Dunia di sekitar Alina tiba-tiba hening, seperti napas yang tertahan terlalu lama.
Suara ombak yang tadi mengalun lembut, menenangkan hati, kini lenyap entah ke mana. Napasnya sendiri terasa tersendat, detak jantungnya yang tadi berlomba kencang seolah ikut tercekat di dada.
Hanya ada dengung halus yang menusuk telinganya—tajam, nyaring, dan tak mau pergi.
Di tengah semua itu, dua kata berputar liar di kepalanya, seperti jarum jam yang macet: penawaran bisnis.
Koridor remang-remang itu terasa membeku bersamanya. Revan berdiri di sana, bayangan dingin dengan pesona yang selalu membuat Alina merasa kecil—tapi kali ini, ia tak benar-benar melihatnya. Matanya kosong, menatap jauh ke dalam dirinya sendiri.
Di sana, di sudut pikirannya yang kelam, ada panggung lain yang jauh lebih menyakitkan, dan tirainya baru saja tersingkap.
Wajah ayahnya muncul pertama kali, seperti lukisan tua yang warnanya mulai pudar. Pundak yang dulu gagah kini melengkung, ditindih beban yang seharusnya tak pernah ia pikul.
Matanya, yang dulu penuh tawa, kini menyimpan rasa bersalah yang dalam—sesuatu yang selalu ia coba sembunyikan dari Alina dengan senyum tipis dan helai rambut yang disisir rapi.
Lalu ibunya, dengan senyum yang tak pernah lelah meski hari terasa berat. Tapi Alina tahu, di balik cangkir teh hangat yang selalu ibunya sodorkan dan kalimat sederhana “kamu sudah makan?”, ada luka yang diam-diam mengendap di matanya.
Kemudian, bayangan dirinya sendiri melintas—versi Alina yang lebih muda, yang masih percaya mimpi itu cukup dekat untuk disentuh.
Ia ingat malam-malam panjang itu, duduk di meja kecil dengan tangan penuh lem dan serpih kayu balsa, membentuk maket Cipta Ruang Estetika. Aroma kayu dan lem itu masih tercium samar di ingatannya, membawa serta gelombang kebanggaan yang dulu membakar dadanya.
Miniatur itu bukan cuma benda; ia adalah potongan harapan yang ia susun dengan tangannya sendiri, dengan sisa-sisa tabungan dan sejumput keberanian.
Tapi semua itu—cinta keluarganya, pengorbanan mereka, mimpinya yang rapuh—tiba-tiba terasa runtuh.
Bayangan terakhir yang muncul adalah wajah Revan, datar dan tak tersentuh, seolah baru saja menampar harga pada segalanya. Seperti semua yang ia junjung tinggi bisa diringkas dalam hitungan untung-rugi.
Harga dirinya.
Ambisinya.
Semuanya.
Alina menarik napas dalam, tapi udara di koridor itu terasa tebal, menekan paru-parunya. Ia tahu, malam ini adalah garis takdir. Apa pun pilihannya, ada bagian dari dirinya yang akan hilang, terkubur di bawah keputusan itu.
Lalu ia mengangkat dagunya.
Perlahan, matanya yang tadi kosong kini tajam menatap Revan. Ada sesuatu yang bergoyang di dalam dirinya—percikan api yang hampir mati, tapi kini membara lagi.
Bukan tatapan orang yang kalah. Ini tatapan seseorang yang sudah tak punya apa-apa lagi untuk ditakuti.
"Oke," katanya, suaranya tenang—terlalu tenang, hingga terasa seperti bisikan angin sebelum hujan deras. "Aku pertimbangkan Opsi B-mu."
Revan tak bergerak, wajahnya tetap polos seperti kanvas kosong. Tapi Alina bisa merasakan getar kecil di udara, sesuatu yang berubah di antara mereka. Pria itu tak menyangka jawabannya akan seperti ini—bukan sekadar menyerah atau melawan, tapi sebuah langkah yang tak ia prediksi.
"Tapi," lanjut Alina, suaranya kini lebih tegas, "penawaran ini kurang adil. Sangat tidak seimbang."
"Kau menawarkan sesuatu untuk ambisiku, tapi kau belum menawarkan apa pun untuk harga diriku. Dan harga diriku, ternyata, tidak bisa dinilai dengan proyek semahal apa pun."
Ia melangkah maju, satu langkah kecil yang terasa besar. Jarak di antara mereka menyempit, dan Alina merebut kembali ruang yang tadi ia lepaskan.
"Aku mau satu syarat tambahan. Sebuah klausul yang tidak bisa ditawar."
"Jika aku masuk ke kamar itu bersamamu," katanya, setiap kata dipahat dengan ketajaman yang dingin, "maka di luar kamar itu, di dunia kerja, kau bukan suamiku."
