Kei menangis terisak di balik selimut tebal yang menutup tubuh polosnya. Beberapa saat yang lalu, Arka kembali memaksakan dirinya, melukai tubuhnya juga hatinya.
Entah apa yang pria itu pikirkan, padahal Arka sendiri sudah berjanji tak akan menyentuh Kei lagi. Ia bahkan mengatakan pada Kei untuk melupakan kejadian malam pertama mereka, tapi malam ini Arka melanggarnya sendiri.Bukannya Kei tak mau melakukan kewajibannya sebagai seorang istri untuk memberikan hak suaminya, tapi cara pria itu lah yang membuatnya merasa marah. Andai Arka memintanya dengan penuh cinta, Kei pun tak akan keberatan. Tapi lagi-lagi Arka melakukannya dengan kasar, ia menambah deretan luka di tubuh istrinya.Dengan menggulung selimut tebal untuk membungkus tubuh polosnya, Kei beranjak tertatih ke kamar mandi. Ia tak perduli dengan Arka yang kini tengah duduk menatapnya dengan tubuh polos karena selimut yang juga menutup tubuhnya Kei bawa.Rasanya sakit, meski ini bukan yang pertama untuk Kei, tapi tetap saja rasanya sangat sakit. Namun rasa sakit di tubuhnya tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya."Akh.." ringisnya, ia menghentikan langkah beberapa saat untuk menetralkan rasa sakitnya. Lalu kembali berjalan ke kamar mandi.Sedangkan Arka, pria itu menatap Kei yang tengah meringis kesakitan. Lalu memungut pakaiannya dan memakainya. Ia beranjak ke balkon untuk merokok.Arka sendiri tak mengerti, kenapa ia bisa lepas kendali? Kenapa ia bisa kembali menyentuh Kei? Padahal ia sudah berjanji untuk tak melakukannya lagi. Apalagi ketika bayangan wajah Clara melintas di benaknya, ia menyesal, tapi juga membenarkan apa yang ia lakukan pada istrinya itu.Dengan gusar, pria itu mengusap wajahnya. Rokok yang baru saja ia nyalakan kembali ia matikan. Perasaannya tak menentu, entah lah, dendam membuatnya membenarkan semua perbuatan kasarnya pada sang istri.Ia menoleh saat mendengar suara pintu tertutup, membuatnya memasuki kamar dan mencari Kei. Perempuan itu tak ada, "Kemana dia?" gumamnya."Persetan dengannya, aku tidak perduli," ucapnya lagi.Meski malam mulai larut, Arka memutuskan untuk keluar rumah, ia butuh bertemu Clara untuk menenangkan hatinya yang gusar.***Kei tengah bersiap saat pintu kamar terdengar di ketuk, ia beranjak untuk membuka pintu kamar. Rumi tersenyum padanya."Nyonya, Tuan sudah menunggu," ucapnya.Kei mengangguk, "Aku akan menemuinya. Terima kasih, Rumi."Malam ini, ia dan Arka akan menghadiri peresmian anak perusahaan milik Cio, kakaknya. Beberapa saat yang lalu, Rumi mengantar gaun yang katanya dari Arka, tak ingin membuat pria itu marah, ia pun memakainya.Gaun panjang berwarna hitam tanpa lengan berleher tinggi yang begitu cocok di tubuh rampingnya. Di padukan dengan hand bag berwarna maroon dan high heels berwarna hitam, Kei terlihat sangat anggun. Rambut panjangnya di biarkan terurai, hanya di tambah aksen Curly di bagian bawah.Menghela nafas panjang untuk menyiapkan diri, Kei pun keluar dari kamar. Ia memang membutuhkan mental yang sehat dan ketenangan untuk berhadapan dengan Arka."Mas.." panggilnya.Arka menoleh, pria itu diam terpaku melihat penampilan anggun istrinya. Kei terlihat berbeda, mungkin karena riasan tipis di wajahnya, Kei tampak lebih segar