Share

Bab 5. Kabar Bahagia

Adegan itu tak berlangsung lama. Nayla menyudahinya dengan tiba-tiba, jelas itu membuat Alvaro mendengus kesal. Namun, seketika raut wajahnya berubah saat melihat kondisi Nayla yang tidak seperti biasanya.

Wanita itu tampak mual berkali-kali. Alvaro segera memberinya air minum yang tersimpan di dalam dasbor mobilnya. Pria itu terlihat sangat khawatir.

“Kamu tidak apa-apa? Apa kita perlu ke dokter?” Alvaro terus membujuk Nayla saat wanita itu tampak kepayahan menahan isi perutnya agar tidak keluar.

Nayla menggeleng pelan, satu tangannya mengusap perut yang semakin tidak enak rasanya.

“Baiklah, kita akan pulang. Sebaiknya kamu istirahat dulu, mungkin seharian ini kamu kelelahan menerima banyak tugas dariku.” Tanpa pikir panjang Alvaro segera melajukan kuda besi itu menuju rumah mereka.

***

Berkali-kali Nayla membuang isi perut ke dalam wastafel. Malam ini dirinya merasakan seluruh tubuhnya remuk seketika. Ini sungguh terasa aneh baginya, setiap kali merasa lelah, dia tidak akan separah ini.

Ditambah lagi keberadaan Alvin yang tidak diketahuinya. Terakhir pria itu memberitahunya sedang rapat bersama klien di sebuah villa yang terletak di puncak. Dan, malam ini seharusnya dia sudah pulang sesuai dengan janjinya. Namun, sampai selarut ini dirinya belum juga datang, bahkan sekretarisnya berkata jika pertemuan itu sudah selesai dari tadi pagi. Lalu, kemana Alvin pergi?

Di saat dirinya yang semakin gelisah, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Dengan rasa malas, wanita berpiyama tidur itu segera menuruni ranjang untuk membukanya.

“Maaf mengganggu, Mbak. Mbak Nay, ditunggu tuan Alvaro untuk makan malam.” Seorang asisten rumah tangga telah berada di depan kamar Nayla.

“Saya tidak lapar, Mbok,” jawab Nayla dengan nada lirih.

“Kata tuan Alvaro, Mbak Nay sedang tidak enak badan. Apa perlu makanannya saya bawa ke sini? Apa Mbak juga butuh obat?” Raut wanita itu terlihat khawatir.

Nayla kembali menggeleng, lalu berkata, “Tidak perlu, saya hanya ingin–”

Belum selesai ucapannya, dia harus segera menuju kamar mandi. Sesuatu pada dalam perutnya terus mendesak untuk keluar.

Kini, tubuhnya terasa lemas. Untuk menuju ranjangnya, wanita itu harus menerima bantuan dari Mbok Asih–asisten rumahnya.

“Saya bikinin teh anget sama bubur, ya, Mbak.” Wanita itu tersenyum seraya memberikan tawaran kepada Nayla.

Nayla hanya membalas dengan anggukan. Tidak bisa dipungkiri, perutnya memang mulai terasa lapar setelah beberapa kali isi di dalamnya telah dimuntahkan.

Sembari menunggu, wanita itu memejamkan mata sejenak. Namun, dia merasakan ada seseorang tengah mengawasi di dekatnya. Mungkinkah itu Alvin? Suaminya kini telah pulang?

Raut wajahnya kembali tertekuk saat melihat Alvaro yang kini berada di hadapannya. Pria itu bersandar pada salah satu tiang ranjang sambil melipat kedua tangannya.

“Apa masih terasa mual?” tanyanya setengah mengejek.

Nayla membuang napas kasar. Tatapan malas ditujukan kepada pria berkaos cokelat itu.

Dalam balutan selimut tebalnya, dia kembali memejamkan mata meski tidak benar-benar ingin tidur.

“Ternyata istri Alvin selemah ini? Baru beberapa bulan bekerja sudah merepotkan begini,” sambungnya lagi.

Dengan cepat Nayla membuka mata dengan paksa, dia mendudukkan tubuhnya di depan pria itu. Tatapannya seolah meniru mata elang Alvaro.

“Ini semua salah Kakak. Kenapa memberi saya tugas begitu banyak? Memang saya ini robot? Saya tidak boleh istirahat barang sebentar saja?” Air mata Nayla mulai membasahi pipinya.

Entah kenapa emosi wanita itu kini mudah sekali tersulut. Tanpa sebab yang jelas dia selalu marah-marah dalam beberapa hari terakhir.

