Share

BAB 2

“When the image in new, the world is new,” - Gaston Bachelard

Pekan liburan kuliah tidak selalu seru.

Seperti biasa, aku menghabiskan waktu libur di rumah. Sendirian. Menonton berbagai film dan serial televisi, memasak dengan modal resep dari internet, atau bermain games dengan Elga dengan ending bertengkar adu mulut sampai kami sama-sama lelah membuka mulut.

Tadi pagi aku pergi ke kampus untuk melihat nilai, memastikan semua nilai sudah keluar dan tidak ada mata kuliah yang harus diulang atau nilai bermasalah. Setelahnya aku segera pulang walau beberapa teman mengajakku hang out dengan nonton film yang sama sekali tidak membuatku tertarik. Hari ini Ma mengajak aku dan Elga untuk makan malam di luar. Dengan Ma, tanpa Pa. Begitu juga sebaliknya di saat aku dan Elga memiliki kesempatan makan bersama dengan Papa. Dengan Pa, tanpa Ma. Dan seterusnya akan seperti itu.

Geraman mobil Mama terdengar samar di depan rumah, disusul suara klakson yang berbunyi dua kali. Aku bergegas mengambil mini backpack, long sleeve cardigan biru langit, dan memakai sepatu bertali. Setelah memastikan semua pintu rumah terkunci dan menggembok pagar dengan benar, secepatnya aku menyusul Elga yang sudah lebih dulu naik ke mobil. Tidak menunggu lama dan dengan semangat Mama menginjak pedal gas, membawa mobil ke dalam kerumunan kendaraan lain, lalu berhenti di salah satu restoran Thailand terkenal di Jakarta Selatan.

“Mau pesan apa?” Mama bertanya sambil membuka buku menu yang baru saja diletakkan di meja kami oleh waitress.

Aku menarik kursi. “Terserah, Ma. Kakak nggak ngerti makanan Thailand.”

“Adek juga nggak ngerti.”  Elga menyamai jawabannya denganku.

Mama terlihat tidak peduli dengan nada suara kami. Aku dan Elga berkomentar dengan nada malas. Tidak mungkin Mama tidak menyadarinya. Tapi mungkin Mama terlalu capek untuk menanggapi. Setelah cukup lama memerhatikan menu akhirnya Mama memanggil pelayan dan memesan beberapa menu yang terdengar asing di telingaku. Semoga cukup enak karena aku lapar banget.

 “Nilai udah keluar semua, Kak?” Mama bertanya sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi.

“Udah, Ma. Nggak ada yang ngulang. Besok udah mulai libur. Dua minggu. Bosen banget kalau cuma di rumah.”

 “Ke rumah Papa kamu aja. Kan, ada  adik baru.” Nada bicara Mama terdengar sinis. “Liburan sama si Astrid. Bantuin dia, pasti ribet baru punya anak. Dulu waktu Mama baru punya kamu…”

“Ma, please... Tante Astrid nggak suka sama kita. Apa kabar kalau Kakak ke sana?”

Jangankan bertemu Tante Astrid dan menghabiskan waktu bersama, mendengar ocehan Mama tentang keluarga baru Papa saja rasanya sebal. Mama terlalu sering membahas Papa dan Tante Astrid  sampai titik terkecil yang tidak terlihat oleh mata. Mulai dari yang penting, sampai yang tidak penting.  Aku yang dengarnya sampai bosan.

“Kalau ke Jogja  gimana? Rangga sering banget nanyain kamu sama Elga. Dia juga bolak-balik minta kamu sama Elga liburan di sana. Muterin Jogja seru lho. Belum pernah, kan? Kalau mau yang dekat ya ke rumah nenek di Bandung? Banyak tempat yang bisa didatengin, Kak.” Mata Mama menatapku lembut. “Yah, anggap aja sekalian silaturahmi.”

Aku bersandar pada kursi, membuka-buka buku menu. Merasa ide liburan Mama sama sekali tidak menarik. “Bosen ah, Ma. Nggak spesial.”

“Alasan banget lo, Kak. Bilang aja pengin liburan yang jauh.” Elga menyahut dari balik ponselnya.

Aku melirik Elga, bocah labil kelas 3 SMP menyebalkan dan sok tahu. “Apa, sih? Nggak usah ikut campur, deh! Kakak lagi ngomong sama Ma, bukan sama kamu.”

“Thalia, Elga, udah dong. Jangan berantem terus. Capek nih Mama dengernya. Jadi kamu penginnya liburan ke mana?”

