Share

BAB 5. GEGABAH

“Kamu selingkuh sama Mbak Nilam kan, Mas! Ayo mengaku!” teriakku dengan napas memburu.

Mas Bayu yang sedang meneguk kopi langsung tersedak mendengar teriakanku. Dia terlihat panik sebentar, tapi kemudian tenang kembali. 

“Kamu ngomong apa sih, Dek?” tanya suamiku dengan wajah seperti kebingungan.

“Halah! Enggak usah pura-pura bodoh, Mas! Aku sudah punya bukti kalau kamu selingkuh sama Mbak Nilam,” seruku. 

“Kamu jahat, Mas!” tambahku sambil berusaha memukulinya dengan bantal yang tadi tergeletak di sampingnya. 

“Hei... kamu kenapa sih, Dek. Bukti apa?” tanya Mas Bayu sambil terus berusaha menghalau pukulanku yang bertubi.

Sejenak, aku berhenti memukulinya. Dengan nafas terengah, aku menatap nyalang pada laki-laki yang telah menghalalkanku. 

“Jangan mengelak terus! Aku tidak bodoh, Mas! Tadi malam kamu mandi keramas kan! Mbak Nilam juga aku lihat rambutnya tadi basah. Pasti kalian selingkuh saat aku sedang tertidur kan? Ayo mengaku!”  bentakku. 

“Ada apa sih pagi-pagi sudah ribut? Kayak anak kecil saja!” gerutu ibu dari arah kamarnya. Aku melirik sekilas padanya yang tengah mendekat ke arah kami. 

“Mas Bayu selingkuh sama Mbak Nilam, Bu,” sahutku sambil menatap marah pada laki-laki di hadapanku.

“Astaghfirulloh. Kalau ngomong itu jangan asal, Lin. Jatuhnya nanti fitnah,” ucap Ibu terdengar bijak. 

“Aku enggak asal kok. Tadi malam aku lihat Mas Bayu Mandi keramas. Tadi juga aku lihat Mbak Nilam rambutnya basah. Status W*-nya juga menjurus ke situ. Belum lagi anaknya Mbak Nilam sangat mirip sama Mas Bayu. Apa masih belum cukup bukti?” jelasku pada ibu.

Seketika wajah ibu berubah tegang. Dia hanya diam tak menyangkal ucapanku. Berbeda dengan Mas Bayu yang terlihat biasa-biasa saja. 

“Kamu ini bagaimana sih, Dek? Di dunia ini banyak yang wajahnya mirip, tapi bukan berarti orang tua mereka selingkuh kan?” 

Aku terdiam mendengar ucapan Mas Bayu. Yang dia katakan memang benar, tapi tetap saja aku meyakini suamiku telah selingkuh.

“Kalau masalah keramas, semua orang juga bisa melakukannya. Kebetulan saja Mbak Nilam habis keramas. Bisa saja dia baru selesai datang bulan. Kamu jangan khawatir, aku setia kok,” lanjut Mas Bayu

Skak matt! 

Aku terus terdiam, tak mampu menyangkal ucapan suamiku. Sebenarnya aku ingin menanyakan mengenai story W* mbak Nilam, tapi percuma. Semua yang aku tuduhkan terbantah oleh argumennya. Namun, firasatku tetap mengatakan Mas Bayu tak setia.

“Makanya, kalau ngomong dipikir dulu. Jangan asal bunyi. Untung saja Bayu anaknya sabar. Kalau tidak, kalian pasti sudah bertengkar,” cibir ibu mertuaku. 

Sejak dulu mertuaku memang sangat membanggakan Mas Bayu. Setiap ada perdebatan kecil, dia pasti membela anaknya. 

“Enggak apa-apa kok, Bu. Elin cuma cemburu. Itu tandanya mantu ibu cinta sama aku,” sahut Mas Bayu santai. 

“Ya sudah, ibu mau ke kamar dulu. Nanti suruh istrimu beli makanan saja. Ibu lagi malas masak,” pungkas ibu lalu beranjak meninggalkan kami. 

Sesaat kemudian, aku pun turut meninggalkan Mas Bayu sendirian. Dengan perasaan kesal aku masuk kamar untuk mengambil ponsel lalu memesan ojek online. 

Beberapa lama menunggu, akhirnya yang ojek pesananku datang juga. Aku langsung menyambar tas lalu segera keluar. 

“Mau kemana, Dek, kok bawa tas segala?” tanya suamiku yang masih duduk di tempat tadi.

