Apa kalian mau tau bagaimana rasanya hatiku? Jelas sakit, sangat-sangat sakit. Selama ini yang kutahu Ibu dan mbak Sita sangat menyayangi Amel dan juga Arka. Namun, faktanya sekarang aku mendengar sendiri semuanya dengan telingaku melalui mulut mereka. Aku menyandarkan tubuh di dinding tepat sebelah pintu. Kuhembuskan napas berkali-kali untuk menghilangkan rasa sesaknya dada. Sesaat langkahku terhenti, aku terpaku dan mulut terbungkam saat mendengar ucapan Ibu dari dalam rumah, kepulanganku ini ternyata sudah disambut oleh rencana jahat keluargaku. Uang nafkah yang tadinya untuk anak dan istriku ternyata benar dimanfaatkan oleh mereka.Jika sebelumnya aku hanya mendengar dari mulut tetangga, tetapi sekarang aku benar-benar mendengar secara langsung dari mulut ibu sendiri.Ya Allah … tiada rasa sakit yang lebih parah kecuali ucapan dan rencana jahat dari keluarga sendiri. Aku benar-benar tidak menyangka kalau ibu dan kakakku ternyata sejahat itu. Awalnya aku masih berharap kalau kab
“Bayu! Apa maksud kamu?! Kamu itu mau dicap durhaka sama ibu karena menghentikan kirimanmu kepadanya?! Tega kamu! Hanya demi membela perempuan yang jika kalian bercerai akan menjadi mantan tapi kamu sampai sebegitunya.”“Tutup mulutmu, Mbak! Aku dan Amel tidak akan pernah bercerai. Seandainya aku dan Amel sampai bercerai itu pasti karena ulah kalian.”“Kamu yang tutup mulut! Kamu itu dilahirkan dari rahim Ibu dan beliau yang merawatmu juga menyekolahkanmu. Tapi inikah balasanmu? Dasar tidak tahu diri.”“Seandainya aku bisa memilih harus dilahirkan di rahim siapa dan yang mana maka aku tidak akan memilih untuk dilahirkan di rahim ibu. Kehadiranku di dunia ini adalah kehendak ibu dan bapak. Itu juga karena ridho Allah, Mbak. Merawat dan membesarkan anak itu sudah menjadi kewajiban orang tua terhadap anaknya. Anak bukan investasi masa depan, Mbak. Seharusnya melihat anak bahagia dengan pasangannya, ibu juga harus bahagia dong. Tapi nyatanya apa? Yang ibu lakukan justru menghancurkan ruma
“Mas serius?” Amel menatapku dan aku membalas tatapannya. Aku segera mengangguk kecil menjawab pertanyaannya. “Tapi nanti apa gak akan jadi masalah? Itu mbak Sita pasti akan mengamuk, Mas.”“Hey, itu semua barang punya kita. Mau Mas bawa ke Kalimantan rencananya. Soalnya di sana Mas udah beli rumah jadi kan lumayan buat isi rumah kita yang di sana daripada beli kan?”“Beli rumah? Mas serius?” Aku kembali mengangguk menjawab ucapannya. “Rumah atas namamu, mas sengaja membelinya karena ingin membahagiakanmu. Memang sudah punya cita-cita jika membeli hunian nanti akan mas pakai namamu.”“Mas sebenarnya jabatanmu itu apa? Kenapa gajimu besar sekali? Bisa beli ini dan itu?”“Alhamdulillah jabatanku sekarang manajer, Sayang. Gajiku sekitar 30 juta sebulan itu belum termasuk bonus. Yah kalau ditotal dengan bonus kurang lebih 35 juta Kenapa bisa cepat? Karena sejak awal masuk aku kan sudah menjabat sebagai supervisor dan kebetulan di perusahaanku sedang dibuka perusahaan baru istilahnya cab
Huft, selalu adaaa saja yang mengganggu. Heran aku, apa seperti ini yang Amel alami setiap hari? “Siapa itu, Mas? Ayo kita lihat sama-sama, aku juga ingin tahu.” Aku dan Amel saling berpandangan lalu aku mengedikkan bahu tanda tidak mengerti. Seketika aku melangkah menuju pintu depan yang ada di ruang tamu sementara kami berdua berada di kamar. Aku berniat untuk melihat siapa yang datang berteriak memanggil nama istriku seperti itu. Ternyata Amel juga ingin ikut serta melihat keluar, tetapi aku melarangnya. “Tidak usah biar aku saja, kamu tunggu saja di dalam biar aku yang lihat keluar. Lagi pula kamu sedang menggendong Arka. Kasihan kalau anak kita sampai mendengar yang enggak-enggak nanti di luar,” ujarku pada Amel. Untungnya Amel menurut apa yang aku titahkan padanya. Aku mengintip dari balik hordeng dan cukup terkejut saat tahu suara siapa yang berteriak. Kalau aku tidak segera keluar pasti Ibu akan lebih ribut lagi, tetapi jika aku keluar pasti juga tetap ribut. Huft, sera
“Makasih ya, Mas, kamu sudah mau membelaku hingga sejauh ini. Padahal kami bisa dicap sebagai anak durhaka.” Amel mendongak dan kedua bola mata kami saling bersitatap. Aku mengecup dahinya, entah kenapa rasa sayangku teramat besar untuknya. “Itu sudah menjadi kewajibanku, Sayang. Di sini aku bukan ingin menjadi anak durhaka tapi aku memposisikan di sisi yang benar. Meskipun aku harus melawan ibu kalau beliau salah tetap aku tidak akan berpihak padanya. Biarkan Tuhan yang maha tau yang menilai tentang diriku. Sudah kamu gak usah pikirkan hal itu. Aku mau ngecek ke depan dulu karena sepertinya suara ibu sudah gak kedengaran lagi. Amel melepaskan pelukannya di tubuhku, aku pun bergegas menuju ke ruang tamu lalu mengintip dari balik jendela untuk memastikan apakah Ibu masih di depan rumah atau tidak dan ternyata beliau sudah pergi.Kuhembuskan napas dan rasanya cukup lega. Langsung saja aku memesan taksi online untuk kami bertiga, agar bisa segera berangkat karena hari juga sudah siang.
