“Kau butuh istri, dan aku butuh uang,” kata Alina lirih.
Alina menatap pria yang duduk di seberangnya, Revan Adhitama, CEO Adhitama Corp.
Sejujurnya, jantung Alina berdebar kencang. Ia masih tidak percaya bagaimana ia bisa berakhir di sini, duduk di hadapan salah satu pria paling berkuasa di Jakarta, mengajukan tawaran paling gila yang pernah ia dengar seumur hidupnya.
Semua terjadi begitu cepat.
Baru beberapa jam yang lalu, Alina masih merasakan secercah harapan setelah presentasi konsep arsitektur “Oasis Urban” miliknya berjalan mulus.
Namun, euforia singkat itu hancur berkeping-keping oleh satu pesan singkat dari Bang Darto, si penagih hutang, yang terasa seperti vonis mati.
[Seminggu dari sekarang, kalau hutang bapakmu nggak lunas juga, siap-siap kantormu itu saya segel!]
Tujuh hari untuk melunasi hutang ratusan juta itu mustahil!
Di puncak keputusasaan itulah, Alina panik mencari solusi dari berbagai pihak, termasuk internet. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah iklan samar yang membawanya langsung pada pertemuan ini.
Revan mencondongkan tubuhnya sedikit, menyandarkan sikunya di atas meja.
"Aku memang butuh seorang istri, tapi aku tidak seceroboh itu untuk memilih seorang Arsitek dengan firma kecil yang hampir bangkrut."
Alina menelan ludahnya susah payah. Ia tahu, meskipun dalam kondisi terpepet, Revan tidak akan mungkin mencari calon istri secara acak, secara ia berasal dari keluarga yang sangat terpandang.
Setelah mengumpulkan banyak keberanian, Alina menegakkan punggungnya, berusaha menekan getar di suaranya.
Kepanikan yang tadi mencengkeramnya kini berubah menjadi tekad baja. Ini satu-satunya kesempatannya, dan ia tidak akan menyia-nyiakannya.
"Justru karena latar belakang saya lebih jelas, saya bisa menjadi kandidat yang paling bisa Anda andalkan," sahut Alina, tatapannya bertemu langsung dengan mata dingin pria itu.
"Saya mempertaruhkan segalanya di sini. Warisan ayah saya, nasib karyawan saya, nama baik saya. Saya memang bukan orang luar biasa, tetapi saya juga punya status sosial yang masih cukup bagus. Jadi, nantinya saya tidak akan membawa banyak perbedaan dan masalah untuk Anda."
Ia berhenti sejenak, menarik napas.
"Saya tidak punya kuasa yang sangat besar untuk bersikap nekat atau melanggar aturan. Saya akan mengikuti setiap klausul kontrak Anda sampai ke titik terakhir. Saya akan menjadi istri yang Anda butuhkan di mata publik, profesional, berpendidikan, tanpa skandal.
Dan setelah semuanya selesai, saya akan menghilang dari hidup Anda tanpa jejak. Anda tidak akan menemukan kandidat yang lebih termotivasi untuk menjaga kesepakatan ini tetap rahasia selain saya."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Revan tidak langsung merespons. Ia hanya menatap Alina lekat-lekat, seolah sedang memindai setiap inci kejujuran dan keputusasaan di wajahnya. Waktu terasa merayap lambat.
Bagi Alina, keheningan ini lebih menyiksa daripada rentetan pertanyaan dingin Revan. Inilah momen penentuannya. Apakah argumennya cukup meyakinkan?
“Logika bisnis yang menarik,” kata Revan akhirnya, memecah keheningan.
Alina menahan napas, tidak berani berharap terlalu banyak. Revan menatapnya sekali lagi, kali ini tatapannya terasa lebih tajam, lebih dalam.
"Baiklah, Alina," katanya tiba-tiba, sebuah keputusan kilat yang terasa begitu kontras dengan keraguannya beberapa saat lalu. "Berapa uang yang kau butuhkan?"
Alina mengangkat wajahnya, merasa bingung.
Apakah ini artinya ia berhasil?
“A–apa ini maksudnya …”
“Ya, kita lakukan perjanjian itu,” potong Revan tanpa basa-basi.
