Kei tentu tak terima dengan jawab pria itu, apalagi wanita yang bergelayut manja di lengan suaminya tampak tersenyum mengejek. Hal itu semakin memancing kekesalan Kei, ia menarik wanita bernama Clara itu dan menjauhkannya dari Arka.
"Jauhi suamiku!" pekik Kei marah.Clara yang memang benci pada Kei menggunakan kesempatan itu untuk menyerang balik. Dengan kuat Clara menampar pipi Kei, menimbulkan bunyi cukup keras hingga Kei mundur beberapa langkah karena kerasnya tamparan itu.Tak ingin kalah, Kei pun mengangkat tangan kanannya, hendak membalas tamparan Clara. Tapi Arka menahannya. Pria itu menghempaskan tangan Kei dengan keras."Jaga sikapmu!"Kei menatap Arka dengan nanar, air matanya semakin membanjir, "Kamu membelanya, Mas? Setelah apa yang kamu lakukan semalam, kamu justru membawa wanita ini dan membelanya?! Apa kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan?!""Diam kamu, wanita sialan! Harusnya kamu tahu diri!" sentak Clara, membuat Kei terkejut."Yang berhak atas diri Arka dan rumah ini adalah aku. Kamu siapa, hah? Kamu itu hanya objek pelampiasan balas dendam Arka. Jangan kurang ajar!" teriak Clara.Kei tergugu, ia berusaha mencerna kalimat yang Clara lontarkan. Ia benar-benar tak mengerti. Apa maksud kata-kata Clara?Baru saja hendak bertanya untuk meminta penjelasan, Arka membawa Clara pergi ke kamar."Mas! Tunggu! Mas Arka!"Percuma, sekeras apapun Kei berteriak memanggil Arka, pria itu tak menggubrisnya sama sekali."Mas..." Kei jatuh meluruh ke atas lantai, menangis sejadi-jadinya.Pernikahan indah impiannya memang terwujud, tapi keindahan dan rasa bahagia yang belum genap 24 jam ia rasakan sudah hancur dalam semalam."Apa salahku, Mas?"Tangisan Kei semakin terdengar pilu. Tak ada yang berani mendekat, semua pelayan takut pada Arka."Rumi..." lirih Kei saat melihat gadis itu mendekat untuk menenangkannya."Jangan menangis, Nyonya," ucap si pelayan."Apa salahku, Rumi? Mas Arka mengkhianati ku... dia bukan mas Arka yang aku kenal, dia berubah hanya dalam semalam..."Rumi hanya diam, sebelah tangannya mengusap punggung Kei dengan lembut. Gadis itu bingung harus bicara apa. Lagipula sebagai seorang pelayan, ia tak berhak mengomentari masalah dalam rumah tangga tuannya.Sampai Kei lelah dan tangisannya mulai mereda, Rumi sedikit menjauh untuk memberi jarak di antara mereka. "Mari, saya antar Nyonya ke kamar tamu," ucapnya.Mendengar kalimat itu, Kei kembali menangis. Bukankah posisinya Nyonya di rumah itu? Tapi ia justru tersingkir ke kamar tamu.***"Lepas, Arka! Kenapa sih kamu bawa aku ke kamar? Aku belum puas memberinya pelajaran! Wanita itu harus diberi peringatan!" Clara meronta dari genggaman Arka begitu mereka tiba di kamar lantai atas."Dia itu hanya mempunyai status dari kamu, tapi tidak berhak atas dirimu. Apalagi rumah ini, harusnya aku yang menjadi nyonya! Sampai kapan kamu akan terus bermain-main seperti ini? Sampai kapan kamu akan terjebak dalam pernikahan balas dendam ini? Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Arka. Aku mau kamu segera menceraikannya lalu nikahi aku!" cecar Clara.Gadis itu kesal bukan main, harusnya Arka tak memisahkannya tadi karena ia sangat ingin kembali menampar Kei."Bersabarlah. Setelah urusanku dengannya selesai, aku pasti akan menikahi mu," kata Arka setelah lama terdiam. Ia membawa Clara duduk di sofa, mengusap punggung tangan perempuan itu untuk menenangkannya."Iya, tapi kapan? Sudah dua tahun kita menjalin hubungan, tapi kamu justru menikahinya! Apa kamu pernah membayangkan seberapa besar rasa sakit di hatiku? Kamu egois!"Arka menghela nafas panjang, ia mulai lelah dan jengah, "Kamu tahu pasti alasanku menikahinya. Bersabarlah sebentar lagi, setelah itu kita akan benar-benar menikah."Clara menghembuskan nafas kasar. Selain mengangguk untuk bersabar, ia tak bisa apa-apa lagi. Ia tak mau kehilangan Arka."Baiklah, aku akan bersabar," ucap Clara kemudian. Ia mengalungkan kedua tangannya di leher Arka, memeluknya dan menggodanya dengan memainkan jemari tangannya di leher pria itu."Clara," tegur Arka sambil melepas kedua tangan Clara dari lehernya. Ia duduk bergeser untuk memberi jarak."Kenapa sih, Sayang? Kenapa kamu nggak pernah mau menyentuhku?" tanya Clara dengan wajah terluka."Ada saatnya, Clara. Ada saatnya aku akan menyentuhmu," jawab Arka datar.Clara berdecak, pandangannya terarah ke atas ranjang yang tampak masih berantakan. Kei memang belum sempat membereskannya. Ia lantas menatap Arka dengan tajam. "Jangan katakan kamu sudah menyentuh jalang itu!"Arka terdiam beberapa saat, mencari jawaban yang tepat agar tak membuat Clara marah atau melukai perempuan itu. "Percaya padaku, Sayang.""Bagaimana aku bisa percaya? Apa ada jaminan kalau kamu benar-benar tidak menyentuhnya?" tanya Clara dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kalian suami istri, dan aku hanya..."Clara tak dapat melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba saja air matanya sudah menetes. Ia langsung menghapus air matanya dengan kasar, pikirannya sudah tak karuan. Apalagi melihat kasur yang berantakan itu, mustahil tidak terjadi apa-apa.Clara beranjak, mengambil tas di atas nakas hendak pergi."Ra, tunggu. Aku hanya tidak mau merusak mu," kata Arka menyusul gadis itu, berusaha menahannya. "Hanya kamu satu-satunya wanita di hidupku."Clara menepis tangan Arka yang hendak menggenggam tangannya. "Aku mau pulang!""Biar ku antar."Tak ada jawaban dari Clara, tak ada juga penolakan. Perempuan itu pergi begitu saja.Arka mengeraskan rahang. Situasi rumit ini benar-benar membuat kepalanya hampir pecah.'Semua gara-gara wanita sialan itu!'Malam harinya, Kei keluar dari kamar tamu. Seharian ia mengurung diri di kamar itu, tak ingin menambah luka di hatinya dengan melihat kebersamaan Arka dan Clara.Beruntung siang tadi orang suruhan papanya datang mengantar barang-barangnya, ia bisa berganti pakaian dengan pakaiannya sendiri.Kei berdiri di dekat anak tangga pertama, menatap pintu kamar Arka yang sedikit terbuka. Ia ingin mengambil ponselnya yang tertinggal di kamar itu, karena mengira Clara masih ada di sana ia urungkan niatnya."Nyonya, makan malam sudah siap.""Rumi, kamu mengejutkanku." Karena larut dalam lamunan, Kei sampai tak menyadari kedatangan Rumi."Maafkan saya, Nyonya," ucap Rumi seraya menunduk."Tak apa, Rumi. Aku hanya sedang melamun. Anu... apa aku bisa meminta bantuan?"Rumi tampak mengerjap saat Kei mendekat."Bisa tolong ambilkan ponselku yang tertinggal di kamar Mas Arka? Aku tidak mau ke sana lagi," ucapnya dengan raut wajah gelisah."Baik, Nyonya. Akan saya ambilkan. Nyonya tidak perlu sungkan. Ji
