Pesan itu datang seperti vonis mati di siang bolong.
[Seminggu dari sekarang, kalau hutang bapakmu nggak lunas juga, siap-siap kantormu itu saya segel!] Nama pengirimnya: Bang Darto. Profesi: Rentenir. Jantung Alina seolah berhenti berdetak sesaat, lalu berdentum keras menyesakkan dada. Tujuh hari. Hanya itu waktu yang ia punya untuk mencari uang ratusan juta, melunasi hutang peninggalan ayahnya yang baru terungkap setelah beliau tiada. Euforia sesaat setelah presentasinya yang sukses pagi ini seketika langsung lenyap, tergantikan oleh kepanikan yang terus saja merayap di pembuluh darahnya. Pikirannya langsung tertuju pada satu hal lain yang membuatnya semakin sesak: biaya cuci darah rutin untuk ibunya. ** Malam itu, saat mengunjungi ibunya di rumah kontrakan mereka yang sederhana, Alina berusaha memasang wajah ceria. Namun, Ibu Riana, dengan kepekaan seorang ibu, bisa merasakan kegelisahan putrinya. "Ada masalah di kantor, Lin? kamu kelihatan pucat begitu soalnya, Ada apa? Sini ngobrol sama ibu" tanya Ibu Riana lembut, tangannya yang kurus mengusap punggung tangan Alina. Alina menggeleng, mencoba tersenyum. "Eh.. Nggak ada apa-apa, Bu. Cuma kecapek-an aja." Ibu Riana diam sejenak, seakan tahu Alina sedang berbohong. "Mikirin soal hutang ayahmu, ya?" Akhirnya, tebak ibunya pelan. Insting seorang ibu memang jarang meleset. Tak pakai lama, Sang ibu bangkit, berjalan tertatih-tatih ke lemari tuanya, lalu tak lama, ia kembali dengan sebuah kotak beludru kecil yang sudah kotor karena debu. Ternyata.. Di dalamnya ada sepasang anting emas peninggalan nenek. "Jual ini saja, Nak. Ini harta warisan terakhir kita. Peninggalan nenek. Mungkin bisa bantu meringankan sedikit." ucap ibu, yang tahu saja kalau harga emas lagi melonjak. Hati Alina terasa seperti diremas. Ibunya yang sakit masih saja memikirkannya, bahkan rela melepaskan satu-satunya kenangan berharganya. TIDAK. Alina tidak akan membiarkannya. "Nggak usah, Bu," kata Alina tegas, segera menutup kembali kotak itu dan menggenggam tangan ibunya. "Alina janji bu, Alina akan selesaikan semuanya yah. Alina mohon.. ibu nggak usah mikirin masalah ini lagi, Alina cuma minta Ibu fokus aja untuk sehat, ya?" ** Di puncak keputusasaannya itulah, setelah kembali ke apartemennya, Alina panik mencari solusi apa pun di internet. Ia harus mencari jalan keluar. Sekarang juga. Setelah puluhan tab peramban terbuka tanpa hasil, matanya menangkap sebuah iklan samar di kolom samping sebuah portal berita bisnis. Kebutuhan Mendesak, Kompensasi Besar. Iklan itu tidak menjanjikan apa-apa selain menyisakan misteri. Hanya menyebutkan bahwa sebuah pihak "elite" mencari wanita dengan kriteria tertentu untuk "proyek pribadi yang sangat rahasia." Di bawahnya, hanya ada satu nama kontak: Andra. Terdengar seperti jebakan atau penipuan, bahkan mungkin sesuatu yang lebih buruk Tapi Alina, terasa sudah tidak punya kewenangan untuk memilih. Dengan tangan yang gemetar, ia coba menelepon nomor itu. ** Selang beberapa waktu.. Panggilan singkat itu, akhirnya membawanya ke sini. Sebuah kantor konsultan hukum yang megah di pusat kota. Ruangannya dingin, sunyi, dan beraroma seperti uang baru. Saat pintu ruang pertemuan utama terbuka, dunia Alina seolah runtuh. Pria yang berdiri membelakangi jendela, dengan siluet tinggi dan tegap yang terasa mendominasi itu, adalah.. Revan Adhitama. Musuh bebuyutannya di masa SMA. "K-kau?" desis Alina, rasa kaget dan tidak percaya membuat suaranya nyaris hilang. Revan hanya mengangkat satu alisnya, seolah terhibur. "Hm.. ‘Surprise’!, Alina Cantika Dewi?" panggilnya dengan nama belakang yang selalu ia gunakan untuk mengejek Alina dulu. Napas Alina tercekat. Langsung saja, Semua kenangan buruk tentang pria ini kembali membanjiri otaknya. Rivalitas sengit mereka, puncaknya