Share

Siapa Pria Itu?

Malam sudah larut, tapi entah mengapa Arka belum juga memejamkan matanya. Ia menatap tempat kosong di sebelahnya, ada rasa aneh yang menjalar di hatinya.

"Shit!" umpatnya. Dengan gusar pria itu mengusap wajah, lalu kembali bangun dan beranjak ke balkon. Ia nyalakan sebatang rokok yang masih tergeletak di atas meja, mungkin kemarin malam tertinggal di sana.

Ia nikmati batang panjang yang menghasilkan kepulan asap itu dengan mata terpejam. Samar-samar terdengar suara isak tangis. Ia beranjak ke sisi pagar balkon, sedikit mencondongkan tubuhnya untuk melihat ke balkon sebelah.

Kei tengah duduk meringkuk di pojok balkon seraya menelungkupkan wajahnya di atas kedua lengan yang terlipat di atas lutut. Bahu perempuan itu bergetar, di depannya ponselnya tergeletak dan mulai berdering. Namun, perempuan itu tak mengangkat panggilan masuknya sama sekali.

Arka terus menatap gadis itu dalam diam. Sesuatu menelusup ke dalam hatinya dan membuat Arka merasa tidak nyaman.

Ada perasaan aneh. Hatinya terenyuh mendengar tangisan Kei yang terdengar begitu pilu. Namun, Arka segera menepis perasaan itu. Rencananya untuk membalas dendam sudah sangat matang. Ia tidak akan membiarkan semua itu hancur karena perasaan sesaat.

Arka lalu beranjak dari sana. Ia memutuskan untuk menghubungi sahabat yang sekaligus merangkap sebagai asistennya. Arka butuh hiburan.

Namun baru saja turun ke lantai bawah, sahabatnya itu ternyata sudah berada di sana sambil tersenyum lebar.

"Astaga, aku baru saja mau pergi ke apartemenmu."

Hiko tersenyum, menghampiri Arka lalu memeluknya.

"Maaf tidak menghadiri pernikahanmu. Dan aku ucapkan selamat untuk itu."

Arka menghela nafas panjang, sahabatnya itu memang tak tahu alasan ia menikah. Hanya Clara yang tahu. Jika Hiko tahu, mungkin pria itu akan melarangnya.

"Tidak usah berlebihan, Ko. Lagi pula hanya pernikahan," jawab Arka, tampak enggan membahas pernikahannya.

Jawaban itu membuat Hiko melepas dekapannya, lalu menatap Arka dengan kenging berkerut.

"Apa semua baik-baik saja?"

Arka mengangguk, lalu menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, "Gimana urusan di sana? Apa semua berjalan lancar?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Hiko memang dinas ke luar kota selama beberapa minggu terakhir.

"Ya, semuanya lancar. Seperti yang kita harapkan, mereka setuju dengan harga yang kita tawarkan. Tidak ada tawar menawar yang alot, semuanya mudah." Hiko duduk di sofa yang sama dengan Arka, ia masih merasa ada yang tidak beres dengan Arka.

Sebenarnya, ia tak percaya saat Arka mengatakan mengakhiri hubungannya dengan Clara dan memilih menikahi gadis lain. Ia merasa ada sesuatu yang ia tak tahu dari sang sahabat. Karena setahunya, hubungan Arka dan Clara baik-baik saja, mana mungkin Clara mau memutuskan hubungannya dengan Arka begitu saja. Hiko sangat mengenal Clara, ia juga tahu tujuan awal Clara saat gadis itu mendekati Arka. Namun Arka seolah menutup mata, tak mau mendengarnya.

"Baguslah, aku puas dengan cara kerjamu. Untuk merayakannya, apa kita harus minum?" Arka menyeringai, ia menepuk pundak Hiko agar pria itu mau.

Namun, Hiko menggeleng. "Kamu tahu sendiri aku tidak minum. Oiya, mana istrimu? Aku juga ingin mengucapkan selamat padanya. Ada hadiah kecil yang akan aku berikan pada istrimu."

"Dia di kamar, mungkin sudah tidur. Sudah lah, lebih baik kita pergi ke suatu tempat untuk merayakan keberhasilanmu," Arka masih berusaha berkilah. Tapi penolakan itu justru membuat Hiko semakin curiga.

Belum sempat Hiko mengatakan sesuatu, kemunculan Kei dari arah tangga mengejutkannya.

"Loh, Kei? Kamu Kei kan?"

Arka menoleh, ternyata Kei memang ada disana. Kenapa perempuan itu turun? Bukankah tadi ia sedang menangis?

"Aku ingat betul, kamu Shaletta Kei kan?" ulang Hiko.

Kei diam saja, ia menatap Hiko dengan mata memicing. Membuat bola matanya semakin tenggelam tak terlihat karena kelopak matanya sembab dan sedikit membengkak karena terus menangis.

Tak mendapat jawaban dari Kei, Hiko beranjak menghampiri perempuan itu. Semakin dekat ia semakin yakin bahwa ia tak salah mengenali orang, itu memang Kei. "Benar, ternyata beneran kamu. Apa kamu ingat aku?"

"Eh... siapa? Maaf, aku tidak begitu ingat..." jawab Kei bingung. Ia mulai merasa tidak nyaman karena tatapan pria asing itu melekat padanya.

"Ini aku, aku..."

"Hiko," potong Arka. Ia menghampiri Kei dan Hiko lalu melingkarkan tangannya di pinggang ramping Kei, merengkuh perempuan itu dengan posesif. "Dia sahabatku, namanya Hiko. Apa kamu mengenalnya, Sayang?" Arka menatap Kei sambil tersenyum. Tatapan matanya seolah menyiratkan suatu ancaman agar Kei mengikuti sandiwaranya.

