Share

BE WITH YOU
BE WITH YOU
Author: Vani Vevila

BAB 1

“It’s not hard to make decisions when you know what your values are,”- Disney

Sampai.

Setelah lima jam lalu mengunjungi Changi Airport untuk sekadar transit, akhirnya sampai juga di bandara tujuan utama. Berhasil menginjakan kaki di Chiang Mai International Airport membuat dadaku berdegup lebih kencang. Segalanya terasa asing, puluhan pertanyaan berterbangan di kepala. Ke mana aku harus pergi setelah ini? Apa sekarang aku harus menelepon Tante Tantri? Rasa takut yang perlahan muncul mulai membuatku khawatir. Ah! Tidak! Aku berani! Aku bisa! Aku mengangguk, mengatur napas yang mulai ngos-ngosan, lalu memaksa kaki berjalan mencari bangku kosong sambil membulatkan keberanian yang semakin lama semakin runtuh.

Rasanya mual melihat banyak orang berlalu-lalang tiada henti, lelah meraba satu-persatu plang petunjuk, dan asing meraba ruangan demi ruangan bandara. Ditambah beberapa pasang mata yang seolah memperhatikanku dari ujung kaki ke kepala. Seakan aku tidak seharusnya berada di sini. Semakin jauh melangkah, membuatku semakin sadar kalau sebenarnya aku takut untuk berada sendirian di tempat asing. Sadar tidak ada orang yang bisa diajak ngobrol asyik sambil menunggu koper datang. Sadar kalau aku tidak memiliki tempat bergantung selain pada diriku sendiri.

Aku berani! Ini adalah keputusanku dan aku sudah mengobrankan banyak hal. Langkah pertama yang harus aku lakukan tentunya menyelesaikan urusanku di bandara. Mengambil koper, membeli SIM Card Thailand, lalu... apa lagi?! Sepertinya aku harus mencari tempat duduk supaya bisa berpikir lebih tenang, sambil menghilangkan rasa khawatir agar tidak semakin menindasku. Aku memilih bangku sedikit lebih ‘sepi’. Setidaknya tidak ada sekelompok turis yang sejak tadi berisik membicarakan agenda perjalanan mereka. Atau sepasang suami istri dengan anak-anak kecil yang dibiarkan berlari sana-sini.

Rasanya aneh saat menyadari dua turis laki-laki asing duduk tepat di samping kanan dan kiriku. Turis di samping kananku memiliki perawakan bule Eropa yang memiliki tubuh tegak dan tinggi. Sementara turis di samping kiriku memiliki perawakan bule Jepang yang sejak tadi tampak sibuk mengipas-ngipas tubuhnya. Kutarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Andai saja saat ini ada orang yang kukenal, bisa diajak berbicara, sambil menunggu koperku datang. Andai saja aku tidak pergi sendiri. Dan andai saja aku tidak se-impulsif ini. Seharusnya aku merayu Mama untuk mengizinkanku berlibur bersama Elga.

Saat ini aku tidak bisa percaya pada diriku sendiri.

Penyesalan selalu datang belakangan. Selalu.

Sudah hampir dua jam berlalu sejak aku turun dari pesawat. Kupandangi langit di luar bandara yang sudah berubah menjadi gelap sambil sesekali melihat ke sana ke mari mencari teman Mama yang baru saja menghubungiku, meminta agar aku menunggu di luar bandara agar lebih mudah dijemput.

“Thalia ya?” Seorang wanita berkaca mata tiba-tiba berdiri di hadapanku. Rambutnya ikal sebahu. Untuk sekilas, dia terlihat seperti Mama dengan rambut pendek. Tepat di sampingnya bersembunyi anak perempuan dengan tatapan waspada. Wanita itu mengulurkan tangannya.

Aku bangkit, ikut mengulurkan tangan. “Iya.”

“Maaf ya, lama. Saya baru pulang dari kantor. Saya kira pesawatnya sampai lebih malam. Kenalan dulu, saya Tantri.”

Tante Tantri adalah teman kantor Mama yang memiliki apartemen di Chiang Mai. Kalau tidak ada Tante Tantri, mungkin sekarang aku sedang sibuk mencari penginapan.

 “Saya Thalia. Nggak apa-apa kok, Tante. Eh, ini siapa?” ucapku membalas jabatan tangannya sambil menunduk dan mencubit gemas pipi anak perempuan di sampingnya.

Anak perempuan itu mundur beberapa langkah bersembunyi di belakang kaki Tante Tantri. “Eh, kenalan dong sama kakaknya ini. Biasa, malu-malu. Namanya Nadia.”

“Wah, halo Nadia! Cantiknya... Nadia pasti bisa bahasa Thailand, dong?”

“Bisa, tapi baru beberapa kosa kata. Ya maklum, dia harus belajar dua bahasa sekaligus.” Tangan Tante Tantri mengusap kepala Nadia lembut, membuatnya tersenyum kecil. Tatapan matanya lebih ramah dari sebelumnya.

“Mari saya antar ke apartemen. Udah malam, kamu pasti capek, kan?” Tante Tantri meraih koper.

Dengan cepat aku menarik pelan koper, kembali ke tanganku. “Tante, nggak usah. Ini kan koper Thalia.”

Aku menghela napas, mengikuti langkah cepat Tante Tantri ke tempat parkir. Rasanya jauh lebih tenang setelah bertemu dengannya. Nyatanya, aku tidak benar-benar sendiri di tempat asing ini.

Welcome to Chiang Mai, Thalia! Aku berteriak dalam hati, jadi lebih bersemangat.

                           

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status