Share

BAB 2 : Momongan?

Author: TenMaRuu
last update Last Updated: 2025-05-28 03:38:55

Akhirnya hari itu tiba.

Setelah kemarin pagi tim desainer datang untuk fitting kebaya yang sudah dipilihkan. Siangnya, berita pernikahannya meledak di media. Malamnya, ia menjalani makan malam perkenalan yang canggung dengan Kakek Bramantyo.

Hari ini, akad nikah dilangsungkan di sebuah ruangan privat yang telah didekorasi dengan elegan. Alina duduk bersimpuh, tangannya yang dingin mencengkeram erat ujung kebayanya.

Di hadapannya, Revan duduk dengan punggung tegak, wajahnya sedingin marmer. Wajah angkuh yang sama yang selalu membuatnya muak di masa SMA.

Prosesi ijab kabul berlangsung begitu cepat, seolah semua orang ingin segera menyelesaikan formalitas yang tidak nyaman ini.

Sah.

Satu kata itu menggema di ruangan, menghantam dada Alina dengan keras.

Selesai sudah.

Ia kini adalah istri Revan Adhitama. Istri dari musuh bebuyutannya. Ironis sekali, batinnya getir.

Sesuai skenario, setelah prosesi akad selesai, mereka langsung menuju mobil yang sudah menunggu untuk membawa mereka ke rumah baru.

Keheningan di dalam mobil terasa begitu pekat. Alina memaku pandangannya pada gedung-gedung yang berlarian, lebih memilih fokus pada beton dan kaca daripada menatap pria di sampingnya. Pria yang kini, secara hukum, adalah suaminya.

Mobil mewah itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah modern yang sangat besar dengan desain minimalis yang elegan.

"Anggap saja sebagai bagian dari fasilitas kontrak selama satu tahun," kata Revan, memecah keheningan. Nadanya datar.

"Oke.. aku mengerti," jawab Alina pelan.

Mereka masuk ke dalam rumah yang sunyi itu. Seorang asisten rumah tangga yang sudah paruh baya.. Bi Sumi, menyambut mereka dengan membungkuk hormat.

Revan langsung menatap Alina. "Kamarmu di lantai dua, pintu kedua sebelah kanan. Segala ebutuhanmu sudah disiapkan. Kamarku ada di seberang dan ruang kerja di antara kamar kita adalah area pribadiku. Dilarang masuk tanpa izin."

Ia tidak akan menjadi keset. "Dan sebaliknya?" tanya Alina, mengangkat dagunya sedikit.

Revan menatapnya sejenak. "Aku tidak punya urusan untuk masuk ke kamarmu," jawabnya dingin.

Setelah itu, ia hendak menaiki tangga, tetapi Alina menghentikannya.

“Tunggu,” cegah Alina.

Revan hanya menoleh dengan tatapan datar.

Alina menelan ludahnya. “Kapan aku bisa mendapat uang itu?”

Revan mengeluarkan ponselnya, mengetik sesuatu. “Nanti malam Andra akan memberikannya,” jawabnya, lalu berbalik dan meninggalkan Alina.

**

Malam itu, Alina diajak untuk makan malam bersama keluarga Adhitama. Ini adalah ujian pertamanya, dan ia merasa seperti sedang berjalan menuju medan perang.

Di meja makan yang panjang dan megah, suasana terasa begitu tegang. Kakek Bramantyo duduk di ujung meja, memancarkan aura kekuasaan. Namun, bukan Kakek yang membuat Alina gelisah, melainkan Hariman Adhitama, paman-nya Revan.

"Selamat datang.. di keluarga kami, Alina," Hariman membuka suara, senyumnya manis tapi matanya sinis. "Kami semua ikut berbahagia, walaupun.. sedikit terkejut.”. ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan. “Pasti ada sesuatu yang sangat istimewa pada dirimu, hingga bisa menaklukkan keponakanku yang terkenal dingin ini.. hanya dalam waktu sesingkat itu."

Sebelum Alina sempat membuka mulut, Revan menjawab dengan nada datar. "Kami saling menemukan kecocokan, Paman."

Hariman tertawa kecil. "Kecocokan? Ah, Revan.. Tapi, kudengar-dengar.. firma arsitektur Alina sedang dalam kesulitan yah. hm.. Pernikahan ini terlihat seperti..."

Rahang Revan mengeras. "Masalah bisnis Alina adalah masa lalunya. Sekarang, sebagai istriku, dia adalah urusanku."