"Kau adalah klienku."
"Dan sebagai arsitek utama, semua keputusan final terkait desain proyek Cipta Ruang Estetika ada di tanganku."
"Seratus persen. Tanpa intervensi."
"Kau bisa memberiku proyek sebesar apa pun," Alina menatap lurus ke mata Revan, tanpa berkedip, menyalurkan semua sisa kekuatannya ke dalam tatapan itu. "Tapi kau tidak bisa mendikte visiku. Jiwaku sebagai arsitek tidak termasuk dalam penawaran ini."
Hening menjalar lagi, tapi kali ini terasa berbeda—tegang, seperti dunia menunggu sesuatu pecah.
Lalu, sesuatu yang tak pernah Alina sangka muncul.
Senyum tipis—hampir tak terlihat—menggores sudut bibir Revan.
Bukan senyum lembut, bukan pula ejekan. Itu senyum seorang pemain yang akhirnya menemukan tandingan seimbang, senyum yang mengakui langkah cerdas di atas papan permainan.
"Penawaran yang menarik," kata Revan, suaranya terdengar tulus untuk pertama kalinya. "Sebuah klausul untuk melindungi integritas profesional. Aku suka itu."
Ia mengulurkan tangan.
Bukan untuk meraih Alina, bukan untuk memaksanya.
Hanya sebuah jabat tangan.
Alina menatap tangan itu sejenak, detak jantungnya terasa lambat di telinga. Lalu ia menyambutnya. Jabat tangan mereka kokoh, dingin seperti logam, menyegel sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar kesepakatan bisnis di ambang pintu kamar itu.
Saat tangan mereka lepas, Alina tak menunggu lagi.
Ia melangkah melewati Revan, pundak mereka nyaris bersentuhan, tapi ia tak peduli.
Tangannya mendorong pintu kamar tidur utama itu, dan ia masuk tanpa menoleh. Langkahnya mantap, membawanya melewati garis yang ia tahu tak bisa lagi ia tarik kembali.
Pintu tertutup di belakangnya, bunyi klik pelan itu terdengar lembut namun tegas, seperti titik akhir dari sebuah kalimat panjang.
Revan tertinggal sendirian di koridor, bayangannya memudar dalam remang.
Cklek!!Pintu itu tertutup di belakangnya.Bunyi klik pelan itu terdengar begitu final, seperti kunci yang diputar di sebuah sangkar emas yang maha luas.Alina tidak langsung bergerak. Ia hanya mematung di dekat pintu, punggungnya menghadap ke ruangan yang terasa asing. Napasnya seolah tertinggal di luar sana, di koridor.Kamar ini begitu besar, rasanya lebih luas dari seluruh ruang tamu di ruko Cipta Ruang Estetika. Langit-langitnya menjulang tinggi, dibingkai jendela kaca raksasa yang menyajikan pemandangan laut malam yang kelam dan tak bertepi.Semuanya sempurna. Semuanya mahal.Dan semuanya terasa begitu dingin.Keheningan di antara mereka terasa tebal, nyaris bisa disentuh. Alina bisa merasakan kehadiran Revan di belakangnya seperti hawa dingin yang merambat, tapi ia tidak berani menoleh.Adrenalin yang sejak tadi membuatnya berdiri tegak, yang memberinya keberanian untuk bernegosiasi, kini surut drastis seperti ombak yang ditarik paksa ke tengah laut.Meninggalkan kehampaan.Da
Dunia di sekitar Alina tiba-tiba hening, seperti napas yang tertahan terlalu lama.Suara ombak yang tadi mengalun lembut, menenangkan hati, kini lenyap entah ke mana. Napasnya sendiri terasa tersendat, detak jantungnya yang tadi berlomba kencang seolah ikut tercekat di dada.Hanya ada dengung halus yang menusuk telinganya—tajam, nyaring, dan tak mau pergi.Di tengah semua itu, dua kata berputar liar di kepalanya, seperti jarum jam yang macet: penawaran bisnis.Koridor remang-remang itu terasa membeku bersamanya. Revan berdiri di sana, bayangan dingin dengan pesona yang selalu membuat Alina merasa kecil—tapi kali ini, ia tak benar-benar melihatnya. Matanya kosong, menatap jauh ke dalam dirinya sendiri.Di sana, di sudut pikirannya yang kelam, ada panggung lain yang jauh lebih menyakitkan, dan tirainya baru saja tersingkap.Wajah ayahnya muncul pertama kali, seperti lukisan tua yang warnanya mulai pudar. Pundak yang dulu gagah kini melengkung, ditindih beban yang seharusnya tak pernah i
