Share

BAB 3

“Let us meet each other with a smile, smile is the beauty of the soul.” - Lailah Gifty Akita

Apartemen Tante Tantri ternyata tidak jauh dari bandara. Hanya butuh setengah jam mobil yang kami naiki telah memasuki kawasan bernama ‘Muse Apartement’. Pilihan mama untuk menyewa apartemen Tante Tantri memang tepat. Setidaknya aku memiliki kepastian soal kendaraan selama di sini.

Sunyi. Sekarang tidak ada siapa pun. Ini pengalaman pertama kalinya untuk tinggal sendirian di sebuah tempat yang belum pernah kutinggali sebelumnya. Aku membuka pintu apartemen, menyalakan semua lampu, memastikan semua bagian ruangan terang karena jujur, aku benci gelap. Begitu semua lampu berhasil aku nyalakan, aku bisa melihat apartemen Tante Tantri yang minimalis dan sederahana. Hanya ada satu kamar tidur, satu ruang televisi, satu kamar mandi, dan dapur kecil yang disertai balkon di sampingnya. Kalau dilihat, memang sangat pas untuk yang sedang solo traveller.

Mungkin karena Tante Tantri tidak menaruh banyak barang sehingga apartemen yang tidak begitu luas ini terlihat lapang. Sama sekali tidak ada hiasan di dinding dan meja. Yang kudengar, apartemen ini hanya menjadi hunian sementara keluarga Tante Tantri.

Ingin rasanya mandi lalu tidur. Memulihkan semua yang sudah terasa lelah. Pikiran dan tenaga. Aku memperhatikan sudut demi sudut ruangan. Hampa. Angin malam Chiang Mai menyapaku dari jendela kamar yang tidak tertutup. Lampu-lampu di luar sudah menyala. Aku tahu, di mana pun, setiap malam pemandangannya memang seperti ini. Langit yang gelap berteman baik dengan cahaya lampu jalanan dan gedung-gedung. Meski begitu, ada kesan berbeda yang jelas terasa. Seperti sedang makan nasi goreng yang merupakan makanan sederhana kesukaanku di sebuah restoran yang baru buka.

Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Padahal sejak tadi rasa lelah menggerayangiku tapi saat melihat pemandangan di luar sana, rasa lelah itu pergi. Berganti menjadi rasa penasaran. Apa di dekat sini ada tempat yang menarik? Apa ada tempat aman yang bisa kukunjungi? Setiap detik dalam perjalanan adalah pengalaman berharga bagi seorang Traveler. Tiba-tiba saja aku teringat kalimat yang pernah kubaca dalam sebuah buku traveling. Ah! Aku tidak boleh diam seperti ini. Sayang, kan? 

Setelah membulatkan keberanian, aku memutuskan untuk segera meminjam mobil pada Om Dahlan dan melanggar aturan Ma. Hanya latihan. Di jaman yang serba canggih harusnya aku tidak boleh nyasar. Ya tinggal mengandalkan aplikasi dalam ponsel sambil sedikit melatih keahlianku dalam mengendarai mobil. Dan aku harus bisa! Lucu juga, Mama kan belum mengizinkanku untuk mengendarai mobil meski Papa sudah mengajariku sejak SMA. Dan karena itu lah sampai sekarang aku belum membuat SIM.

Tetapi mulai detik ini juga aku bisa bebas meminjam mobil Tante Tantri untuk memutari Chiang Mai. Pergi ke mana pun, menikmati tempat asing. Ya, selagi yakin bisa mengendarai mobil dengan benar, tidak apa-apa kan kalau tidak memiliki SIM ? Rasanya ini kesempatan yang jarang terjadi. Aku kembali menggendong tas ransel kecilku dan naik ke lantai 11.

Aku membawa dengan mengambil jarak aman. Tidak jauh dari apartemen ada sebuah tempat yang bernama ‘The Chill Park’ yang berhasil menarik perhatianku. Menarik karena terlihat seperti sebuah kawasan khusus penuh dengan deretan gedung yang berbagai bentuk dan warna. Dengan rasa penasaran, aku membelokan mobil kemudian memarkir tepat di depan sebuah gedung yang memiliki pintu berwarna kuning terang. Di atas gedung tertempel gambar seekor rusa dan tulisan ‘Coffee Villa’ di sampingnya.

Begitu membuka pintu, aroma kopi  langsung menusuk rongga hidung. Dinding tempat ini berwarna putih gading dengan ornamen lukisan rusa yang berwarna-warni. Meja dan kursinya sebagian terbuat dari kayu yang dicat dengan warna alami. Memberi kesan klasik sekaligus modern. Persis seperti cafe di Jakarta atau Bandung yang menonjolkan design di dinding. Melangkah lebih dalam, sebuah tangga berdiri kokoh, menyatukan lantai satu dan dua. Berbeda dengan furniture kayu yang bertebaran di mana-mana, tangga itu memiliki pegangan berwarna hitam. Tempat yang cozy buat hang out dengan orang terdekat.

Aku memilih bangku di lantai dua. Lantai dua jauh lebih sunyi dan pencahayaan yang lebih redup karena tidak diberi penutup. Tebakanku, konsep dari lantai dua ini adalah selain untuk smoking area, lantai ini juga cocok untuk yang suka dengan pemandangan out door.

Setelah memesan, seorang pelayan laki-laki mendatangi bangkuku, mengantar secangkir hot cappucchino. Gabungan aroma secangkir cappucchino dan langit malam Chiang Mai membuatku nyaman meski sendirian di tempat asing. Aku mulai menikmati kesendirianku. Kupandangi langit yang tidak berbintang, menyeruput kopi sedikit demi sedikit, merasakan kehangatan yang perlahan masuk ke tenggorokanku. Mama dan Elga sedang apa ya di Jakarta? Tiba-tiba aku merindukan kehadiran mereka yang biasa selalu ada di sampingku.