dari biasanya. Dan entah mengapa, gairahnya kembali bangkit. Namun ia tak akan membiarkan hal itu terjadi lagi, Arka tak mau mengkhianati Clara."Kenapa lama sekali?" Hardik Arka, ia menatap Kei dengan tatapan tajam, menyembunyikan kekaguman yang sempat menyelinap dalam hatinya."Ini belum terlambat," jawab Kei. Karena memang masih ada satu jam lagi untuk acara itu di mulai."Aku paling tidak suka menunggu, dan kamu sudah berani membuat aku menunggu!"Kei menghela nafas panjang, mengumpulkan kesabaran yang sudah setipis tissue. Ia tak boleh terpancing. Tak menjawab apapun, Kei memilih pergi dan membiarkan Arka menggerutu sendiri."Hei, beraninya kau meninggalkan aku? Aku sudah menunggumu dan sekarang kamu pergi begitu saja?!" Arka terus menggerutu, membuat Kei menghentikan langkah lalu menoleh."Jika kamu mau, dari tadi kamu bisa pergi sendiri. Aku juga tidak masalah harus pergi sendiri," jawab Kei.Arka mengepalkan tangannya, menatap Kei dengan tajam. Kebenciannya kembali mencuat, andai tak akan pergi, mungkin ia sudah kembali menghukum Kei."Jangan lancang kamu, Kei!" ucapnya dengan penuh kebencian. Ia menghampiri Kei, merengkuh pinggang ramping perempuan itu dengan kencang.Membuat Kei meringis dan berusaha menyingkirkan tangan pria itu. "Lepas, Arka. Kamu menyakitiku!"Arka semakin kesal saat Kei kembali memanggilnya dengan namanya saja, ia semakin merengkuh pinggang Kei sampai perempuan itu merapat padanya."Jangan berani-berani melawanku!" Bisik Arka dengan penuh penekanan, suara yang terdengar mengerikan di telinga Kei. Arka sedikit menyeret Kei, membuat Kei mau tak mau mengikutinya."Arka, Kei..""Hiko?" Kei tampak antusias, melupakan tatapan tajam Arka yang seolah siap menghunusnya. "Waw, Kei. Kamu terlihat sangat berbeda malam ini," puji Hiko. "Biasa saja, Hiko." Kei tersipu, sikap malu-maluKei membuat Arka semakin kesal. Mungkin jika dapat terlihat, ada kobaran api yang keluar dari hidung dan telinganya. "Untuk apa kamu kesini? Kita mau pergi," ucap Arka dengan ketus."Mau jemput kalian, kita akan pergi bersama ke peresmian perusahaan pak Cio," ucap Hiko dengan santai. Ia menggelengkan kepalanya melihat sikap Arka, dan Hiko semakin ingin membuat sahabatnya itu cemburu."Kamu juga kesana?" Tanya Kei, ia tersenyum lebar saat Hiko mengangguk mengiyakan."Aku Cio mengundangku. Ternyata dia masih mengingatku Kei, tidak seperti kamu. Kamu bahkan tidak mengenaliku saat kita bertemu lagi," Hiko menggerutu, membuat Kei tertawa lalu menggandeng tangan Hiko."Maaf.." rengek Kei."Ekhemmm." Arka berdehem, ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Kei dan Hiko bergantian. Ta
"Ya sayang? Disini membosankan, aku merindukanmu."Kei menghela nafas dalam, ternyata mengikuti Arka ke toilet adalah kesalahan. Hatinya sakit saat ia mendengar Arka bicara mesra dengan Clara.Pria itu tak pergi ke toilet, melainkan mencari tempat sepi untuk menghubungi kekasihnya."Sepulang dari sini, aku pasti ke apartemen kamu, apa kamu mau aku belikan sesuatu? Spaghetti kesukaanmu misal?" Tanya Arka, ia tampak tersenyum, sesekali merayu Clara, sesekali mengucapkan kata cinta.Kei tak sanggup lagi, ia memutuskan untuk kembali ke ballroom. Pandangannya mulai kabur karena air mata mendesak keluar dari kedua netranya.BUGKei nyaris jatuh terduduk saat tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Karena tak fokus, ia tak melihat ada seseorang yang datang dan tanpa sengaja ia tabrak."Kei, dari mana?"Kei mendongak, "Maaf, aku tidak sengaja. Aku..""Kenapa, Kei?"Kei tak menjawab, ia yang tak tahan ingin menangis semakin ingin menangis saat Hiko bertanya padanya."Hiko, aku.."Tumpah lah air m
