"Sial!" Umpatnya, ia lalu kembali memasuki kamar dan meminta Rumi mengatakan pada tamunya bahwa ia dan Kei akan segera turun.
Dengan cepat Arka kembali memasuki kamar, menutup pintunya lalu menguncinya. Ia menghampiri Kei dan duduk di hadapan perempuan itu."Bersiaplah, di bawah ada orang tua mu. Dan ingat satu hal Kei, jika kamu mengatakan semua yang sudah terjadi, bukan hanya kamu yang akan celaka, tapi juga mereka! mengerti?" Ancamnya.Kei tersenyum sinis, ia menyembunyikan ketakutannya dan memberanikan diri menatap mata tajam suaminya, "Kamu tenang saja, Arka. Aku juga tidak akan membiarkan mereka tahu nasib buruk putrinya. Jangan khawatir, kebusukan mu tidak akan terbongkar. Aku masih punya hati nurani untuk menjunjung dan menghormati suamiku di hadapan keluargaku!" ucap Kei dengan tegas.Mendengar Kei memanggil namanya saja, entah mengapa Arka merasa tak suka. Tapi tak ada waktu untuk kembali memberi Kei pelajaran, di bawah ada kedua orang tua Kei, mereka harus menyiapkan diri untuk bersandiwara."Bagus kalau begitu, aku tunggu sepuluh menit lagi!" ucap Arka seraya memalingkan wajahnya. Ia beranjak ke balkon, menyalakan rokok untuk mengalihkan rasa kesalnya.Sedangkan Kei, perempuan itu tengah bersiap dan menutup semua luka yang bisa terlihat dengan make up seadanya."Arka," panggil Kei sesaat setelah ia bersiap. Ia memakai kaos panjang berkerah tinggi agar bisa menyembunyikan bekas cekikan di lehernya juga memar di pergelangan tangannya. Sebelumnya, Kei sudah menutup bekas perbuatan Arka itu dengan foundation miliknya, namun masih sedikit terlihat. Karena itu ia memakai kaos panjang.Arka menoleh, tersenyum sinis melihat penampilan Kei. Setelah mematikan rokoknya, Arka menghampiri Kei, melingkarkan tangannya di pinggang ramping perempuan itu dengan posesif.Kei yang merasa tak nyaman lantas menyingkirkan tangan Arka, ia sedikit menjauh dan berjalan keluar kamar lebih dulu.Tentu Arka kesal oleh penolakan Kei, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk kembali memberi perempuan itu pelajaran."Mama, papa," Kei berjalan cepat, menghampiri Elva dan Bumi yang tengah duduk di sofa ruangan tamu. Ia peluk sang mama dengan erat, entah mengapa air matanya jatuh begitu saja.Melihat Kei menangis, Arka mengepalkan tangannya. Ia khawatir perempuan itu akan membongkar semuanya, bukan karena takut perbuatannya akan di ketahui kedua orang tua Kei, ia lebih takut rencana balas dendamnya akan terhenti di tengah jalan jika Kei mengatakan semuanya."Kok, nangis? Kenapa, hm?" tanya Elva dengan lembut, ia mengusap rambut panjang putrinya dengan lembut, lalu mengecup puncak kepala Kei dengan penuh kasih sayang. "Pengantin baru harusnya bahagia dong, kenapa kamu malah nangis?" Tanya Elva lagi.Mendengar pertanyaan itu, Kei seolah di sadarkan dengan sandiwaranya bersama Arka. Ia lalu menghapus air matanya, tersenyum pada sang mama seraya berkata, "Aku menangis bahagia, ma. Mungkin karena aku terlalu merindukan mama dan papa," jawab Kei."Astaga, sayang. Baru Tiga hari loh, masa kangen sampai menangis?" goda Bumi, "Anak manja," ucapnya. Ia mencolek ujung hidung Kei yang tampak memerah. Lalu memeluk Kei dengan gemas.Kei mencoba tersenyum meski sangat sulit, hatinya sakit, tapi ia harus terlihat bahagia. Bukankah memang sangat sulit jika hati tengah terluka tapi bibir di paksa tersenyum?"Ma, pa," sapa Arka. Ia memeluk Elva dan Bumi bergantian, lalu merangkul bahu Kei dengan mesra. "Kei memang sangat merindukan mama dan papa, iya kan sayang?"Kei mengangguk, ujung matanya melirik tangan Arka yang berada di bahunya, ingin sekali ia menyingkirkan tangan pria itu, tapi ia harus bersandiwara agar kedua orang tuanya tak