“It’s not hard to make decisions when you know what your values are,”- Disney
Sampai.
Setelah lima jam lalu mengunjungi Changi Airport untuk sekadar transit, akhirnya sampai juga di bandara tujuan utama. Berhasil menginjakan kaki di Chiang Mai International Airport membuat dadaku berdegup lebih kencang. Segalanya terasa asing, puluhan pertanyaan berterbangan di kepala. Ke mana aku harus pergi setelah ini? Apa sekarang aku harus menelepon Tante Tantri? Rasa takut yang perlahan muncul mulai membuatku khawatir. Ah! Tidak! Aku berani! Aku bisa! Aku mengangguk, mengatur napas yang mulai ngos-ngosan, lalu memaksa kaki berjalan mencari bangku kosong sambil membulatkan keberanian yang semakin lama semakin runtuh.
Rasanya mual melihat banyak orang berlalu-lalang tiada henti, lelah meraba satu-persatu plang petunjuk, dan asing meraba ruangan demi ruangan bandara. Ditambah beberapa pasang mata yang seolah memperhatikanku dari ujung kaki ke kepala. Seakan aku tidak seharusnya berada di sini. Semakin jauh melangkah, membuatku semakin sadar kalau sebenarnya aku takut untuk berada sendirian di tempat asing. Sadar tidak ada orang yang bisa diajak ngobrol asyik sambil menunggu koper datang. Sadar kalau aku tidak memiliki tempat bergantung selain pada diriku sendiri.
Aku berani! Ini adalah keputusanku dan aku sudah mengobrankan banyak hal. Langkah pertama yang harus aku lakukan tentunya menyelesaikan urusanku di bandara. Mengambil koper, membeli SIM Card Thailand, lalu... apa lagi?! Sepertinya aku harus mencari tempat duduk supaya bisa berpikir lebih tenang, sambil menghilangkan rasa khawatir agar tidak semakin menindasku. Aku memilih bangku sedikit lebih ‘sepi’. Setidaknya tidak ada sekelompok turis yang sejak tadi berisik membicarakan agenda perjalanan mereka. Atau sepasang suami istri dengan anak-anak kecil yang dibiarkan berlari sana-sini.
Rasanya aneh saat menyadari dua turis laki-laki asing duduk tepat di samping kanan dan kiriku. Turis di samping kananku memiliki perawakan bule Eropa yang memiliki tubuh tegak dan tinggi. Sementara turis di samping kiriku memiliki perawakan bule Jepang yang sejak tadi tampak sibuk mengipas-ngipas tubuhnya. Kutarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Andai saja saat ini ada orang yang kukenal, bisa diajak berbicara, sambil menunggu koperku datang. Andai saja aku tidak pergi sendiri. Dan andai saja aku tidak se-impulsif ini. Seharusnya aku merayu Mama untuk mengizinkanku berlibur bersama Elga.
Saat ini aku tidak bisa percaya pada diriku sendiri.
Penyesalan selalu datang belakangan. Selalu.
Sudah hampir dua jam berlalu sejak aku turun dari pesawat. Kupandangi langit di luar bandara yang sudah berubah menjadi gelap sambil sesekali melihat ke sana ke mari mencari teman Mama yang baru saja menghubungiku, meminta agar aku menunggu di luar bandara agar lebih mudah dijemput.
“Thalia ya?” Seorang wanita berkaca mata tiba-tiba berdiri di hadapanku. Rambutnya ikal sebahu. Untuk sekilas, dia terlihat seperti Mama dengan rambut pendek. Tepat di sampingnya bersembunyi anak perempuan dengan tatapan waspada. Wanita itu mengulurkan tangannya.
Aku bangkit, ikut mengulurkan tangan. “Iya.”
“Maaf ya, lama. Saya baru pulang dari kantor. Saya kira pesawatnya sampai lebih malam. Kenalan dulu, saya Tantri.”
Tante Tantri adalah teman kantor Mama yang memiliki apartemen di Chiang Mai. Kalau tidak ada Tante Tantri, mungkin sekarang aku sedang sibuk mencari penginapan.
“Saya Thalia. Nggak apa-apa kok, Tante. Eh, ini siapa?” ucapku membalas jabatan tangannya sambil menunduk dan mencubit gemas pipi anak perempuan di sampingnya.
Anak perempuan itu mundur beberapa langkah bersembunyi di belakang kaki Tante Tantri. “Eh, kenalan dong sama kakaknya ini. Biasa, malu-malu. Namanya Nadia.”
