantor saja. Di kantor, ia menyediakan dua pasang sepatu. Satu berwarna hitam, satu lagi berwarna krem. Keduanya setinggi lima senti. Ia mengenakannya saat meeting, bertemu klien atau menemani Bu Tari ke toko. Tapi kalau tak ada meeting atau keluar kantor, ia lebih suka mengenakan sepatu tanpa hak.

       Lisa bangkit dari duduk lalu berdiri memandang keluar peron. Orang-orang sudah banyak berdatangan, memasuki terminal dan mengantri untuk masuk peron. Sebentar lagi ia akan menaiki  bus tujuannya. Namun, matanya tertuju pada seseorang yang berjalan santai menuju peron. The bastard! Ia berjalan pelan dengan langkah lebar. Seperti kemarin-kemarin. Wajahnya muram, dingin dan tanpa ekspresi. Sedikit kepulan asap keluar dari mulutnya. Penampilan yang tak jauh berbeda dari yang sudah-sudah. Kali ini ia mengenakan jeans hitam dan kemeja hitam yang licin, minim kerutan. Tanda disetrika dengan sempurna. Lisa mengapresiasi pakaian lelaki itu, lalu timbul penasaran, apakah ia juga…hmmm…wangi parfum. Atau, dominan bau asap rokok. Mata Lisa mengikuti arah jalan lelaki itu. Hingga di depan pintu peron, lelaki itu masuk. Lisa pun mengeluarkan buku tulis, ‘Dia membuatku penasaran, sewangi apa, ya? Mungkin aku bisa menebak parfum apa yang ia pakai. Baiklah, tantangan berikut: melewati the bastard.’

       Lisa bersiap-siap. Bus yang akan dinaiki sedang mengantri. Masih ada waktu, pikir Lisa. Jadi dia bisa pura-pura mendekati lelaki itu. Pelan gadis itu berjalan menuju tempat the bastard berdiri. Jaraknya agak jauh dari tempat bus tujuan Lisa, tapi tak apa. Setidaknya lelaki itu berdiri di tempat para pengantri. Sedikit lagi gadis itu mendekat. Sekitar dua meter jarak mereka berdua, Lisa mempercepat langkah, namun lelaki itu malah menjauh, memberi jarak pada Lisa. Mungkin lelaki itu mengira Lisa akan mengantri. Dan tepat di saat itu bus tujuannya tiba. Lisa menghela nafas pendek. Waktunya berangkat. Setengah kecewa, Lisa memasuki badan bus. 

                              ***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BASTARD IN THE BUS   CHAPTER 41

    Akhir-akhir ini Lisa merasa kurang fit. Entah bagaimana ia merasa pusing tanpa sebab. Ia akui, selama tak lagi bersama Didit, pola makannya jadi tidak teratur, lebih banyak di kantor untuk menyibukkan diri. Sebenarnya Pak Benny telah menegur dirinya untuk tidak sering pulang terlambat. “Saya tak ingin kamu sakit, Lisa. Kita harus mengejar target sampai akhir tahun dan saya butuh kamu dan yang lain untuk fit. Lagi pula, manajemen bisa menganggap kamu tak mampu menyelesaikankan pekerjaan sesuai jam kerja.” Baiklah. Gadis itu tak punya pilihan lain. Sepuluh menit sebelum pulang kantor, Lisa telah merapikan semua pekerjaan dan bersiap-siap ke toilet. Namun sebelum melangkah, androidnya berbunyi. Sarita pasti mengajaknya pulang bareng. "Halo." "Lisa, kamu sibuk ya?" Gadis itu tak lekas menjawab. Ah, Rio. Dia sudah kembali dari Singapura? "Lisa, aku sedang di lobi bawah sekarang dan menunggu kamu turun. Aku ingin kita bisa makan

  • BASTARD IN THE BUS   CHAPTER 40

    Yeah, mestinya Lisa tidak tenggelam begitu dalam hingga lupa jika kalung itu masih ia pakai. Salahnya sendiri karena menunda-nunda untuk mengembalikan kembali kalung itu ke tempatnya karena masih merindukan sosok Didit. Tapi, apakah kamu akan seperti Lisa, begitu berat akan kehilangan dan masih mengenang benda yang menjadi bukti ikatan mereka hingga berat untuk melepasnya? Lagi pula, hell yeah, kalung ini sangat cantik. Lisa mengangguk. "Ya, Didit memberikannya padaku." ujar Lisa pelan, seraya melepas kaitan kalung tersebut. Diambilnya kotak dari dalam tas dan meletakkan kembali perhiasan tersebut. "Aku kembalikan pada kamu, Mae. Aku tidak menginginkannya, begitu juga ini." Lisa mengeluarkan satu kotak kecil berisi cincin. "Aku yakin Didit belum beri tahu kamu, tapi kami sudah tak lag

