Home / Romansa / Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin / BAB 7: Skenario Makan Malam

Share

BAB 7: Skenario Makan Malam

Author: TenMaRuu
last update Last Updated: 2025-07-07 09:24:29

Alina berdiri di tengah kamarnya yang luas, matanya tertambat pada gaun yang terhampar di atas ranjang.

Gaun sutra itu berwarna biru laut, dalam dan pekat, dengan kain yang lembut mengalir sempurna—jenis yang langsung terbayang harganya tak murah.

Tapi baginya, gaun itu tak lebih dari sehelai kain asing. Tak ada cerita yang tersimpan di lipatannya, tak ada kenangan yang menempel di jahitannya.

Persis seperti dirinya malam ini: ‘kosong’, tapi harus berpura-pura ‘penuh’.

Baiklah, pikirnya dalam hati, nada pasrah mengendap pelan. Malam ini, aku jadi orang lain. Bukan masalah besar.

Gaun itu bukan cuma pakaian. Ia adalah jubah peran, lambang bahwa Alina telah menyetujui skenario yang sudah digariskan Revan Adhitama—sutradara sekaligus penguasa cerita ini.

Ada secercah dorongan di hatinya untuk melawan, untuk mengenakan kaus lusuh dan celana pendek saja, sekadar mengguncang pria itu. Tapi lalu apa? Revan takkan mengangkat alis pun. Dia memang tak pernah peduli.

Jadi, ini bukan tentang menyerah.

Ini tentang mundur dengan rencana.

Oke, Alina. Tarik napas dalam. Ayo jalani.

Ia akan ikut bermain, bukan karena tunduk, melainkan karena ingin tahu. Ada teka-teki di balik sosok Revan, dan ia penasaran—di mana letak celahnya, tombol yang bisa mematikan kendali pria itu, kalau memang ada.

Dengan helaan napas panjang yang penuh beban, ia mengenakan gaun itu, membiarkan sutra dingin membalut kulitnya.

Saat Alina melangkah keluar menuju dek utama, malam di pulau itu menyapanya dengan keagungan yang hening. Udara terasa hangat, membawa aroma laut yang tajam dan tulus, bercampur wangi kamboja yang lembut, manis, sekaligus sedikit perih—seperti bisikan perpisahan yang tak sengaja terucap.

Jauh di kejauhan, suara tokek terdengar sesekali, pendiam namun menusuk, bagai detak pulau yang tak pernah benar-benar tidur.

Jalur setapak yang ia susuri diterangi obor-obor bambu, nyala apinya lembut, mengukir bayangan yang bergoyang pelan di tanah. Semua terasa begitu elok, hampir terlalu rapi, seolah keindahan ini sengaja dipahat untuk menyembunyikan sesuatu yang tak utuh di baliknya.

Pemandangan itu memanjakan mata, menenangkan jiwa. Tapi justru di situlah letak pedihnya—ketenangan ini seperti pisau yang mempertegas kegaduhan di dalam dirinya.

Revan sudah menanti di ujung dek kayu, di meja yang disusun rapi tak jauh dari bibir pantai. Ombak bergoyang malu-malu, hanya berani menyentuh pasir dengan sopan. Lilin-lilin kecil bersemayam di lentera kaca, apinya tenang, tak terganggu angin.

Revan berdiri saat Alina mendekat. Kemeja linen putihnya terlihat santai dengan lengan tergulung sampai siku, tapi wajahnya—ah, wajah itu selalu sama. Dingin, tak terusik, seperti patung yang tak pernah goyah

Seorang staf vila menarik kursi untuknya, dan Alina duduk, merasakan kecanggungan menyelimutinya bagai selendang yang terlalu tebal.

Hidangan pertama disajikan, dan Alina sedikit terkejut. Bukan makanan mewah yang asing di lidah seperti yang ia duga. Di depannya tersaji Sate Lilit dari daging lobster, harum dan sederhana, ditemani tiga mangkuk kecil berisi sambal—matah, dabu-dabu, dan terasi.

Sebuah kejutan kecil yang hangat di tengah malam yang terasa hampa.

