Rutinitas pagi yang sama. Lisa menekuri setiap pergerakan orang-orang di sekitar peron terminal. Duduk di pojok sambil memegang buku dan pensil berpenghapus di ujungnya. Wanita setengah baya yang sering terlihat berjalan sambil bicara lewat hand phone itu terlihat mondar mandir, tentu dengan ear phone di telinganya. Entah apa yang ia bicarakan hingga beberapa kali melewati bus yang menjadi tujuan tumpangannya. Dan seorang Bapak, dengan koran di tangan kiri. Sering memberikan senyum ramah pada Lisa. Bapak ini sepertinya pensiunan sebuah instansi, namun hampir setiap hari menggunakan bus. Wajahnya bersih, membawa tas kulit lusuh dan koran yang baru dibeli di pojokan peron. Baju batik yang rapih licin disetrika dan sepatu yang tak mengilat. Lisa pun sering memperhatikan seorang gadis yang usianya mungkin beberapa tahun lebih tua darinya. Memakai setelan jas dan rok selutut dengan sepatu high heel setinggi tiga senti menurut perkiraan Lisa. Wajahnya bermake up sempurna, sangat modis dan Lisa suka memperhatikannya. Lisa merasa tak bisa sepertinya. Entah bagaimana gadis itu bisa tahan dengan berdiri dalam bus mengenakan sepatu high heel.
Namun baru-baru ini, Lisa memperhatikan lelaki itu. Kali ini ia mengenakan celana jins dan kemeja biru gelap, berkaca mata hitam. Kemarin ia mengenakan celana jins dengan tshirt abu-abu dan jaket jins. Terlihat ia mengusap kantong kemeja sebelah kiri. Sepertinya di situlah ia meletakkan bungkus rokok. Day pack selalu bersandar di belakang punggungnya. Lisa melihat ke arah kaki dan sedikit tersenyum. Terlihat mahal, namun sepertinya sandal jepit bukanlah padanan yang pas. Lelaki itu seperti tahu jika diperhatikan. Ia melepas kaca mata hitam lalu menoleh ke arah Lisa. Gadis itu tak siap dengan serangan tatap darinya. Setengah kaget dan gugup, Lisa menunduk, dan menulis kalimat “Lelaki charming tapi bastard”. Wajahnya terlihat bersih, namun raut yang dingin membuat Lisa menjulukinya the bastard. Ia pun menulis, 'Bagaimana bisa ia bagaikan es dari kutub utara? Apa hanya ingin terlihat lebih keren? Mungkin ia mengalami pagi yang buruk. Yeah, sama sepertiku. Terkadang aku pun pernah mengalami, terutama saat melihat sale gila-gilaan di tanggal tanggung. Hahahah.' Jemari Lisa berhenti menulis, berharap lelaki itu sudah berlalu menaiki bus. Perlahan gadis itu mengangkat kepalanya. Ia masih di sana, menundukkan kepala dan matanya tertuju pada hand phone di tangan. Lisa memperhatikan raut yang dingin kaku. Sepagi ini bahkan wajahnya tak ceria. Mungkinkah karena beratnya hidup, atau betapa rumit pekerjannya, atau memang seperti itulah pribadinya. Entah. Kembali Lisa menulis di bukunya, 'Apa yang ia pikirkan, hingga tak sempat memberikan senyum pada pagi?' Lisa masih memandang raut itu. Seketika matanya membulat. Ada segaris senyum di bibir sang pemilik wajah dingin. Ah, tak sadarkah ia jika senyum itu membuat wajahnya lebih bersinar? Lisa tersenyum sendiri, lalu menulis, 'Senyumnya terlalu manis, hingga aku tak bisa berlama-lama memandangi, khawatir kena diabetes.' Bus yang biasa Lisa tumpangi telah tiba. Ia pun memasukkan bukunya ke dalam tas dan berdiri mengantri untuk masuk. Sebelum masuk ke dalam badan bus, ia sempat menengok ke arah posisi tempat lelaki itu berdiri. Ia sudah tidak di sana. ***Akhir-akhir ini Lisa merasa kurang fit. Entah bagaimana ia merasa pusing tanpa sebab. Ia akui, selama tak lagi bersama Didit, pola makannya jadi tidak teratur, lebih banyak di kantor untuk menyibukkan diri. Sebenarnya Pak Benny telah menegur dirinya untuk tidak sering pulang terlambat. “Saya tak ingin kamu sakit, Lisa. Kita harus mengejar target sampai akhir tahun dan saya butuh kamu dan yang lain untuk fit. Lagi pula, manajemen bisa menganggap kamu tak mampu menyelesaikankan pekerjaan sesuai jam kerja.” Baiklah. Gadis itu tak punya pilihan lain. Sepuluh menit sebelum pulang kantor, Lisa telah merapikan semua pekerjaan dan bersiap-siap ke toilet. Namun sebelum melangkah, androidnya berbunyi. Sarita pasti mengajaknya pulang bareng. "Halo." "Lisa, kamu sibuk ya?" Gadis itu tak lekas menjawab. Ah, Rio. Dia sudah kembali dari Singapura? "Lisa, aku sedang di lobi bawah sekarang dan menunggu kamu turun. Aku ingin kita bisa makan
Yeah, mestinya Lisa tidak tenggelam begitu dalam hingga lupa jika kalung itu masih ia pakai. Salahnya sendiri karena menunda-nunda untuk mengembalikan kembali kalung itu ke tempatnya karena masih merindukan sosok Didit. Tapi, apakah kamu akan seperti Lisa, begitu berat akan kehilangan dan masih mengenang benda yang menjadi bukti ikatan mereka hingga berat untuk melepasnya? Lagi pula, hell yeah, kalung ini sangat cantik. Lisa mengangguk. "Ya, Didit memberikannya padaku." ujar Lisa pelan, seraya melepas kaitan kalung tersebut. Diambilnya kotak dari dalam tas dan meletakkan kembali perhiasan tersebut. "Aku kembalikan pada kamu, Mae. Aku tidak menginginkannya, begitu juga ini." Lisa mengeluarkan satu kotak kecil berisi cincin. "Aku yakin Didit belum beri tahu kamu, tapi kami sudah tak lag
Android Lisa beberapa kali berdering. Nomor tak dikenal. Gadis itu hanya melihat sekilas lalu melanjutkan pekerjaannya mengecek stok barang dalam gudang kantor. Beberapa minggu ini pemesanan brand baru yang ia pegang semakin meningkat. Ini menjadikannya bertambah sibuk mengatur produk yang ingin didistribusikan berdasarkan pemesanan. Setidaknya pekerjaan ini mengalihkan pikirannya dari Didit. Lelaki itu tidak menghubunginya lagi sejak terakhir Pak Sapri mengantarnya ke kantor. Namun Lisa merasakan jika dirinya diikuti. Ada kekhawatiran Didit sudah kembali ke Jakarta dan menguntitnya. Atau bisa jadi bukan dia. Bisa saja orang yang dibayar untuk mengikutinya kemana pun ia pergi. Ah, semoga itu hanya perasaannya yang masih merasakan kesepian. Suara ketukan di pintu mengagetkannya. "Hei, Lisa. Sudah sore, kamu enggak siap-siap pulang?" "Sedikit
Tatapan mata Lisa menerawang ke halaman dari balik jendela kamarnya yang berada di lantai atas. Halaman samping rumah kosnya terdapat parkiran kecil dengan beberapa kendaraan milik penghuni kos. Pukul enam pagi di hari Rabu. Beberapa kali Didit menelepon dan mengirim pesan, tapi tidak ia gubris. Tak ada telepon dari lelaki itu yang ia jawab. Bahkan ia menolak saat Pak Sapri menjemputnya. Sudah dua hari ini ia menerima tawaran Sarita untuk ikut berangkat kerja bareng. Sebenarnya ia enggan karena sering Sarita berangkat kerja bersama suaminya. Namun lebih baik dari pada harus diantar Pak Sapri. Tiga hari ini sangat berat. Lisa tak mengira ia jatuh begitu dalam. Mata bengkak sebagai pertanda sisa air mata berikut kurang tidur, sesuatu yang belum pernah terjadi selama ia menjalin hubungan dengan seorang lelaki, tidak juga dengan Rio. Hal ini cukup mengganggu ritme kerja. Ia jadi lebih suka berada dalam gudang, memeriksa barang sam
Yang terlihat di depannya sekarang adalah satu kesempurnaan yang telah tuhan ciptakan. Wajahnya bersih bersinar, hidung bangir dengan mata indah berkelopak ditambah alis yang dibentuk alami oleh sang pencipta, tulang pipi menawan, dan bibirnya itu. Bibir Melissa begitu indah dan senyumnya bagai magnet, bahkan Lisa sesaat terpesona olehnya. Belum lagi postur tubuh perempuan yang berdiri tepat di depan Didit. Kulit putih dengan bentuk tubuh proporsional, begitu terawat. Tak ada yang kurang dari perempuan ini. Bahkan kedipan mata Melissa mampu menggoda setiap yang menatapnya. "Kamu belum mengembalikan kunci seperti yang kuminta." "Sudah, tapi aku hanya meminjam pada Mae. Ada barang-barangku yang masih tertinggal." Pandangan Melissa beralih pada Lisa. Dua pasang mata beradu, bertatapan tanpa senyum sama sekali. Oh, dia sungguh cantik, desis hati Lisa. &nbs
Lisa duduk berhadapan dengan Sarita di sudut kafe dekat jendela, memegang secangkir besar moccachino. Sebenarnya, Lisa bukan pecinta kopi. Ia lebih menyukai teh dengan perasan jeruk, atau tanpa jeruk pun tak masalah. Rasa teh yang simpel menyimpan kesederhanaan dan tak rumit. DIsajikan hangat atau dingin, teh tetaplah teh. Simpel, sederhana, mudah. Tapi ia tak menolak jika harus berhadapan dengan kerumitan kopi, yang memiliki rasa lebih kaya dan sensasi yang diberikan. Demikian juga dirinya dan hidup yang sekarang ia jalani. Ia tak berpikir jika hubungannya dengan Didit sedemikian rumit. Mestinya simpel; mereka menjalin kasih, Didit melamar, lalu menikah. Layaknya teh, rasa ringan dan menenangkan. Kalaupun ada senggolan-senggolan, tentunya takkan serumit yang sekarang ia hadapi. Tapi, entah bagaimana, Lisa justru tak memiliki kekuatan untuk menjauh. Inikah cinta? “Hei, apa sekarang kit