Share

BAB 6. LUDES

“Dari mana saja kamu sih, Dek? Di tunggu dari tadi enggak pulang-pulang!” 

Belum juga aku naik ke teras, Mas Bayu langsung bersungut-sungut menyambutku. Dari intonasinya, jelas sekali dia tengah menahan kesal. 

“Kan aku sudah bilang mau cari angin,” sahutku  sambil terus berjalan masuk rumah, tanpa memedulikan dia yang terus menggerutu di belakangku.

“Mana makanannya, Mbak?” tanya Sarah saat aku sampai di ruang tengah. 

Aku menghentikan langkah, menatap bingung pada adik iparku yang tengah duduk memegang ponsel.

“Makanan apa?” tanyaku bingung.

“Ya makanan, Mbak. Dari tadi kami belum makan apa-apa!” keluh adik iparku. 

“Kan tadi pagi Ibu sudah bilang kamu di suruh beli makanan. Kok malah pulang tangan kosong,” timpal Mas Bayu dari arah belakang.

Sejenak aku mengalihkan pandangan ke wajah Mas Bayu. Aku baru ingat ucapan ibu tadi pagi, tapi aku pikir mereka bisa melakukannya sendiri. 

“Maaf, Mas, aku lupa. Lagian kenapa kalian enggak beli sendiri sih? Di depan kan ada warung makan,” sahutku sambil menatap mereka bergantian. 

“Kalau uangnya ada, enggak diajari juga tahu, Mbak!” ucap Sarah dengan nada suara terdengar jengkel. 

Aku mengernyitkan dahi berusaha mencerna ucapan Sarah. Beberapa saat berpikir, aku tak kunjung paham dengan apa yang diucapkan adik iparku. 

“Maksudnya bagaimana sih? Kok aku enggak mudeng omongan kamu,” tanyaku pada gadis yang mukanya ditekuk. 

“Mas Bayu kan enggak bekerja, Mbak, jadi enggak punya uang.” 

Mendengar ucapan Sarah, seketika aku langsung terkejut. Kenapa Mas Bayu enggak pernah cerita kalau dia enggak bekerja. 

“Kenapa kamu enggak bekerja, Mas? Sejak kapan?” cecarku. 

Bukannya menjawab, Mas Bayu justru menundukkan kepala sambil sesekali menggaruk tengkuk. 

“kenapa diam, Mas?” tanyaku lagi. 

“Sudah sebulan ini aku menganggur, Dek. Aku di pecat.” 

Akhirnya suamiku membuka suara juga. Namun tetap saja aku merasa kecewa. Seharusnya dia menceritakan semua padaku. Bukan malah seperti ini. 

“Kenapa kamu enggak cerita sama aku?” 

“Sebenarnya aku mau cerita, tapi takut kamu marah, Dek,” jawab suamiku lirih. 

Apa pun alasannya, aku tetap tak suka dengan cara Mas Bayu yang seperti ini. Dalam rumah tangga, keterbukaan antar pasangan menjadi suatu keharusan, agar tak ada saling curiga. 

Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Sebisa mungkin aku berusaha sabar. Toh, semua juga sudah terlanjur. 

“Ya sudah, uang tabungannya kita ambil semua saja, Mas. Aku juga sudah enggak pegang uang. Di ATM juga tinggal sedikit.  Sekalian nanti mau di pakai buat modal isi toko,” ucapku kemudian. 

“Uang tabungan sudah habis, Dek,”

Seperti petir di siang bolong, kalimat yang Mas Bayu ucapkan berhasil membuat jantungku serasa berhenti berdetak. 

“Kamu sedang bercanda kan, Mas?” tanyaku menolak percaya dengan apa yang kudengar.

“Enggak, Dek. Uangnya benar-benar habis,” sahut Mas Bayu. 

Gelombang kemarahan yang tadi sempat mereda, kini kembali menggulung-gulung di dalam hati. Rasanya aku tak lagi sanggup untuk menahannya. 

“Kenapa bisa habis! Kamu gunakan untuk apa!” hardikku menatap nyalang pada Mas Bayu. 

Setiap bulan aku memang rutin menransfer gajiku ke rekening mas bayu. Aku hanya menyisakan sedikit untuk pegangan saja. Semua kulakukan sebagai bentuk rasa percaya pada suami. 

Saat Masih di rumah, Mas Bayu selalu memberikan semua gajinya padaku. Dia benar-benar memberiku kepercayaan untuk mengelola keuangan. Itulah yang menjadi alasan kenapa aku mentransfer gajiku padanya. 

Aku melirik sekilas pada Sarah yang tertunduk memainkan ponselnya. Perlahan dia beringsut minggir lalu beranjak menjauhi kami. Mungkin dia tak enak hati melihat pertengkaran ini. 

“Ya untuk kebutuhan sehari-hari,” jelas suamiku kemudian.

“Kebutuhan apa, Mas? Kamu jangan bohong!” 

Sedikit pun aku tak percaya dengan alasan yang dikemukakan olehnya. Dulu, waktu hanya Mas Bayu yang bekerja, gajinya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian kami, termasuk ibu dan Sarah. Bahkan aku masih bisa menyisihkan sedikit untuk tabungan. Lalu kenapa di saat aku dan Mas Bayu sama-sama bekerja, uangnya justru ludes tak bersisa? 