“Dari siapa, Mas? Kok wajahmu kusut?” tanya Amel padaku.“Ohh, ini dari rekan kerja. Nanyain kapan berangkat kerja kembali.” Aku berusaha tersenyum sebab tak ingin Amel tambah sedih kalau mengetahui mbak Sita lah yang mengirimiku pesan. “Apa nggak sebaiknya ditelpon saja temannya, Mas? Biar lebih jelas? Takutnya ada hal penting,” ujar Amel memberi saran padaku. “Nanti sampai rumah akan kuhubungi. Kamu tenang saja, dia hanya menanyakan kabar bukan soal pekerjaan,” jawabku yang lagi-lagi berbohong pada Amel. Biarlah mbak Sita dan Ibu menjadi urusanku tanpa melibatkan Amel. Selama di perjalanan aku terus menggenggam erat tangan Amel. Tidak ada lagi yang namanya kesedihan karena yang ada hanyalah kebahagiaan. Dia sudah cukup bersabar untuk menahan pedihnya hidup selama ini dan sudah waktunya Amel juga Arka merasakan kesenangan. Tanpa terasa kami pun tiba di kota asal kami kembali yakni, kota Pati. Namun, aku belum ingin langsung pulang ke kontrakan. Aku masih ingin menyenangkan Amel
“Kamu itu yang anak dan adik gak tahu diri! Disekolahin, digedein tapi apa balasannya? Ibu yang merawatmu bukan istrimu, Bayu! Dasar durhaka!”“Ya suka-suka kamu lah, Mbak, mau ngatain aku apa. Kalau kamu bukan anak durhaka ya sudah kamu saja yang rawat dan kasih ibu uang bulanan. toh suamimu juga kerja dan gajinya lumayan kan? Udah ya males aku debat sama orang kayak kamu, Mbak. Maunya menang sendiri.”Perdebatanku dengan mbak Sita melalui telepon akhirnya kumatikan. Tidak ada gunanya kalau diteruskan, yang ada hanya akan menambah masalah dan sakit hati. Tidak lupa juga kublokir nomornya agar tidak lagi bisa menggangguku. Kuhembuskan napas untuk melegakan sedikit sesaknya dada. “Siapa, Mas? mbak Sita ya?” tanya Amel, aku membalikkan badan dan menatapnya yang kini wajahnya sudah tampak sendu. “Iya, Sayang.” “Pasti dia marah gara-gara kita jalan-jalan begini ya? Kamu pasti bikin status di media sosialmu kan?” Aku mengangguk. Amel menghembuskan napsnya lalu berkata, Untuk apa? Kan d
“Apa, Bu? Kenapa gugup? Ayo jawab ini punya Amel kan?” Geram sekali rasanya melihat ibu seperti ini. Aku jadi serba salah, ingin memaki beliau ibuku. Tidak memaki kok ya kebangetan. “Bu jawab ini punya siapa?!” Pada akhirnya aku membentak. Aku hanya manusia yang punya batas kesabaran. Jika punya ibu yang baik perangainya mungkin sangat tidak bisa membentak seperti ini. Dulu aku tidak bisa, tetapi sekarang lain. Ibu benar-benar harus diberi tahu kalau perbuatannya itu sangat salah. Bukan maksud aku menggurui karena mungkin pengalamanku masih kurang dibanding ibu. Namun, yang namanya salah ya tetap salah meski beliau orang tua sekalipun jadi tetap harus diberi pengertian. “Apa sih, Bayu? Kamu itu jangan asal main tuduh karena jatuhnya fitnah tau gak.”“Oh ya? Fitnah yang bagaimana yang ibu maksud?”“Ya itu lah, apalagi? Fitnah itu yang kamu bilang itu milik Amel. Berarti kamu nuduh ibu yang maling perhiasan istri kamu kan?”“Aku gak ada mengatakan hal itu. Asumsi ibu saja kan?”“Hal