saat kompetisi desain nasional tingkat SMA. Alina, dengan maket arsitektur yang ia buat dengan tangannya sendiri hasil begadang dan cucuran keringat, harus kalah dari Revan yang mempresentasikan desainnya, HANYA dengan printer 3D dan Software simulasi komputer yang canggih. Mengenaskan. Bukan bakat alami yang menang hari itu, tapi apa? Ya, Privilege & Uang. Dan kini, takdir seolah sedang menertawakannya. Di titik terendahnya, ia justru harus berhadapan dengan simbol perwujudan dari segala yang ia benci. "Tidak akan," kata Alina tegas dengan suara tinggi, langsung berdiri dari kursinya. "Aku tidak akan pernah—" "Duduk," potong Revan, suaranya tenang namun seolah memborgol Alina untuk tetap ditempatnya. Aura ‘sigma’-nya seketika memenuhi ruangan, memaksa Alina untuk kembali terduduk. "Kau Pikir aku tak tahu semua masalahmu. Aku tahu tentang hutangmu, Alina. Aku tahu tentang rentenir itu. Dan aku tahu.. bahwa sekarang.. kau tidak punya pilihan lain." kata Revan, berjalan pelan mengitarinya. Tentu saja Alina tak tinggal diam, "Lebih baik kantorku disegel daripada aku berhutang budi padamu!" sahut Alina sengit. Revan berhenti di hadapannya. "Benarkah begitu? Kau yakin? Kau akan membiarkan warisan ayahmu hancur.. hanya karena gengsi masa remaja?" Ia tersenyum sinis. "Dengar, Keidealisan ayahmu mungkin membanggakan, tapi lihat ke mana itu membawanya—meninggalkanmu.. dengan tumpukan hutang rentenir." Boom! Kata-kata itu terasa seperti tamparan keras. Sakit, karena itu adalah sebuah kebenaran. "Aku butuh seorang istri, Alina. Yaa.. Sebuah pernikahan kontrak selama satu tahun untuk memenuhi syarat dari kakekku," lanjut Revan, langsung ke intinya. "Kau butuh uang. Kesepakatan yang simpel." "Aku tidak sudi!" ucap Alina, harga dirinya mencoba untuk bangkit. "Kalau begitu, silakan saja keluar," balas Revan datar. "Cari solusi lain dalam tujuh hari. Tapi Ingat.. pikirkan baik-baik, Alina. Apa kau yakin bisa mendapatkan uang sebanyak itu untuk melunasi hutang dan untuk biaya perawatan ibumu?" Sial. Serangan itu tepat mengenai titik terlemah Alina. Ibunya. Pria ini tahu tentang ibunya. Alina terdiam, bibirnya terkatup rapat menahan amarah dan keputusasaan. Tapi.. Mau bagaimana lagi. Revan benar. Ini bukan lagi hanya tentang harga dirinya atau firma ayahnya. Ini tentang nyawa ibunya. Ia tak bisa mengelak. Ia menatap Revan dengan sorot mata kekalahan. Pria itu seolah bisa membaca pikirannya. Ia tersenyum tipis, seolah senyum kemenangan. "Kau pasti tahu apa yang harus kau lakukan." Alina menarik napas panjang, terasa begitu berat seolah baru saja mengangkat beban berat satu ton. Ia menelan sisa-sisa harga dirinya yang terakhir. "Apa... apa saja syaratnya?" bisiknya, suara yang keluar dari mulutnya terasa seperti milik orang lain. Revan tersenyum lebih lebar. "Bagus. Aku suka wanita yang penurut." ** Malam itu, Alina meninggalkan gedung itu dengan sebuah draf kontrak di tangannya. Ia tidak mendapatkan solusi, ia baru saja menjual jiwanya.. pada sosok iblis. Iblis dalam wujud musuh bebuyutannya. Tapi.. Apakah ia benar-benar ‘Iblis’?Ada dua jenis orang di dunia ini setelah menutup telepon penting.Jenis pertama bakal langsung buka media sosial, cari distraksi, atau mungkin bikin teh hangat buat nenangin diri.Jenis kedua... bakal langsung merakit bom.Alina Cantika Dewi jelas-jelas masuk kategori kedua.Begitu sambungan telepon dengan Revan terputus, ia tidak diam. Ia tidak merenung. Ia tidak panik.Energi di dalam studio kecil di Bintan itu berubah total.Kalau lima menit yang lalu tempat ini adalah surga seorang seniman, sekarang tempat ini adalah markas komando. Meja gambarnya bukan lagi kanvas, tapi meja strategi perang. Dan pensil di tangannya bukan lagi alat untuk menggambar, tapi tongkat komando.Hal pertama yang ia lakukan?