Arka celingukan mencari Kei, ia kira Kei kembali ke ballroom tempat acara Cio, tapi ternyata perempuan itu tak berada disana. Beruntung keluarga Kei tak melihatnya, jika tidak, pasti akan banyak pertanyaan yang di layangkan padanya. Ia pun memutuskan untuk pulang, sepertinya Kei juga sudah pulang, begitu pikirnya.Pria itu melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi, hanya sepuluh menit saja, ia sudah sampai di rumahnya. Langkah lebar membawanya ke kamar, ia buka pintu kamar itu dengan keras, "Kei!" Panggilnya."Kemana dia?!" Ucapnya dengan kesal, Kei tak berada di kamar, ia lalu menuju kamar sebelah, kamar yang terkadang Kei tempati. Hendak langsung membukanya, namun ternyata pintu itu terkunci. "Kei, aku tahu kamu di dalam. Buka pintunya!"Bukan lagi hanya ketukan, tapi Arka menggedor pintu di depannya dengan keras. Menimbulkan suara gaduh yang membuat Kei segera beranjak untuk membukanya. Padahal ia baru saja hendak berganti pakaian, tapi Arka datang dengan tak sabar.CEKLEK"
Kei mengerjapkan matanya saat cahaya lampu yang bersinar tepat di atasnya terasa menusuk kedua netranya yang baru saja terbuka. Ia mengedarkan pandangannya, ruangan bernuansa putih itu terasa asing baginya, bau menyengat khas tempat itu menyeruak menusuk indera penciumannya, bau yang sangat tak ia sukai dan membuat keningnya berkerut tajam.“Mama..” lirihnya dengan suara serak. Ia berusaha memutar memorynya, mengingat kejadian apa yang menyebabkannya terbaring di tempat itu. Air matanya kembali mengalir saat rangkaian kejadian buruk yang sudah ia lalui kembali berputar dengan jelas di benaknya. “Mama..” lirihnya lagi seraya terisak. Menyedihkan, itu lah kata yang pantas untuknya saat ini.Kerongkongan yang terasa kering membuatnya terbatuk, ia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari air untuk ia minum. Lehernya sakit, dadanya sesak, namun ia berusaha bangun untuk mengambil segelas air putih di atas nakas sebelah kanan. Sayangnya, hal itu terasa sulit. Pergerakannya terbatas. Tubuhnya te
Pagi harinya, Kei di perbolehkan pulang. Itu pun karena Kei memaksa pada Hiko, Hiko yang tak bisa menolak terpaksa memohon pada dokter agar Kei di perbolehkan pulang dan berobat jalan. Meski dokter awalnya tak mengizinkan, namun karena Hiko memaksa, akhirnya dokter juga pasrah. Sebenarnya, ada berbagai pertanyaan dan kecurigaan tentang kondisi Kei. Dokter ingin mencari tahu dan menyarankan Kei berobat lebih serius. Pasalnya, bekas luka cekikan di leher Kei membuat tanda tanya besar, antara perempuan itu mencoba melukai dirinya sendiri atau di lukai seseorang. Namun opsi pertama rasanya tak mungkin, dokter curiga Kei di lukai seseorang.Tak hanya leher Kei yang memerah dan berbekas, di kedua pergelangan tangan perempuan itu pun terdapat luka memar."Sudah siap?" Tanya Hiko yang baru saja muncul, pria itu membawa beberapa obat yang tadi dokter resepkan, juga surat izin kepulangan Kei dari rumah sakit.Kei mengangguk, karena memang tak ada barang-barang yang Kei bereskan mengingat kedat
