Sesaat aku mendengar ada yang berteriak memanggil nama Amel berulang kali. Siapa kira-kira yang datang? Kenapa dia sampai marah-marah begitu?
Karena rasa penasaran yang tinggi akhirnya aku langsung bergegas keluar rumah untuk mencari tahu sumber suara itu. Saat di depan pintu ternyata ada seorang perempuan paruh baya yang kini berdiri tegak di hadapanku yang ternyata dia adalah Ibu Endang, pemilik kontrakan yang kami tempati ini. “Maaf, Bu, Ibu kok teriak-teriak di depan rumah? Ada apa?” tanyaku pada Bu Endang, tampak sekali ia memandangku dengan tatapan sinis.“Oh ternyata kamu sudah pulang toh. Saya pikir kamu sudah lupa dengan anak istrimu, tapi baguslah kebetulan sekali kalau kamu pulang. Ayo buruan kamu bayar kontrakan ini. Sudah nunggak tiga bulan tau! Ke mana aja kamu, sampai istrimu nggak sanggup bayar! Saya butuh uang, kalau nggak sanggup bayar lebih baik keluar saja dari rumah ini. Masih banyak yang mau tinggal di sini tau gak! Saya heran deh, kamu kan kerja di kalimantan di bagian pertambangan, seharusnya gaji kamu gede, tapi kok ya istri dan anak kamu sampai terlantar bahkan mereka nggak bisa bayar kontrakan sampai nunggak tiga bulan. Kamu apa enggak malu sama pekerjaanmu yang mentereng?”Dari bahasa Bu Endang jelas sudah kalau Amel dan Arka betul-betul kesulitan dan menderita di sini dan wanita itu melampiaskan kekesalannya sekarang padaku.Aku tidak pernah menyangka kalau semuanya akan menjadi seperti ini. Sebenarnya apa yang ditutupi Ibu dan mbak Sita dariku? Kenapa mereka tega melakukan ini semua pada keluarga kecilku?Sungguh sangat membingungkan, padahal aku selalu mengirimkan uang ke Mbak Sita buat Amel bayar kontrakan selama satu tahun. Akan tetapi, sekarang Bu Endang malah menagihnya dan mengatakan kalau nunggak 3 bulan. Itu artinya uang yang kutitipkan pada Mbak Sita tidak dia berikan pada Amel. “Maaf, Bu, setahu saya selama ini saya sudah mengirimkan uang buat bayar kontrakan untuk satu tahun, masa iya belum dibayar?” tanyaku pada Bu Endang. Bukannya aku tidak mau membayar, tetapi aku butuh kejelasan. “Ya kalau sudah dibayar nggak mungkin saya tagih ke sini. sudah nunggak tiga bulan istri kamu itu tau nggak.Kalau kamu nggak percaya silakan kamu tanya aja langsung sama istrimu. Tapi sekarang saya minta lunasi dulu tunggakan yang 3 bulan itu soalnya saya butuh. Sisanya terserah kamu kalau mau lanjut ya bisa dibayar dulu untuk bulan depan setelahnya terserah mau kamu bayar selama setahun atau perbulan,” jawab Bu Endang dengan nada ketus. “Baiklah Ibu, saya akan lunasi tunggakan kontrakan ini sekalian saya juga akan langsung bayar untuk satu tahun ke depan. Boleh saya minta nomor rekening Ibu, biar segera saya transfer sekarang?”Bu Endang pun memberikan nomor rekeningnya padaku tidak menunggu lama, aku pun segera mentransfer uang berjumlah 10,5 juta sekalian tunggakan tiga bulan yang belum dibayar padanya. “Nah gitu dong, kalau begini kan enak, saya nggak perlu capek-capek nagih,” ucap Bu Endang dengan expresi wajah yang tampak sangat senang.“Ya sudah silakan dilanjut, saya permisi.”Setelah urusanku dengan Bu Endang selesai, dia pun mulai berjalan pergi meninggalkanku.Namun, belum sempat ia melangkah jauh, sesaat kemudian ia pun kembali membalikan badannya ke arahku, lalu berkata, “Bayu … saya punya saran buat kamu, sebaiknya kamu cari tau kebenarannya tentang keluargamu deh. Soalnya ada yang nggak beres dengan mereka. Meski keluarga, bukan berarti harus percaya 100℅. Jatuhnya kamu nanti yang zalim sama anak dan istrimu. Lagian saya heran, kamu itu sarjana tapi kok yo gampang banget dibodoh-bodohi. Percuma kamu punya ijazah dan bertitel, tapi masalah seperti ini saja kamu sangat lengah.Seharusnya kamu jangan mengirimkan uang pada keluargamu padahal uang itu untuk anak dan