“Kamu kenapa, Dek, Kok mukanya kusut begitu?” tanya Mas Bayu saat aku sampai di rumah. “Enggak kenapa-kenapa, cuma capek saja,” sahutku sambil terus menuju kamar.Biasanya aku selalu membagi perasaanku dengan Mas Bayu. Baik suka maupun duka selalu kuceritakan padanya. Namun, entah mengapa kali ini rasanya enggan. Sesampainya di kamar, aku langsung menjatuhkan bobotku di atas ranjang, lalu menenggelamkan wajah pada bantal. Pikiranku gelisah. Takut jika Mas Bayu benar-benar selingkuh dengan Mbak Nilam. Beberapa waktu aku larut dalam lamunan, terdengar bunyi derit pintu yang terbuka diikuti derap langkah kaki mendekat ke arahku. “Sudah magrib, Dek. Bangun dulu,” ucap Mas Bayu sembari menggoyang-goyangkan pundakku.Aku yang memang tak sedang tidur, langsung bangkit karena merasa terganggu oleh kedatangannya. “Iya,” jawabku singkat. “Nanti habis salat kamu langsung masak ya. Aku sudah lapar,” pesannya. “iya,” sahutku lalu beranjak keluar kamar.Meski sebenarnya lagi malas masak, aku tetap mengiyakan ucapan Mas Bayu. Anggap saja ini bentuk bakti pada suami. Seusai makan malam, aku menyempatkan diri untuk sekedar berbincang dengan keluarga suamiku. Meskipun menaruh curiga pada mereka, aku tak ingin gegabah tanpa bukti. Takutnya malah dipermalukan kayak tadi sore. Tanpa terasa waktu sudah pukul sembilan malam, kami semua bubar ke kamar masing-masing. Melepas penat setelah seharian berkutat dengan kesibukan. “Kok masih melek, Dek? Lagi mikirin apa?” tanya Mas Bayu beberapa lama setelah kami berbaring di ranjang. “Enggak tahu, Mas. Rasanya mata ini susah terpejam,” sahutku. Selain sedang galau, aku juga tengah memikirkan rencana membuka toko kecil-kecilan. Dulu, sehabis menikah orang tuaku membeli ruko untukku. Namun, karena tak punya modal aku belum bisa mengisi toko itu. Itulah yang menjadi alasan Mas Bayu memintaku bekerja di kota. Uangnya selalu aku transfer padanya. Biar dia saja yang menyimpan hasil keringatku. Toh, itu juga buat masa depan kami. “Jangan terlalu banyak pikiran. Nanti sakit lo. Sudah buruan tidur,” desak Mas Bayu seolah tahu pikiranku. “Tapi aku belum ngantuk, Mas!” keluhku. Dalam sekejap Mas Bayu sudah bangun dari rebahan lalu mengambil selimut yang teronggok tak jauh dariku. Dengan telaten dia membentangkan benda itu untuk menutupi tubuhku. “Kamu harus tidur, Dek. Aku enggak mau kamu sakit,” ujar suamiku setengah memaksa kemudian kembali berbaring di sampingku.Sepintas semua terasa baik-baik saja, bahkan terkesan romantis. Namun, tidak di saat seperti ini. Aku justru melihatnya sebagai suatu keanehan.Bagaimana tidak? Dulu, sebelum pergi merantau, Mas Bayu sering sekali meminta jatah. Setidaknya dua malam sekali. Namun, setelah setahun tak bertemu, kenapa dia malah memintaku tidur? Aneh