"Apa yang kalian lakukan semalam? Wanita murahan!" Cercah Arka sesaat setelah mereka memasuki kamar.Kei menatap Arka dengan tatapan tak percaya, bukannya bertanya perihal keadaannya yang nyaris mati, Arka justru kembali berbuat ulah dengan cara menuduhnya. Sungguh, Kei benar-benar tak mengenali Arka."Apa kamu tidak mau tahu keadaanku mas? Aku hampir mati karena kamu," ucap Kei dengan lirih. Rasanya ia sungguh lelah dengan sikap Arka."Untuk apa? Jika pun kamu benar-benar mati, aku tidak perduli Shaletta Kei!"Menetes susah air mata Kei, meski ia tak mau menangis lagi, tapi ternyata ia tak bisa berpura-pura kuat. "Kalau begitu, kenapa kamu tidak membunuhku saja sekarang? Lagi pula aku sudah benar-benar muak dengan hidupku. Aku tidak percaya lagi dengan takdir, aku lelah mengharap kebahagiaan. Mungkin dengan cara aku mati, aku tidak akan merasakan sakit lagi!!"Mendengar kalimat itu, entah mengapa Arka sedikit terkejut. Ia tak suka Kei menyerah begitu saja, mungkin karena ia belum pua
Rasa lapar membuat Kei harus keluar dari persembunyiannya. Sudah berjam-jam, ia bahkan sempat tertidur di ruang ganti, dan terbangun karena perutnya keroncongan.Dengan langkah pelan, ia menuruni anak tangga satu per satu. Harusnya ia cukup makan dan beristirahat, tubuhnya bahkan masih lemah, tapi pulang ke rumah ia justru mendapatkan drama terbaru dari Arka dan kekasihnya.Suara tawa Clara dan Arka terdengar bersahutan. Mereka terlihat begitu bahagia, tak memperdulikan Kei yang kini tengah menatap ke arah mereka.Kei kita Clara sudah pulang, ternyata perempuan itu masih berada disana. Ia mencoba tak perduli meski pemandangan itu begitu menyakitkan, ia acuhkan dengan terus melangkah menuju dapur."Heh, Jalang! Siapa yang menyuruhmu keluar?!" Teriak Clara, karena Arka mengatakan padanya Kei di kurung agar tak menampakkan dirinya pada Clara yang akan membuat mood perempuan itu berubah buruk.Kei terus melangkah, ia berpura-pura tak mendengar teriakan Clara. "Wanita sialan! Dia harus ak
Hiko mengepalkan tangannya saat ia melihat Clara berada di rumah Arka, lagi-lagi Arka pasti menyakiti Kei. Ia mengedarkan pandangannya, tak ada Kei di sana. Ia pun masuk meski Arka tak menyadari kedatangannya.“Dimana Kei?”Pertanyaan itu membuat Arka menoleh, raut wajahnya tampak terkejut dengan kedatangan Hiko. Ia berdiri, menghampiri Hiko dan berdiri di hadapan pria itu, “Untuk apa menanyakannya. Duduklah dulu, sudah lama kita tidak duduk bersama.” Ucapnya, kerena sejak Hiko tahu Arka kerap menyakiti Kei, Hiko tak seperti dulu. Persahabatan mereka merenggang, Hiko pun bicara pada Arka hanya seperlunya saja, sebatas membicarakan pekerjaan mereka. Di luar dari pekerjaan, Hiko menghindarinya.“Aku datang kesini untuk Kei, bukan untukmu atau perempuan simpananmu,” ucap Hiko.Arka tentu tak suka dengan jawaban Hiko, tatapannya menajam, apalagi Hiko bicara tegas bahwa Hiko datang hanya untuk Kei, ada rasa panas yang menjalar di hatinya. “Dia istriku!” ucapnya dengan penuh penekanan, ia b