Malam sudah larut, tapi entah mengapa Arka belum juga memejamkan matanya. Ia menatap tempat kosong di sebelahnya, ada rasa aneh yang menjalar di hatinya."Shit!" umpatnya. Dengan gusar pria itu mengusap wajah, lalu kembali bangun dan beranjak ke balkon. Ia nyalakan sebatang rokok yang masih tergeletak di atas meja, mungkin kemarin malam tertinggal di sana.Ia nikmati batang panjang yang menghasilkan kepulan asap itu dengan mata terpejam. Samar-samar terdengar suara isak tangis. Ia beranjak ke sisi pagar balkon, sedikit mencondongkan tubuhnya untuk melihat ke balkon sebelah.Kei tengah duduk meringkuk di pojok balkon seraya menelungkupkan wajahnya di atas kedua lengan yang terlipat di atas lutut. Bahu perempuan itu bergetar, di depannya ponselnya tergeletak dan mulai berdering. Namun, perempuan itu tak mengangkat panggilan masuknya sama sekali.Arka terus menatap gadis itu dalam diam. Sesuatu menelusup ke dalam hatinya dan membuat Arka merasa tidak nyaman. Ada perasaan aneh. Hatinya t
"Berani-beraninya kamu bermesraan dengan pria lain di hadapanku?!" Cecar Arka, ia mengeratkan genggaman tangannya di pergelangan tangan Kei. Padahal luka memar di tangan Kei belum memudar sepenuhnya, tapi kini Arka kembali membuat luka baru."Lepas, mas. Kamu menyakitiku," ucap Kei dengan lirih. Matanya berembun, setiap pria itu kasar, hatinya terasa sakit."Ini pantas kamu dapatkan, kamu harus aku beri pelajaran agar tidak bertindak sesukamu! Kenapa kamu memeluk pria lain, hah?" Sentak Arka.Kei memejamkan matanya saat suara bentakan pria itu terdengar memekakkan telinganya. Air mata yang sedari tadi menggenang kini meluruh sudah. "Dia hanya temanku, mas. Bukan kah dia juga sahabat mu?" Ucap Kei. Perempuan itu mulai terisak. Sakit di pergelangan tangannya tak seberapa jika di bandingkan dengan rasa sakit yang hatinya rasakan karena perlakuan pria itu."Teman? Aku meragukan itu! Apa dia juga sudah menikmati tubuhmu?! Apa kamu juga merayunya? Aku percaya padanya, tapi kamu? Jalang sepe
"Sial!" Umpatnya, ia lalu kembali memasuki kamar dan meminta Rumi mengatakan pada tamunya bahwa ia dan Kei akan segera turun.Dengan cepat Arka kembali memasuki kamar, menutup pintunya lalu menguncinya. Ia menghampiri Kei dan duduk di hadapan perempuan itu."Bersiaplah, di bawah ada orang tua mu. Dan ingat satu hal Kei, jika kamu mengatakan semua yang sudah terjadi, bukan hanya kamu yang akan celaka, tapi juga mereka! mengerti?" Ancamnya.Kei tersenyum sinis, ia menyembunyikan ketakutannya dan memberanikan diri menatap mata tajam suaminya, "Kamu tenang saja, Arka. Aku juga tidak akan membiarkan mereka tahu nasib buruk putrinya. Jangan khawatir, kebusukan mu tidak akan terbongkar. Aku masih punya hati nurani untuk menjunjung dan menghormati suamiku di hadapan keluargaku!" ucap Kei dengan tegas.Mendengar Kei memanggil namanya saja, entah mengapa Arka merasa tak suka. Tapi tak ada waktu untuk kembali memberi Kei pelajaran, di bawah ada kedua orang tua Kei, mereka harus menyiapkan diri u
Kei menangis terisak di balik selimut tebal yang menutup tubuh polosnya. Beberapa saat yang lalu, Arka kembali memaksakan dirinya, melukai tubuhnya juga hatinya.Entah apa yang pria itu pikirkan, padahal Arka sendiri sudah berjanji tak akan menyentuh Kei lagi. Ia bahkan mengatakan pada Kei untuk melupakan kejadian malam pertama mereka, tapi malam ini Arka melanggarnya sendiri.Bukannya Kei tak mau melakukan kewajibannya sebagai seorang istri untuk memberikan hak suaminya, tapi cara pria itu lah yang membuatnya merasa marah. Andai Arka memintanya dengan penuh cinta, Kei pun tak akan keberatan. Tapi lagi-lagi Arka melakukannya dengan kasar, ia menambah deretan luka di tubuh istrinya.Dengan menggulung selimut tebal untuk membungkus tubuh polosnya, Kei beranjak tertatih ke kamar mandi. Ia tak perduli dengan Arka yang kini tengah duduk menatapnya dengan tubuh polos karena selimut yang juga menutup tubuhnya Kei bawa.Rasanya sakit, meski ini bukan yang pertama untuk Kei, tapi tetap saja ra