mencurigai mereka."Silahkan duduk, ma, pa," ucap Arka lagi. Ia pun duduk berdampingan dengan Kei. Tangan Arka tak lepas dari pinggang Kei, mungkin untuk berjaga-jaga jika Kei keceplosan bicara."Duh, mama iri lihat kemesraan kalian. Kalian sangat serasi," komentar Elva. Ia bahagia melihat Kei dan Arka tampak harmonis dan romantis.Arka tersenyum, ia menoleh menatap Kei yang juga kebetulan menatapnya. "Mama bisa saja," ucap Arka.Mereka pun berbincang-bincang ringan, kemudian Bumi dan Elva membicarakan tujuan mereka datang ke rumah itu."Mama sama papa kesini ingin mengundang kalian di acara pembukaan perusahaan milik Cio yang baru, kalian bisa datang kan? Tadinya Cio yang akan langsung kesini, tapi dia mendadak ke Bandung pagi tadi," terang Elva.Kei menoleh pada Arka, menatap pria itu untuk memberi isyarat agar Arka saja yang menjawab. Kei tak mau salah bicara.Arka mengerti arti tatapan Kei, ia lalu berkata, "Baiklah, dengan senang hati kami akan datang, ma." Arka menjawab tegas, bahkan pria itu tersenyum di akhir kalimatnya. Arka benar-benar menjalani sandiwaranya dengan baik.Sedangkan Kei, ia hanya mengangguk seraya tersenyum. Setidaknya, meski nanti harus kembali bersandiwara, tapi ia bisa berkumpul dengan keluarganya.***Kei hendak ke kamar tamu saat Arka menarik pergelangan tangannya dengan kasar. Pria itu menyeringai, seringaian yang selalu mampu membuat Kei takut."Lepas, Arka!" ucap Kei, ia menggerakkan tangannya, berusaha melepaskan cengkraman tangan Arka yang justru semakin mengerat."Apa? Katakan sekali lagi!" Arka benar-benar tak suka mendengar Kei memanggilnya hanya dengan namanya saja."Lepaskan aku, Arka! Kali ini apa lagi salahku? Aku bahkan sudah mengikuti permainanmu, apa lagi yang kurang?" Kei berusaha menarik tangannya, tapi semakin ia berusaha, cengkraman tangan Arka semakin menyakitinya."Kau memanggilku, Arka?" tanyanya dengan penuh penekanan."Lalu?" Kei sedikit menengadah, menantang Arka meski hatinya ketakutan setengah mati. Tapi ia tak mau Arka merasa menang karena melihatnya lemah."Berani-beraninya kau menantang ku?!" Sentak Arka, ia menarik Kei memasuki kamarnya. Padahal Kei tak mau lagi memasuki kamar itu. Tapi cengkraman tangan Arka terlalu kuat, ia tak mampu lagi melawan."Lepas! Lepaskan aku, brengsek!" Kei meronta, sekuat tenaga ia menahan tubuhnya agar tak terseret oleh Arka. Tapi tenaganya tak sebesar tenaga pria itu, meski sudah berusaha, akhirnya Kei terseret memasuki kamar."Akan ku tunjukan dimana posisimu, Shaletta Kei!" ucap Arka dengan suara beratnya. Sikap Kei membuatnya sangat marah, ia muak dengan semua perlawanan Kei. Semua yang Kei lakukan salah di matanya, apalagi Kei berani menantangnya.Kei beringsut mundur saat Arka mendorongnya ke atas ranjang, ia menggeleng beberapa kali saat bayangan pemaksaan pria itu kembali berputar jelas di benaknya."Tidak, jangan lakukan itu lagi!" ucap Kei, suaranya mulai tercekat, rasa takut mendominasi."Aku hanya ingin menunjukan dimana posisimu dan siapa aku untukmu!"Kei menangis terisak di balik selimut tebal yang menutup tubuh polosnya. Beberapa saat yang lalu, Arka kembali memaksakan dirinya, melukai tubuhnya juga hatinya.Entah apa yang pria itu pikirkan, padahal Arka sendiri sudah berjanji tak akan menyentuh Kei lagi. Ia bahkan mengatakan pada Kei untuk melupakan kejadian malam pertama mereka, tapi malam ini Arka melanggarnya sendiri.Bukannya Kei tak mau melakukan kewajibannya sebagai seorang istri untuk memberikan hak suaminya, tapi cara pria itu lah yang membuatnya merasa marah. Andai Arka memintanya dengan penuh cinta, Kei pun tak akan keberatan. Tapi lagi-lagi Arka melakukannya dengan kasar, ia menambah deretan luka di tubuh istrinya.Dengan menggulung selimut tebal untuk membungkus tubuh polosnya, Kei beranjak tertatih ke kamar mandi. Ia tak perduli dengan Arka yang kini tengah duduk menatapnya dengan tubuh polos karena selimut yang juga menutup tubuhnya Kei bawa.Rasanya sakit, meski ini bukan yang pertama untuk Kei, tapi tetap saja ra