Jujur, ke mana saja boleh. Asal tempatnya dijamin menarik dan memberi kesan yang tidak bisa aku lupakan. Bukan hanya masalah Ma dan Pa yang muncul dalam hidupku satu tahun terakhir ini. Tetapi peristiwa pengkhianatan yang tidak akan bisa kulupa seumur hidup. Iya, seumur hidup. Sudah cukup aku bertahan untuk terlihat baik-baik saja selama satu tahun ini. Aku butuh banyak hal baru yang bisa membuatku kembali mengerti bahwa dunia ini adil.

Not only about come to new place for spending my time, but i want give a big challange for myself too.

Mama menyeruput thai tea sambil menonton tayangan di televisi yang menggantung di sudut ruang restoran. Televisi itu menayangkan cuplikan video tempat-tempat wisata di Thailand. Iklan pariwisata dengan tujuan mengundang wisatawan datang ke Thailand. Kalau dipikir-pikir, keindahan alam di Indonesia tidak kalah, bahkan lebih bervariasi. Tapi video itu dikemas dengan benar-benar menarik! Yang paling menyita perhatianku adalah cuplikan berbagai festival yang mereka adakan. Lengkap dari Januari sampai Desember. Jadi, di sana setiap bulan selalu ada festival? Wow! Masyarakat akan bergabung saling berinteraksi di setiap bulan. Bukankah itu keren?

Video itu berganti menayangkan hamparan bunga warna-warni dengan bentuk beragam kendaraan parade. Berlanjut dengan adegan sekumpulan orang tertawa lepas sambil saling menyemprotkan air di tengah kota. Bayangkan, di tengah kota! Tapi semua keindahan video itu tidak apa-apanya dibandingkan tayangan yang kini diputar. Langit malam gelap penuh dengan cahaya berwarna orange. Lampion? Benar, cahaya-cahaya itu berupa lampion yang berterbangan. Itu bukan sekadar keren, tapi sangat keren! Magical and breathtaking. Oh, tunggu, ini ide yang bagus!

“Kakak, sih, penginnya ke Thailand, Ma,” tanpa berpikir lebih dalam aku mengucapkan kalimat konyol. Iklan itu berhasil menggerakan mulutku untuk mengatakan kata-kata yang lima menit lalu tidak terpikirkan sama sekali olehku.

Tatapan Mama berubah melotot. Aku siaga untuk menaruh tanganku di depan wajah atau kepala. Siapa tahu Mama melempar salah satu barang yang ada di hadapan kami.

“Thailand? Nggak salah, Tha? Jangan aneh-aneh, deh!”

 “Dekat, Ma. Naik pesawat cuma berapa jam udah nyampe. Tadi, kan, Mama nanya Kakak mau ke mana, kan? Nah, Kakak mau ke Thailand.”

“Thalia…” sekarang ekspresi wajah Mama terlihat kelelahan. Mungkin dalam kepala Mama sedang sibuk mencerna permintaan konyolku.

“Lihat, deh, Ma,” aku menunjuk ke arah televisi di sudut ruangan yang memutarkan video iklan pariwisata itu berulang, “Keren banget, kan?”

Elga terkekeh. “Dekat mana sama Bandung?”

“Heh, lo nggak usah ikut-ikutan komentar!”

Sebelum Elga sempat membalas ucapanku, Mama terlebih dahulu memelototi kami berdua. Khususnya aku. Iya, yang lebih tua harus selalu mengalah. Mama bersedekap. “Thailand jauh, Kak. Di sana mau sama siapa? Nggak ada saudara di sana. Udah, nggak usah aneh-aneh, deh.”

Memang harus ada saudara kalau mau mengunjungi sebuah tempat? Tentu aku tidak mengucapkan kalimat itu pada Mama, hanya menahannya dalam hati. “Kayaknya asyik aja gitu, setiap bulan ada festival. Modern tapi, masih kental unsur tradisionalnya. Terus katanya ke sana nggak mahal-mahal banget kok, Ma! Oke, aku emang nggak bisa bahasa Thailand tapi ini udah tahun berapa, Ma? Sebagian besar orang di muka bumi ini bisa bahasa Inggris, kan?”

