Alina berdiri di tengah kamarnya yang luas, matanya tertambat pada gaun yang terhampar di atas ranjang.
Gaun sutra itu berwarna biru laut, dalam dan pekat, dengan kain yang lembut mengalir sempurna—jenis yang langsung terbayang harganya tak murah.
Tapi baginya, gaun itu tak lebih dari sehelai kain asing. Tak ada cerita yang tersimpan di lipatannya, tak ada kenangan yang menempel di jahitannya.
Persis seperti dirinya malam ini: ‘kosong’, tapi harus berpura-pura ‘penuh’.
Baiklah, pikirnya dalam hati, nada pasrah mengendap pelan. Malam ini, aku jadi orang lain. Bukan masalah besar.
Gaun itu bukan cuma pakaian. Ia adalah jubah peran, lambang bahwa Alina telah menyetujui skenario yang sudah digariskan Revan Adhitama—sutradara sekaligus penguasa cerita ini.
Ada secercah dorongan di hatinya untuk melawan, untuk mengenakan kaus lusuh dan celana pendek saja, sekadar mengguncang pria itu. Tapi lalu apa? Revan takkan mengangkat alis pun. Dia memang tak pernah peduli.
Jadi, ini bukan tentang menyerah.
Ini tentang mundur dengan rencana.
Oke, Alina. Tarik napas dalam. Ayo jalani.
Ia akan ikut bermain, bukan karena tunduk, melainkan karena ingin tahu. Ada teka-teki di balik sosok Revan, dan ia penasaran—di mana letak celahnya, tombol yang bisa mematikan kendali pria itu, kalau memang ada.
Dengan helaan napas panjang yang penuh beban, ia mengenakan gaun itu, membiarkan sutra dingin membalut kulitnya.
Saat Alina melangkah keluar menuju dek utama, malam di pulau itu menyapanya dengan keagungan yang hening. Udara terasa hangat, membawa aroma laut yang tajam dan tulus, bercampur wangi kamboja yang lembut, manis, sekaligus sedikit perih—seperti bisikan perpisahan yang tak sengaja terucap.
Jauh di kejauhan, suara tokek terdengar sesekali, pendiam namun menusuk, bagai detak pulau yang tak pernah benar-benar tidur.
Jalur setapak yang ia susuri diterangi obor-obor bambu, nyala apinya lembut, mengukir bayangan yang bergoyang pelan di tanah. Semua terasa begitu elok, hampir terlalu rapi, seolah keindahan ini sengaja dipahat untuk menyembunyikan sesuatu yang tak utuh di baliknya.
Pemandangan itu memanjakan mata, menenangkan jiwa. Tapi justru di situlah letak pedihnya—ketenangan ini seperti pisau yang mempertegas kegaduhan di dalam dirinya.
Revan sudah menanti di ujung dek kayu, di meja yang disusun rapi tak jauh dari bibir pantai. Ombak bergoyang malu-malu, hanya berani menyentuh pasir dengan sopan. Lilin-lilin kecil bersemayam di lentera kaca, apinya tenang, tak terganggu angin.
Revan berdiri saat Alina mendekat. Kemeja linen putihnya terlihat santai dengan lengan tergulung sampai siku, tapi wajahnya—ah, wajah itu selalu sama. Dingin, tak terusik, seperti patung yang tak pernah goyah
Seorang staf vila menarik kursi untuknya, dan Alina duduk, merasakan kecanggungan menyelimutinya bagai selendang yang terlalu tebal.
Hidangan pertama disajikan, dan Alina sedikit terkejut. Bukan makanan mewah yang asing di lidah seperti yang ia duga. Di depannya tersaji Sate Lilit dari daging lobster, harum dan sederhana, ditemani tiga mangkuk kecil berisi sambal—matah, dabu-dabu, dan terasi.
Sebuah kejutan kecil yang hangat di tengah malam yang terasa hampa.
Mereka makan dalam sunyi. Hanya suara ombak yang pelan dan denting halus alat makan mengisi udara. Keheningan itu terasa lama, menekan.
Hingga akhirnya, Revan membuka “aksinya”.
“Nanti, kalau ada yang bertanya, ucapnya tiba-tiba, suaranya datar seperti membaca daftar belanja, “kita bertemu di pameran arsitektur. Tahun lalu. Di Jakarta. Kau suka caraku berpikir, aku suka caramu bermimpi.”
Alina berhenti mengunyah, matanya terangkat menatapnya. Revan sedang merangkai dongeng—sebuah kisah tentang mereka, tentang masa lalu yang tak pernah ada.
“Aku yang mengajakmu bicara duluan,” lanjutnya, tak acuh pada pandangan Alina. “Kita sering diskusi. Lalu menikah. Begitu saja.”
Ia berhenti, menatapnya dengan sorot yang tajam dan dingin.
“Itu ceritanya. Jangan sampai salah.”
Hati Alina seperti dicengkeram sesuatu. Ia meletakkan garpu dengan hati-hati, lalu memasang senyum—senyum paling manis yang bisa ia ukir.
“Oh,” katanya lembut, “bagus juga ceritanya.”
Ia condongkan tubuh sedikit ke depan, menatap Revan dengan mata yang sengaja dibuat bening dan polos.
“Terus, Van,” lanjutnya, nada suaranya mengalir lembut bagai angin, “kalau nanti Kakek tanya, apa yang paling kamu suka dari aku, kamu mau jawab apa?”
Sunyi sejenak.
Pertanyaan itu tak menggertak, tak menantang. Ia hanya mendarat begitu saja, polos dan tulus. Tapi justru karena itu, ia seperti hempasan kecil yang menggoyang benteng es yang Revan bangun dengan rapi.