“Wah, halo Nadia! Cantiknya... Nadia pasti bisa bahasa Thailand, dong?”
“Bisa, tapi baru beberapa kosa kata. Ya maklum, dia harus belajar dua bahasa sekaligus.” Tangan Tante Tantri mengusap kepala Nadia lembut, membuatnya tersenyum kecil. Tatapan matanya lebih ramah dari sebelumnya.
“Mari saya antar ke apartemen. Udah malam, kamu pasti capek, kan?” Tante Tantri meraih koper.
Dengan cepat aku menarik pelan koper, kembali ke tanganku. “Tante, nggak usah. Ini kan koper Thalia.”
Aku menghela napas, mengikuti langkah cepat Tante Tantri ke tempat parkir. Rasanya jauh lebih tenang setelah bertemu dengannya. Nyatanya, aku tidak benar-benar sendiri di tempat asing ini.
Welcome to Chiang Mai, Thalia! Aku berteriak dalam hati, jadi lebih bersemangat.
“When the image in new, the world is new,” - Gaston BachelardPekan liburan kuliah tidak selalu seru.Seperti biasa, aku menghabiskan waktu libur di rumah. Sendirian. Menonton berbagai film dan serial televisi, memasak dengan modal resep dari internet, atau bermain games dengan Elga dengan ending bertengkar adu mulut sampai kami sama-sama lelah membuka mulut.Tadi pagi aku pergi ke kampus untuk melihat nilai, memastikan semua nilai sudah keluar dan tidak ada mata kuliah yang harus diulang atau nilai bermasalah. Setelahnya aku segera pulang walau beberapa teman mengajakku hang out dengan nonton film yang sama sekali tidak membuatku tertarik. Hari ini Ma mengajak aku dan Elga untuk makan malam di luar. Dengan Ma, tanpa Pa. Begitu juga sebaliknya di saat aku dan Elga memiliki kesempatan makan bersama dengan Papa. Dengan Pa, tanpa Ma. Dan seterusnya akan seperti itu.Geraman mobil Mama terd
“Let us meet each other with a smile, smile is the beauty of the soul.” - Lailah Gifty AkitaApartemen Tante Tantri ternyata tidak jauh dari bandara. Hanya butuh setengah jam mobil yang kami naiki telah memasuki kawasan bernama ‘Muse Apartement’. Pilihan mama untuk menyewa apartemen Tante Tantri memang tepat. Setidaknya aku memiliki kepastian soal kendaraan selama di sini.Sunyi. Sekarang tidak ada siapa pun. Ini pengalaman pertama kalinya untuk tinggal sendirian di sebuah tempat yang belum pernah kutinggali sebelumnya. Aku membuka pintu apartemen, menyalakan semua lampu, memastikan semua bagian ruangan terang karena jujur, aku benci gelap. Begitu semua lampu berhasil aku nyalakan, aku bisa melihat apartemen Tante Tantri yang minimalis dan sederahana. Hanya ada satu kamar tidur, satu ruang televisi, satu kamar mandi, dan dapur kecil yang disertai balkon di sampingnya. Kalau diliha
“Time is the invisible and the strongest presence.” – Khalid MasoodAku terbangun karena sinar matahari muncul dari jendela yang tidak kututup rapat semalam. Mengerang, menarik tangan, mengumpukan kesadaran. Tumben sekali Mama tidak datang dan memaksaku untuk bangun sambil dengan nada sinis mengatakan kalau anak gadis tidak boleh bangun siang. Ah tunggu, ini bukan kamarku. Dan Mama berada jauh di sana.“Good morning, Chiang Mai!”Jam bulst yang menempel di dinding menunjukan pukul tujuh lebih empat puluh dua menit. Aku segera berlari ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh, berpakaian, dan tidak lupa mengoles skin care juga riasan ringan. Yang jelas walau dikejar waktu, memakai sun screen itu hal yang sangat wajib bagiku. Aku telat!Rencananya hari ini aku akan mengikuti temple tour yang memutari kuil-kuil di Chiang Mai. Tour dimulai puku
“The beginning is always today.” – Mary ShelleyManee mengajakku untuk menikmati Chiang Mai ketika matahari baru saja terbit dengan lari pagi memutari jalan sekitar apartemen. Kami membuat janji di lobby, tepat ketika lift berhenti, terbuka, dia dengan training pants berwarna abu-abu yang dipadu baseball jacket biru dongker dan running shoes hitam, melambaikan tangannya. Tersenyum seperti biasa.“Udah siap?” Dia melakukan peregangan, menarik kedua tangannya ke atas.Aku mengangguk. Rasanya sudah siap, lagipula cuma sekadar lari pagi di sekitar sini. Tidak perlu membawa banyak barang. “Aku bawa beberapa uang, paspor, kartu apartemen, sama HP di tas ini. Ada lagi yang harus aku bawa?”“Ah, ya ampun, aku lupa bawa HP. Kamu mau ikut naik atau mau nunggu di sini aja?” Manee melangkah cepat, memencet tombol lift.Aku