Aku baru kembali ingin melontarkan alasan berikutnya ketika pelayan datang dengan pesanan kami. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Mama mengulurkan piring ke arahku dan Elga. Mama sedang dalam ‘consider mode’, kondisi ketika Mama belum bisa setuju atau sedang mempertimbangkan permintaan anak-anaknya. Memilih diam dan tidak ingin membicarakan lebih lanjut. Biasanya aku memutuskan menunggu dengan sabar sampai Mama yang membahas ulang permintaanku. Tapi hari ini tidak. Membayangkan harus habiskan dua minggu di rumah sendirian itu benar-benar menyebalkan. Selepas aku kehilangan sahabat terbaik-ku. Oh, tidak, tepatnya memisahkan diri dari yang namanya ‘teman pemakan teman’.

Aku melirik Elga sambil pura-pura meneliti hidangan di atas meja. Langkah paling mudah dalam membujuk Mama ialah dengan membiarkan Elga ikut bantu merayu.  Walau tidak ada hubungan apapun dengan dia. Biasanya bila Elga ikut ‘memanas-manasi’, Mama lebih cepat menyetujui. Tapi apa daya, Elga sedang tidak asyik diajak bekerjasama. Yang ada, dia malah minta liburan juga.

Piring-piring di hadapan kami sudah mulai kosong.

Aku masih memerhatikan Mama, memegang lengannya.  “Ma....”

“Apa?” Nada suara Mama tetap sama saja.

“Gimana? Kakak udah 21 tahun. Udah bisa mandiri. Thailand dekat kok, Ma. Lagian, jadi solo traveler itu sebenarnya impian Kakak juga. Mumpung lagi libur nih. Mama bayangin, deh, jalan-jalan sendirian di Thailand. Pelajarin budaya mereka, kenalan sama banyak orang, ketemu teman baru. Syukur kalau dapet jodoh bule ganteng. Seru, kan?”

Mama menyelipkan kartu dalam map berisikan bill. “Mama waktu seumur kamu, jangankan ke luar negeri, naik pesawat aja cuma beberapa kali, lho. Pergi ke negara orang sendirian nggak semudah apa yang kamu bayangin. Nanti kalau ada apa-apa gimana? Nggak ada siapa-siapa. Kamu mau minta tolong ke mana? Ke siapa?”

“Aku bisa kok sendiri!” Ini hanya kalimat yang tiba-tiba terbesit dala, kepalaku. “Zaman sekarang cewek itu mandiri dan berani. Ma. Ayolah... Ira sama Saskia aja cerita kalau mereka traveling sendirian. Ira ke Melbourne, Saskia ke Penang. Aku juga bisalah. Bahasa Inggris-ku juga nggak jelek kan, Ma?”

Elga menyeruput habis minuman dalam gelas. “Yah, itu kan mereka, bukan lo. Lagian gue kok baru denger kalau lo punya temen namanya Ira sama Saskia.”

Bingo! Adek-ku satu-satunya ini selalu bisa mendeteksi kalau aku baru saja mengarang bebas. Entahlah siapa Ira dan Saskia itu. “Temen kampus gue tuh banyak!”

“Ya udah,” Mama menyuruhku berdiri. “Asal kamu bisa bikin Mama yakin kalau kamu bisa dipercaya, Mama izinin.”

“Ma, jangan bercanda deh.” Aku berusaha membuat Mama mengulangi perkataannya lagi. Takutnya itu hanya harapan palsu saja. “Ma, Kakak bisa kok jaga diri sendiri. Serius deh.”

“Iya, Thalia. Mama izinin. Tapi Mama nanti bilang ke Papa ya buat liburan kamu.”

Aku refleks memeluk Mama. “Nggak usah, Ma. Nggak usah bilang Papa. Kakak punya tabungan kok kalau Mama nggak mau bayarin. Yang penting Mama udah kasih izin aja. Ingat, Ma, Papa baru punya anak lagi.”

Sejujurnya, aku tidak ingin mendengar mereka berdebat lagi. Penyebab Mama dan Papa bercerai adalah masalah ekonomi. Mama dan Papa sama-sama bekerja. Sama-sama memiliki penghasilan pribadi. Bagi Ma, Papa tidak bisa menyanggupi kebutuhan keluarga kami khususnya kebutuhan Mama yang bisa dibilang memiliki selera menengah ke atas. Sedangkan bagi Pa, Mama terlalu pelit, egois, dan hanya mementingkan diri sendiri. Jangan sampai mereka kembali ribut untuk keseratus kalinya hanya karena keinginanku berliburan di Thailand.

“Kenapa? Kamu kasihan sama dia?” Mama tertawa kecil, tapi aku tahu dalam tawa Mama ada rasa sakit yang tersimpan. “Oke, kali ini Mama belikan kamu tiket pesawat. Cuma tiket pesawat. Sisanya, pakai uang tabungan kamu. Deal?”