Kelegaan yang luar biasa membanjiri Alina, membuatnya nyaris lemas. Ia berhasil.
Revan mengambil ponselnya, lalu menelepon seseorang. "Andra, siapkan dokumen final perjanjian pernikahan. Bawa ke ruangan meeting kecil sekarang."
Beberapa menit kemudian, seorang pria masuk dengan sebuah map kulit dan meletakkannya di hadapan Alina.
"Kontraknya menjelaskan semua kewajibanmu, kompensasi yang akan kau terima setelah pernikahan sah, dan klausul perceraian," kata Revan. "Tanda tangani."
Dengan tangan yang kini lebih mantap, meskipun jantungnya masih berdebar kencang, Alina mengambil map itu dan membaca poin-poin yang ada di sana.
Sejujurnya, Alina juga tidak begitu peduli dengan alasan kenapa Revan membutuhkan seorang istri hingga membuat iklan dan perjanjian seperti ini. Sebab, yang paling utama sekarang adalah apa yang menguntungkan baginya sendiri.
Beberapa poin perjanjian ini sangat membuat Alina merasa lega.
Pertama, mereka tidak akan saling ikut campur dengan kehidupan masing-masing, mereka hanya perlu berperan sebagai suami istri di depan umum.
Kedua, meskipun mereka akan tetap tinggal satu rumah, mereka akan tidur di kamar terpisah dan tidak boleh menyentuh area pribadi satu sama lain.
Ketiga, pernikahan mereka akan berakhir setelah 1 tahun.
Itu semua benar-benar membuat Alina merasa lega. Jelas, semua memberinya banyak keuntungan.
Tanpa ragu, Alina mengambil pena dan membubuhkan tanda tangannya di atas materai. Ia baru saja memperjuangkan dan memenangkan kesepakatan untuk menjual satu tahun hidupnya.
Revan mengambil dokumen itu, menandatanganinya dengan cepat.
"Pernikahan akan dilangsungkan akhir pekan ini. Andra akan mengurus semua detailnya," kata Revan seraya bangkit.
Akhir pekan ini?
Itu artinya dua hari lagi!!
Kepala Alina semakin terasa pusing. Ini benar-benar pernikahan kilat.
“Tunggu,” sela Alina segera.
Revan menoleh dan mengangkat satu alisnya, seolah paham dengan apa yang akan Alina katakan. “Sebut saja nominal yang kau butuhkan, Andra akan mengurusnya.”
“Bukan … bukan itu,” jawab Alina sambil menggelengkan kepalanya. “Pernikahan itu … apa tidak terlalu cepat? Saya … saya harus memberi kabar pada keluarga saya dulu.”
Revan tersenyum tipis, dan menatap Alina dengan dingin. “Negosiasi kita tidak mencakup tanggal pernikahan.”
Alina terdiam. Tatapan Revan benar-benar mengunci pikirannya, bahkan hingga membuat bibirnya kelu.
Sejenak Alina merasa keputusannya untuk berurusan dengan orang seperti Revan ini salah. Namun, mengingat ia benar-benar membutuhkan uang itu dengan cepat, memang tidak ada cara lain lagi.
Akhirnya, Alina hanya bisa mengangguk pasrah.
“Bagus,” ucap Revan singkat dan lirih, tetapi masih cukup bisa Alina dengar.
Setelah itu, Revan menghilang dari balik pintu, meninggalkan Alina sendirian dengan gema kata-kata Revan yang terasa seperti peringatan sekaligus vonis takdir yang baru saja ia perjuangkan dengan segenap sisa kekuatannya.