Sekilas, Alina menangkap getar di mata pria itu—bukan amarah, bukan juga tawa, melainkan secercah kebingungan yang tak biasa. Namun, secepat kilat, getar itu hilang, dan dinginnya kembali utuh.
Revan tak menjawab. Ia hanya meletakkan alat makannya dengan gerakan mekanis.
“Makan malam selesai,” katanya kaku, melirik jam di pergelangan tangannya. “Sesuai jadwal…”
“…‘Waktu Pribadi’ dimulai sekarang.”
Kata “Waktu Pribadi” itu menggantung di udara, terdengar asing dan kosong.
Apa makna ‘waktu pribadi’ bagi dua orang yang bahkan tak punya ‘bersama’ yang benar-benar hidup?
Ada dua jenis orang di dunia ini setelah menutup telepon penting.Jenis pertama bakal langsung buka media sosial, cari distraksi, atau mungkin bikin teh hangat buat nenangin diri.Jenis kedua... bakal langsung merakit bom.Alina Cantika Dewi jelas-jelas masuk kategori kedua.Begitu sambungan telepon dengan Revan terputus, ia tidak diam. Ia tidak merenung. Ia tidak panik.Energi di dalam studio kecil di Bintan itu berubah total.Kalau lima menit yang lalu tempat ini adalah surga seorang seniman, sekarang tempat ini adalah markas komando. Meja gambarnya bukan lagi kanvas, tapi meja strategi perang. Dan pensil di tangannya bukan lagi alat untuk menggambar, tapi tongkat komando.Hal pertama yang ia lakukan?
Alina masih berdiri di depan meja gambarnya.Aroma arang dari pensil dan kertas terasa pekat di udara. Di hadapannya, terhampar sketsa sebuah benteng yang lahir dari amarah.Suara Revan di seberang sana terdengar jauh. Seperti suara dari dunia lain. Dunia penuh jas mahal, pendingin udara sentral, dan pengkhianatan yang dibungkus senyum."...kita punya tantangan baru."Alina menarik napas pelan. "Tantangan?" tanyanya, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. "Tantangan macam apa yang bisa muncul dari rapat dewan yang membosankan?"Di seberang sana, Alina bisa mendengar Revan menghela napas. Suara yang terdengar lelah, tapi bukan kalah."Pamanku," kata Revan, langsung ke intinya. "Dia mencoba bermain cantik."
Hening.Di dalam ruangan yang harganya lebih mahal dari gabungan harga rumah seluruh karyawannya itu, satu-satunya suara adalah dengung pelan pendingin udara.Dengung yang terdengar seperti hitungan mundur sebelum bom meledak.Semua mata—mata licik, mata penasaran, mata takut—semuanya tertuju pada satu orang.Revan Adhitama.Umpan dari Hariman sudah dilempar dengan begitu cantiknya ke tengah meja."Hanya untuk... 'membantu'."Sebuah bantuan yang rasanya seperti tamparan. Sebuah kepedulian yang baunya seperti penghinaan.Siapapun yang punya otak di ruangan itu tahu ini bukan usul. Ini adalah tes. Sebuah gertakan.
Kalau surga itu punya bau, mungkin baunya seperti udara Bintan di pagi hari. Campuran wangi garam laut, tanah basah, dan embun.Kalau neraka punya bau, baunya persis seperti udara Jakarta di jam pulang kerja. Campuran asap knalpot, debu konstruksi, dan ambisi yang membusuk.Revan Adhitama sedang menghirup dalam-dalam bau neraka itu sekarang.Ia duduk di kursi belakang mobilnya yang melaju pelan, terjebak di tengah lautan lampu merah dan klakson.Kontrasnya begitu menusuk.Beberapa jam yang lalu, ia masih berdiri di balkon, menatap lautan biru yang tenang. Sekarang, ia menatap lautan beton yang kacau balau.Ponsel di tangannya bergetar pelan. Ia membukanya lagi.Pesan dari Alina.
Hening.Itu hal pertama yang Alina sadari setelah telepon ditutup.Hening yang tadinya terasa damai, sekarang malah terdengar mengancam.Suara jangkrik di luar jendela yang tadinya kayak musik alam, sekarang malah terdengar kayak lagi menertawainya.Ponsel di tangannya terasa dingin dan berat.Kayak sebatang logam dari neraka.Paman Hariman.Sialan.Baru juga beberapa jam yang lalu ia merasa menemukan dunianya.Baru juga beberapa jam yang lalu ia merasa aman.Rasanya... kurang ajar banget.Tempat yang baru aja ia anggap 'rumah', tempat amannya, tahu-tahu rasany
BAB 53 : Telepon dari Kandang SerigalaSetiap hal indah pasti ada tanggal kedaluwarsanya.Gelembung kecil yang mereka ciptakan di studio Revan itu, dengan wangi kopi dan keheningan yang nyaman, ternyata punya masa berlaku yang sangat singkat. Cuma beberapa jam.Perpisahan mereka di lobi hotel terasa canggungnya minta ampun. Nggak ada pelukan dramatis ala film-film. Nggak ada ciuman perpisahan yang bikin lutut lemas. Yang ada cuma dua orang yang mendadak nggak tahu harus menaruh tangan di mana."Aku akan telepon kalau sudah sampai," kata Revan. Kalimat standar yang entah kenapa terdengar aneh keluar dari mulutnya."Oke," jawab Alina singkat.Revan menatapnya sejenak, seolah mau bilang sesuatu lagi, tapi nggak jadi. Akhirnya, ia cuma mengangguk kaku, lalu berbalik dan masuk ke dalam mobil hitam yang sudah menunggunya.Dan begitu saja. Pria itu pergi.Alina ditinggal sendirian di lobi yang megah, dengan kunci studio Revan di sakunya yang terasa berat dan panas.Rasanya aneh. Kosong.Sete