“Terus Elga? Adek mau ganti HP, Ma. Nggak usah liburan kayak Ka Thalia. Nggak mahal deh. HP Adek udah penuh baret. Nih, lihat nih.” Elga ikut memeluk Mama sambil semangat mengeluarkan ponsel yang telah tertutupi kumpulan stiker di bagian casing-nya.

“Kakak kamu itu minta liburan, bukan ganti HP. Dan liburan kamu masih beberapa minggu lagi, Dek.” Mama merangkul kami keluar dari restoran sebelum adu mulut terjadi.

Elga menatapku dengan tatapan ‘ini tidak adil’. “Kalau gitu Adek izin aja dari sekolah, terus ikut Ka Thalia liburan. Gampang, kan?”

“Apanya yang gampang? Ngaco kamu.” Mama menggeleng.

Aku menahan tawa. “Sekolah dulu yang bener!”

Sambil memandang jalanan Ibu Kota dan mendengar celoteh Elga yang meminta keadilan, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Aku jadi berlibur! Sendirian! Ah... Apa aku bisa menjalaninya? Apa aku terlalu gegabah? Toh, banyak solo traveller di luar sana yang berulang kali liburan sendiri di tempat yang asing. Harusnya aku bisa,  kan? Setengah hatiku berkata iya dan setengahnya lagi berkata tidak. Ingin rasanya aku menelepon dua orang itu. Dia dan dia. Memberi kabar bahagia ini. Aku membuka layar ponsel, menyadari sudah sangat lama tidak berhubungan dengan mereka.

Tapi untuk apa? Mereka hanyalah pengkhianat.

****

Sebenarnya aku tidak bisa tidur nyenyak, sejak membayangkan kalau hari ini aku akan bertualang dan menjadi solo traveler. Yang aku tunggu sejak lama.  Sedikit menakutkan tapi mau tidak mau aku harus siap! Harus!

Setelah mandi, membantu Mama menyiapkan sarapan, dan kembali mengecek barang bawaan, aku mengunggah beberapa aplikasi yang bisa membantuku untuk di sana.

“Udah panggil taksi?” tanya Mama sambil mengikat rambut panjangnya menghadap cermin yang berada di ruang makan. Cermin yang sengaja ditaruh Mama supaya bisa berdandan sambil sarapan.

Aku memandang jam tangan. Jam enam lebih tiga menit. “Udah, Ma. Dari tadi malam.” Jalanan Jakarta tidak pernah bisa dibayangkan apalagi untuk mengejar jadwal-jadwal penting termasuk jadwal keberangkatan pesawat. “Mama nggak bangunin Elga?”

“Dia libur hari ini. Katanya gurunya rapat. Tha...” Mata Mama menatapku hangat. “Hati-hati ya, maaf Mama nggak bisa nemenin kamu liburan.”

“Nggak apa-apa, Ma. Mama kan sibuk sama kerjaan.”

“Iya, kerjaan mama numpuk. Tapi sebenarnya mama juga ingin liburan bareng kamu sama Elga. Susah minta cutinya. Baik-baik ya di sana. Mama tahu, kamu pasti lagi bosen banget.”

“Bosen?”

Mama tersenyum lalu memelukku. “Mama tahu, kamu ini anak rumahan. Sekarang kamu tiba-tiba ingin pergi ke tempat yang jauh, berarti kamu bosen kan sama rumah? Mama ngerti satu tahun terakhir ini beban kamu banyak banget. Masalah antara Ma dan Pa, masalah kamu dengan teman-temanmu di sekolah satu tahun lalu. Belum lagi kamu harus beradaptasi waktu kamu baru masuk kuliah kemarin.”

Ada apa dengan mama? Mama yang selalu sibuk bekerja dan hampir setiap hari pulang malam bagiku tidak pernah tahu apa yang sedang dirasakan oleh anak-anaknya. Aku pikir Mama tidak peduli dengan masalah-masalahku akhir-akhir ini. Ternyata pikiranku salah.

Bunyi klakson nyaring terdengar dari depan rumah. Aku segera menghapus air mata yang mulai menggenang yang entah mengapa tiba-tiba keluar. Mama melepas pelukan. “Tuh udah dateng taksinya.”

“Kakak berangkat dulu ya, Ma!”

Mama kembali memelukku. “Jaga diri kamu dan ingat pesan Mama, kamu harus yakinin mama kalau kamu bisa dipercaya.”

Aku memeluk Mama. Lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status