Alina masih berdiri di depan meja gambarnya.Aroma arang dari pensil dan kertas terasa pekat di udara. Di hadapannya, terhampar sketsa sebuah benteng yang lahir dari amarah.Suara Revan di seberang sana terdengar jauh. Seperti suara dari dunia lain. Dunia penuh jas mahal, pendingin udara sentral, dan pengkhianatan yang dibungkus senyum."...kita punya tantangan baru."Alina menarik napas pelan. "Tantangan?" tanyanya, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. "Tantangan macam apa yang bisa muncul dari rapat dewan yang membosankan?"Di seberang sana, Alina bisa mendengar Revan menghela napas. Suara yang terdengar lelah, tapi bukan kalah."Pamanku," kata Revan, langsung ke intinya. "Dia mencoba bermain cantik."
Hening.Di dalam ruangan yang harganya lebih mahal dari gabungan harga rumah seluruh karyawannya itu, satu-satunya suara adalah dengung pelan pendingin udara.Dengung yang terdengar seperti hitungan mundur sebelum bom meledak.Semua mata—mata licik, mata penasaran, mata takut—semuanya tertuju pada satu orang.Revan Adhitama.Umpan dari Hariman sudah dilempar dengan begitu cantiknya ke tengah meja."Hanya untuk... 'membantu'."Sebuah bantuan yang rasanya seperti tamparan. Sebuah kepedulian yang baunya seperti penghinaan.Siapapun yang punya otak di ruangan itu tahu ini bukan usul. Ini adalah tes. Sebuah gertakan.
Kalau surga itu punya bau, mungkin baunya seperti udara Bintan di pagi hari. Campuran wangi garam laut, tanah basah, dan embun.Kalau neraka punya bau, baunya persis seperti udara Jakarta di jam pulang kerja. Campuran asap knalpot, debu konstruksi, dan ambisi yang membusuk.Revan Adhitama sedang menghirup dalam-dalam bau neraka itu sekarang.Ia duduk di kursi belakang mobilnya yang melaju pelan, terjebak di tengah lautan lampu merah dan klakson.Kontrasnya begitu menusuk.Beberapa jam yang lalu, ia masih berdiri di balkon, menatap lautan biru yang tenang. Sekarang, ia menatap lautan beton yang kacau balau.Ponsel di tangannya bergetar pelan. Ia membukanya lagi.Pesan dari Alina.
Hening.Itu hal pertama yang Alina sadari setelah telepon ditutup.Hening yang tadinya terasa damai, sekarang malah terdengar mengancam.Suara jangkrik di luar jendela yang tadinya kayak musik alam, sekarang malah terdengar kayak lagi menertawainya.Ponsel di tangannya terasa dingin dan berat.Kayak sebatang logam dari neraka.Paman Hariman.Sialan.Baru juga beberapa jam yang lalu ia merasa menemukan dunianya.Baru juga beberapa jam yang lalu ia merasa aman.Rasanya... kurang ajar banget.Tempat yang baru aja ia anggap 'rumah', tempat amannya, tahu-tahu rasany
BAB 53 : Telepon dari Kandang SerigalaSetiap hal indah pasti ada tanggal kedaluwarsanya.Gelembung kecil yang mereka ciptakan di studio Revan itu, dengan wangi kopi dan keheningan yang nyaman, ternyata punya masa berlaku yang sangat singkat. Cuma beberapa jam.Perpisahan mereka di lobi hotel terasa canggungnya minta ampun. Nggak ada pelukan dramatis ala film-film. Nggak ada ciuman perpisahan yang bikin lutut lemas. Yang ada cuma dua orang yang mendadak nggak tahu harus menaruh tangan di mana."Aku akan telepon kalau sudah sampai," kata Revan. Kalimat standar yang entah kenapa terdengar aneh keluar dari mulutnya."Oke," jawab Alina singkat.Revan menatapnya sejenak, seolah mau bilang sesuatu lagi, tapi nggak jadi. Akhirnya, ia cuma mengangguk kaku, lalu berbalik dan masuk ke dalam mobil hitam yang sudah menunggunya.Dan begitu saja. Pria itu pergi.Alina ditinggal sendirian di lobi yang megah, dengan kunci studio Revan di sakunya yang terasa berat dan panas.Rasanya aneh. Kosong.Sete