  • BASTARD IN THE BUS   CHAPTER 39

    Android Lisa beberapa kali berdering. Nomor tak dikenal. Gadis itu hanya melihat sekilas lalu melanjutkan pekerjaannya mengecek stok barang dalam gudang kantor. Beberapa minggu ini pemesanan brand baru yang ia pegang semakin meningkat. Ini menjadikannya bertambah sibuk mengatur produk yang ingin didistribusikan berdasarkan pemesanan. Setidaknya pekerjaan ini mengalihkan pikirannya dari Didit. Lelaki itu tidak menghubunginya lagi sejak terakhir Pak Sapri mengantarnya ke kantor. Namun Lisa merasakan jika dirinya diikuti. Ada kekhawatiran Didit sudah kembali ke Jakarta dan menguntitnya. Atau bisa jadi bukan dia. Bisa saja orang yang dibayar untuk mengikutinya kemana pun ia pergi. Ah, semoga itu hanya perasaannya yang masih merasakan kesepian. Suara ketukan di pintu mengagetkannya. "Hei, Lisa. Sudah sore, kamu enggak siap-siap pulang?" "Sedikit

  • BASTARD IN THE BUS   CHAPTER 38

    Tatapan mata Lisa menerawang ke halaman dari balik jendela kamarnya yang berada di lantai atas. Halaman samping rumah kosnya terdapat parkiran kecil dengan beberapa kendaraan milik penghuni kos. Pukul enam pagi di hari Rabu. Beberapa kali Didit menelepon dan mengirim pesan, tapi tidak ia gubris. Tak ada telepon dari lelaki itu yang ia jawab. Bahkan ia menolak saat Pak Sapri menjemputnya. Sudah dua hari ini ia menerima tawaran Sarita untuk ikut berangkat kerja bareng. Sebenarnya ia enggan karena sering Sarita berangkat kerja bersama suaminya. Namun lebih baik dari pada harus diantar Pak Sapri. Tiga hari ini sangat berat. Lisa tak mengira ia jatuh begitu dalam. Mata bengkak sebagai pertanda sisa air mata berikut kurang tidur, sesuatu yang belum pernah terjadi selama ia menjalin hubungan dengan seorang lelaki, tidak juga dengan Rio. Hal ini cukup mengganggu ritme kerja. Ia jadi lebih suka berada dalam gudang, memeriksa barang sam

  • BASTARD IN THE BUS   CHAPTER 37

    Yang terlihat di depannya sekarang adalah satu kesempurnaan yang telah tuhan ciptakan. Wajahnya bersih bersinar, hidung bangir dengan mata indah berkelopak ditambah alis yang dibentuk alami oleh sang pencipta, tulang pipi menawan, dan bibirnya itu. Bibir Melissa begitu indah dan senyumnya bagai magnet, bahkan Lisa sesaat terpesona olehnya. Belum lagi postur tubuh perempuan yang berdiri tepat di depan Didit. Kulit putih dengan bentuk tubuh proporsional, begitu terawat. Tak ada yang kurang dari perempuan ini. Bahkan kedipan mata Melissa mampu menggoda setiap yang menatapnya. "Kamu belum mengembalikan kunci seperti yang kuminta." "Sudah, tapi aku hanya meminjam pada Mae. Ada barang-barangku yang masih tertinggal." Pandangan Melissa beralih pada Lisa. Dua pasang mata beradu, bertatapan tanpa senyum sama sekali. Oh, dia sungguh cantik, desis hati Lisa. &nbs

  • BASTARD IN THE BUS   CHAPTER 36

    Lisa duduk berhadapan dengan Sarita di sudut kafe dekat jendela, memegang secangkir besar moccachino. Sebenarnya, Lisa bukan pecinta kopi. Ia lebih menyukai teh dengan perasan jeruk, atau tanpa jeruk pun tak masalah. Rasa teh yang simpel menyimpan kesederhanaan dan tak rumit. DIsajikan hangat atau dingin, teh tetaplah teh. Simpel, sederhana, mudah. Tapi ia tak menolak jika harus berhadapan dengan kerumitan kopi, yang memiliki rasa lebih kaya dan sensasi yang diberikan. Demikian juga dirinya dan hidup yang sekarang ia jalani. Ia tak berpikir jika hubungannya dengan Didit sedemikian rumit. Mestinya simpel; mereka menjalin kasih, Didit melamar, lalu menikah. Layaknya teh, rasa ringan dan menenangkan. Kalaupun ada senggolan-senggolan, tentunya takkan serumit yang sekarang ia hadapi. Tapi, entah bagaimana, Lisa justru tak memiliki kekuatan untuk menjauh. Inikah cinta? “Hei, apa sekarang kit

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status