"Cukup, Hariman," suara Kakek Bramantyo akhirnya terdengar, berat dan penuh wibawa. Ia kemudian menatap Alina dengan sorot mata yang menelisik, seolah baru benar-benar memperhatikannya. "Alina Cantika Dewi," gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Putri dari Danang Wijaya."

Alina terpaku. Kakek tahu? Di seberang meja, Revan tampak sama terkejutnya, rahangnya mengeras seketika.

Kakek Bramantyo tersenyum tipis, tatapannya kini beralih ke Revan yang menegang. "Dunia ini memang sempit yah. Aku ingat sekarang. Kau bukankah.. gadis yang membuat cucuku ini bekerja keras untuk memenangkan kompetisi desain nasional itu, bukan? Rival yang paling sengit."

Revan tampak sama terkejutnya, menatap kakeknya dengan tajam.

Kakek Bramantyo tersenyum tipis. "Aku mengenal baik ayahmu, Nak Alina. Dia orang yang hebat." Ia kembali menatap Revan dan Alina. "Melihat kalian berdua di sini... ini adalah kejutan yang menyenangkan."

Suasana menjadi semakin canggung. Setelah makan malam yang terasa seperti penyiksaan itu selesai, saat Alina mengira ia akhirnya bisa bernapas lega, Kakek Bramantyo berkata, "Kakek berharap kalian bisa segera memiliki momongan untuk meneruskan keluarga kita."

Momongan?!

Jantung Alina serasa berhenti berdetak. Kata itu tidak pernah ada dalam kontrak. Ini adalah mimpi buruk baru.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 33 : Membentengi Kerajaan Kecilmu

    "Kau mencoba membeli loyalitas tim-ku. Itu tidak ada dalam kesepakatan kita, Revan."Tuduhan itu menggantung di udara, tajam dan penuh amarah.Alina berdiri di depan meja kerja Revan, napasnya sedikit memburu. Ia sudah siap untuk perang. Siap untuk semua argumen dingin dan logika bisnis yang akan dilemparkan Revan untuk membela tindakannya.Tapi Revan tidak melakukan itu.Pria itu hanya bersandar di kursinya, menatap Alina dengan tenang. Ia tidak terlihat marah. Ia tidak terlihat terkejut. Ia hanya menatap, seolah sedang menunggu badai di dalam diri Alina sedikit mereda.Keheningannya justru terasa lebih mengintimidasi daripada teriakan.Setelah beberapa saat yang terasa begitu panjang, Revan akhirnya berbicara. Suaranya tenang, nyaris tanpa emosi."Kau pikir ini tentang loyalitas tim-mu?"Alina mengerutkan kening. "Lalu tentang apa lagi? Kau mencoba mengikat mereka dengan kontrak Adhitama, dengan gaji dan tunja

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 32 : Aturan Main di Lantai 35

    Saat setelah pintu lift tertutup dan membawa Andra beserta timnya pergi, hanya suara dengung pelan dari server baru yang mengisi keheningan di antara Alina dan Deni.Ruang kantor yang tadinya terasa seperti sebuah mimpi yang menjadi nyata, kini terasa seperti sebuah panggung pertunjukan yang megah, di mana semua propertinya bukan lagi milik Alina.Deni masih berdiri dengan mata berbinar, menatap takjub pada laptop-laptop baru yang masih terbungkus plastik."Gila, Bu," katanya, suaranya penuh kekaguman. "Ini sih spek dewa! Render 3D paling berat juga bakal lewat ini, Bu! Kita nggak perlu lagi nunggu semalaman cuma buat satu gambar."Euforia. Kegembiraan.Itulah yang Deni rasakan.Tapi Alina, merasakan hal yang sebaliknya.Ia merasakan hawa dingin yang merayap di tulang punggungnya. Setiap laptop baru, setiap server yang berdengung pelan, terasa seperti mata-mata yang ditanam Revan di jantung perusahaannya.Ia menatap Deni, lalu membayangkan wajah Sinta. Tim kecilnya. Satu-satunya harta

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 31 : Sangkar Emas Jilid 2?