"M-maaf. Aku benar-benar lupa," ucap Kei dengan suara pelan.

"Kalau begitu, mari kita berkenalan ulang." Hiko mengulurkan tangannya, "Aku Ahiko Daniel, murid kelas 10 IPA 1 di sekolah Bina Bangsa," ucapnya dengan sumringah.

"Astaga, Hiko? Hiko yang..."

"Yang dulu gendut dan berkaca mata. Yang dulu dijauhi semua orang dan hanya Shaletta Kei lah yang berbaik hati mau berteman dengannya," potong Hiko.

Kei seketika menatap Hiko dengan mata berbinar, tak menyangka bisa kembali bertemu dengan teman lamanya. Teman saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas.

Tanpa Kei sadari, Arka memperhatikan semua gerak-geriknya dengan bibir terkatup rapat. Ada perasaan aneh yang sulit untuk ia jabarkan. Rasa tak nyaman yang membuat Arka gelisah. Apalagi ketika tiba-tiba Kei memeluk Hiko di hadapannya. Hatinya bergejolak, ada rasa panas yang menjalari tubuhnya.

Berani-beraninya wanita itu bertindak sesukanya?!

Arka berdeham keras, membuat Kei seketika sadar dan melepas pelukan rindunya pada sang teman lama.

Kei terlihat agak salah tingkah, sebelum bertanya pada Hiko. "Bagaimana kabarmu?"

Hiko terkekeh, Kei masih sebaik dulu, "Baik, tentu saja aku baik. Aku tidak menyangka ternyata kamu istri dari Arka, sahabatku."

Kei pun melirik Arka yang kini menatapnya dengan tajam. Ada rasa takut yang kembali menyusup. Ia takut Arka kasar lagi padanya.

"Arka, aku ikut bahagia. Kamu beruntung mendapatkan Kei, gadis paling baik hati yang pernah aku kenal," kata Hiko. Ia menepuk bahu Arka beberapa kali, senyum tulus terpatri di wajah tampannya.

Arka mengangguk tipis sambil tersenyum. "Aku memang beruntung menikahinya."

Entah mengapa kalimat itu terdengar berbeda di telinga Kei, bukan terdengar seperti kalimat pujian. Namun terdengar seperti kalimat ancaman yang penuh dengan misteri. Apalagi tatapan tajam pria itu masih tertuju padanya, seolah mengingatkan Kei agar tidak bertindak sesuka hati.

"Oiya, Kei. Aku sampai lupa, aku bawakan hadiah kecil untukmu. Sebagai permintaan maafku karena aku tidak bisa hadir ke pernikahan kalian. Sebentar, aku ambilkan," Hiko tampak semangat, ia mengambil paperbag kecil yang ia simpan di dekat sofa.

Sepeninggal Hiko, Arka kembali merangkul pinggang Kei. Kali ini rangkulan itu bukan hanya erat saja, tapi juga menyakiti Kei. Arka sengaja menekan pinggang Kei dengan keras, membuat perempuan itu meringis dan berusaha menjauhkan dirinya.

"Mas!" protes Kei dengan suara berbisik.

Alih-alih melepasnya, Arka justru menyeringai. Ia tampak puas sudah menyakiti Kei. Sampai akhirnya Hiko kembali, Arka pun melonggarkan lingkaran tangannya di pinggang perempuan itu.

Kei menggigit bibir bawahnya, menahan sakit yang masih terasa. Ia tak mau Hiko melihatnya dan curiga dengan keadaan rumah tangganya.

"Ini hadiah untuk kalian, buka ini saat aku sudah pulang nanti," ucap Hiko seraya memberikan paperbag kecil itu pada Kei.

"Terima kasih, Hiko. Kenapa kamu repot-repot? Sebuah doa saja sudah cukup untukku," ucap Kei, berusaha terlihat biasa saja.

Hiko agak mengernyit mendengar ucapan gadis itu. Ia menatap Kei yang berdiri canggung dalam dekapan tangan Arka yang menampilkan ekspresi datar. Situasi itu... cukup janggal untuk pasangan suami istri yang baru menikah. 

Tapi Hiko memutuskan untuk membuang pemikiran itu dari kepalanya.

"Ini tidak merepotkan, Kei. Aku ikhlas, apalagi kalian adalah temanku." Hiko kembali tersenyum, menatap keduanya bergantian.

Lagi-lagi ia menangkap tatapan berbeda dari Arka untuk Kei. Mungkinkah...

"Sudah malam. Apa kau berencana menginap di sini?" tanya Arka tiba-tiba, menyentak Hiko dari lamunan.

Pria itu tertawa canggung. "Ah ya, aku harus pulang. Aku tidak mau mengganggu pengantin baru," goda Hiko sambil mengerling.

Arka menarik salah satu ujung bibirnya ke atas. Ia lantas merangkul Hiko dan mengantar pria itu ke pintu utama. Mereka berbincang ringan, sedangkan Kei hanya bisa mengikuti mereka dari belakang.

Ingin rasanya Kei berteriak minta tolong pada Hiko, tapi ia tak seberani itu. Kei juga tak mau aib dalam rumah tangganya diketahui orang lain.

Saat tengah tenggelam dalam lamunan, Arka tiba-tiba saja sudah kembali dan menarik tangan Kei dengan kasar. 

"Berani-beraninya kamu bermesraan dengan pria lain di hadapanku?!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status