“Somehow we all are burning ourselves as we constantly thinking about our past.” - Bunny Naidu“Satu... dua.. tiga...”Aku dan Bayu masing-masing membuka kotak di tangan kami. Kotak berwarna cokelat muda dengan tutup warna biru di tangan Bayu dan dengan tutup warna merah di tanganku.Aku menyelipkan rambut panjangku ke belakang telinga, memperhatikan satu buah gantungan ponsel di dalam kotak. Gantungan ponsel itu memiliki tali warna emas dengan satu karakter super hero di ujungnya. “Superman?”Bayu mengeluarkan gantungan dalam kotak. “Iya. Anggap aku itu Superman kamu.”“Kenapa? Super hero kan banyak, kenapa pilih dia?” aku mengambil gantungan itu dari tangan bayu. “Aku baru tahu kalau kamu suka karakter ini.”“Dari kecil aku anggap dia pelindung dan pembela kebenaran. Dan aku mau j
“The fireflies were probably already out: Maybe it wasn’t just a season or time but a whole world I’d forgotten.” – Sarah DesenJam berapa? Yang aku tahu, matahari baru saja terbit sekian derajat tapi sekarang ada yang sudah berhasil membangunkanku dengan deringan bel. Ada yang menekan bel sebanyak tiga kali dengan durasi panjang tidak berhenti di luar sana. Telingaku sakit mendengarnya. Aku membuka mata pelan-pelan, berusaha beradaptasi dengan cahaya, menyibak selimut, kemudian mencari sendal yang semalam kutaruh di sebelah kasur lalu memakainya. Dengan langkah setengah sadar aku membuka pintu tanpa melihat siapa yang ada di luar sana melalui kamera.Manee dengan senyuman khasnya melambaikan tangan. “Pagi!”Ya Tuhan, ngapain dia jam segini ke sini? Apa aku lupa kalau dia mengajakku untuk lari pagi seperti kemarin? Refleks aku menyisir rambut dengan tangan, rambut yang acak-acakan belum dik
“There is a reason why we met. We don't meet anyone by chance!” - Avijeet DasJalanan sangat padat karena Chiang Mai sedang dibanjiri turis dari seluruh dunia. Aku bisa melihat di sepanjang jalan turis-turis berjalan ke sana ke mari. Butuh waktu yang tidak lama untuk sampai ke tempat tujuan tapi akhirnya kami sampai juga. Tempat ini bernama Mae Jo University. Di tempat ini aku dan Manee akan menikmati festival Yee Peng.Festival Yee Peng adalah festival yang diadakan di bulan November setiap tahunnya. Kata Manee, festival ini salah satu festival yang selalu ditunggu oleh banyak orang sama seperti pergantian tahun penanggalan Cina. Di Chiang Mai festival ini diadakan dua sampai tiga kali dalam waktu yang berdekatan dalam setahun. Ritual utama dalam festival Yee Peng adalah menerbangkan lampion bersama-sama.Lautan manusia dari berbagai negara duduk rapi di ata
“Leave something for someone but don’t leave someone for something.” – Enid BlytonAku menunggu taksi yang dinaiki Brian kembali melaju, setelah itu melangkahkan kaki dengan cepat memasuki lift apartemen. Aku ingin memastikan Manee sudah pulang dan ada di dalam apartemennya. Jujur, aku sangat khawatir. Sesampainya di lantai sepuluh, aku memencet bel pintu apartemen Manee dengan tidak sabar. Entah berapa kali, aku tidak sadar.Ada suara kresek kresek dari mesin perangkat bel menandakan ada orang di dalam sana. Semoga itu Manee.“Sorry, aku lagi nggak mood. Lagi nggak mau diganggu. Ngerti kan, Tha?” Dia tidak membuka pintunya.Aku sedikit speachless, bingung mau menjawab apa. Rasanya aneh lihat Manee seperti ini. Manee yang biasa perhatian, berubah menjadi cuek. Kuputuskan untuk tidak menjawab dan langsung pergi ke apartemen Tante Tantri. Bukannya