bukan? Sebisa mungkin aku menahan mata agar tidak terpejam meskipun sebenarnya tubuh telah lelah. Gelagat yang Mas Bayu tunjukkan membuatku semakin curiga. Jangan-jangan dia akan telepon Mbak Nilam atau perempuan lain. Beberapa lama terjaga, aku mencoba membangunkan Mas Bayu yang telah mendengkur halus. Dia tetap diam walaupun beberapa kali aku menggoyangkan tubuhnya. Setelah yakin Mas Bayu telah tertidur, hatiku merasa sedikit lega. Ternyata dia enggak akan macam-macam. Gegas kupejamkan mata ini, menanti mimpi membuaiku. **** Suara berisik dari arah dapur membuatku terjaga dari mimpi. Dengan mata setengah memejam aku meraba Mas Bayu yang tadi tidur di sampingku, tapi tak kutemukan dirinya. Kulirik sekilas jam di dinding yang baru menunjukkan pukul tiga. Gegas aku bangun lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tetap saja tak kutemukan dia di ruangan ini. Tanpa berpikir dua kali, aku langsung keluar kamar mencari keberadaan suamiku. Langkah kaki membawaku menuju dapur karena tadi aku mendengar suara berisik dari sana. Benar saja. Mas Bayu terlihat keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit tubuh bagian bawahnya. “Kamu habis mandi, Mas?” tanyaku keheranan. “Iya. Gerah banget,” jawab suamiku. “Gerah bagaimana?” tanyaku lagi. “Ya gerah. Cuacanya panas banget. Aku sampai keringetan,” Aku semakin bingung dengan jawaban Mas Bayu. Jelas-jelas hawanya dingin begini. Aku saja sampai kedinginan. Kok bisa dia bilang gerah banget? Perlahan aku mendekat lalu memindai tubuhnya. Kuamati dari ujung kaki sampai kepala, tapi tak melihat sesuatu yang mencurigakan. Hanya saja rambutnya terlihat basah.“Kamu kok lihatnya kayak gitu, Dek?” tanya Mas Bayu. “Kamu habis keramas?” tanyaku penuh selidik. “Iya. Kan sudah bilang kalau aku gerah banget,” sahutnya, “sudah yuk, balik ke kamar. Aku mau pakai baju,” Tanpa memedulikan aku yang masih keheranan, Mas Bayu berlalu begitu saja. Tak mau ketinggalan, Aku pun segera mengekori langkahnya yang telah lebih dulu menuju kamar.Sesampainya di kamar, aku kembali rebahan, sementara Mas Bayu langsung berpakaian lalu turut berbaring di sebelahku. Dalam beberapa menit saja, suara dengkuran halusnya sudah terdengar. Keesokan paginya, saat sedang menyapu teras, kulihat Mbak Nilam keluar rumah dengan rambut yang masih basah. Seketika aku teringat dengan Mas Bayu yang tadi juga habis keramas. “Tidak salah lagi. Mas Bayu pasti selingkuh dengan Mbak Nilam,” gumamku menahan perih. Tanpa pikir panjang aku melempar sapu yang sedari tadi kugenggam ke sembarang arah. Dengan hati diliputi amarah, aku langsung masuk mencari suamiku. Ingin segera kulampiaskan kemarahanku padanya. “Kamu selingkuh sama Mbak Nilam kan, Mas! Ayo mengaku!” teriakku dengan napas memburu.