Belum dua puluh empat jam aku meninggalkan rumah, tapi rasa rindu dengan suasana rumah samar datang dalam lubuk hati. Aku pandangi bangku-bangku yang terletak di lantai dua. Hanya ada empat bangku. Pandanganku berhenti pada seorang laki-laki yang sedang berdiri di sudut. Tangan kanannya menggenggam ponsel, tangan kirinya bergerak-gerak seolah ikut berbicara. Dari nada bicaranya aku bisa mendengar dia sedang marah-marah.

Aku tidak mengerti dia membicarakan apa karena menggunakan Bahasa Thailand. Tidak lama dia membanting ponselnya ke dalam ransel di sampingnya. Tepat di atas meja yang berada di hadapannya terdapat tumpukan kertas yang mungkin berjumlah ratusan. Apa dia sedang bekerja? Di tempat gelap seperti ini? Hebat.

Tunggu, kenapa dia tiba-tiba melihat ke arahku di saat seperti ini? Apa dia tahu kalau sejak tadi aku memperhatikannya? Damn! Tatapannya membuatku sedikit grogi dan perlahan dia melangkahkan kakinya ke arahku. Apa dia tidak suka aku lihat seperti itu? Sial! Sudah telat untuk pura-pura tidak melihatnya karena pandangan kami sudah bertemu.

Koh thot kha.”

Apa? Dia mengajakku berbicara Bahasa Thailand? “Ya? Sorry, I couldn’t speak Thailand.

Ups, sorry.” Dia menangkupkan tangannya di depan dada. Pose yang selalu dilakukan orang Thailand ketika bertemu dengan orang yang dihormati. Aku tahu dan membalasnya dengan pose yang sama walau tidak yakin apakah melakukannya secara benar.

Do you have a pen? Seems my ink pen was empety.” Dia tersenyum dan seketika matanya terlihat seperti bulan sabit. Terasa ramah.

Dengan refleks aku mengambil pulpen dalam tas yang kupunya kemudian memberikan padanya. Dia kembali tersenyum. Beberapa detik aku terpaku dengan senyuman itu. Ada yang mencolek lubuk hatiku sesaat, membuat pipiku sedikit terasa hangat. Aku menyukai senyumnya.

Kalau diperhatikan, tubuhnya tidak begitu tinggi, hanya berbeda sepuluh sampai lima belas centi denganku. Dia terlihat sedikit tidak biasa. Maksudku, sebagai laki-laki, dia memiliki kulit putih yang terawat. Sorot matanya lembut di tengah mata yang tidak begitu sipit. Hidungnya mancung dan bersih. Bibirnya tipis, sedikit berwarna merah muda. Wajahnya tidak murni wajah orang Asia. Semacam cowok metroseksual yang memiliki tampilan mendekati sempurna.

Dia kembali ke tempat duduknya dan sibuk dengan tumpukan kertas.

>>Aku memilih untuk menikmati langit, mencoba merasakan sejuknya udara malam Chiang Mai. Ternyata menikmati secangkir kopi sendirian di bawah langit malam memberi ketenangan sendiri. Sesekali aku membuka aplikasi dalam ponsel, mengecek media sosial.

Waktu terus berjalan dan kopi di cangkirku sudah habis. Angin berubah menjadi lebih kencang dan suhu udara juga semakin dingin. Saatnya aku kembali ke apartemen dan tidur. Bagiku, kopi tidak pernah berhasil menghilangkan rasa kantuk.

“Tunggu!” Sebuah panggilan menghentikan gerakanku. Lafal bahasa Inggris yang dia gunakan dan ditambah nada bicaranya yang tidak familiar di telinga, membuatku kesulitan untuk menangkap ucapannya. “Pulpen kamu?”

“Udah selesai?” tanyaku sambil melirik tumpukan kertas yang baru berkurang seperempat bagian.

Dia menggeleng, menggaruk kepalanya sendiri, menyodorkan pulpen milikku. “Belum, tapi aku nggak mau berhutang apa pun sama kamu.”

Harusnya aku kasih saja pulpen itu sejak awal. Aku menggeleng, merasa meminjam pulpen dan tidak mengembalikannya lagi itu bukan masalah yang besar. Apalagi disebut dengan hutang. Bukankah itu berlebihan? “Pakai aja pulpennya. Aku masih punya satu lagi, kok.”

“Hmm gini aja, aku pasti balikin pulpen kamu. Kan tadi aku udah bilang, aku nggak mau berhutang. Tinggal di mana? Besok pagi aku kembalikan.” Dia lagi-lagi menggaruk kepalanya.

“Tinggal di apartemen dekat sini. Serius, kamu nggak perlu kembaliin. Ambil aja pulpennya.”

“Dekat sini? Muse Apartement?”

Aku mengangguk. Pasti dia hafal dengan daerah sini.

“Kita satu apartemen! Kamu tinggal di lantai berapa?”

Harus ya, aku menjawab pertanyaannya? Bukannya ini adalah hal privasi? Aku tidak boleh terlalu terbuka dengan orang asing tetapi aku kasihan melihat dia yang terobesesi untuk mengembalikan pulpen milikku. Hanya pulpen dengan harga lima ribu rupiah yang tintanya mungkin tinggal setengah.

“Kalau kamu maksa mau balikin, kamu titip aja ke lobby, nanti aku ambil.”

Dia mengangguk, mengeluarkan senyumnya untuk kesekian kali, melambaikan tangannya, kemudian kembali duduk. Untuk kesekian kalinya pula aku tidak ingin melewatkan senyumnya itu. Dia punya senyum yang manis.

Koh thot krub/kha = Permisi

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status