istrimu. Bikinin dia nomor rekening kek, belikan dia ponsel kek. Kalau dia suka lupa nomor pin ya dicatetin kek. Usaha dong sebagai suami masa pasrah aja liat istri dan anak dizalimi. Uang bisa saja merubah karakter seseorang dan pada akhirnya melakukan hal yang curang dan hal yang tidak jujur serta hal yang tidak baik. Ingat, Bayu, istrimu tetaplah orang lain dalam keluargamu hanya saja setelah menikah denganmu statusnya sebagai istrimu. Tanggung jawabmu penuh terhadapnya. Kamu sangat berdosa jika sampai melukai dan zalim padanya. Segera perbaiki sebelum kamu nantinya menyesal.” Ucapan Bu Endang membuatku benar-benar tertohok. Yah, Bu Endang benar, Amel dan Arka adalah mutlak tanggung jawabku. Terlebih lagi sekarang Amel itu yatim piatu. Kalau kemarin Ibu dan Mbak Sita bilang Amel sedang berada di rumah orang tuanya itu maksudnya di rumah mendiang orang tuanya. Jadi, aslinya Amel itu sudah sebatang kara. Sedangkan sanak keluarganya yang lain aku tidak tahu sebab setahuku orang tua Amel juga dulunya pendatang. Saat sedang termenung tiba-tiba aku punya ide, kulihat jam di dinding ternyata sudah menunjukkan pukul 15.30 wib. Itu artinya sebentar lagi Amel dan Arka tiba di jalan Ahmad Yani. Sepertinya aku harus segera ke sana. Tidak mengapa jika aku harus menunggunya di sana, bukankah lebih cepat lebih baik. Siapa tahu Amel dan Arka jug lebih cepat datangnya ke tempat pengepul itu. Aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Meski ibu dan mbak Sita adalah kelaurgaku, tetapi aku tidak akan membiarkan mereka menjadi orang yang zalim.“Siapa mereka? Kok tiba-tiba ada di depan rumahku? Apa jangan-jangan … ah tidak mungkin, bukankah tidak ada satu pun yang tahu tentang aku dan anakku? Dan tidak mungkin mas Fahmi yang mengadukan aku ke polisi.” Pikiran Sita menjadi kacau seketika. Sita belum mau membukakan pintu sebab dia masih ragu akan keselamatannya di mana dia juga seorang diri, tidak ada orang lain di rumahnya. “Permisi, Ibu Sita!” Kembali Sita mendengar suara pintu rumah diketuk dan namanya juga disebut oleh salah satu dari mereka. “Duh gimana ini, aku belum siap menghadapi mereka. Dan nggak mungkin mas Fahmi mengadukan semuanya ke polisi, aku ini kan ibunya Rifki aku juga berhak atas anakku.” Tubuh Sita seperti gemetaran. Dia tidak bisa berpikir dengan tenang. Di sekeliling rumahnya pun sudah banyak orang yang memperhatikan seakan ingin tau apa lagi yang terjadi dengan Sita. Karena tidak kunjung dibuka, kedua orang itu menanyakan ke tetangga Sita yang bernama Reni.“Apa Ibu Sita ada di rumahnya?” “Seper
Di perjalanan pulang, Fahmi berniat untuk mendatangi Sita di rumahnya sebab dia tidak menemukan mantan istrinya itu saat menjemput anaknya di jalan tadi. Namun, Bu Tini melarangnya.“Sebaiknya kita langsung pulang saja, percuma kalau kamu ribut dengannya sudah pasti kamu yang kalah. Ibu tau persis watak dan kelicikan mantan istrimu itu. Dia nggak akan semudah itu untuk mengakui kesalahannya,” titah Bu Tini pada Fahmi yang tengah fokus mengendarai sepeda motornya.“Tapi, Bu, aku harus membuat perhitungan dengannya. aku ini juga ayahnya Rifku, aku jelas nggak akan terima kalau anakku disakiti dengan cara seperti ini, Bu.” “Ibu mengerti perasaanmu, tapi kita harus cari waktu yang tepat untuk melawannya, percayalah akan tiba saatnya untuk kita bisa menang melawan Sita. Tapi yang pasti tidak sekarang” Mendengar perkataan sang Ibu, Fahmi akhirnya mengurungkan niatnya untuk melabrak Sita, dan terus melajukan sepeda motornya menuju rumah.Bu Tini sebenarnya tidak ingin terjadi sesuatu pada