“Kamu selingkuh sama Mbak Nilam kan, Mas! Ayo mengaku!” teriakku dengan napas memburu.Mas Bayu yang sedang meneguk kopi langsung tersedak mendengar teriakanku. Dia terlihat panik sebentar, tapi kemudian tenang kembali. “Kamu ngomong apa sih, Dek?” tanya suamiku dengan wajah seperti kebingungan.“Halah! Enggak usah pura-pura bodoh, Mas! Aku sudah punya bukti kalau kamu selingkuh sama Mbak Nilam,” seruku. “Kamu jahat, Mas!” tambahku sambil berusaha memukulinya dengan bantal yang tadi tergeletak di sampingnya. “Hei... kamu kenapa sih, Dek. Bukti apa?” tanya Mas Bayu sambil terus berusaha menghalau pukulanku yang bertubi.Sejenak, aku berhenti memukulinya. Dengan nafas terengah, aku menatap nyalang pada laki-laki yang telah menghalalkanku. “Jangan mengelak terus! Aku tidak bodoh, Mas! Tadi malam kamu mandi keramas kan! Mbak Nilam juga aku lihat rambutnya tadi b
“Dari mana saja kamu sih, Dek? Di tunggu dari tadi enggak pulang-pulang!” Belum juga aku naik ke teras, Mas Bayu langsung bersungut-sungut menyambutku. Dari intonasinya, jelas sekali dia tengah menahan kesal. “Kan aku sudah bilang mau cari angin,” sahutku sambil terus berjalan masuk rumah, tanpa memedulikan dia yang terus menggerutu di belakangku.“Mana makanannya, Mbak?” tanya Sarah saat aku sampai di ruang tengah. Aku menghentikan langkah, menatap bingung pada adik iparku yang tengah duduk memegang ponsel.“Makanan apa?” tanyaku bingung.“Ya makanan, Mbak. Dari tadi kami belum makan apa-apa!” keluh adik iparku. “Kan tadi pagi Ibu sudah bilang kamu di suruh beli makanan. Kok malah pulang tangan kosong,” timpal Mas Bayu dari arah belakang.Sejenak aku mengalihkan pandangan ke wajah Mas Bayu. Aku baru ingat ucapan ibu tadi pagi, tapi aku pikir mereka bisa mel
Sepeda motor yang aku kendarai melaju kencang membelah jalanan desa yang sepi akan pengendara. Meski terik menyengat, tak sedikit pun menyurutkan niat untuk pulang ke rumah orang tua. Selain rindu yang menggebu, aku juga ingin menenangkan pikiran. Barangkali di sana aku menemukan ide untuk membongkar perselingkuhan Mas Bayu. Setengah jam berkendara, akhirnya aku sampai di kediaman orang tuaku. Sebuah rumah model lama dengan dinding terbuat dari anyaman bambu. Pohon mangga yang rimbun tampak berdiri kokoh di halaman yang lumayan luas ini.Mataku menatap rindu pada rumah di hadapanku. Sekelebat bayangan masa kecil melintas begitu saja di kepala. Masa di mana aku tak pernah merasakan beban seberat ini. Orang tuaku tidak kaya, tapi juga tak dibilang miskin. Meski rumah terlihat sederhana, mereka memiliki beberapa petak sawah yang cukup untuk menghidupi kami. Ruko yang mereka beli untukku merupakan hasil dari menjual sebagian sawah.
Tanpa terasa hari sudah beranjak sore. Itu berarti sudah setengah hari aku berada di rumah ibu. Meski masih kangen, mau tak mau aku harus kembali ke rumah Mas Bayu. Jika aku menginap, bisa dipastikan ibu akan terus mencecarku karena datang sendirian. Setelah pamit, aku langsung meninggalkan rumah ibu. Di jalan, aku menyempatkan mampir ke ATM mengecek saldo Mas Bayu. Benar saja. Isinya kurang dari seratus ribu. Untung saja di ATM-ku masih ada beberapa ratus ribu. Cukuplah untuk makan seminggu. Selebihnya pikirkan nanti saja. Sesampainya di rumah, aku langsung masuk tanpa mengetuk pintu dulu. Waktu belum terlalu petang, jadi pintu belum dikunci. Ibu, Mas Bayu dan adiknya tampak sedang berkumpul di ruang keluarga saat aku lewat. Mereka duduk mengitari meja dengan mata menatap lekat ke arahku. Mencoba abai, aku tetap berlalu tanpa menyapa. “Duduk dulu, Dek. Ada yang mau ibu bicarakan,” ucap Mas Bayu sembari menep
