Pada akhirnya aku pun pulang ke tanah kelahiranku di pulau jawa. tidak sabar rasanya ingin langsung mengecek sendiri kebenarannya tentang anak dan istriku.
Namun, mbak Wati bilang kalau di jam siang Amel dan Arka masih keliling cari barang bekas. Jadi, sebaiknya langsung kutunggu saja di rumah kontrakannya baru sorenya ke jalan Ahmad Yani.Hatiku resah tidak karuan saat berada di dalam pesawat. Pikiranku berkecamuk, bagaimana bisa kepergianku merantau untuk menafkahi keluarga justru membuat anak dan istriku menderita.Akan tetapi, kenapa Amel diam saja? Dia tidak mau menceritakan semua yang dialaminya, bukankah aku ini suaminya? Apa amel sengaja agar tidak mengganggu pekerjaanku agar bisa fokus pada pekerjaan? Namun, kalau seperti ini kan aku jadi merasa bersalah. Aku jadi merasa tidak becus sebagai seorang suami dan ayah. Lamunanku buyar setelah salah mendengar suara yang menginformasikan kalau pesawat sudah tiba di bandara Soekarno Hatta, bergegas aku bersiap untuk transit ke bandara Ahmad Yani Semarang. Setelah itu lanjut menuju kota tujuanku yaitu kota Pati. Daerah di mana aku, Amel, dan juga Arka dilahirkan. Sesampainya di bandara Ahmad Yani, aku langsung memesan tiket travel tujuan pati yang biasanya juga ada di area bandara. Alhamdulillah akhirnya aku sudah mulai kembali menginjakkan kaki di tanah kelahiranku. Selama di perjalanan dari Semarang ke Pati, pikiranku melayang kembali. Kukira rumah tangga yang kubangun bersama Amel adalah rumah tangga yang paling bahagia dan harmonis. Mertua, menantu, dan ipar yang saling mengasihi. Namun, faktanya yang kusangkakan itu semua bohong belaka. Entah apa yang ada di pikiran keluargaku terutama Ibu. Kenapa beliau tega membuat menantu dan cucunya menderita. Berkali-kali aku menarik dan menghembuskan napas agar mengurangi sedikit sesaknya dada. Ampuni hambamu yang bodoh ini ya, Tuhan …. Betapa hamba sudah sangat zalim pada istri dan anak hamba. Hamba janji tidak akan tebang pilih seandainya nanti memang benar Ibu yang bersalah maka hamba akan tetap membela istri hamba. Maafkan hamba jika nanti akan terjadi perdebatan yang mengatakan kalau hamba anak durhaka. Namun, hamba tahu Engkau zat yang serba tahu. Semoga Engkau mengampuni dosa-dosa hamba. Tidak terasa tiga jam sudah aku menempuh perjalanan. Kebetulan di daerah Genuk dan Sayung tidak ada macet. Alhasil, aku bisa sampai di Pati lebih cepat dari biasanya. Setelah mobil berhenti, aku langsung menuju ke rumah kontrakan. Kupindai bentuk rumah yang menjadi tempat hunian istri dan anakku tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama. Hal yang ternyata baru kusadari. Kuambil ponsel dari dalam saku celana lalu menghubungi Mbak Wati. Tentu saja untuk meminta kunci rumah yang katanya selalu dititipkan beliau ketika Amel dan Arka pergi. Setelah mengatakan kalau aku sudah ada di rumah kontrakan, tidak lama kemudian kulihat sosok wanita yang selama ini dekat dengan Amel. “Akhirnya kamu datang juga, aku sangat prihatin dengan keluargamu, tapi aku juga tidak bisa ikut campur terlalu jauh, sebab kamu suaminya,” ujar mbak Wati dengan nada bicara yang terdengar kesal.“Maafkan aku mbak, sungguh aku tidak mengetahui tentang semua ini, tapi aku sangat bersyukur masih ada mbak yang memberitahu tentang Amel dan Arka,” jawabku pada mbak Wati.“Mbak, gimana kabarnya?” tanyaku pada wanita itu. “Kalau aku sih baik. Istrimu yang gak baik. Nih kuncinya. Nanti sore ikut aku nemuin si Amel di jalan Ahmad Yani sana.”“Iya, Mbak, sekali lagi terima kasih ya sudah kasih tau aku. Maaf kalau selama ini aku sudah lalai.”“Minta maaflah pada istri dan anakmu karena selama ini mereka yang sudah dizalimi.” Aku mengangguk sembari mengulas senyum. Setelah itu mbak Wati kembali lagi ke rumahnya. Aku pun bergegas membuka pintu dengan kunci yang diberikan mbak Wati tadi. Jam menunjukkan pukul dua siang itu artinya masih ada beberapa jam lagi sampai jam empat sore untukku bertemu dengan Amel.Aku sempat kelelahan selama perjalanan, bimbang, khawatir, dan cemas menjadi satu. Masih terngiang-ngiang di telingaku kata-kata mbak Wati, seolah tidak percaya yang sudah dialami anak dan istriku. “Maafkan suamimu ini, Amel, tidak pernah kusangka akan jadi seperti ini. Apakah kamu akan memaafkanku?” gumamku dalam hati. Aku pun memutuskan untuk segera masuk. Namun, pada saat membuka pintu betapa terkejutnya aku saat melihat di setiap sudut rumah. Barang-barang seperti sofa, kulkas, kasur, dan lemari yang pernah aku beli di waktu hari raya dan waktu ulang tahunnya kemarin sebelum aku berangkat ternyata sudah tidak ada lagi. Yang tersisa hanya lah sebuah kasur lantai yang tipis dan tampak usang. Televisi yang aku belikan pun melalui mbak Sita saat ia menghubungiku waktu itu juga sudah tidak ada di tempatnya. Masih terekam jelas dalam ingatan saat mbk Sita menelpon dan mengatakan kalau Arka dja Amel sangat ingin beli televisi sebab yang lama sudah rusak. Tanpa pikir panjang aku segera mentransfer uang 5 juta untuk dibelikan televisi dan saat itu memang mbak Sita mengirim foto televisi itu yang diletakkan di ruang tamu sini. Namun, sekarang barang itu tidak ada di tempatnya. Ya Tuhan … ternyata separah ini keadaan anak dan istriku? Kenapa saat aku pulang semua terlihat baik-baik saja? Kedua lututku menyentuh lantai. Kuremas rambutku kasar. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Amel dan Arka sampai-sampai seperti ini? Sungguh, semua ini di luar dugaanku, aku pikir tidak sampai seperti ini. Ya Allah apa yang sudah Ibu dan mbak Sita lakukan pada keluarga kecilku sangat keterlaluan. Betapa terpukulnya aku, tidak akan kubiarkan semua ini berlarut-larut, aku harus menata kembali rumah tanggaku. Aku rela jauh-jauh bekerja asalkan nafkahku untuk mereka terpenuhi, tetapi nyatanya semua harapanku musnah. Aku bangun dari posisi berlututku menuju ke dapur. Di sini aku lebih merasa miris lagi. Kondisinya tidak ada apa pun di sini. Yang ada hanya ada kompor tungku karena memang dapur ini masih berlantaikan semen bukan keramik seperti di depan. Di saat aku masih shock dengan semua kejutan ini tiba-tiba terdengar suara kencang dari arah luar sana. “Amel! Amel keluar kamu! Jangan terus bersembunyi kamu, Mel! Keluar!”Sesaat aku mendengar ada yang berteriak memanggil nama Amel berulang kali. Siapa kira-kira yang datang? Kenapa dia sampai marah-marah begitu?Karena rasa penasaran yang tinggi akhirnya aku langsung bergegas keluar rumah untuk mencari tahu sumber suara itu. Saat di depan pintu ternyata ada seorang perempuan paruh baya yang kini berdiri tegak di hadapanku yang ternyata dia adalah Ibu Endang, pemilik kontrakan yang kami tempati ini. “Maaf, Bu, Ibu kok teriak-teriak di depan rumah? Ada apa?” tanyaku pada Bu Endang, tampak sekali ia memandangku dengan tatapan sinis.“Oh ternyata kamu sudah pulang toh. Saya pikir kamu sudah lupa dengan anak istrimu, tapi baguslah kebetulan sekali kalau kamu pulang. Ayo buruan kamu bayar kontrakan ini. Sudah nunggak tiga bulan tau! Ke mana aja kamu, sampai istrimu nggak sanggup bayar! Saya butuh uang, kalau nggak sanggup bayar lebih baik keluar saja dari rumah ini. Masih banyak yang mau tinggal di sini tau gak! Saya heran deh, kamu kan kerja di kalimantan
Berbekal alamat yang diberikan oleh mbak wati padaku. Di mana tempat para pemulung menyetorkan barang bekas untuk ditimbang lali mendapatkan uang. Sembari menahan sesak di dada aku terus saja berjalan menuju tempat pengepul tersebut. Jaraknya memang tidak jauh dari rumah kontrakan kami. Hanya sekitar 2 km saja. Namun, meski hanya 2 km tetap saja kalau berjalan kaki ya lelah juga. Padahal sewaktu lebaran tahun kemarin aku sudah membeli motor dengan niat agar istriku ke mana-mana tidak perlu lagi kecapekan. Namun, sekarang ini barang itu juga tidak ada di rumah ini. Padahal aku membelinya secara kredit dan hingga sekarang kreditannya juga masih aku bayar. Aku tidak bisa membayangkan betapa lelahnya Amel yang setiap harinya harus melakukan ini sambil menggendong anak kami. Aku yang jalan seorang diri saja cukup lelah dan kepanasan apalagi istriku. Sesekali aku berhenti sebab kaki terasa lelah sembari menghela napas karena kesedihan yang kurasakan saat ini.Sesampainya di sana ternyata
“Gak, Mas! Untuk apa? Untuk aku dihina lagi sama ibu dan kakakmu? Gak, Mas! Gak mau lagi aku ke sana kalau hanya untuk dihina. Sudah cukup selama ini aku menahannya.” Kutatap wajah Amel dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. Oh Tuhan … separah itukah keluargaku berbuat pada istri dan anakku? Seandainya aku tidak mau percaya pun sudah banyak yang mengatakan tentang kelakuan mereka pada istriku. “Tapi, Mel, kita harus tau apa tujuan mereka melakukan ini semua pada keluarga kecil kita,” ucapku dengan suara sedikit lirih sebab semakin banyak pasang mata yang melihat ke arah kami. Terpaksa aku menarik tangan Amel untuk sedikit menjauh dari tempat ini. Awalnya Amel menolak, tetapi tenagaku jelas lebih kuat dibanding dirinya hingga akhirnya Amel tidak menolak untuk kubawa sedikit menyingkir dari tempat semula. “Mel please, ikut aku ke rumah ibu dan Mbak Sita. Biar kita tau apa maksud mereka melakukan ini semua.”“Apa lagi? Jelas mereka melakukan ini semua karena ketidaksukaan mereka pada
“K-kamu serius, Mel? Sampai separah itu?”“Menurutmu? Untuk apa aku berbohong? Kamu pikir aku mau gitu pakai baju jelek begini kalau memang aku ada baju yang baru?” Lagi-lagi aku menghela napas. Kuusap kasar wajahku. “Terus baju-bajunya Arka gimana?” tanyaku lagi sembari menatapnya. “Bajunya Arka juga diambil sama Mbak Sita. Katanya lebih cocok dipakai sama Rafa anaknya dan dia juga bilang umur Rafa dengan Arka tidak jauh beda hanya selisih lebih tua Rafa lima bulan dari Arka. Makanya diambil, katanya ya sama kalau Arka gak pantas pakai baju mahal. Keturunan dari rahimku gak ada yang pantas pakai barang bagus.”Astaga Mbak Sita ….Kenapa sih dia sejahat itu sama anak dan istriku? Padahal setiap bulan kalau Mbak Sita menghubungiku untuk meminta bantuan atau meminjam uang dengan dalih kebutuhan mendesak pasti aku kasih. Dan sampai sekarang hurang-hurangnya yng jika aku total ada 20 juta belum pernah ia kembalikan dan belum pernah juga aku memintanya. Aku menggerutu dalam hati dan men
“Iya, Mas, aku mau asalkan selalu bersamamu dan anak kita.” Mendengar jawaban Amel, kembali aku memeluknya dengan tangis bahagia. Akhirnya … aku bisa berkumpul kembali dengan anak dan istriku. Ah, rasanya aku terharu sekali. Setelah selesai makan aku pun membereskan sisa makananku dan juga makanan mereka. Amel pun ikut membantu, tetapi aku larang. “Mel biar aku saja yang membereskannya, kamu istirahatlah kan seharian sudah keliling pasti capek.”“Nggak apa-apa, Mas, aku ini istrimu dan sudah sepantasnya aku ikut beres-beres karena kamu juga pasti capek sebab dari perjalanan jauh,” jawab Amel sambil melanjutkan beres-beresnya.“Sudah, sebagai istri kamu harus menurut. Kamu beristirahatlah biar aku saja membereskan semua ini. karena kamu kuperhatikan udah terlalu lelah.”Aku terus bersikukuh, hingga akhirnya Amel menurut dan tidak bisa menolak lagi. Setelah itu aku membuang semua bungkus bekas makanan termasuk bekas makanan Arka. Setelah selesai aku juga menyapu dan mengepel bekas ma
Apa kalian mau tau bagaimana rasanya hatiku? Jelas sakit, sangat-sangat sakit. Selama ini yang kutahu Ibu dan mbak Sita sangat menyayangi Amel dan juga Arka. Namun, faktanya sekarang aku mendengar sendiri semuanya dengan telingaku melalui mulut mereka. Aku menyandarkan tubuh di dinding tepat sebelah pintu. Kuhembuskan napas berkali-kali untuk menghilangkan rasa sesaknya dada. Sesaat langkahku terhenti, aku terpaku dan mulut terbungkam saat mendengar ucapan Ibu dari dalam rumah, kepulanganku ini ternyata sudah disambut oleh rencana jahat keluargaku. Uang nafkah yang tadinya untuk anak dan istriku ternyata benar dimanfaatkan oleh mereka.Jika sebelumnya aku hanya mendengar dari mulut tetangga, tetapi sekarang aku benar-benar mendengar secara langsung dari mulut ibu sendiri.Ya Allah … tiada rasa sakit yang lebih parah kecuali ucapan dan rencana jahat dari keluarga sendiri. Aku benar-benar tidak menyangka kalau ibu dan kakakku ternyata sejahat itu. Awalnya aku masih berharap kalau kab
“Bayu! Apa maksud kamu?! Kamu itu mau dicap durhaka sama ibu karena menghentikan kirimanmu kepadanya?! Tega kamu! Hanya demi membela perempuan yang jika kalian bercerai akan menjadi mantan tapi kamu sampai sebegitunya.”“Tutup mulutmu, Mbak! Aku dan Amel tidak akan pernah bercerai. Seandainya aku dan Amel sampai bercerai itu pasti karena ulah kalian.”“Kamu yang tutup mulut! Kamu itu dilahirkan dari rahim Ibu dan beliau yang merawatmu juga menyekolahkanmu. Tapi inikah balasanmu? Dasar tidak tahu diri.”“Seandainya aku bisa memilih harus dilahirkan di rahim siapa dan yang mana maka aku tidak akan memilih untuk dilahirkan di rahim ibu. Kehadiranku di dunia ini adalah kehendak ibu dan bapak. Itu juga karena ridho Allah, Mbak. Merawat dan membesarkan anak itu sudah menjadi kewajiban orang tua terhadap anaknya. Anak bukan investasi masa depan, Mbak. Seharusnya melihat anak bahagia dengan pasangannya, ibu juga harus bahagia dong. Tapi nyatanya apa? Yang ibu lakukan justru menghancurkan ruma
“Mas serius?” Amel menatapku dan aku membalas tatapannya. Aku segera mengangguk kecil menjawab pertanyaannya. “Tapi nanti apa gak akan jadi masalah? Itu mbak Sita pasti akan mengamuk, Mas.”“Hey, itu semua barang punya kita. Mau Mas bawa ke Kalimantan rencananya. Soalnya di sana Mas udah beli rumah jadi kan lumayan buat isi rumah kita yang di sana daripada beli kan?”“Beli rumah? Mas serius?” Aku kembali mengangguk menjawab ucapannya. “Rumah atas namamu, mas sengaja membelinya karena ingin membahagiakanmu. Memang sudah punya cita-cita jika membeli hunian nanti akan mas pakai namamu.”“Mas sebenarnya jabatanmu itu apa? Kenapa gajimu besar sekali? Bisa beli ini dan itu?”“Alhamdulillah jabatanku sekarang manajer, Sayang. Gajiku sekitar 30 juta sebulan itu belum termasuk bonus. Yah kalau ditotal dengan bonus kurang lebih 35 juta Kenapa bisa cepat? Karena sejak awal masuk aku kan sudah menjabat sebagai supervisor dan kebetulan di perusahaanku sedang dibuka perusahaan baru istilahnya cab