"Hiko?" Kei tampak antusias, melupakan tatapan tajam Arka yang seolah siap menghunusnya.
"Waw, Kei. Kamu terlihat sangat berbeda malam ini," puji Hiko."Biasa saja, Hiko." Kei tersipu, sikap malu-maluKei membuat Arka semakin kesal. Mungkin jika dapat terlihat, ada kobaran api yang keluar dari hidung dan telinganya."Untuk apa kamu kesini? Kita mau pergi," ucap Arka dengan ketus."Mau jemput kalian, kita akan pergi bersama ke peresmian perusahaan pak Cio," ucap Hiko dengan santai. Ia menggelengkan kepalanya melihat sikap Arka, dan Hiko semakin ingin membuat sahabatnya itu cemburu."Kamu juga kesana?" Tanya Kei, ia tersenyum lebar saat Hiko mengangguk mengiyakan."Aku Cio mengundangku. Ternyata dia masih mengingatku Kei, tidak seperti kamu. Kamu bahkan tidak mengenaliku saat kita bertemu lagi," Hiko menggerutu, membuat Kei tertawa lalu menggandeng tangan Hiko."Maaf.." rengek Kei."Ekhemmm." Arka berdehem, ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Kei dan Hiko bergantian. Tatapan dingin itu semakin terlihat menakutkan, mengintimidasi Kei dan Hiko.Tapi tentu saja Hiko tak takut, ia justru ingin tertawa melihat Arka.Berbeda dengan Kei yang sontak melepas tangannya dari lengan Hiko, ia benar-benar melupakan keberadaan Arka dan tatakan tajam pria itu, "Maaf, Hiko.""Tidak masalah, Kei. Tidak akan ada yang marah kok, aku jomblo. Arka juga tidak akan marah, iya kan sahabatku?" ucap Hiko, ia sengaja menggoda Arka. Ia tak tahu jika mungkin saja Kei akan mendapat hukuman setelah ini.Sebenarnya, Hiko tak hanya ingin menggoda Arka. Ia ingin memastikan sesuatu yang membuatnya curiga sejak kemarin. Entah mengapa ia merasa ada yang aneh dengan hubungan Arka dan Kei, apalagi ketika Kei terlihat ketakutan saat Arka menatapnya, keadaan tak wajar untuk pasangan pengantin baru."Kenapa kamu begitu yakin aku tidak akan marah?" Tanya Arka, ia kembali melingkarkan tangannya di pinggang ramping Kei, sedikit menariknya agar menjauh dari Hiko."Karena aku sahabatmu, aku sangat mengenal dirimu."Kalimat itu membuat Arka mengerutkan dahinya, mungkin menyadari kecurigaan Hiko pada pernikahannya. Hiko memang sangat mengenalnya, mereka bersahabat cukup lama, tentu Hiko akan sangat tahu tentang Arka."Mas, kita akan terlambat kalau kita tidak segera pergi," ucap Kei.Arka mendelik, kemudian membawa Kei pergi saat Hiko baru saja akan kembali bicara.***Acara peresmian perusahaan milik Cio di adakan di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Di hadiri pebisnis-pebisnis hebat di dalam Negeri. Nama Cio sendiri memang sudah di kenal di kalangan pebisnis, kemampuan dan kecerdasan Cio memang patut di perhitungkan.Mungkin darah pebisnis memang mengalir di tubuhnya, ia mengikuti jejak Bumi menjadi pebisnis sukses di usia muda.Ballroom hotel luas itu berisi total seribu kursi yang masing-masing kursi sudah terdapat nama para tamu yang hadir. Setiap meja berisi empat kursi, di atas meja hidangan mewah sudah tersedia.Kei duduk bersama kedua orang tuanya, Cio juga Arka. Hanya meja mereka yang berisi lima kursi, memang khusus untuk keluarga Cio, sang empunya hajat.Sedangkan Hiko, ia duduk tak jauh dari meja Kei bersama tamu yang lain."Cantik sekali anak mama ini," komentar Elva saat Kei baru saja duduk di sampingnya.Kei tersenyum, "Mama lebih cantik, bikin aku iri," balas Kei. Mereka memang sangat mirip, banyak yang mengira mereka kakak beradik. Padahal usia mereka pasti jauh, tapi saat bersama, mereka memang terlihat seperti kakak dan adik.Di depan sana, Cio baru akan memberi sambutan di lanjutkan dengan gunting pita sebagai tanda perusahaannya resmi di buka. Pria tampan itu menjadi pusat perhatian semua orang, tak terkecuali Arka.Jika semua orang menatapnya