Atha berusaha untuk tidak panik. Anak itu langsung menaruh kembali dompet Kenzi ke dalam tas. Setelah itu dirinya baru balik badan.
"Ngapain elu masuk kamar gue? Ngacak-ngacak tas lagi," tegur Kenzi waspada. Dia melihat tasnya sudah dalam keadaan melongo.
"Santai, Brother ... gue cuma mo pinjem catatan IPA elo aja," elak Atha tetap tenang, "ada materi yang perlu gue salin," kilahnya pandai berdusta.
Kenzi menatap Atha dengan serius. Sebagai saudara tiri keduanya memang tidak begitu dekat. Tidak pula sering bertengkar.
Bisa dibilang Kenzi dan Atha saling cuek. Bahkan kalau di sekolah mereka berlagak tidak saling mengenal.
"Tha, ki-ki-kita ... na-na-nabrak orang," kata Bela dengan ketakutan.Atha yang biasanya selaluselow,kini pun sama paniknya. Dada remaja berhoodie putih itu berdebar kencang. Tidak sadar kaki Atha bergetar."Udah sana ... bu-buruan tolongin!" perintah Bela seraya mendorong tubuh Atha.Masih dengan ketakutan Atha mencoba turun. Langkahnya melambat. Seorang ibu tampak terkapar lemah. Darah mengalir dari kepala wanita seusia ibunya itu. Hati anak Atha mencelus takut.Atha tidak berani mendekat lagi. Apalagi jika melihat kondisi korban yang cukup parah, anak itu takut jika korbannya sudah mati.
Pukul setengah enam sore. Banyu siap berkemas. Seharusnya dia sudah bisa pulang dari sejam yang lalu. Namun, ada banyaknya berkas yang menumpuk untuk diperiksa. Pria itu terpaksa melambatkan waktu balik demi merampungkan dulu pekerjaan. Dan itu sudah biasa ia lakukan. Tidak heran jika Banyu sering lembur sampai malam. Namun, semenjak melamar Layla beberapa waktu lalu, Banyu sudah jarang pulang malam. Paling telat dia akan lembur sampai Maghrib saja. Karena sudah menjadi agenda rutin baginya untuk selalu mengantar Layla pulang ke rumahnya. Hari ini Banyu sudah ada janji dengan Layla. Keduanya berencana makan malam bersama. Serta akan membicarakan mengenai rencana Banyu yang akan menemui Ibu Layla di Banjarnegara. Pria itu akan melamar Layla secara resmi. Ketika sedang mengemasi barang, lebih dari sekali ponselnya bergetar. Pertanda ada beberapa notifikasi pesan yang masuk. Banyu mengabaikan. Dirinya fokus berbenah. Usai berberes baru pria itu membuka ponsel. Ada tiga pesan yang mas
Hani terjepit. Baik Kenzi maupun Panji sama-sama mencecarnya. Wanita itu menghirup oksigen dalam-dalam."Stay cool, Hani,"batin Hani mengingatkan.EHEM-EHEM.Hani berdeham untuk mengatur strategi."Mas, kamu itu mau saja dibohongi sama Kenzi, ya," ujar Hani mulai bersikap licik, "dia nuduh aku nyuri duitnya sepuluh juta, emang Kenzi dapat duit dari mana? Kayak kita gak tahu Layla aja. Dia janda. Kerjaan juga cuma asistennya Seli. Gak gede-gede amat gajinya. Enak aja mau fitnah aku," beber Hani seraya melirik sengit ke arah Kenzi. "Sudah kubilang duit yang aku pegang tadi sore itu kepunyaan Ibu Lita," pungka
"Syaratnya cukup mudah dan murah," balas Banyu tetap bersikap tenang.Manik Banyu menatap lamat-lamat pasangan suami istri di hadapannya itu. Dua pemandangan yang berbeda. Jika Hani terlihat tenang dalam kepura-puraannya, lain lagi dengan Panji. Tampak betul pria itu dilanda risau."Saya bisa saja meminjamkan uang sebanyak yang kalian pinta tanpa bunga," tutur Banyu dengan lugas, "ingat tanpa bunga!"Iris hitam Banyu menangkap pergerakan pada bibir Hani. Benar ... dalam tangisnya, wanita itu tersenyum. Sedangkan Panji terlihat begitu tegang. Seolah dirinya tengah menanti suatu keputusan berat."Tapi ... tolong berikan hak asuh Kenzi dan Azriel pada ibunya," pungkas Banyu dengan senyum kalemnya."Mana bisa begitu, Pak Banyu." Panji langsung menginterupsi. Banyu sendiri sudah menduga jika pri