"Hiko?" Kei tampak antusias, melupakan tatapan tajam Arka yang seolah siap menghunusnya. "Waw, Kei. Kamu terlihat sangat berbeda malam ini," puji Hiko. "Biasa saja, Hiko." Kei tersipu, sikap malu-maluKei membuat Arka semakin kesal. Mungkin jika dapat terlihat, ada kobaran api yang keluar dari hidung dan telinganya. "Untuk apa kamu kesini? Kita mau pergi," ucap Arka dengan ketus."Mau jemput kalian, kita akan pergi bersama ke peresmian perusahaan pak Cio," ucap Hiko dengan santai. Ia menggelengkan kepalanya melihat sikap Arka, dan Hiko semakin ingin membuat sahabatnya itu cemburu."Kamu juga kesana?" Tanya Kei, ia tersenyum lebar saat Hiko mengangguk mengiyakan."Aku Cio mengundangku. Ternyata dia masih mengingatku Kei, tidak seperti kamu. Kamu bahkan tidak mengenaliku saat kita bertemu lagi," Hiko menggerutu, membuat Kei tertawa lalu menggandeng tangan Hiko."Maaf.." rengek Kei."Ekhemmm." Arka berdehem, ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Kei dan Hiko bergantian. Ta
"Ya sayang? Disini membosankan, aku merindukanmu."Kei menghela nafas dalam, ternyata mengikuti Arka ke toilet adalah kesalahan. Hatinya sakit saat ia mendengar Arka bicara mesra dengan Clara.Pria itu tak pergi ke toilet, melainkan mencari tempat sepi untuk menghubungi kekasihnya."Sepulang dari sini, aku pasti ke apartemen kamu, apa kamu mau aku belikan sesuatu? Spaghetti kesukaanmu misal?" Tanya Arka, ia tampak tersenyum, sesekali merayu Clara, sesekali mengucapkan kata cinta.Kei tak sanggup lagi, ia memutuskan untuk kembali ke ballroom. Pandangannya mulai kabur karena air mata mendesak keluar dari kedua netranya.BUGKei nyaris jatuh terduduk saat tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Karena tak fokus, ia tak melihat ada seseorang yang datang dan tanpa sengaja ia tabrak."Kei, dari mana?"Kei mendongak, "Maaf, aku tidak sengaja. Aku..""Kenapa, Kei?"Kei tak menjawab, ia yang tak tahan ingin menangis semakin ingin menangis saat Hiko bertanya padanya."Hiko, aku.."Tumpah lah air m
Arka celingukan mencari Kei, ia kira Kei kembali ke ballroom tempat acara Cio, tapi ternyata perempuan itu tak berada disana. Beruntung keluarga Kei tak melihatnya, jika tidak, pasti akan banyak pertanyaan yang di layangkan padanya. Ia pun memutuskan untuk pulang, sepertinya Kei juga sudah pulang, begitu pikirnya.Pria itu melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi, hanya sepuluh menit saja, ia sudah sampai di rumahnya. Langkah lebar membawanya ke kamar, ia buka pintu kamar itu dengan keras, "Kei!" Panggilnya."Kemana dia?!" Ucapnya dengan kesal, Kei tak berada di kamar, ia lalu menuju kamar sebelah, kamar yang terkadang Kei tempati. Hendak langsung membukanya, namun ternyata pintu itu terkunci. "Kei, aku tahu kamu di dalam. Buka pintunya!"Bukan lagi hanya ketukan, tapi Arka menggedor pintu di depannya dengan keras. Menimbulkan suara gaduh yang membuat Kei segera beranjak untuk membukanya. Padahal ia baru saja hendak berganti pakaian, tapi Arka datang dengan tak sabar.CEKLEK"