“kebutuhan kita banyak, Dek. Inilah, itulah, semua pakai uang. Bukan pakai daun!” bentak Mas Bayu. 

“Hei! Kamu yang menghabiskan uangku, kenapa malah ikut marah?” protesku tak terima karena dibentak. 

“Uang istri uang suami juga, Dek,” sahut Mas Bayu sedikit menurunkan intonasinya. 

Apa dia bilang? Sejak kapan harus seperti itu? Setahuku, yang namanya uang istri tetap uang istri, sedangkan uang suami memang uang istri juga. Terus kenapa Mas Bayu bisa berpikir begitu? 

“Apa enggak kebalik, Mas?” cibirku mengejek pendapatnya. 

Mas Bayu terdiam. Dia hanya terpaku menatapku dengan dada naik turun. Aku yakin dia tersinggung dengan ucapanku. Bodo amat. Aku tak lagi peduli dengan perasaannya, seperti dia yang tak mengkhawatirkan perasaanku. 

Kecewa? Tentu saja! Perempuan mana yang tak marah jika hasil jerih payahnya selama di kota habis tanpa sepengetahuannya? Kalaupun ada, itu bukan aku. 

“Sekarang katakan, Mas! Kamu kemanakan uangku?” tanyaku kemudian.

“Kan aku sudah jawab, Dek!” sahut Mas Bayu. 

“Enggak mungkin, Mas! Kita hidup di kampung. Kamu juga baru sebulan menganggur. Uang empat juta yang aku kirim tiap bulan tak mungkin habis hanya untuk makan, kecuali memang kamu sengaja menghabiskannya,” jelasku dengan nafas terengah-engah. 

“Atau jangan-jangan kamu gunakan untuk modal selingkuh!” tuduhku kemudian. 

Ya! Ini masuk akal. Dimana-mana yang namanya selingkuh itu butuh modal. Enggak mungkin juga selingkuh mau hemat. Pasti maunya senang-senang. 

“Kamu kok menuduh terus sih, Dek! Aku enggak selingkuh,” kilah Mas Bayu. 

“Sini ponsel kamu. Biar aku lihat. Siapa tahu kamu habis chatingan sama Mbak Nilam,” ucapku sembari menadahkan tangan. 

Ya. Aku memang berniat menyelidiki ponsel Mas Bayu. Daripada susah payah menunggu dia tertidur, lebih baik aku memintanya langsung.

Mas Bayu tampak merogoh saku celananya lalu mengeluarkan benda pipih dari sana. Dia pun lantas menyerahkan ponsel itu padaku, tanpa merasa keberatan sedikit pun. 

Tanpa menunggu lama, aku langsung menerima ponsel itu lalu membawanya ke dalam kamar. Setelah mengunci pintu, aku langsung mengotak-atik ponsel Mas Bayu. 

Beberapa lama mencari, aku tak kunjung menemukan sesuatu yang mencurigakan. W*, f******k, I* semua sudah kutelusuri. Namun tak ada satu pun pesan yang menjurus ke perselingkuhan. Bahkan aku tak menemukan kontak dengan nama ‘Nilam’ di ponsel Mas Bayu. Hanya kontak suaminya saja yang ada.

Kebetulan sekali. Aku tak perlu susah payah mencari nomor suaminya Mbak Nilam. Tinggal  ambil saja dari sini. 

“Dek, buka pintunya. Kamu lagi apa?”

Teriakan Mas Bayu terdengar memekakkan telinga, seirama bunyi daun pintu yang terus digedor-gedor. Merasa terganggu oleh suara berisik itu, aku menghentikan aktivitasku lalu membuka pintu. 

“Mana ATM kamu?” tanyaku setelah pintu terbuka. 

“Buat apa, Dek?” 

“Sudah, kasih saja. Aku mau lihat.” 

Mas Bayu langsung merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan dompet dari sana. Aku melirik sekilas saat suamiku membuka benda itu. Benar saja. Aku tak melihat ada selembar uang pun di dalam benda itu. 

“Pin-nya?” tanyaku setelah menerima kartu ATM Mas Bayu. 

“tanggal lahirku,” jawabnya. 

“Kunci Motor?” tanyaku lagi. 

“Di atas tivi. Memangnya mau ke mana, Dek?” 

“Cari makan. Lapar,” sahutku ketus sambil beranjak mendekati televisi. 

“Ikut, Dek. Aku juga belum makan,” rengek suamiku  

“Kamu lapar, Mas?” 

“Ponsel ini kalau ditukar makanan dapat banyak. Tinggal jual saja!” ejekku sembari menarik tangan Mas Bayu lalu meletakkan ponsel di telapak tangannya. 

Setelah menyambar kunci motor, aku langsung meninggalkan Mas Bayu yang masih melongo dengan ponsel di tangannya. 

“Ingat, Mas! Kamu harus mengganti semua uangku!” pesanku sebelum benar-benar keluar rumah. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status