BAYI TETANGA MIRIP SUAMIKUAku melajukan motor pelan tanpa tujuan yang pasti. Bingung juga sih. Kalau pulang ke rumah nanti ibu bakalan tahu masalah yang sedang aku hadapi.Saat tengah kebingungan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Gegas aku menghentikan motor lalu mengambil benda pipih dari tas lalu membukanya. “Bagaimana, Lin? Sudah bisa menangkap basah mereka?” Sebuah pesan dari Rere-sahabatku, terpampang jelas di layar ponsel. Ah. Kenapa aku tidak ke rumah Rere saja. Aku yakin dia bisa membantuku. “Nanti aku ceritakan,” Dengan cepat aku mengetik pesan lalu mengirimnya pada Rere. Setelah itu, aku langsung tancap gas, melajukan motor ke rumahnya. Aku langsung disambut hangat oleh sahabatku saat sampai di rumahnya. Dia memang tinggal sendiri. Rumah yang ia tinggali merupakan hasil jerih payahnya selama ini. Aku pun lantas bercerita mengenai apa y
Sesampainya di rumah, Rere mempersilakan Mas Angga di ruang tamu, sementara aku diajak ke kamarnya. Gegas aku mengekori sahabatku yang lebih dulu masuk kamar. Segera kuhempaskan tubuh di atas ranjang dengan mata memejam erat. Kedua tangan tertangkup pada wajah kusut yang terbebani masalah. Sekelebat bayangan masa indah bersama Mas Bayu tiba-tiba hadir mengganggu pikiranku. Dibalik tutur lembutnya, banyak sekali tersimpan kepalsuan. Aku pikir dia akan memberi bahagia untukku, ternyata luka yang ia torehkan.“Kamu yakin rencanamu akan berhasil?” Meski tak keras, kalimat yang diucapkan Rere berhasil membuyarkan lamunan. Gegas aku bangkit lalu menatap dia yang duduk di tepian ranjang. “Semoga saja, Re,” sahutku lirih,“Bagaimana jika nanti ternyata suamimu tak mendatangi Nilam? Apa kamu akan menepati janjimu pada Angga?” tanya Rere serius. Aku terdiam. Pikiranku kembali
“Ini apa?” tanyaku kemudian. Sepasang suami istri itu menatap lekat pada benda yang kupegang. Mas Angga mendekat lalu dengan cepat benda itu sudah berpindah tangan. Kualihkan pandangan pada laki-laki di sebelahku. Wajahnya merah padam dengan nafas terdengar memburu. Bunyi gemeletuk gigi yang saling beradu, mengisyaratkan bahwa dia tengah menyimpan murka. “Ini punya siapa, Ma!” teriak Mas Angga sembari menatap marah pada istrinya. Mbak Nilam terpaku memandang benda di tangan suaminya. Senyum kemenangan yang tadi terlihat di wajahnya, kini hilang terganti pias. Bibirnya bergerak tapi tak menghasilkan suara. “Ayo jawab!” bentak Mas Angga. “itu... itu bukan punyaku, Pa.” sahut Mbak Nilam tergagap. Tentu saja ini bukan kepunyaan dia. Benda ini kan untuk dipakai laki-laki. “Jangan bohong! Jelas-jelas ini ditemukan di sini. Siapa yang telah mengg
Aku melihat kemarahan pada diri Mas Angga, sesaat setelah dia menatap layar ponsel yang diberikan Rere. Sepasang mata itu melotot tajam pada Mas Bayu. “Dasar baj!ngan!” Tanpa aba-aba, Mas Angga langsung melayangkan kepalan tangan pada wajah suamiku. Tak mampu menghindar, pukulan itu mendarat tepat di wajah suamiku hingga darah kental meleleh dari sudut bibirnya. Mas Bayu mengaduh kesakitan. Ibu mertua terlihat panik. Berusaha melerai tapi urung. Dia hanya memegangi tubuh anaknya yang hampir terjatuh karena hantaman bogem mentah Mas Angga. Rasa penasaran memaksaku merebut ponsel dari tangan Mas Angga. Sepasang bola mataku terbelalak sempurna saat menyaksikan video di benda pipih ini. Mas Bayu tampak terburu-buru keluar dari pintu belakang rumah, sementara Mbak Nilam langsung menutup rapat pintu. Tangan suamiku memegang baju dan celana yang seharusnya dia pakai. Menjijikkan.