Langit di ufuk barat adalah sebuah lukisan surealis.
Gradasi warna oranye, merah muda, dan ungu membentang di atas lautan yang tenang, menciptakan sebuah mahakarya alam yang membuat semua desain buatan manusia terasa begitu kerdil.Di tengah keindahan yang memabukkan itu, sebuah pertanyaan simpel menggantung di udara, terasa lebih berat daripada seluruh atmosfer bumi."Kau bahagia, Alina?"Pertanyaan itu, yang diucapkan dengan suara rendah Revan, seolah menyedot semua suara lain di sekelilingnya. Suara deburan ombak, suara angin yang berdesir di daun kelapa, semuanya lenyap.Yang tersisa hanyalah detak jantung Alina yang tiba-tiba berpacu begitu kencang.Ia menatap pria di sampingnya.Di bawah cahaya senja yang lembut, topeng CEO itu luruh sepenuhnya. Tidak ada lagi Revan Adhitama yang dingin dan penuh perhitungan.Yang ada hanyalah... Revan.Seorang pria yang menatapnya dengan tatapan yang begitu jerniJadi, beginilah rasanya menjadi sebuah pengecualian.Menjadi sebuah error dalam program super canggih bernama Revan Adhitama.Alina duduk diam di kursinya yang empuk, di dalam kabin jet pribadi yang sunyinya bisa membuatmu mendengar detak jantungmu sendiri. Di seberangnya, sang analis utama baru saja menutup kasusnya dengan sebuah kesimpulan yang, jujur saja, lebih romantis daripada puisi mana pun yang pernah Alina baca."Ternyata, 'rasa senang'-mu itu... punya pengaruh besar ke hasil kerjamu."Kalau saja kalimat itu diucapkan oleh pria normal, mungkin Alina sudah meleleh. Tapi ini Revan. Pria ini baru saja mengatakan "Aku peduli padamu" dengan bahasa seorang manajer pabrik yang sedang membahas produktivitas mesin.Dan entah kenapa… itu terasa sangat pas. Sangat Revan.Keheningan yang menyusul setelah "laporan" itu selesai terasa berbeda. Bukan lagi keheningan canggung yang dingin. Ini adalah keheningan yang penuh dengan hal-hal yang tak terucapkan. Seperti dua ahli catur yang baru
Ada beberapa jenis pria di dunia ini.Ada tipe puitis yang akan mengirimimu bunga setelah ciuman pertama. Ada tipe pemalu yang akan menghindarimu selama seminggu. Ada juga tipe brengsek yang akan langsung pamer ke teman-temannya.Lalu... ada Revan Adhitama.Pria yang mengubah sebuah momen intim menjadi sebuah proposal riset."Observasi lebih lanjut."Dua kata itu masih terngiang di kepala Alina saat mereka berjalan menyusuri koridor hotel yang sepi menuju lift. Revan berjalan sedikit di depannya, tegap dan berwibawa, seolah ia baru saja keluar dari rapat dewan direksi, bukan dari TKP emosional yang ia ciptakan sendiri.Alina menarik napas dalam-dalam. Oke. Kalau pria ini mau bermain-main dengan data, maka Alina tidak akan hanya menjadi spesimen pasif di bawah mikroskopnya.Ia akan menjadi ilmuwan tandingan.Perjalanan turun di dalam lift terasa seperti perjalanan menuju pusat bumi. Sunyi senyap. Revan tidak bicara. Alina juga tidak. Mereka berdua menatap pantulan diri mereka di dindi