Hani turun ke dapur. Dia ingin membuatkan minuman untuk Panji. Siang nanti, dirinya bersama sang suami akan bertemu dengan Banyu berserta pengacara pria itu guna melakukan transaksi.Hani membuka kabinet dapur atas. Tangannya meraih dua toples kaca. Satunya berisi kopi hitam dan satunya lagi berisi gula pasir. Wanita itu meracik kedua bahan tersebut ke dalam cangkir.Hani mulai menyeduh kopi tersebut. Selagi tangannya mengaduk bibirnya merapalkan mantra. Dia menginginkan Panji benar-benar takluk kepadanya. Seperti masa enam tahun silam.Benar ... Hani mendapatkan Panji memang dengan cara main belakang. Makanya saat itu, Panji yang amat mencintai keluarganya mendadak menjadi pria yang bengis.Semenjak Zea masuk sekolah, Hani memang sudah jarang menjampi Panji. Makanya pria itu sudah mulai tidak patuh padanya.
"Baik semua berkas sudah ditanda tangani, saya nyatakan kesepakatan kita sudahdealdanmeetingberakhir.” Gilang berbicara dengan lugas dan tenang.Di sampingnya Banyu diam mendengarkan dengan wibawanya. Sementara di sebelah kanannya Banyu, Layla duduk dengan perasaan haruBeberapa kali wanita itu mendongak guna menahan luapan air matanya. Tentunya ini air mata kebahagiaan. Bagaimana tidak, kesedihan hatinya selama enam tahun menemui ujung. Sebentar lagi Layla akan bisa mendekap kedua putranya tanpa halangan.“Untuk pengesahan legalitas hak asuh nanti akan ditangani oleh Pak Beni selaku pengacaranya Pak Banyu,” kata Gilang seraya menunjuk pria paruh baya yang duduk di sebelah kirinya, “nanti Pak Panji tinggal mengikuti prosedurnya saja,” imbuhnya menjelaskan.
Layla tengah berkutat di dapur. Untuk merayakan kembalinya anak-anak, wanita berbibir tipis itu sengaja membuat banyak makanan. Karena tidak mungkin dibuat sendiri ada beberapa menu yang ia pesan dari rumah makan.Untuk menambah meriahnya acara, Layla mengundang Seli berserta Chelsea. Sang sahabat kini ikut membantunya membuat nasi liwet, ikan bakar dan sambal terasi.Sementara Chelsea sudah bergabung dengan Kenzi dan Azriel. Tentunya ada Om kesayangannya yakni Banyu. Keempat orang itu asyik bermain monopoli. Hingga akhirnya Layla dan Seli datang membawakan makanan.“Wahhh ... harum sekali baunya. Jadi gak sabar pengen makan,” celetuk Chelsea seraya membaui aroma makanan yang dibawa oleh ibunya.“Ayo anak-anak sini kumpul!” seru Layla dari meja makan.
Malam kian merangkak naik. Hani ditemani Panji menunggu kepulangan Atha. Namun, sampai jam besar berdentang dua belas kali belum ada tanda-tanda Atha akan pulang.Sebagai seorang Ibu, tentu Hani gelisah. Apalagi nomor telepon Atha tidak bisa dihubungi. Begitu juga dengan kontaknya Bela.“Ke mana sih itu anak?” gumam Hani gusar.Dia mondar-mandir membuka tirai jendela. Berharap putra kesayangannya akan menampakkan diri. Namun, sampai kakinya pegal, harapannya tetap nihil.Di lain pihak, Panji menelepon semua teman-temannya Atha yang ia kenal. Walau pun hanya anak tiri, tetapi rasa tanggung jawab Panji tetap besar untuk anak itu. Apalagi dia dalam pengaruh jampinya Hani.Panji menghembus napas lelah. Dari semua teman Atha yang dihubungi tidak ada satu pun yang me