Mereka makan dalam sunyi. Hanya suara ombak yang pelan dan denting halus alat makan mengisi udara. Keheningan itu terasa lama, menekan.

Hingga akhirnya, Revan membuka “aksinya”.

“Nanti, kalau ada yang bertanya, ucapnya tiba-tiba, suaranya datar seperti membaca daftar belanja, “kita bertemu di pameran arsitektur. Tahun lalu. Di Jakarta. Kau suka caraku berpikir, aku suka caramu bermimpi.”

Alina berhenti mengunyah, matanya terangkat menatapnya. Revan sedang merangkai dongeng—sebuah kisah tentang mereka, tentang masa lalu yang tak pernah ada.

“Aku yang mengajakmu bicara duluan,” lanjutnya, tak acuh pada pandangan Alina. “Kita sering diskusi. Lalu menikah. Begitu saja.”

Ia berhenti, menatapnya dengan sorot yang tajam dan dingin.

“Itu ceritanya. Jangan sampai salah.”

Hati Alina seperti dicengkeram sesuatu. Ia meletakkan garpu dengan hati-hati, lalu memasang senyum—senyum paling manis yang bisa ia ukir.

“Oh,” katanya lembut, “bagus juga ceritanya.”

Ia condongkan tubuh sedikit ke depan, menatap Revan dengan mata yang sengaja dibuat bening dan polos.

“Terus, Van,” lanjutnya, nada suaranya mengalir lembut bagai angin, “kalau nanti Kakek tanya, apa yang paling kamu suka dari aku, kamu mau jawab apa?”

Sunyi sejenak.

Pertanyaan itu tak menggertak, tak menantang. Ia hanya mendarat begitu saja, polos dan tulus. Tapi justru karena itu, ia seperti hempasan kecil yang menggoyang benteng es yang Revan bangun dengan rapi.

Sekilas, Alina menangkap getar di mata pria itu—bukan amarah, bukan juga tawa, melainkan secercah kebingungan yang tak biasa. Namun, secepat kilat, getar itu hilang, dan dinginnya kembali utuh.

Revan tak menjawab. Ia hanya meletakkan alat makannya dengan gerakan mekanis.

“Makan malam selesai,” katanya kaku, melirik jam di pergelangan tangannya. “Sesuai jadwal…”

“…‘Waktu Pribadi’ dimulai sekarang.”

Kata “Waktu Pribadi” itu menggantung di udara, terdengar asing dan kosong.

Apa makna ‘waktu pribadi’ bagi dua orang yang bahkan tak punya ‘bersama’ yang benar-benar hidup?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 63 : Merakit Bom (Dengan Kertas dan Kopi)

    Jadi gini.Punya ide brilian itu satu hal.Ngerjainnya? Itu cerita lain.Euforia setelah Alina menemukan konsep "Api dan Air" itu cuma bertahan sekitar... dua belas jam. Setelah itu, yang tersisa adalah realita yang menampakkan wujudnya dalam bentuk tumpukan pekerjaan setinggi Gunung Everest.Studio Alina di Bintan, yang tadinya sudah mirip kapal pecah, sekarang naik level jadi lokasi syuting film post-apocalypse."Nggak, nggak, nggak!" Suara Deni terdengar nyaring dari speaker laptop, nadanya terdengar seperti orang yang baru saja lihat anak kucingnya dilindas sepeda. "Material fasad untuk Sayap Api nggak bisa pakai komposit kayu, Bu! Kurang garang! Harus pakai panel titanium hitam! Biar kayak Batmobile!"

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 62 : Dapur Neraka (Versi Arsitek)

    Oke, mari kita luruskan satu hal.Momen puitis di mana seorang arsitek jenius menarik satu garis ajaib dan jreng! jadilah sebuah mahakarya?Itu bohong. Omong kosong yang dijual film-film buat bikin orang normal merasa hidup mereka membosankan.Kenyataannya jauh lebih brutal.Seminggu setelah "paket amunisi" dari Revan mendarat, studio Alina di Bintan lebih mirip lokasi bencana daripada tempat lahirnya sebuah ide brilian.Ada tumpukan kertas kalkir yang gagal di sudut ruangan, tingginya sudah bisa jadi kursi tambahan. Cangkir-cangkir kopi kosong berjejer di setiap permukaan datar kayak pion-pion catur yang kalah perang. Dan bau di ruangan itu adalah campuran aneh antara bau kertas, tinta, dan keputusasaan.

