"Berani-beraninya kamu bermesraan dengan pria lain di hadapanku?!" Cecar Arka, ia mengeratkan genggaman tangannya di pergelangan tangan Kei. Padahal luka memar di tangan Kei belum memudar sepenuhnya, tapi kini Arka kembali membuat luka baru.
"Lepas, mas. Kamu menyakitiku," ucap Kei dengan lirih. Matanya berembun, setiap pria itu kasar, hatinya terasa sakit."Ini pantas kamu dapatkan, kamu harus aku beri pelajaran agar tidak bertindak sesukamu! Kenapa kamu memeluk pria lain, hah?" Sentak Arka.Kei memejamkan matanya saat suara bentakan pria itu terdengar memekakkan telinganya. Air mata yang sedari tadi menggenang kini meluruh sudah. "Dia hanya temanku, mas. Bukan kah dia juga sahabat mu?" Ucap Kei. Perempuan itu mulai terisak. Sakit di pergelangan tangannya tak seberapa jika di bandingkan dengan rasa sakit yang hatinya rasakan karena perlakuan pria itu."Teman? Aku meragukan itu! Apa dia juga sudah menikmati tubuhmu?! Apa kamu juga merayunya? Aku percaya padanya, tapi kamu? Jalang sepertimu pasti lihai menggoda seorang pria."Kei sontak menatap Arka, air matanya semakin deras mengalir. Bagaimana bisa Arka menuduhnya dengan tuduhan yang begitu keji, padahal Arka tahu betul bahwa Arka adalah yang pertama untuknya. "Jaga bicaramu, mas. Tidak cukup kah kamu melukai ku? Hatiku sudah cukup sakit dengan semua perlakuanmu, kenapa kamu menambahnya dengan tuduhan tidak masuk akal seperti itu? Aku bukan wanita murahan," sangkal Kei.Bak tersayat ribuan sembilu, hatinya begitu perih. Suami yang selama ini ia anggap pria idaman ternyata begitu kejam. Atas dasar dendam yang bahkan Kei tak tahu, Arka terus menyakitinya."Aku tidak akan pernah merasa puas sebelum melihatmu menderita. Jika perlu, menangis darah lah di depan ku Shaletta Kei!""Cukup! Cukup, mas. Kamu menyakitiku atas kesalahan yang sama sekali tidak aku tahu. Lepaskan aku, mas! Aku tidak mau hidup dengan pria kejam sepertimu! Aku sungguh mencintaimu, mas. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu merubah cintaku menjadi kebencian, kamu kejam!"Arka tertawa, ia merebut paperbag yang Hiko berikan pada Kei lalu melemparnya. Dengan kasar Arka mendorong Kei, hingga Kei mundur membentur dinding di belakangnya."Akh.." ringis Kei saat punggungnya terasa nyeri. Belum sempat menegakkan tubuhnya, Arka kembali menghampirinya.Pria itu menyeringai, menghimpit tubuh Kei dengan kuat ke dinding. "Apa sakit? Aku senang melihatmu kesakitan!" bisiknya.Aura dingin dari pria itu membuat Kei sangat ketakutan, ia mencoba meronta agar Arka melepaskannya."Lepaskan aku, mas. Dadaku sesak," ucap Kei dengan suara berat. Himpitan Arka benar-benar kuat, tulang-tulang di tubuhnya terasa sakit dan remuk."Memohon lah Shaletta Kei, aku ingin melihat kau mengemis padaku!" Bisik Arka lagi, suara pria itu benar-benar terdengar menakutkan. Tatapan matanya tajam, kedua matanya bahkan tampak memerah karena amarah.Kei menggeleng, meski ia takut setengah mati, tapi ia tak sudi memohon pada Arka. Hal itu membuat kemarahan Arka semakin menjadi."Wanita sialan!" Arka menjauhkan dirinya, tapi bukan untuk melepaskan Kei, ia cengkram lengan Kei dengan kuat, lalu menyeret perempuan itu ke dalam kamarnya. Dengan kasar Arka menghempaskan tubuh Kei ke atas ranjang, "Berani melawanku? Kamu akan tahu sendiri akibatnya!"Kei beringsut mundur, ia begitu takut. Arka seperti iblis berwujud manusia, semua yang pria itu lakukan sangat menyakitinya. Isak tangisnya semakin keras saat Arka menghampirinya lalu menarik ke dua kaki Kei dan menindihnya.Bayangan ketika pria itu mencekiknya kembali berputar di benak Kei, Kei menggeleng sebagai bentuk penolakan atas apa