Beranda / Romansa / Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin / BAB 8: Tawaran Manis atau Pahit?

Share

BAB 8: Tawaran Manis atau Pahit?

Penulis: TenMaRuu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-08 13:42:00

kalimat "Waktu Pribadi" itu menggantung di udara yang hangat, terasa lebih dingin daripada tatapan mata Revan.

Apa artinya ‘waktu pribadi’ bagi dua musuh yang terperangkap dalam status suami-istri di sebuah pulau terpencil?

Alina tidak perlu menunggu lama untuk mencari tahu.

Tanpa sepatah kata pun, Revan berbalik dan berjalan menuju koridor yang sama tempat kamar Alina berada.

Jantung Alina berdebar begitu kencang.

Rasanya seperti akan melompat keluar dari dadanya.

Setiap langkah Revan di atas lantai kayu yang mengkilap terdengar seperti ketukan palu hakim yang akan membacakan vonis.

Alina mengikutinya. Bukan karena patuh, tapi karena ia tahu, berlari pun tidak ada gunanya. Di pulau ini, Revan adalah rajanya.

Pria itu tidak berhenti di depan kamar Alina. Tidak juga di depan kamarnya sendiri.

Ia berhenti di depan sebuah pintu ganda yang besar dan megah di ujung koridor.

Pintu kamar tidur utama.

Kamar tidur… mereka.

Ya.. Di sinilah pertunjukan berakhir. Di sinilah kenyataan yang paling buruk akan dimulai.

Alina mengepalkan tangannya erat-erat, kukunya menancap di telapak tangannya. Ia sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.

Untuk berteriak, untuk melawan, untuk melakukan apa pun.

Namun, Revan tidak melakukan apa yang ia duga.

Pria itu tidak membuka pintu. Ia tidak menyentuhnya.

Ia hanya bersandar santai di kusen pintu, menyilangkan lengannya di dada. Sebuah postur yang begitu ber-’aura’, sebuah ‘Aura Farming’ yang alami. namun terasa sangat mengintimidasi.

Ia menatap Alina. Bukan dengan nafsu, bukan dengan amarah.

Ia menatapnya seolah sedang menilai sebuah properti investasi.

"Kontrak kita," Revan memulai, suaranya tenang dan terukur, "tidak mengatur soal kewajiban fisik."

Alina menahan napas.

Kalimat itu… sebuah kelegaan sesaat yang aneh. Tapi ia tahu, ini belum selesai. Dengan Revan, selalu ada kata ‘tapi’.

"Tapi…"

Itu dia.

"Kakek butuh pewaris. Cepat atau lambat. Dan citra kita sebagai pasangan yang baru menikah harus meyakinkan, bahkan di balik pintu tertutup."

Revan mendorong sedikit tubuhnya dari kusen pintu, tatapannya menajam.

"Aku tidak akan memaksamu, Alina. Aku tidak tertarik dengan cara-cara primitif seperti itu."

"Jadi, aku akan mengubah ini menjadi sebuah penawaran bisnis."

Penawaran… bisnis?

"Kau yang pegang kendali soal ini. Kau punya dua pilihan."

Revan mengangkat satu jarinya.

"Opsi A: Kita tidur di kamar terpisah selamanya. Aku tidak akan pernah menyentuhmu. Tapi, aku akan mencari cara lain untuk 'meyakinkan' Kakek soal pewaris. Cara yang mungkin… tidak akan kau sukai."

Ancaman terselubung dalam kalimatnya terasa begitu nyata. Apa yang akan ia lakukan? Mengadopsi anak tanpa persetujuannya? Menciptakan skandal lain? Alina tidak tahu, dan ketidaktahuan itu yang paling menakutkan.

Revan mengangkat jarinya yang kedua.

"Opsi B:"

Ia berhenti sejenak, membiarkan ketegangan memenuhi udara.

"Kau masuk ke kamar ini bersamaku malam ini. Dan setiap malam setelahnya. Menjalankan pernikahan ini sebagaimana mestinya, tanpa kepalsuan di antara empat dinding ini."

Napas Alina tercekat.

"Sebagai gantinya…"

Suara Revan menjadi lebih rendah, lebih menggoda.

"Aku akan menjamin kebangkitan kembali Cipta Ruang Estetika. Bukan hanya melunasi utangnya, tapi mengubahnya menjadi firma arsitektur nomor satu di negeri ini. Proyek-proyek yang selama ini hanya bisa kau impikan, akan ada di atas mejamu besok pagi."

Keheningan menyelimuti mereka.

Revan telah meletakkan dua hal yang paling berharga bagi Alina di atas meja perundingan.

Harga dirinya…

Dan ambisi seumur hidupnya.

Pria itu membalikkan tekanan sepenuhnya pada Alina. Ini bukan paksaan. Ini adalah pilihan. Dan itu jauh lebih kejam.

"Pikirkan baik-baik, Alina," kata Revan, suaranya kembali datar.

"Ini bukan permintaan."