"Hiko?" Kei tampak antusias, melupakan tatapan tajam Arka yang seolah siap menghunusnya. "Waw, Kei. Kamu terlihat sangat berbeda malam ini," puji Hiko. "Biasa saja, Hiko." Kei tersipu, sikap malu-maluKei membuat Arka semakin kesal. Mungkin jika dapat terlihat, ada kobaran api yang keluar dari hidung dan telinganya. "Untuk apa kamu kesini? Kita mau pergi," ucap Arka dengan ketus."Mau jemput kalian, kita akan pergi bersama ke peresmian perusahaan pak Cio," ucap Hiko dengan santai. Ia menggelengkan kepalanya melihat sikap Arka, dan Hiko semakin ingin membuat sahabatnya itu cemburu."Kamu juga kesana?" Tanya Kei, ia tersenyum lebar saat Hiko mengangguk mengiyakan."Aku Cio mengundangku. Ternyata dia masih mengingatku Kei, tidak seperti kamu. Kamu bahkan tidak mengenaliku saat kita bertemu lagi," Hiko menggerutu, membuat Kei tertawa lalu menggandeng tangan Hiko."Maaf.." rengek Kei."Ekhemmm." Arka berdehem, ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Kei dan Hiko bergantian. Ta
"Ya sayang? Disini membosankan, aku merindukanmu."Kei menghela nafas dalam, ternyata mengikuti Arka ke toilet adalah kesalahan. Hatinya sakit saat ia mendengar Arka bicara mesra dengan Clara.Pria itu tak pergi ke toilet, melainkan mencari tempat sepi untuk menghubungi kekasihnya."Sepulang dari sini, aku pasti ke apartemen kamu, apa kamu mau aku belikan sesuatu? Spaghetti kesukaanmu misal?" Tanya Arka, ia tampak tersenyum, sesekali merayu Clara, sesekali mengucapkan kata cinta.Kei tak sanggup lagi, ia memutuskan untuk kembali ke ballroom. Pandangannya mulai kabur karena air mata mendesak keluar dari kedua netranya.BUGKei nyaris jatuh terduduk saat tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Karena tak fokus, ia tak melihat ada seseorang yang datang dan tanpa sengaja ia tabrak."Kei, dari mana?"Kei mendongak, "Maaf, aku tidak sengaja. Aku..""Kenapa, Kei?"Kei tak menjawab, ia yang tak tahan ingin menangis semakin ingin menangis saat Hiko bertanya padanya."Hiko, aku.."Tumpah lah air m
Arka celingukan mencari Kei, ia kira Kei kembali ke ballroom tempat acara Cio, tapi ternyata perempuan itu tak berada disana. Beruntung keluarga Kei tak melihatnya, jika tidak, pasti akan banyak pertanyaan yang di layangkan padanya. Ia pun memutuskan untuk pulang, sepertinya Kei juga sudah pulang, begitu pikirnya.Pria itu melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi, hanya sepuluh menit saja, ia sudah sampai di rumahnya. Langkah lebar membawanya ke kamar, ia buka pintu kamar itu dengan keras, "Kei!" Panggilnya."Kemana dia?!" Ucapnya dengan kesal, Kei tak berada di kamar, ia lalu menuju kamar sebelah, kamar yang terkadang Kei tempati. Hendak langsung membukanya, namun ternyata pintu itu terkunci. "Kei, aku tahu kamu di dalam. Buka pintunya!"Bukan lagi hanya ketukan, tapi Arka menggedor pintu di depannya dengan keras. Menimbulkan suara gaduh yang membuat Kei segera beranjak untuk membukanya. Padahal ia baru saja hendak berganti pakaian, tapi Arka datang dengan tak sabar.CEKLEK"