yang Arka lakukan padanya. Ia takut, sangat takut. Apalagi melihat rahang Arka mengeras, urat-urat di wajah pria itu terlihat jelas."Jangan sakiti aku lagi, mas," ucap Kei seraya terisak.Arka menyeringai, membuat pria itu terlihat menakutkan berkali-kali lipat. "Memohonkan!" Bisiknya.Kei kembali menggeleng, rasanya begitu berat jika harus memohon. Penolakan Kei benar-benar memancing amarah Arka, pria itu kembali mencekik leher Kei yang bahkan masih memerah karena perbuatannya.Kei meronta, kedua tangannya memukul-mukul punggung Arka. Ia tatap mata Arka dengan nanar, berharap pria itu melepaskannya. Dan entah mengapa, Arka mulai terganggu dengan tatapan itu. Pria itu berteriak gusar lalu melepaskan Kei begitu saja."Uhuk uhuk uhuk," Kei terbatuk hebat, ia memegang lehernya yang terasa sakit. Ia hirup udara sebanyak-banyaknya, oksigen dalam paru-parunya terasa menyempit, tenggorokannya kering, suaranya tercekat. Ia hanya bisa meraung kesakitan seraya meringkuk membelakangi Arka."Brengsek!" Umpat Arka, entah mengumpat siapa. Pergolakan dalam batinnya membuat pria itu kesal. Batinnya tengah berperang, antara kasihan dan kebencian.Tanpa mengatakan apapun, Arka pergi begitu saja. Ia mengunci pintu kamar agar Kei tak keluar semaunya."Le-lepaskan aku, mas. Jangan kurung aku, buka pintunya," ucap Kei dengan suara parau. ia berusaha bangkit, berjalan tertatih menuju pintu. Ia gedor benda itu sekuat yang ia bisa, nyatanya gedoran itu tak menimbulkan suara sedikit pun, tenaganya benar-benar terkuras."Uhuk uhuk uhuk," Kei kembali terbatuk, ia jatuh meluruh ke lantai, tangisnya terdengar begitu pilu. "M-mas, buka pintunya!" Suara Kei bahkan hilang, untuk menelan ludah saja rasanya sakit.***Beberapa saat berlalu, Kei tengah membaringkan tubuhnya saat Arka kembali memasuki kamar. Perempuan itu sontak bangun dan beringsut takut, sisa-sisa air mata masih tampak membasahi pipinya.Kei memalingkan wajahnya saat Arka duduk di sisi ranjang menatapnya. Ia kembali bergeser, memberi jarak lebih jauh dari Arka. Seperti itu lah hubungan mereka sekarang, Kei tengah berusaha membentengi dirinya dari Arka, memberi jarak sejauh mungkin agar ia tak terus terluka.Baru saja Arka hendak bicara, suara ketukan di pintu kamar menghentikannya. Dengan malas ia beranjak untuk membuka pintu.Rumi menunduk segan, "Maaf, Tuan. Ada tamu yang mencari, Nyonya."Arka mengerutkan dahinya, ia menatap Rumi seolah bertanya siapa yang mencari istrinya? Rumi hanya menggeleng sebagai jawaban.Seraya berdecak, Arka keluar kamar untuk melihat siapa yang datang mencari Kei. Tidak lupa juga ia menutup pintu dan kembali menguncinya dari luar.Dari depan pintu kamar, ia sudah dapat melihat ke ruang tamu bawah. Matanya membulat sempurna saat mengetahui siapa yang datang mengunjungi rumahnya. Ia mengusap wajahnya dengan gusar, kepanikan terlihat jelas di raut wajahnya."Sial!""Sial!" Umpatnya, ia lalu kembali memasuki kamar dan meminta Rumi mengatakan pada tamunya bahwa ia dan Kei akan segera turun.Dengan cepat Arka kembali memasuki kamar, menutup pintunya lalu menguncinya. Ia menghampiri Kei dan duduk di hadapan perempuan itu."Bersiaplah, di bawah ada orang tua mu. Dan ingat satu hal Kei, jika kamu mengatakan semua yang sudah terjadi, bukan hanya kamu yang akan celaka, tapi juga mereka! mengerti?" Ancamnya.Kei tersenyum sinis, ia menyembunyikan ketakutannya dan memberanikan diri menatap mata tajam suaminya, "Kamu tenang saja, Arka. Aku juga tidak akan membiarkan mereka tahu nasib buruk putrinya. Jangan khawatir, kebusukan mu tidak akan terbongkar. Aku masih punya hati nurani untuk menjunjung dan menghormati suamiku di hadapan keluargaku!" ucap Kei dengan tegas.Mendengar Kei memanggil namanya saja, entah mengapa Arka merasa tak suka. Tapi tak ada waktu untuk kembali memberi Kei pelajaran, di bawah ada kedua orang tua Kei, mereka harus menyiapkan diri u