dengan penuh kekaguman, lain hal dengan Arka. Pria itu menatap kakak iparnya dengan tajam, seperti harimau yang hendak menerkam mangsanya.Tatapan pria itu tak luput dari perhatian Kei. Bahkan sesekali Arka tampak mengepalkan tangannya. Entah hanya perasaan Kei atau bukan, Arka terlihat membenci Cio, tapi karena apa? Saingan bisnis kah? Bahkan mereka menggeluti bidang bisnis berbeda, lalu letak saingannya dimana?"Mas, kamu kenapa?" Bisik Kei, ia memberanikan diri bertanya, apa mungkin perubahan sikap Arka ada hubungannya dengan sang kakak? Lalu dendam yang Clara bicarakan, apa dendam itu ada hubungannya dengan Cio? apa salah Cio pada Arka? Karena setahu Kei, mereka bahkan tak saling mengenal sebelumnya. Apalagi Cio kerap berada di luar Negeri, mana mungkin mereka saling mengenal atau saling menyimpan masalah yang berujung pada rasa dendam.Arka seolah tersadar, ia berdehem lalu tersenyum. Ia juga harus bersandiwara bahagia dengan Kei, apalagi kedua orang tua Kei memperhatikan mereka, "Tidak apa-apa, sayang."Untuk sejenak Kei terdiam, kata sayang yang terucap tulus dari mulut pria itu sungguh ia rindukan. Tapi sekarang ia bahkan tak tahu apakah rasa sayang di hati Arka ada untuknya?"Aku ke toilet dulu," pamit Arka.Kei mengangguk, ia tatap Arka yang semakin menjauh, merasa ada yang aneh dalam diri suaminya, ia pun pamit pada kedua orang tuanya lalu beranjak mengikuti Arka. Mungkin ia bisa menemukan petunjuk.Sudah larut malam, tapi Kei belum juga bisa terlelap. Beberapa kali ia mengubah posisi tidur, miring ke kanan miring ke kiri, semuanya tak membuatnya nyaman.Entah mengapa perasannya mendadak tak karuan, pikirannya terus tertuju pada Arka yang beberapa jam yang lalu mengirimnya sebuah pesan, bahwa pria itu akan pulang larut malam. Entah ada apa, mungkin pekerjaannya sedang banyak, atau mungkin juga menghindari Kei karena Kei tak juga mau memberi jawaban atas permintaannya.Terbersit sebuah ide, "Apa aku harus melakukan itu?" gumamnya.Seperti ada sebuah dorongan, Kei pun bangkit dari pembaringan, lalu beranjak keluar kamar.Sepi, bahkan lampu di beberapa ruangan sudah padam, tapi Arka belum juga pulang. Kei tak tenang, tapi Kei enggan mengirim pria itu pesan untuk sekedar bertanya kapan pulang?Perempuan itu menghela nafas panjang, menguatkan tekad untuk melakukan ide yang beberapa saat lalu terbersit dalam benaknya.***Arka menghela nafas panjang saat melangkah memasuki rumah. Sebag
Jam makan siang tiba, tapi Starla masih tak keluar dari kamarnya. Mungkin karena kakinya masih sakit, meski tak sesakit tadi sebelum Cio membantunya."Bi, Starla belum makan siang?" Tanya Kei yang baru saja tiba di ruang makan. "Belum nyonya, mungkin kakinya masih sakit," jawab Bi Inah.Kei menghela nafas panjang, tadi ia sempat mencurigai Starla. Kepercayaannya pada perempuan itu tak mudah untuk kembali seperti dulu, tapi sepertinya Starla memang tak berbohong, sesuai dengan yang Cio katakan tadi."Biar aku saja yang membawakannya makan siang bi, bibi tolong siapkan yah," kata Kei lagi. Mungkin ia harus meminta maaf pada Starla.Bi Inah mengangguk, "Baik Nyonya," jawabnya.Sembari menunggu makanan untuk Starla siap, Kei meminum jus alpukat kesukaannya, lalu menusuk buah melon yang sudah di potong kecil-kecil dengan garpu. Rasanya manis, Kei sangat menyukainya, apalagi buah melon itu mampu mengusir rasa mualnya ketika makan.Beberapa saat kemudian, nampan berisi makanan untuk Starla
Starla menepis tangan Cio saat pria itu hendak memapahnya dan membantunya berjalan, “Aku bisa sendiri,” katanya dengan sedikit ketus.Cio mengerutkan dahinya, bukankah beberapa saat yang lalu sikap gadis itu sudah sedikit mencair? Atau karena ada hal urgent saja Starla mau bicara dengannya?“Kaki kamu terkilir, aku hanya ingin membantumu,” ucap Cio. Pria itu mengerutkan dahi saat Starla memanggil pak Bimo yang masih berbicara dengan petugas pemadam kebakaran yang berhasil menaklukan ular cobra di sana.“Pak, tolong banti saja ke sana,” Starla menunjuk sebuah bangku, kakinya benar-benar sakit, sepertinya ia harus beristirahat sebentar.Pak Bimo menatap Cio, ia tak mengerti dengan situasi antara Cio dan Starloa. Tapi taka da salahnya ia bertanya pada Cio lewat tatapan mata. Dan cio memberikan jawaban dengan gelengan kepala, Bimo yang mengerti pun menjawab, “Maaf bu, tapi tangan saya kotor. Tadi saya sempat memegang ular itu.”Cio bersorak dalam hati, Bimo bisa ia ajak berkompromi meski
Cio mengambil payung dari jok belakang, ia buka lalu ia gunakan untuk memayunginya dan Starla. Membuat gadis itu memutar bola matanya dengan malas."Tidak perlu menggunakan payung, aku sudah terbiasa dengan panas," Starla menolak, ia menjauh dari Cio, tapi Cio tak menyerah dan kembali melindungi gadis itu dengan payung."Kalau tidak memakai payung, kepala kamu bisa pusing. Panasnya lagi terik, sudahlah, apa susahnya menurut?"Starla berdecak, tapi ia tak menolak lagi. Mungkin Cio salah meminum obat, kenapa pria itu menjadi sangat perhatian padanya? Biasanya Cio tak akan perduli apapun tentangnya, apalagi sejak kejadian di villa dulu, pria itu bersikap seperti tak mengenalnya.Dulu, ketika mereka bersahabat, Cio memang sangat perhatian, melindungi Starla seperti layaknya melindungi Kei. Tapi setelah kejadian di villa, Cio seperti orang asing. Apalagi Kei menjadi objek balas dendam Arka, Cio semakin membencinya.Lalu kenapa sekarang Cio kembali bersikap baik? Apa pria itu ingin menjalin
Beberapa saat berdiam diri di balik pintu sebuah ruangan, helaan nafas panjang terdengar berhembus dari mulutnya. Setelah benar-benar siap, tangannya terangkat mengetuk pintu di hadapannya."Masuk," sahutan dari dalam sana.Sekali lagi Starla menghela nafas panjang, kemudian ia hembuskan dengan sedikit kasar, jika bukan karena paksaan sang kakak, ia malas menemui Cio lagi. Bukan karena benci, tapi kata-kata pria itu seketika berputar begitu saja ketika ia melihat wajah Cio. Dan hal itu membuat hatinya kecewa."Selamat pagi pak."Suara itu membuat Cio sontak mengalihkan pandangan, tanpa ia sadari, bibirnya melengkung mengukir senyum, "Starla?" sapanya."Maaf pak, saya kesini ingin melakukan peninjauan proyek, apa Zifa bisa menemani saya?" Starla tak ingin berbasa-basi bicara, ia langsung membicarakan tujuannya datang kesana."Zifa?" ulang Cio, mungkin ia ingin mengatakan, KENAPA HARUS ZIFA? AKU ADA DI SINI!Starla mengangguk, "Kalau begitu, saya langsung ke ruangan Zifa saja. Permisi,
"Kenapa aku lagi kak? Kakak saja, aku sibuk," tolak Starla saat Arka kembali memintanya bertemu dengan Cio untuk meninjau proyek mereka."Kakak lebih sibuk darimu, ayolah Star, kakak akan memberikan tanggung jawab penuh untukmu di proyek ini. Bukankah ini jalan yang menguntungkan untuk karirmu? Ini proyek pertamamu, dan ini bukan proyek abal-abal, Star. Proyek besar loh, kalau kamu berhasil, kemampuan kamu akan di perhitungkan banyak lawan," Arka terus membujuk. Melihat perkembangan mental sang adik yang sudah sangat baik, ia ingin Starla juga bisa seperti dirinya, berdamai dengan masa lalu lalu hidup lebih tenang dan bahagia. "Kakak, aku tidak perduli dengan karirku, aku bekerja hanya untuk belajar dan juga membantumu. Jadi kakak saja yang pergi," tolak Starla lagi, ia enggan bertemu dengan Cio. "Tapi kamu sudah pintar, kamu tidak perlu belajar lagi. Kamu hanya perlu menunjukkan kemampuanmu pada semua orang. Star, kelak yang akan memegang perusahaan ini juga kamu, kamu harus mencar