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 61 : Selamat Datang di Surga (Para Arsitek Gila Perang)

    Kalau di film-film, adegan kayak gini biasanya diiringi musik yang menegangkan. Montage cepat. Kopi dituang, kertas dilempar, orang-orang nggak tidur tiga hari tiga malam, terus tiba-tiba jreng! jadilah sebuah mahakarya.Kenyataannya... yah, kurang lebih sama. Cuma lebih bau kopi basi dan lebih banyak umpatan.Studio kecil Alina di Bintan berubah fungsi dalam semalam.Dari tempat menyepi yang tenang, menjadi ruang situasi perang yang nggak pernah tidur."Oke, jadi Pak Antono ini ternyata nggak suka sama sudut yang terlalu tajam di lobi hotel," kata Deni lewat panggilan video, matanya merah karena kurang tidur tapi suaranya penuh semangat. "Di catatannya soal proposal Hote

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 60 : Amunisi Tiba (Tanpa Resi Pengiriman)

    Mari kita intip sebentar ke markas pemberontak di Bintan.Suasananya... sibuk.Kalau kamu bayangin tiga orang jenius lagi kerja bareng itu bakal keren dan canggih kayak di film-film, kamu salah besar. Kenyataannya lebih mirip indekos mahasiswa arsitektur seminggu sebelum sidang skripsi.Meja gambar Alina sudah penuh dengan kertas kalkir yang saling tumpang tindih. Ada bekas noda kopi di sudut, dan remah-remah biskuit di dekat tumpukan penghapus.Di layar laptop, wajah Deni dan Sinta terpampang, sama kacaunya.Deni lagi ngubek-ngubek Google kayak detektif kurang tidur, mencoba mencari profil dewan direksi Adhitama. "Oke, jadi Pak Suryo ini koleksi lukisan abstrak. Mungkin dia suka desain yang aneh-aneh, Bu?"Sinta, di sisi lain, lebih mirip

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 59 : Cara Seorang CEO Bilang 'Aku Dukung Kamu'

    Sementara itu di belahan dunia lain atau lebih tepatnya, di sebuah kantor di puncak gedung pencakar langit Jakarta, seorang pria baru saja menutup telepon.Revan Adhitama tidak langsung bergerak.Ia hanya berdiri di sana, di depan jendela raksasa, dengan ponsel yang masih tergenggam erat di tangannya.Di ujung jarinya, masih terasa sisa-sisa getaran dari kalimat terakhir Alina."Biar aku yang bekerja."Bukan nada memohon. Bukan nada bertanya.Itu adalah nada perintah.Dan entah kenapa, diperintah oleh wanita itu justru terasa... memuaskan.Sebuah senyum tipis—senyum yang benar-benar tulus, bukan senyum korporat hasil latihan—terukir di bibirnya.

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 58: Rapat Perang Pertama (Yang Nggak Direncanain)

    Ada dua jenis orang di dunia ini setelah menutup telepon penting.Jenis pertama bakal langsung buka media sosial, cari distraksi, atau mungkin bikin teh hangat buat nenangin diri.Jenis kedua... bakal langsung merakit bom.Alina Cantika Dewi jelas-jelas masuk kategori kedua.Begitu sambungan telepon dengan Revan terputus, ia tidak diam. Ia tidak merenung. Ia tidak panik.Energi di dalam studio kecil di Bintan itu berubah total.Kalau lima menit yang lalu tempat ini adalah surga seorang seniman, sekarang tempat ini adalah markas komando. Meja gambarnya bukan lagi kanvas, tapi meja strategi perang. Dan pensil di tangannya bukan lagi alat untuk menggambar, tapi tongkat komando.Hal pertama yang ia lakukan?

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status