Kei menangis terisak di balik selimut tebal yang menutup tubuh polosnya. Beberapa saat yang lalu, Arka kembali memaksakan dirinya, melukai tubuhnya juga hatinya.Entah apa yang pria itu pikirkan, padahal Arka sendiri sudah berjanji tak akan menyentuh Kei lagi. Ia bahkan mengatakan pada Kei untuk melupakan kejadian malam pertama mereka, tapi malam ini Arka melanggarnya sendiri.Bukannya Kei tak mau melakukan kewajibannya sebagai seorang istri untuk memberikan hak suaminya, tapi cara pria itu lah yang membuatnya merasa marah. Andai Arka memintanya dengan penuh cinta, Kei pun tak akan keberatan. Tapi lagi-lagi Arka melakukannya dengan kasar, ia menambah deretan luka di tubuh istrinya.Dengan menggulung selimut tebal untuk membungkus tubuh polosnya, Kei beranjak tertatih ke kamar mandi. Ia tak perduli dengan Arka yang kini tengah duduk menatapnya dengan tubuh polos karena selimut yang juga menutup tubuhnya Kei bawa.Rasanya sakit, meski ini bukan yang pertama untuk Kei, tapi tetap saja ra
"Hiko?" Kei tampak antusias, melupakan tatapan tajam Arka yang seolah siap menghunusnya. "Waw, Kei. Kamu terlihat sangat berbeda malam ini," puji Hiko. "Biasa saja, Hiko." Kei tersipu, sikap malu-maluKei membuat Arka semakin kesal. Mungkin jika dapat terlihat, ada kobaran api yang keluar dari hidung dan telinganya. "Untuk apa kamu kesini? Kita mau pergi," ucap Arka dengan ketus."Mau jemput kalian, kita akan pergi bersama ke peresmian perusahaan pak Cio," ucap Hiko dengan santai. Ia menggelengkan kepalanya melihat sikap Arka, dan Hiko semakin ingin membuat sahabatnya itu cemburu."Kamu juga kesana?" Tanya Kei, ia tersenyum lebar saat Hiko mengangguk mengiyakan."Aku Cio mengundangku. Ternyata dia masih mengingatku Kei, tidak seperti kamu. Kamu bahkan tidak mengenaliku saat kita bertemu lagi," Hiko menggerutu, membuat Kei tertawa lalu menggandeng tangan Hiko."Maaf.." rengek Kei."Ekhemmm." Arka berdehem, ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Kei dan Hiko bergantian. Ta
"Ya sayang? Disini membosankan, aku merindukanmu."Kei menghela nafas dalam, ternyata mengikuti Arka ke toilet adalah kesalahan. Hatinya sakit saat ia mendengar Arka bicara mesra dengan Clara.Pria itu tak pergi ke toilet, melainkan mencari tempat sepi untuk menghubungi kekasihnya."Sepulang dari sini, aku pasti ke apartemen kamu, apa kamu mau aku belikan sesuatu? Spaghetti kesukaanmu misal?" Tanya Arka, ia tampak tersenyum, sesekali merayu Clara, sesekali mengucapkan kata cinta.Kei tak sanggup lagi, ia memutuskan untuk kembali ke ballroom. Pandangannya mulai kabur karena air mata mendesak keluar dari kedua netranya.BUGKei nyaris jatuh terduduk saat tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Karena tak fokus, ia tak melihat ada seseorang yang datang dan tanpa sengaja ia tabrak."Kei, dari mana?"Kei mendongak, "Maaf, aku tidak sengaja. Aku..""Kenapa, Kei?"Kei tak menjawab, ia yang tak tahan ingin menangis semakin ingin menangis saat Hiko bertanya padanya."Hiko, aku.."Tumpah lah air m