kalimat "Waktu Pribadi" itu menggantung di udara yang hangat, terasa lebih dingin daripada tatapan mata Revan.Apa artinya ‘waktu pribadi’ bagi dua musuh yang terperangkap dalam status suami-istri di sebuah pulau terpencil?Alina tidak perlu menunggu lama untuk mencari tahu.Tanpa sepatah kata pun, Revan berbalik dan berjalan menuju koridor yang sama tempat kamar Alina berada.Jantung Alina berdebar begitu kencang.Rasanya seperti akan melompat keluar dari dadanya.Setiap langkah Revan di atas lantai kayu yang mengkilap terdengar seperti ketukan palu hakim yang akan membacakan vonis.Alina mengikutinya. Bukan karena patuh, tapi karena ia tahu, berlari pun tidak ada gunanya. Di pulau ini, Revan adalah rajanya.Pria itu tidak berhenti di depan kamar Alina. Tidak juga di depan kamarnya sendiri.Ia berhenti di depan sebuah pintu ganda yang besar dan megah di ujung koridor.Pintu kamar tidur utama.Kamar tidur… mereka.Ya.. Di sinilah pertunjukan berakhir. Di sinilah kenyataan yang paling b
BAB 7: SKENARIO MAKAN MALAMAlina berdiri di tengah kamarnya yang luas, matanya tertambat pada gaun yang terhampar di atas ranjang.Gaun sutra itu berwarna biru laut, dalam dan pekat, dengan kain yang lembut mengalir sempurna—jenis yang langsung terbayang harganya tak murah.Tapi baginya, gaun itu tak lebih dari sehelai kain asing. Tak ada cerita yang tersimpan di lipatannya, tak ada kenangan yang menempel di jahitannya.Persis seperti dirinya malam ini: ‘kosong’, tapi harus berpura-pura ‘penuh’.Baiklah, pikirnya dalam hati, nada pasrah mengendap pelan. Malam ini, aku jadi orang lain. Bukan masalah besar.Gaun itu bukan cuma pakaian. Ia adalah jubah peran, lambang bahwa Alina telah menyetujui skenario yang sudah digariskan Revan Adhitama—sutradara sekaligus penguasa cerita ini.Ada secercah dorongan di hatinya untuk melawan, untuk mengenakan kaus lusuh dan celana pendek saja, sekadar mengguncang pria itu. Tapi lalu apa? Revan takkan mengangkat alis pun. Dia memang tak pernah peduli.J
Pertanyaan ‘bagaimana dia bisa tahu?’ menghantam Alina lebih keras daripada ombak tadi.Lututnya terasa lemas.Bukan karena kekaguman pada vila itu lagi, melainkan karena rasa ngeri yang aneh dan merayap dingin di tulang punggungnya.Pria ini… seolah bisa membongkar isi kepalanya. Selera arsitekturnya, sesuatu yang begitu personal, bagian dari jiwanya yang paling murni dan ia banggakan, terasa seperti sebuah buku terbuka yang baru saja dibaca Revan dengan mudahnya. Ia merasa telanjang, bukan secara fisik, tapi secara intelektual. Identitas profesionalnya, benteng terakhirnya, kini terasa sudah luber begitu saja.Ini lebih menakutkan daripada semua kontrak dan aturan yang ia buat.Revan tidak menunggu jawaban. Ia melangkah melewati Alina yang masih mematung, berjalan masuk ke dalam vila seolah kalimatnya tadi adalah sebuah hukum alam yang tidak perlu diperdebatkan.Dengan enggan, Alina mengikutinya masuk, setiap langkah terasa berat.Interiornya sama menakjubkannya dengan eksteriornya.
Deru mesin speedboat yang membelah laut biru menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di antara mereka. Alina memeluk tasnya erat-erat, berusaha memfokuskan pandangan pada garis cakrawala yang membentang lurus.Aku tidak akan terlihat lemah di depannya.Batinnya terus merapal mantra itu.Awalnya, perjalanan itu terasa baik-baik saja. Guncangan kecil bahkan terasa menenangkan.Namun, saat kapten kapal menambah kecepatan dan ombak mulai sedikit meninggi, perut Alina mulai bergejolak. Rasa mual yang aneh itu merayap naik dari ulu hatinya.Ia menelan ludah, berusaha menekannya kembali.Ia melirik Revan sekilas. Pria itu duduk dengan tenang, punggungnya lurus, menatap lurus ke depan seolah guncangan kapal sama sekali tidak berpengaruh padanya.Tentu saja. Pria seperti dia pasti sudah terbiasa dengan kemewahan seperti ini.Sementara Alina, seorang arsitek yang lebih sering berjibaku dengan debu proyek daripada deburan ombak, kini merasakan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya