Share

Dendam Yang Membara

Malam harinya, Kei keluar dari kamar tamu. Seharian ia mengurung diri di kamar itu, tak ingin menambah luka di hatinya dengan melihat kebersamaan Arka dan Clara.

Beruntung siang tadi orang suruhan papanya datang mengantar barang-barangnya, ia bisa berganti pakaian dengan pakaiannya sendiri.

Kei berdiri di dekat anak tangga pertama, menatap pintu kamar Arka yang sedikit terbuka. Ia ingin mengambil ponselnya yang tertinggal di kamar itu, karena mengira Clara masih ada di sana ia urungkan niatnya.

"Nyonya, makan malam sudah siap."

"Rumi, kamu mengejutkanku." Karena larut dalam lamunan, Kei sampai tak menyadari kedatangan Rumi.

"Maafkan saya, Nyonya," ucap Rumi seraya menunduk.

"Tak apa, Rumi. Aku hanya sedang melamun. Anu... apa aku bisa meminta bantuan?"

Rumi tampak mengerjap saat Kei mendekat.

"Bisa tolong ambilkan ponselku yang tertinggal di kamar Mas Arka? Aku tidak mau ke sana lagi," ucapnya dengan raut wajah gelisah.

"Baik, Nyonya. Akan saya ambilkan. Nyonya tidak perlu sungkan. Jika butuh sesuatu, katakan saja pada saya. Tunggu lah di meja makan, saya akan segera kembali."

Kei mengangguk. Meski hatinya carut marut tak berbentuk, bibirnya masih bisa mengulas senyuman sebagai bentuk terima kasih pada pelayan tersebut.

Tak lama berselang, Rumi kembali menghampiri Kei. Ia tersenyum saat Kei beranjak menghampirinya dengan tak sabar. "Ini, Nyonya," katanya.

"Terima kasih, Rumi. Apa... apa wanita itu masih ada di sana?" tanya Kei dengan ragu.

Namun belum sempat menjawab, Arka muncul tiba-tiba mengejutkan keduanya.

"Kembali bekerja!" tegas Arka pada Rumi. Tatapan pria itu tampak dingin, membekukan siapa saja yang menjadi lawan bicaranya.

Rumi mengangguk takut, lalu segera beranjak pergi dari sana. Sementara Kei, ia pun hendak pergi. Nafsu makannya sudah hilang entah ke mana.

Namun, cekalan tangan Arka di lengannya membuat Kei menghentikan langkah. Pria itu bahkan sedikit menyeret Kei dan mendudukkan Kei di kursi meja makan.

"Makan!" ucap Arka penuh penekanan.

Kei mengatupkan bibir dan menatap Arka dengan tatapan sendu. Ia rindu Arka-nya yang dulu.

Sikap Arka ini benar-benar tidak bisa ia mengerti. "Kenapa kamu berubah, Mas? Apa salahku?" tanyanya dengan lirih.

Kei kira Arka berubah karena pria itu tengah mabuk. Tapi nyatanya, dalam keadaan sadar pun Arka tetap bersikap kejam.

"Tidak usah banyak tanya," ujar Arka dingin. Ia tatap Kei dengan sorot tajam. "Dan satu hal lagi, lupakan kejadian semalam. Anggap itu tidak pernah terjadi," katanya ringan, seolah itu hanya angin lalu.

Kalimat itu sungguh menyakitkan. Mana mungkin Kei bisa melupakan semuanya? Meski Arka melakukannya dalam keadaan mabuk, tapi malam itu adalah malam yang tak akan pernah dia lupakan seumur hidup.

Malam yang seharusnya menjadi pengalaman terindah, malah berubah menjadi luka dan mimpi buruk.

"Sebenarnya apa salahku, Mas? Jika aku punya salah padamu, tolong katakan. Beri tahu aku agar aku bisa memperbaikinya. Jangan seperti ini," kata Kei setelah berhasil mengumpulkan kata-kata. Ia tatap suaminya dengan sorot sendu. "Dimana Arka yang dulu? Kenapa kamu terasa asing, Mas?" Gadis itu mulai terisak.

Mendengar hal itu, Arka lantas mendengus. Ia balas menatap Kei. "Ini aku yang sebenarnya."

Kei menggeleng tak percaya. "Lalu kenapa kamu menikahi ku?!" pekiknya marah. Ia tak tahan lagi melihat sikap dingin Arka.

Andai waktu bisa diulang, lebih baik dulu ia menolak Arka dan membentengi dirinya agar tak jatuh cinta pada pria itu. Setidaknya ia tak akan merasakan sakit ini.

"Untuk membuatmu menderita! Apa jawaban itu cukup untukmu?" jawab Arka dengan dingin. Tatapan cinta yang dulu selalu terlihat dari kedua netra pria itu hilang entah ke mana. Berganti dengan tatapan dingin dan tajam mematikan.

"Tapi kenapa?!" balas Kei tak terima.

Arka tiba-tiba beranjak, menangkup dagu Kei dengan ibu jari dan jari telunjuknya. Kei meringis karena kuku-kuku pria itu terasa menancap menimbulkan rasa perih.

"Jaga nada bicaramu di depanku!" sentak pria itu dengan mata menyalang, membuat nyali Kei menciut.

"Jangan berteriak atau aku benar-benar akan membungkam mulutmu selamanya!" ancam Arka penuh penekanan.

Air mata Kei semakin membanjir. Ia tatap mata tajam Arka dengan nanar, menyiratkan betapa hatinya begitu sakit. Kei merasa bodoh karena tak mengetahui apa pun tentang Arka.

Mendapati tatapan sedemikian rupa, Arka tak tahan. Ia menghempaskan dagu Kei hingga perempuan itu memalingkan wajahnya.

"Bunuh saja aku agar kamu puas! Jika dendam yang wanita itu katakan memang benar, kenapa kamu tidak membunuhku saja tadi malam? Kenapa hanya kehormatanku yang kamu rampas paksa? Kenapa tidak nyawaku sekalian?!" Kei tak bisa lagi menahan diri.

"Bunuh aku agar dendam yang kamu miliki untukku selesai!" teriak Kei sambil terisak pilu. Ia tak mengerti, dendam apa yang Arka miliki untuknya? Seingatnya, ia tak pernah melakukan kesalahan apapun pada Arka. Sejak mengenal Arka, ia merasa tak pernah menyakiti pria itu.

Arka mendenguskan tawa sinis mendengar raungan Kei. Pria itu terlihat begitu berbeda. Sorot matanya hanya menyiratkan kebencian. Ia tampak mengerikan.

Ia melangkah mendekati Kei yang mundur sampai terpojok ke dinding. Kei merasakan ketakutan menjalari tubuhnya seperti tadi malam.

"Jika aku membunuhmu dengan cepat, bukankah permainan ini jadi tidak menarik?"

Permainan?

Jadi semua ini permainan bagi Arka?

Kei mengatupkan bibir rapat-rapat, tak bisa lagi berkata-kata. Dadanya semakin terasa sesak, nafasnya bahkan tak beraturan menahan pedih. Ia hanya bisa menangis.

Setiap kalimat yang terlontar dari mulut suaminya seolah mengandung misteri yang Kei tak mengerti. Dan sekuat apapun ia mencari jawaban dari setiap pernyataan Arka, ia tak pernah bisa menemukannya.

"Mas, apa..."

"Dengar ini, Shaletta Kei," sela Arka dengan nada dingin. Kebencian masih sangat jelas terpancar dari wajah tampannya. "Aku akan membuatmu merasakan sakit yang sama, bahkan lebih sakit dari yang telah kamu berikan!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status