Raut wajah Alvaro terlihat bingung mendapati sang adik ipar menangis sesenggukan di depannya. Ingin rasanya pria itu menenangkan dengan memberinya pundak bersandar, tetapi jelas itu tidaklah solusi yang baik. Bagaimana jika mbok Asih yang masih berada di rumahnya melihat itu?

“Kakak harus tanggung jawab. Sekarang juga Kakak harus belikan saya rujak, entah bagaimana caranya makanan itu harus ada di hadapan saya malam ini juga!” Alvaro tercengang, beberapa detik kemudian pria itu tertawa mendengar rengekan adik iparnya.

“Kau hanya ingin makan rujak sampai harus pura-pura sakit?” Tawanya belum juga usai, kali ini sembari mendekat kemudian mengacak rambut Nayla.

Beberapa detik kemudian raut wajahnya kembali datar. “Malam-malam begini mana ada penjual rujak.”

“Itu terserah Kakak kalo mau aku maafin dan masih mau aku menjadi sekretarisnya, jika tidak, ya ….”

Alvaro mengembuskan napas, sepertinya ancaman Nayla kali ini tidaklah main-main. Pria itu masih membutuhkan Nayla sebagai sekretaris pribadinya. Adanya Nayla di kantor membuat semangat kerjanya seolah meningkat berkali lipat. Entah kenapa hatinya begitu sangat senang setiap kali berdekatan dengan adik iparnya itu. Wajahnya semakin terlihat cantik saat Nayla merajuk karena ulahnya.

“Baiklah aku akan mencarikan makanan itu. Tapi, sebagai gantinya jika sampai besok pagi kondisimu masih seperti ini, kamu tidak boleh menolak pemeriksaan dari dokter pribadi rumah ini.” Alvaro melenggang pergi tanpa menunggu persetujuan dari Nayla. Jujur saja dirinya merasa sangat khawatir atas kondisi wanita itu.

Di tangga, Alvaro bertemu dengan Mbok Asih. Wanita itu terlihat hati-hati membawa sebuah nampan berisi makanan untuk Nayla.

“Siap-siap dipanggil uncle, Tuan,” bisik wanita itu, kemudian melanjutkan langkah kakinya.

Alvaro terpaku di tempatnya, dia masih berusaha mencerna arti ucapan wanita itu. Namun, seketika dia seperti mendengar suara Nayla dengan nada tinggi menyuruhnya untuk segera mencarikan keinginannya.

***

Pagi-pagi sekali semuanya telah berkumpul di kamar Nayla. Termasuk seorang dokter yang telah Alvaro sewa kali ini.

Melihat kondisi sang adik ipar yang terlihat semakin mengkhawatirkan, dia sampai rela begadang untuk memastikan keadaannya. Apalagi malam itu Alvin semakin susah dihubungi. Entah apa yang dilakukan pria itu di luar sana.

“Apa Nyonya Nayla sudah melakukan tes mandiri?” tanya dokter itu. Terdengar sangat ambigu menurut Nayla dan Alvaro.

“Akan saya bantu, Pak dokter,” sela Mbok Asih.

Dia mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dalam saku roknya. Wanita itu segera membantu Nayla untuk ke kamar mandi.

Beberapa saat kemudian, keduanya telah keluar dari dalam sana. Terlihat raut bahagia dari wajah Mbok Asih, tetapi tidak dengan Nayla.

“Mbak Nayla hamil!” seru asisten itu kegirangan.

Alvaro tampak tercengang, pun dengan Nayla. Dia terkejut dengan penuturan wanita di dekatnya.

“Segera lakukan tes USG untuk memastikan kondisi janinnya. Akan saya berikan resep sementara untuk Nyonya Nayla.” Terlihat dokter itu menuliskan sesuatu pada kertas kecil dalam genggamannya.

Dokter wanita itu pamit setelah memberikan resep itu kepada Alvaro. Disusul dengan asisten rumah tangga.

Nayla terduduk di tepi ranjang. Wajahnya kembali di tekuk.

“Ada apa? Bukankah ini yang kamu tunggu?” Alvaro mendekati wanita itu.

Sembari menyeka air matanya, Nayla berkata, “Di saat mendengar kabar bahagia ini, justru aku tidak tau di mana keberadaan suamiku,” keluhnya.

Alvaro membuang napas kasar, dia mencoba memahami hati wanita di depannya yang terlihat menyedihkan.

“Aku akan membantu kamu mencari Alvin. Secepatnya, kabar baik akan kamu dapat. Tapi–”

Nayla menoleh, dahinya mengernyit saat menatap Alvaro yang masih menggantung ucapannya.

“Kenapa?” tanyanya penasaran.

“Kamu harus mau menjadi wanitaku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status