Pagi hari setelah sebuah keputusan buruk yang terasa sangat benar adalah momen paling jujur di alam semesta. Saat itulah otakmu, yang semalam dengan senang hati menyerahkan kemudi pada hormon, tiba-tiba kembali online dan berteriak, "KITA NGAPAIN, WOY?!" Alina Cantika Dewi sedang mengalami momen itu sekarang. Ia terbangun sendirian di tempat tidurnya yang luas, dengan cahaya matahari Singapura yang malu-malu menyelinap masuk dari celah tirai. Semuanya terasa normal. Terlalu normal. Tidak ada tanda-tanda kehadiran pria lain di kamarnya. Bantal di sebelahnya masih rapi. Gaun yang ia kenakan semalam terlipat… yah, lumayan rapi di kursi. Seolah-olah seorang penyusup super efisien telah masuk, mencuri ciuman pertamanya dengan sang suami kontrak, lalu membereskan tempat kejadian perkara sebelum pergi. Tunggu dulu. Ciuman pertama? Ah, ya. Itu dia. Alina membenamkan wajahnya ke bantal, mengerang pelan. Ingatan tentang apa yang terjadi di depan pintu itu semalam kembali me
Revan masih berdiri mematung di koridor.Sendirian.Pintu kamar Alina sudah tertutup rapat di hadapannya, sebuah bidang kayu solid yang terasa seperti tanda titik di akhir kalimat yang tidak ia mengerti. Tapi ia tidak bergerak.Tangannya, seolah punya pikiran sendiri, terangkat menyentuh simpul dasinya yang kini terasa begitu rapi, begitu asing. Ia masih bisa merasakan hantu dari sentuhan ujung jari Alina di sana; sebuah kehangatan singkat yang entah kenapa meninggalkan jejak yang terasa begitu berat, membakar kulitnya.Sirkuit di dalam otaknya, yang biasanya bekerja dengan presisi sedingin es, kini terasa seperti terbakar. Ada dengung aneh di telinganya, sebuah suara statis yang mengacaukan semua programnya. System failure. Logika, fondasi seluruh hidupnya, kini terasa seperti pasir isap.Ia mencoba memproses apa yang baru saja terjadi, memaksanya masuk ke dalam kerangka kerja yang ia pahami.Variabel: Alina Cantika Dewi. Aksi: Menjawab pertanyaan verbal dengan sentuhan. Implikasi:
Koridor hotel yang mewah itu terasa seperti ruang interogasi.Hanya ada mereka berdua, berdiri di depan pintu kamar masing-masing yang bersebelahan. Di antara mereka, menggantung sebuah pertanyaan yang terasa lebih berat daripada semua kesepakatan bisnis mereka."Kau belum menjawab pertanyaanku."Suara Revan datar, tapi tuntutan di dalamnya begitu jelas. Ia butuh data. Ia butuh sebuah jawaban untuk melengkapi laporannya.Alina menatap pria di hadapannya.Topeng CEO itu sudah kembali terpasang dengan sempurna. Tapi setelah kejadian di pantai, setelah momen "kopi hitam", setelah pengakuan tentang mimpinya yang terkubur, Alina kini bisa melihat retakan-retakan halus di balik topeng itu.Ia tahu, di balik tatapan dingin itu, ada pria yang tadi bertanya tentang kebahagiaan.Ia bisa saja memberikan jawaban aman yang diinginkan CEO di hadapannya: 'Tentu saja aku bahagia. Kemitraan ini sangat menguntungkan.' Jawaban itu akan menutup babak ini, tapi juga akan membuatnya kembali menjadi bida
Langit di ufuk barat adalah sebuah lukisan surealis.Gradasi warna oranye, merah muda, dan ungu membentang di atas lautan yang tenang, menciptakan sebuah mahakarya alam yang membuat semua desain buatan manusia terasa begitu kerdil.Di tengah keindahan yang memabukkan itu, sebuah pertanyaan simpel menggantung di udara, terasa lebih berat daripada seluruh atmosfer bumi."Kau bahagia, Alina?"Pertanyaan itu, yang diucapkan dengan suara rendah Revan, seolah menyedot semua suara lain di sekelilingnya. Suara deburan ombak, suara angin yang berdesir di daun kelapa, semuanya lenyap.Yang tersisa hanyalah detak jantung Alina yang tiba-tiba berpacu begitu kencang.Ia menatap pria di sampingnya.Di bawah cahaya senja yang lembut, topeng CEO itu luruh sepenuhnya. Tidak ada lagi Revan Adhitama yang dingin dan penuh perhitungan.Yang ada hanyalah... Revan.Seorang pria yang menatapnya dengan tatapan yang begitu jerni