Share

BAB 4. RAMBUT BASAH

 

“Kamu kenapa, Dek, Kok mukanya kusut begitu?” tanya Mas Bayu saat aku sampai di rumah. 

“Enggak kenapa-kenapa, cuma capek saja,” sahutku sambil terus menuju kamar.

Biasanya aku selalu membagi perasaanku dengan Mas Bayu. Baik suka maupun duka selalu kuceritakan padanya. Namun, entah mengapa kali ini rasanya enggan. 

Sesampainya di kamar, aku langsung menjatuhkan bobotku di atas ranjang, lalu menenggelamkan wajah pada bantal. Pikiranku gelisah. Takut jika Mas Bayu benar-benar selingkuh dengan Mbak Nilam. 

Beberapa waktu aku larut dalam lamunan, terdengar bunyi derit pintu yang terbuka diikuti derap langkah kaki mendekat ke arahku. 

“Sudah magrib, Dek. Bangun dulu,” ucap Mas Bayu sembari menggoyang-goyangkan pundakku.

Aku yang memang tak sedang tidur, langsung bangkit karena merasa terganggu oleh kedatangannya. 

“Iya,” jawabku singkat. 

“Nanti habis salat kamu langsung masak ya. Aku sudah lapar,” pesannya. 

“iya,” sahutku lalu beranjak keluar kamar.

Meski sebenarnya lagi malas masak, aku tetap mengiyakan ucapan Mas Bayu. Anggap saja ini bentuk bakti pada suami. 

Seusai makan malam, aku menyempatkan diri untuk sekedar berbincang dengan keluarga suamiku. Meskipun menaruh curiga pada mereka, aku tak ingin gegabah tanpa bukti. Takutnya malah dipermalukan kayak tadi sore. 

Tanpa terasa waktu sudah pukul sembilan malam, kami semua bubar ke kamar masing-masing. Melepas penat setelah seharian berkutat dengan kesibukan. 

“Kok masih melek, Dek? Lagi mikirin apa?” tanya Mas Bayu beberapa lama setelah kami berbaring di ranjang. 

“Enggak tahu, Mas. Rasanya mata ini susah terpejam,” sahutku. 

Selain sedang galau, aku juga tengah memikirkan rencana membuka toko kecil-kecilan. Dulu, sehabis menikah orang tuaku membeli ruko untukku. Namun, karena tak punya modal aku belum bisa mengisi toko itu. 

Itulah yang menjadi alasan Mas Bayu memintaku bekerja di kota. Uangnya selalu aku transfer padanya. Biar dia saja yang menyimpan hasil keringatku. Toh, itu juga buat masa depan kami. 

“Jangan terlalu banyak pikiran. Nanti sakit lo. Sudah buruan tidur,” desak Mas Bayu seolah tahu pikiranku. 

“Tapi aku belum ngantuk, Mas!” keluhku. 

Dalam sekejap Mas Bayu sudah bangun dari rebahan lalu mengambil selimut yang teronggok tak jauh dariku. Dengan telaten dia membentangkan benda itu untuk menutupi tubuhku. 

“Kamu harus tidur, Dek. Aku enggak mau kamu sakit,” ujar suamiku setengah memaksa kemudian kembali berbaring di sampingku.

Sepintas semua terasa baik-baik saja, bahkan terkesan romantis. Namun, tidak di saat seperti ini. Aku justru melihatnya sebagai suatu keanehan.

Bagaimana tidak? Dulu, sebelum pergi merantau, Mas Bayu sering sekali meminta jatah. Setidaknya dua malam sekali. Namun, setelah setahun tak bertemu, kenapa dia malah memintaku tidur? Aneh bukan? 

Sebisa mungkin aku menahan mata agar tidak terpejam meskipun sebenarnya tubuh telah lelah. Gelagat yang Mas Bayu tunjukkan membuatku semakin curiga. Jangan-jangan dia akan telepon Mbak Nilam atau perempuan lain. 

Beberapa lama terjaga, aku mencoba membangunkan Mas Bayu yang telah mendengkur halus. Dia tetap diam walaupun beberapa kali aku menggoyangkan tubuhnya. 

Setelah yakin Mas Bayu telah tertidur, hatiku merasa sedikit lega. Ternyata dia enggak akan macam-macam. Gegas kupejamkan mata ini, menanti mimpi membuaiku. 

**** 

Suara berisik dari arah dapur membuatku terjaga dari mimpi. Dengan mata setengah memejam aku meraba Mas Bayu yang tadi tidur di sampingku, tapi tak kutemukan dirinya. Kulirik sekilas jam di dinding yang baru menunjukkan pukul tiga.  Gegas aku bangun lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tetap saja tak kutemukan dia di ruangan ini. 

Tanpa berpikir dua kali, aku langsung keluar kamar mencari keberadaan suamiku. Langkah kaki membawaku menuju dapur karena tadi aku mendengar suara berisik dari sana. Benar saja. Mas Bayu terlihat keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit tubuh bagian bawahnya. 

“Kamu habis mandi, Mas?” tanyaku keheranan. 

“Iya. Gerah banget,” jawab suamiku. 

“Gerah bagaimana?” tanyaku lagi. 

“Ya gerah. Cuacanya panas banget. Aku sampai keringetan,” 

Aku semakin bingung dengan jawaban Mas Bayu. Jelas-jelas hawanya dingin begini. Aku saja sampai kedinginan. Kok bisa dia bilang gerah banget? 

Perlahan aku mendekat lalu memindai tubuhnya. Kuamati dari ujung kaki sampai kepala, tapi tak melihat sesuatu yang mencurigakan. Hanya saja rambutnya terlihat basah.

“Kamu kok lihatnya kayak gitu, Dek?” tanya Mas Bayu. 

“Kamu habis keramas?” tanyaku penuh selidik. 

“Iya. Kan  sudah bilang kalau aku gerah banget,” sahutnya, “sudah yuk, balik ke kamar. Aku mau pakai baju,” 

Tanpa memedulikan aku yang masih keheranan, Mas Bayu berlalu begitu saja. Tak mau ketinggalan, Aku pun segera mengekori langkahnya yang telah lebih dulu menuju kamar.

Sesampainya di kamar, aku kembali rebahan, sementara Mas Bayu langsung berpakaian lalu turut berbaring di sebelahku. Dalam beberapa menit saja, suara dengkuran halusnya sudah terdengar. 

 

Keesokan paginya, saat sedang menyapu teras, kulihat Mbak Nilam keluar rumah dengan rambut yang masih basah. Seketika aku teringat dengan Mas Bayu yang tadi juga habis keramas. 

“Tidak salah lagi. Mas Bayu pasti selingkuh dengan Mbak Nilam,” gumamku menahan perih. 

Tanpa pikir panjang aku melempar sapu yang sedari tadi kugenggam ke sembarang arah. Dengan hati diliputi amarah, aku langsung masuk mencari suamiku. Ingin segera kulampiaskan kemarahanku padanya. 

“Kamu selingkuh sama Mbak Nilam kan, Mas! Ayo mengaku!” teriakku dengan napas memburu.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Fachry Pamungkas
ceritanya bagus, bikin pembacanya ikut tersulut emosi karna lakinya minta sang istri untuk bekerja di kota!
goodnovel comment avatar
Cici Asnati
selidiki dulu, jangan asal tuduh harusnya sih
goodnovel comment avatar
ARLAN DJAAFAR
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status