Kei mengerjapkan matanya saat cahaya lampu yang bersinar tepat di atasnya terasa menusuk kedua netranya yang baru saja terbuka. Ia mengedarkan pandangannya, ruangan bernuansa putih itu terasa asing baginya, bau menyengat khas tempat itu menyeruak menusuk indera penciumannya, bau yang sangat tak ia sukai dan membuat keningnya berkerut tajam.“Mama..” lirihnya dengan suara serak. Ia berusaha memutar memorynya, mengingat kejadian apa yang menyebabkannya terbaring di tempat itu. Air matanya kembali mengalir saat rangkaian kejadian buruk yang sudah ia lalui kembali berputar dengan jelas di benaknya. “Mama..” lirihnya lagi seraya terisak. Menyedihkan, itu lah kata yang pantas untuknya saat ini.Kerongkongan yang terasa kering membuatnya terbatuk, ia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari air untuk ia minum. Lehernya sakit, dadanya sesak, namun ia berusaha bangun untuk mengambil segelas air putih di atas nakas sebelah kanan. Sayangnya, hal itu terasa sulit. Pergerakannya terbatas. Tubuhnya te
Pagi harinya, Kei di perbolehkan pulang. Itu pun karena Kei memaksa pada Hiko, Hiko yang tak bisa menolak terpaksa memohon pada dokter agar Kei di perbolehkan pulang dan berobat jalan. Meski dokter awalnya tak mengizinkan, namun karena Hiko memaksa, akhirnya dokter juga pasrah. Sebenarnya, ada berbagai pertanyaan dan kecurigaan tentang kondisi Kei. Dokter ingin mencari tahu dan menyarankan Kei berobat lebih serius. Pasalnya, bekas luka cekikan di leher Kei membuat tanda tanya besar, antara perempuan itu mencoba melukai dirinya sendiri atau di lukai seseorang. Namun opsi pertama rasanya tak mungkin, dokter curiga Kei di lukai seseorang.Tak hanya leher Kei yang memerah dan berbekas, di kedua pergelangan tangan perempuan itu pun terdapat luka memar."Sudah siap?" Tanya Hiko yang baru saja muncul, pria itu membawa beberapa obat yang tadi dokter resepkan, juga surat izin kepulangan Kei dari rumah sakit.Kei mengangguk, karena memang tak ada barang-barang yang Kei bereskan mengingat kedat
"Apa yang kalian lakukan semalam? Wanita murahan!" Cercah Arka sesaat setelah mereka memasuki kamar.Kei menatap Arka dengan tatapan tak percaya, bukannya bertanya perihal keadaannya yang nyaris mati, Arka justru kembali berbuat ulah dengan cara menuduhnya. Sungguh, Kei benar-benar tak mengenali Arka."Apa kamu tidak mau tahu keadaanku mas? Aku hampir mati karena kamu," ucap Kei dengan lirih. Rasanya ia sungguh lelah dengan sikap Arka."Untuk apa? Jika pun kamu benar-benar mati, aku tidak perduli Shaletta Kei!"Menetes susah air mata Kei, meski ia tak mau menangis lagi, tapi ternyata ia tak bisa berpura-pura kuat. "Kalau begitu, kenapa kamu tidak membunuhku saja sekarang? Lagi pula aku sudah benar-benar muak dengan hidupku. Aku tidak percaya lagi dengan takdir, aku lelah mengharap kebahagiaan. Mungkin dengan cara aku mati, aku tidak akan merasakan sakit lagi!!"Mendengar kalimat itu, entah mengapa Arka sedikit terkejut. Ia tak suka Kei menyerah begitu saja, mungkin karena ia belum pua
Rasa lapar membuat Kei harus keluar dari persembunyiannya. Sudah berjam-jam, ia bahkan sempat tertidur di ruang ganti, dan terbangun karena perutnya keroncongan.Dengan langkah pelan, ia menuruni anak tangga satu per satu. Harusnya ia cukup makan dan beristirahat, tubuhnya bahkan masih lemah, tapi pulang ke rumah ia justru mendapatkan drama terbaru dari Arka dan kekasihnya.Suara tawa Clara dan Arka terdengar bersahutan. Mereka terlihat begitu bahagia, tak memperdulikan Kei yang kini tengah menatap ke arah mereka.Kei kita Clara sudah pulang, ternyata perempuan itu masih berada disana. Ia mencoba tak perduli meski pemandangan itu begitu menyakitkan, ia acuhkan dengan terus melangkah menuju dapur."Heh, Jalang! Siapa yang menyuruhmu keluar?!" Teriak Clara, karena Arka mengatakan padanya Kei di kurung agar tak menampakkan dirinya pada Clara yang akan membuat mood perempuan itu berubah buruk.Kei terus melangkah, ia berpura-pura tak mendengar teriakan Clara. "Wanita sialan! Dia harus ak