Hening.Di dalam ruangan yang harganya lebih mahal dari gabungan harga rumah seluruh karyawannya itu, satu-satunya suara adalah dengung pelan pendingin udara.Dengung yang terdengar seperti hitungan mundur sebelum bom meledak.Semua mata—mata licik, mata penasaran, mata takut—semuanya tertuju pada satu orang.Revan Adhitama.Umpan dari Hariman sudah dilempar dengan begitu cantiknya ke tengah meja."Hanya untuk... 'membantu'."Sebuah bantuan yang rasanya seperti tamparan. Sebuah kepedulian yang baunya seperti penghinaan.Siapapun yang punya otak di ruangan itu tahu ini bukan usul. Ini adalah tes. Sebuah gertakan.
Kalau surga itu punya bau, mungkin baunya seperti udara Bintan di pagi hari. Campuran wangi garam laut, tanah basah, dan embun.Kalau neraka punya bau, baunya persis seperti udara Jakarta di jam pulang kerja. Campuran asap knalpot, debu konstruksi, dan ambisi yang membusuk.Revan Adhitama sedang menghirup dalam-dalam bau neraka itu sekarang.Ia duduk di kursi belakang mobilnya yang melaju pelan, terjebak di tengah lautan lampu merah dan klakson.Kontrasnya begitu menusuk.Beberapa jam yang lalu, ia masih berdiri di balkon, menatap lautan biru yang tenang. Sekarang, ia menatap lautan beton yang kacau balau.Ponsel di tangannya bergetar pelan. Ia membukanya lagi.Pesan dari Alina.
Hening.Itu hal pertama yang Alina sadari setelah telepon ditutup.Hening yang tadinya terasa damai, sekarang malah terdengar mengancam.Suara jangkrik di luar jendela yang tadinya kayak musik alam, sekarang malah terdengar kayak lagi menertawainya.Ponsel di tangannya terasa dingin dan berat.Kayak sebatang logam dari neraka.Paman Hariman.Sialan.Baru juga beberapa jam yang lalu ia merasa menemukan dunianya.Baru juga beberapa jam yang lalu ia merasa aman.Rasanya... kurang ajar banget.Tempat yang baru aja ia anggap 'rumah', tempat amannya, tahu-tahu rasany
BAB 53 : Telepon dari Kandang SerigalaSetiap hal indah pasti ada tanggal kedaluwarsanya.Gelembung kecil yang mereka ciptakan di studio Revan itu, dengan wangi kopi dan keheningan yang nyaman, ternyata punya masa berlaku yang sangat singkat. Cuma beberapa jam.Perpisahan mereka di lobi hotel terasa canggungnya minta ampun. Nggak ada pelukan dramatis ala film-film. Nggak ada ciuman perpisahan yang bikin lutut lemas. Yang ada cuma dua orang yang mendadak nggak tahu harus menaruh tangan di mana."Aku akan telepon kalau sudah sampai," kata Revan. Kalimat standar yang entah kenapa terdengar aneh keluar dari mulutnya."Oke," jawab Alina singkat.Revan menatapnya sejenak, seolah mau bilang sesuatu lagi, tapi nggak jadi. Akhirnya, ia cuma mengangguk kaku, lalu berbalik dan masuk ke dalam mobil hitam yang sudah menunggunya.Dan begitu saja. Pria itu pergi.Alina ditinggal sendirian di lobi yang megah, dengan kunci studio Revan di sakunya yang terasa berat dan panas.Rasanya aneh. Kosong.Sete
Hal pertama yang Alina sadari pas bangun bukanlah silaunya matahari.Bukan juga berisiknya alarm ponsel.Melainkan sebuah kehangatan... yang terasa asing. Ada sebuah beban yang anehnya terasa pas di pinggangnya, dan wangi yang jelas bukan wangi kamarnya sendiri. Bukan wangi sabun bunga, tapi campuran antara sandalwood, kertas, dan sesuatu yang lain... sesuatu yang wanginya mirip udara sehabis hujan.Wangi Revan.Matanya masih merem, tapi pelan-pelan, otaknya mulai nyambung. Ingatan soal semalam langsung menyerbu, bukan kayak cuplikan film yang rusak, tapi utuh. Jelas banget.Jujurnya tatapan Revan. Runtuhnya tembok pertahanan cowok itu. Hangatnya kulit mereka waktu bersentuhan di tengah ruangan yang penuh sama mimpi-mimpi yang terkubur.Gila. Semua itu... beneran kejadian.Dengan nyali yang ia kumpulin sedikit demi sedikit, Alina pelan-pelan membuka mata.Pemandangan pertama yang ia lihat adalah dinding kayu dari studio rahasia Revan. Ia masih di sini. Di sarang macan.Ia merasakan g
Oke, mari kita jujur satu sama lain.Di momen seperti ini, di dalam sebuah ruangan rahasia yang terasa lebih privat daripada kamar tidur mana pun, dengan seorang pria yang baru saja membongkar makam mimpinya di hadapanmu, ada sejuta hal yang bisa seorang wanita katakan."Ini indah." (Klise, tapi aman). "Kau sangat berbakat." (Jujur, tapi terdengar seperti pujian HRD). "Kenapa kau berhenti?" (Terlalu menusuk, bisa-bisa dia membangun lagi dindingnya).Alina Cantika Dewi tidak memilih satu pun dari opsi itu.Karena Alina bukan sekadar wanita. Ia adalah seorang arsitek. Dan di dalam ruangan ini, ia tidak sedang berada di dalam kamar musuh bebuyutannya.Ia sedang berada di surga."Riset… bisa dimulai," kata Revan, suaranya serak menembus keheningan.Dan Alina, tanpa sedikit pun keraguan, memulai risetnya.Ia tidak menatap Revan. Ia tidak menjawab undangan verbal pria itu. Seolah-olah Revan Adhitama, sang CEO, sang suami kontrak, mendadak tidak ada di sana.Yang ada hanyalah karya-karyanya.