Pada akhirnya, mau tidak mau, Alina dan Revan berangkat bersama, dan Revan sendiri yang mengendarai mobil mereka.Begitu tiba di kantor, beberapa pegawai Alina yang baru datang mendadak heboh melihat Alina turun dari mobil yang dikemudikan Revan. Namun, tak ada yang berani untuk langsung menyapa.Alina berusaha mengabaikan itu semua. Ia ingin kembali fokus pada pekerjaannya. Setelah melunasi hutang itu, ia benar-benar merasa lega dan bebas untuk bekerja. Ia bisa kembali fokus merancang, berdiskusi dengan timnya, dan membangun kembali Cipta Ruang Estetika. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa punya kendali atas dunianya sendiri."Pagi, Bu Alina," sapa Deni, arsitek juniornya, dengan senyum canggung. "Selamat... atas pernikahannya, Bu."Sinta, yang duduk di meja administrasi, ikut menimpali dengan suara pelan. "Iya, Bu. Kaget banget kami dengar beritanya. Tiba-tiba sekali."Alina hanya bisa tersenyum tipis. "Terima kasih. Memang semuanya serba mendadak." Ia tidak ingi
Udara di dalam mobil terasa menyesakkan. Permintaan soal pewaris yang dilontarkan Kakek masih berdengung di telinga Alina, menciptakan ketegangan yang nyaris tak tertahankan.Alina melirik Revan yang tetap fokus menyetir, wajahnya kaku diterpa cahaya lampu jalan.‘Dia pasti juga kaget,’ batin Alina. Namun, ia harus memastikan itu karena sandiwara ini sudah cukup rumit tanpa tambahan syarat absurd seperti itu.“Soal pewaris itu tidak ada di kontrak kita, kan?” tanya Alina hati-hati.“Aku tahu,” jawab Revan, singkat, tanpa menoleh.Alina mengernyitkan dahinya. Hanya itu jawabannya?Kenapa rasanya Revan justru sangat santai di sini?Alina menghela napas berat. Hingga akhirnya, mobil berbelok masuk gerbang rumah. Begitu berhenti, Revan mematikan mesin dan keluar tanpa berkata lagi. Alina menyusul, langkahnya cepat.“Revan, tunggu.” Alina berdiri di bawah tangga saat Revan berhenti di anak tangga pertama. Kali ini, untuk pertama kalinya, ia menyebut nama pria itu tanpa embel-embel 'Pak'.
Akhirnya hari itu tiba. Setelah kemarin pagi tim desainer datang untuk fitting kebaya yang sudah dipilihkan. Siangnya, berita pernikahannya meledak di media. Malamnya, ia menjalani makan malam perkenalan yang canggung dengan Kakek Bramantyo.Hari ini, akad nikah dilangsungkan di sebuah ruangan privat yang telah didekorasi dengan elegan. Alina duduk bersimpuh, tangannya yang dingin mencengkeram erat ujung kebayanya.Di hadapannya, Revan duduk dengan punggung tegak, wajahnya sedingin marmer.Prosesi ijab kabul berlangsung begitu cepat, seolah semua orang ingin segera menyelesaikan formalitas yang tidak nyaman ini.Sah.Satu kata itu menggema di ruangan, menghantam dada Alina dengan keras. Selesai sudah. Ia kini adalah istri Revan Adhitama.Sesuai skenario, setelah prosesi akad selesai, mereka langsung menuju mobil yang sudah menunggu untuk membawa mereka ke rumah baru.Keheningan di dalam mobil terasa begitu pekat, lebih menyesakkan daripada kebisingan lalu lintas Jakarta di luar. Alin
“Kau butuh istri, dan aku butuh uang,” kata Alina lirih.Alina menatap pria yang duduk di seberangnya, Revan Adhitama, CEO Adhitama Corp.Sejujurnya, jantung Alina berdebar kencang. Ia masih tidak percaya bagaimana ia bisa berakhir di sini, duduk di hadapan salah satu pria paling berkuasa di Jakarta, mengajukan tawaran paling gila yang pernah ia dengar seumur hidupnya.Semua terjadi begitu cepat.Baru beberapa jam yang lalu, Alina masih merasakan secercah harapan setelah presentasi konsep arsitektur “Oasis Urban” miliknya berjalan mulus. Namun, euforia singkat itu hancur berkeping-keping oleh satu pesan singkat dari Bang Darto, si penagih hutang, yang terasa seperti vonis mati.[Seminggu dari sekarang, kalau hutang bapakmu nggak lunas juga, siap-siap kantormu itu saya segel!]Tujuh hari untuk melunasi hutang ratusan juta itu mustahil!Di puncak keputusasaan itulah, Alina panik mencari solusi dari berbagai pihak, termasuk internet. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah iklan samar yang