Arka celingukan mencari Kei, ia kira Kei kembali ke ballroom tempat acara Cio, tapi ternyata perempuan itu tak berada disana. Beruntung keluarga Kei tak melihatnya, jika tidak, pasti akan banyak pertanyaan yang di layangkan padanya. Ia pun memutuskan untuk pulang, sepertinya Kei juga sudah pulang, begitu pikirnya.Pria itu melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi, hanya sepuluh menit saja, ia sudah sampai di rumahnya. Langkah lebar membawanya ke kamar, ia buka pintu kamar itu dengan keras, "Kei!" Panggilnya."Kemana dia?!" Ucapnya dengan kesal, Kei tak berada di kamar, ia lalu menuju kamar sebelah, kamar yang terkadang Kei tempati. Hendak langsung membukanya, namun ternyata pintu itu terkunci. "Kei, aku tahu kamu di dalam. Buka pintunya!"Bukan lagi hanya ketukan, tapi Arka menggedor pintu di depannya dengan keras. Menimbulkan suara gaduh yang membuat Kei segera beranjak untuk membukanya. Padahal ia baru saja hendak berganti pakaian, tapi Arka datang dengan tak sabar.CEKLEK"
Kei mengerjapkan matanya saat cahaya lampu yang bersinar tepat di atasnya terasa menusuk kedua netranya yang baru saja terbuka. Ia mengedarkan pandangannya, ruangan bernuansa putih itu terasa asing baginya, bau menyengat khas tempat itu menyeruak menusuk indera penciumannya, bau yang sangat tak ia sukai dan membuat keningnya berkerut tajam.“Mama..” lirihnya dengan suara serak. Ia berusaha memutar memorynya, mengingat kejadian apa yang menyebabkannya terbaring di tempat itu. Air matanya kembali mengalir saat rangkaian kejadian buruk yang sudah ia lalui kembali berputar dengan jelas di benaknya. “Mama..” lirihnya lagi seraya terisak. Menyedihkan, itu lah kata yang pantas untuknya saat ini.Kerongkongan yang terasa kering membuatnya terbatuk, ia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari air untuk ia minum. Lehernya sakit, dadanya sesak, namun ia berusaha bangun untuk mengambil segelas air putih di atas nakas sebelah kanan. Sayangnya, hal itu terasa sulit. Pergerakannya terbatas. Tubuhnya te
Pagi harinya, Kei di perbolehkan pulang. Itu pun karena Kei memaksa pada Hiko, Hiko yang tak bisa menolak terpaksa memohon pada dokter agar Kei di perbolehkan pulang dan berobat jalan. Meski dokter awalnya tak mengizinkan, namun karena Hiko memaksa, akhirnya dokter juga pasrah. Sebenarnya, ada berbagai pertanyaan dan kecurigaan tentang kondisi Kei. Dokter ingin mencari tahu dan menyarankan Kei berobat lebih serius. Pasalnya, bekas luka cekikan di leher Kei membuat tanda tanya besar, antara perempuan itu mencoba melukai dirinya sendiri atau di lukai seseorang. Namun opsi pertama rasanya tak mungkin, dokter curiga Kei di lukai seseorang.Tak hanya leher Kei yang memerah dan berbekas, di kedua pergelangan tangan perempuan itu pun terdapat luka memar."Sudah siap?" Tanya Hiko yang baru saja muncul, pria itu membawa beberapa obat yang tadi dokter resepkan, juga surat izin kepulangan Kei dari rumah sakit.Kei mengangguk, karena memang tak ada barang-barang yang Kei bereskan mengingat kedat
"Apa yang kalian lakukan semalam? Wanita murahan!" Cercah Arka sesaat setelah mereka memasuki kamar.Kei menatap Arka dengan tatapan tak percaya, bukannya bertanya perihal keadaannya yang nyaris mati, Arka justru kembali berbuat ulah dengan cara menuduhnya. Sungguh, Kei benar-benar tak mengenali Arka."Apa kamu tidak mau tahu keadaanku mas? Aku hampir mati karena kamu," ucap Kei dengan lirih. Rasanya ia sungguh lelah dengan sikap Arka."Untuk apa? Jika pun kamu benar-benar mati, aku tidak perduli Shaletta Kei!"Menetes susah air mata Kei, meski ia tak mau menangis lagi, tapi ternyata ia tak bisa berpura-pura kuat. "Kalau begitu, kenapa kamu tidak membunuhku saja sekarang? Lagi pula aku sudah benar-benar muak dengan hidupku. Aku tidak percaya lagi dengan takdir, aku lelah mengharap kebahagiaan. Mungkin dengan cara aku mati, aku tidak akan merasakan sakit lagi!!"Mendengar kalimat itu, entah mengapa Arka sedikit terkejut. Ia tak suka Kei menyerah begitu saja, mungkin karena ia belum pua