Kesabaran Bu Tini akhirnya membuahkan hasil, apa yang dia pikirkan terjawab sudah. Semua jawabannya sudah di depan mata, hanya saja dia tidak habis pikir anak seusia Rifki kok ada di tempat keramaian seperti ini. Entah di mana Sita, karena wanita itu tidak tampak batang hidungnya. Bu Tini merasakan shock saat anak yang dia lihat ternyata benar Rifki meski awalnya dia sudah mengantisipasi. Tanpa berpikir lagi, wanita tua itu langsung memeluk cucunya dengan erat. Fahmi yang melihat dari kejauhan mulai melangkah dan mendekati sang anak. Alangkah terkejutnya dia sebab anaknya yang seharusnya berada di rumah bersama Ibunya, tetapi sekarang justru berada di tempat seperti itu. Rasa bersalah bercampur dengan emosi menyatu dalam diri Fahmi, karena dia seorang ayah seharusnya melindungi, tetapi malah seperti menelantarkan anaknya. Tentu saja luapan kemarahannya tertuju pada Sita.“Rifki, kenapa kamu ada di sini, Nak?” tanya Bu Tini pada Rifki.“Nenek, aku … hmm … aku di sini sama Ibu,”
Tak sabar rasanya, Bu Tini ingin sekali kembali ke tempat itu, di mana dia melihat sosok Rifki yang tengah digandeng oleh seseorang dengan pakaian yang sangat lusuh. Tidurnya pun menjadi tidak nyenyak dan tidak tenang selalu dibayang-bayangi kehadiran cucunya. Entah kenapa, Bu Tini tidak ada menaruh rasa percaya pada Sita sedikit pun. ***Keesokan harinya, Bu Tini kembali mengajak dan mendesak Fahmi untuk diantarkan kembali ke simpang lampu merah tempat dia melihat sosok Rifki pertama kali. keyakinan serta rasa penasarannya pada sosok anak kecil itu begitu kuat. “Ibu yakin mau ke situ lagi? Apa nggak kita ke rumah Sita aja terlebih dahulu?” Fahmi sengaja mengalihkan apa yang ada di pikiran Ibunya, setidaknya keinginan Ibunya itu hanya mau bertemu dengan Rifki.“Enggak! Ibu mau kamu juga ikut cari tau apa yang terjadi pada anakmu, memangnya kamu tidak penasaran apa? Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Rifki kamu juga tidak akan Ibu maafkan, ngerti kamu!?” sentak Bu Tini pada Fahmi.
Entah kenapa Bu tini punya firasat kalau yang dia lihat adalah betul Rifki, tetapi dia harus lebih memastikan kalau dugaannya benar. Perhatiannya tidak lepas dari anak yang sangat mirip dengan cucunya itu.“Eh eh, berhenti Fahmi,” ucap Bu Tini sambil menepuk bahu Fahmi yang sedang fokus melihat jalan. “Iya ada apa sih, Bu?” Fahmi menoleh pada Ibunya.“Coba deh kamu lihat anak itu, sepertinya tidak asing bagi Ibu, fisiknya sangat mirip dengan Rifki.” Fahmi menoleh ke arah yang ditunjuk bu Tini. Dia menajamkan penglihatannya. Meski menurut Fahmi memang mirip, tetapi masa iya anaknya afa di tempat seperti itu? “Ah, negak mungkin itu Rifki, Ibu salah lihat kali. Nggak mungkin anakku jadi pengemis.” Pandangan Fahmi juga tidak lepas dari sosok anak yang dia lihat, tetapi dia belum percaya kalau itu adalah anaknya. Pasalnya anak itu terlihat sedang meminta-minta di sekitar lampu merah bersama seorang perempuan paruh baya. Fahmi berusaha meyakinkan kalau Bu Tini kalau dia hanya salah l
Percakapan Amel dan Ibu markonah didengar oleh Ibu-Ibu yang lainnya yang juga lagi belanja di warung tempat langganan mereka. Wajar saja karena setiap pagi adalah waktu untuk membeli bahan untuk dimasak setiap harinya. Begitu juga dengan Amel yang sudah menjadi kegiatannya setiap hari. Ditambah dia harus mengurus sang mertua.Bu markonah tampak kesal karena diminta harus melunasi hutangnya terlebih dahulu jika mau pinjam uang lagi. Apalagi di depan orang banyak, tentunya dia merasa sangat malu jika yang lain pada tahu kalau dirinya punya hutang pada warga baru seperti Amel. Padahal selama ini dia selalu menghina Amel miskin hanya karena tampilannya yang sederhana. “Ck, halah duit segitu aja diminta terus, kayak orang susah. Katanya orang kaya masa hutang nggak seberapa diributin, nggak malu apa?” ujar Bu Markonah dengan expresi wajah mengejek. Dia berusaha membalikan keadaan seolah Amel yang menjadi penyebab keributan.“loh-loh ada apa ini, Mel?” tanya Mila sambil mendekati Amel.“i