“cari angin,” jawabku sambil terus berjalan.

“Aku ikut ya,” ujar Mas Bayu. 

“Enggak usah. Aku lagi pengin sendiri,” sahutku ketus tanpa menolehnya. 

**** 

Lima belas menit perjalanan, akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Aku turun di depan sebuah rumah model mimimalis dengan halaman yang cukup luas. Setelah membayar nominal yang disebutkan oleh sang Driver,  gegas aku memasuki pekarangan rumah ini. 

“Assalamu alaikum,” ucapku sambil mengetuk pintu tiga kali.

Tak lama kemudian, terdengar suara yang sangat kukenal menjawab salamku dari dalam, diikuti bunyi derit pintu yang terbuka.

“Ya alloh, Elin, Kapan kamu pulang?” sapa Rere, sahabatku. 

Tanpa aba-aba dia langsung memelukku girang, membuatku kesulitan bernapas. Aku pun balas memeluknya. Rere memang sahabat terdekatku. Kami sudah berteman sejak lama.

“Kemarin, Re,” jawabku setelah pelukan kami terurai. 

“Gimana kabar kamu, baik kan?” tanyanya kemudian. 

“Seperti yang kamu lihat,” sahutku sembari mengendikan kedua bahu. 

 Rere terlihat memindai penampilanku dari bawah sampai atas, lalu berhenti saat mata kami beradu pandang.

“Wajah kamu kok kusut gitu sih? Kayak lagi banyak pikiran,” celetuk sahabatku. 

“Ya gitu deh,” sahutku lirih.

“Masalah apa sih? Kok enggak cerita sama aku?” cecarnya lagi. 

“Mau aku cerita sambil berdiri begini?” sindirku karena belum dipersilakan masuk. 

“Ups! Maaf kelupaan. Masuk yuk ,Lin,” ajak Rere sembari menarik tanganku. 

Aku hanya pasrah saat Rere menuntunku ke dalam. Dia membawaku ke kamar tidurnya. Ini bukan hal baru. Setiap aku main ke sini, dia memang selalu mengajakku ke kamarnya. Katanya lebih nyaman.

“Kamu ada masalah apa sih, Lin?” ulang Rere saat kami telah duduk di tepian ranjang. 

“Enggak ditawari minum dulu?” ledekku mengulum senyum.

“Minumnya nanti saja. Cerita dulu. Sudah penasaran nih,” akunya.  

Perlahan, aku mulai menceritakan apa yang kualami saat ini. Mulai dari kecurigaanku sampai menanyakan langsung pada Mas Bayu. Dia terlihat antusias mendengarkan ucapanku sambil sesekali mengelus punggungku.

“Lagian kamu sih gegabah,” ujarnya setelah aku berhenti bercerita, “ seharusnya kamu lebih sabar, sampai punya bukti yang kuat. Kamu harus Main cantik, Lin.”

“Mana bisa sabar, Re. Apalagi main cantik. Aku sudah terlanjur emosi,” keluhku. 

“ Emosi sih Emosi, tapi jangan bodoh kayak gitu. Kamu harus selidiki dulu. Misalnya cek ponsel suamimu kek, atau kamu tanya-tanya dulu sama tetangga. Kalau perlu kamu kerja sama dengan suaminya tetanggamu.” 

Rere begitu semangat menasihatiku. Wejangan demi wejangan disampaikan dengan gamblang. Aku hanya mengangguk mendengarkan, sambil merutuki kebodohanku yang bertindak grasa grusu. 

 Tanpa terasa sudah hampir tiga jam kami berbagi cerita, padahal rasanya baru sebentar. Aku lekas pamit karena memang sore ini aku berencana mengunjungi rumah orang tuaku. Sekalian membicarakan mengenai usaha kecil-kecilan yang akan kubuka. 

“Aku balik dulu, Re. Makasih ya sudah mendengarkan curhatku,” pamitku  

“Iya, kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi aku ya,” pesannya sebelum kami berpisah.

“Oke.” 

Aku pun langsung pergi karena ojek pesananku sudah datang. Sepanjang perjalanan pulang, aku mulai menyusun rencana untuk mengungkap perselingkuhan Mas Bayu. 

“Kamu harus main cantik, Lin!” 

Aku mulai membatin, menasihati diri sendiri.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Teten Devans
ceritanya jg g seru krn pemainnya asl maen nyelonong.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status