"Ini penawaran bisnis."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 58: Rapat Perang Pertama (Yang Nggak Direncanain)

    Ada dua jenis orang di dunia ini setelah menutup telepon penting.Jenis pertama bakal langsung buka media sosial, cari distraksi, atau mungkin bikin teh hangat buat nenangin diri.Jenis kedua... bakal langsung merakit bom.Alina Cantika Dewi jelas-jelas masuk kategori kedua.Begitu sambungan telepon dengan Revan terputus, ia tidak diam. Ia tidak merenung. Ia tidak panik.Energi di dalam studio kecil di Bintan itu berubah total.Kalau lima menit yang lalu tempat ini adalah surga seorang seniman, sekarang tempat ini adalah markas komando. Meja gambarnya bukan lagi kanvas, tapi meja strategi perang. Dan pensil di tangannya bukan lagi alat untuk menggambar, tapi tongkat komando.Hal pertama yang ia lakukan?

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 57 : Panggung Sudah Siap, Nyonya

    Alina masih berdiri di depan meja gambarnya.Aroma arang dari pensil dan kertas terasa pekat di udara. Di hadapannya, terhampar sketsa sebuah benteng yang lahir dari amarah.Suara Revan di seberang sana terdengar jauh. Seperti suara dari dunia lain. Dunia penuh jas mahal, pendingin udara sentral, dan pengkhianatan yang dibungkus senyum."...kita punya tantangan baru."Alina menarik napas pelan. "Tantangan?" tanyanya, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. "Tantangan macam apa yang bisa muncul dari rapat dewan yang membosankan?"Di seberang sana, Alina bisa mendengar Revan menghela napas. Suara yang terdengar lelah, tapi bukan kalah."Pamanku," kata Revan, langsung ke intinya. "Dia mencoba bermain cantik."

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 56 : Raja Tidak Mundur, Dia Cuma Ambil Ancang-ancang

    Hening.Di dalam ruangan yang harganya lebih mahal dari gabungan harga rumah seluruh karyawannya itu, satu-satunya suara adalah dengung pelan pendingin udara.Dengung yang terdengar seperti hitungan mundur sebelum bom meledak.Semua mata—mata licik, mata penasaran, mata takut—semuanya tertuju pada satu orang.Revan Adhitama.Umpan dari Hariman sudah dilempar dengan begitu cantiknya ke tengah meja."Hanya untuk... 'membantu'."Sebuah bantuan yang rasanya seperti tamparan. Sebuah kepedulian yang baunya seperti penghinaan.Siapapun yang punya otak di ruangan itu tahu ini bukan usul. Ini adalah tes. Sebuah gertakan.

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 55: Kandang Serigala Menyambutmu Pulang

    Kalau surga itu punya bau, mungkin baunya seperti udara Bintan di pagi hari. Campuran wangi garam laut, tanah basah, dan embun.Kalau neraka punya bau, baunya persis seperti udara Jakarta di jam pulang kerja. Campuran asap knalpot, debu konstruksi, dan ambisi yang membusuk.Revan Adhitama sedang menghirup dalam-dalam bau neraka itu sekarang.Ia duduk di kursi belakang mobilnya yang melaju pelan, terjebak di tengah lautan lampu merah dan klakson.Kontrasnya begitu menusuk.Beberapa jam yang lalu, ia masih berdiri di balkon, menatap lautan biru yang tenang. Sekarang, ia menatap lautan beton yang kacau balau.Ponsel di tangannya bergetar pelan. Ia membukanya lagi.Pesan dari Alina.

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 54: Selamat Datang di Medan Perang

    Hening.Itu hal pertama yang Alina sadari setelah telepon ditutup.Hening yang tadinya terasa damai, sekarang malah terdengar mengancam.Suara jangkrik di luar jendela yang tadinya kayak musik alam, sekarang malah terdengar kayak lagi menertawainya.Ponsel di tangannya terasa dingin dan berat.Kayak sebatang logam dari neraka.Paman Hariman.Sialan.Baru juga beberapa jam yang lalu ia merasa menemukan dunianya.Baru juga beberapa jam yang lalu ia merasa aman.Rasanya... kurang ajar banget.Tempat yang baru aja ia anggap 'rumah', tempat amannya, tahu-tahu rasany

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 53 : Telepon dari Kandang Serigala

    BAB 53 : Telepon dari Kandang SerigalaSetiap hal indah pasti ada tanggal kedaluwarsanya.Gelembung kecil yang mereka ciptakan di studio Revan itu, dengan wangi kopi dan keheningan yang nyaman, ternyata punya masa berlaku yang sangat singkat. Cuma beberapa jam.Perpisahan mereka di lobi hotel terasa canggungnya minta ampun. Nggak ada pelukan dramatis ala film-film. Nggak ada ciuman perpisahan yang bikin lutut lemas. Yang ada cuma dua orang yang mendadak nggak tahu harus menaruh tangan di mana."Aku akan telepon kalau sudah sampai," kata Revan. Kalimat standar yang entah kenapa terdengar aneh keluar dari mulutnya."Oke," jawab Alina singkat.Revan menatapnya sejenak, seolah mau bilang sesuatu lagi, tapi nggak jadi. Akhirnya, ia cuma mengangguk kaku, lalu berbalik dan masuk ke dalam mobil hitam yang sudah menunggunya.Dan begitu saja. Pria itu pergi.Alina ditinggal sendirian di lobi yang megah, dengan kunci studio Revan di sakunya yang terasa berat dan panas.Rasanya aneh. Kosong.Sete

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status