    Perasaan campur aduk itu, antara euforia dan rasa tercekik, terus menemani Alina sepanjang sisa hari itu.Ia kembali ke ruko tua Cipta Ruang Estetika sore itu seperti seorang astronot yang baru kembali ke bumi. Langit-langit yang rendah, dinding yang sedikit terkelupas, dan aroma kertas yang khas kini terasa begitu... sesak. Begitu kecil.Padahal, baru kemarin pagi, tempat ini adalah seluruh dunianya.Ia menatap Deni dan Sinta, dua karyawannya yang paling setia, yang sedang sibuk di depan komputer mereka masing-masing.Bagaimana cara memberitahu mereka? "Hei, kita dapat durian runtuh, kita akan pindah ke gedung pencakar langit besok"? Terdengar seperti lelucon.Malamnya, di rumah Revan, Alina tidak bisa tidur. Ia mondar-mandir di kamarnya, menyusun kata-kata di kepalanya. Ia har

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 30 : Markas Baru Aliansi

    Pagi pertama setelah kembali ke Jakarta terasa sangat aneh.Alina terbangun di kamarnya, tapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa seperti seorang penyusup. Ia merasa... seperti penghuni. Kesadaran bahwa Revan tidur di kamar tamu, bukan di sofa, entah kenapa memberikan sebuah rasa aman yang tidak bisa ia jelaskan.Saat ia turun ke ruang makan, Revan sudah ada di sana.Pria itu duduk di meja makan, bukan dengan tablet atau laporan bisnis, tapi dengan secangkir kopi hitam dan koran pagi yang terlipat rapi. Sebuah pemandangan yang anehnya terlihat sangat domestik.Bi Sumi sedang menata sarapan di atas meja. Kali ini, ada Lontong Sayur dengan aroma santan dan rempah yang menggugah selera. Wanita paruh baya itu melirik interaksi canggung antara tuan dan nyonya barunya dengan senyum tipis yang tersembunyi."Pagi," sapa Alina pelan, sambil menarik kursi."Pagi," balas Revan, matanya masih tertuju pada koran. "Tidurmu nyenyak?"Pertanyaan basa-basi itu terasa begitu tidak biasa keluar dari

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   Bab 29 : Aturan Main yang Baru

    Perjalanan dari rumah Kakek kembali ke kediaman Revan terasa begitu sunyi.Tapi ini bukan lagi keheningan yang menusuk seperti di awal pernikahan mereka. Ini adalah keheningan yang berisi. Penuh dengan kata-kata yang tak terucap, penuh dengan pemahaman baru yang masih terasa asing.Pujian Revan di dalam mobil tadi masih terngiang di telinga Alina.Itu... langkah yang bagus.Sebuah pengakuan. Dari seorang partner.Pikiran itu membuat sudut bibir Alina sedikit terangkat tanpa ia sadari.Saat mobil hitam itu akhirnya memasuki gerbang rumah Revan yang menjulang, Alina merasakan sedikit debaran di dadanya. Aneh. Dulu, ia selalu merasa seperti memasuki sebuah penjara yang megah. Sekarang... rasanya lebih seperti pulang ke sebuah markas. Markas aliansi mereka yang aneh.Bi Sumi sudah menunggu di ambang pintu, dengan senyumnya yang tulus."Selamat datang kembali, Tuan, Nyonya," sapanya. Matanya yang jeli itu langsung menyapu penampilan mereka berdua."Terima kasih, Bi," jawab Alina.Revan ha

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   Bab 28 : Laporan kepada atasan

    Tadaa!! Akhirnya telah tiba!Rumah Kakek Bramantyo terasa seperti sebuah kapsul waktu.Udara di dalamnya sejuk, membawa aroma samar kayu jati tua dan bunga sedap malam dari sebuah vas besar di sudut ruangan.Perabotannya antik, lantainya marmer dingin, dan setiap sudutnya seolah menyimpan cerita dari generasi-generasi sebelumnya.Ini adalah pusat kekuasaan yang sesungguhnya, sebuah benteng di mana kesepakatan bisnis miliaran rupiah mungkin diputuskan bukan di ruang rapat, tapi di atas secangkir teh sore di taman belakang.Dan kini, Alina melangkah masuk ke dalamnya, bergandengan tangan dengan sang pewaris takhta.Genggaman tangan Revan terasa kokoh di tangannya. Bukan lagi genggaman posesif atau genggaman untuk pertunjukan. Ini terasa seperti genggaman seorang partner, sebuah jangkar di tengah lautan yang tidak ia kenali.Mereka menemukan Kakek Bramantyo di ruang keluarga, duduk di kursi berlengan favoritnya ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status