Bab 7
"Emm, kita akan menang, Yuri. Kertas itu akan menjadi akhir Dafa dan Adit. Mereka akan menyesal telah mempermainkan kita," tuturku pada Yuri. Ia pun menghela napas panjang sambil tersenyum tipis di hadapanku."Ide bagus, lelaki seperti mereka memang harus dimusnahkan, memang dasar lelaki tak ada puasnya," umpat Yuri terdengar sangat kesal.
Setelah mendapatkan kabar dan bukti dari Raka. Kami agak sedikit lega, perlahan semua akan terkuak dan mereka akan malu dengan sendirinya.
"Aku pamit dulu, ya. Senin kita ke tempat kerja mereka, dan memberikan kejutan spesial untuknya," cetus Yuri sambil merapikan tas yang ia bawa.
"Iya, mereka akan berakhir esok hari, setelah semalaman bersenang-senang," candaku pada Yuri. Kami pun tertawa lepas seketika, beban dan sakit hati kami lupakan sejenak.
Kemudian, tak lupa aku bertukar nomor kontak agar lebih mudah komunikasi nantinya.
Setelah kami saling bertukar kontak, Yuri pun melangkah ke depan. Namun, baru beberapa langkah ia hendak keluar dari rumahku. Ada telepon dari Raka kembali.
"Raka telepon, aku load speaker, ya," ucap Yuri sembari mengusap layar ponselnya. Aku hanya mengangguk dan memperhatikannya dalam menjawab telepon.
"Mbak, mereka sedang ke ATM, aku ikuti mereka, ya. Pura-pura antri di belakangnya," celetuk Raka membuat Yuri mengurungkan niat untuk pulang.Telepon dimatikan oleh Yuri dengan reaksi mulut menganga, sepertinya ia terkejut mendengar keterangan yang Raka berikan.
Aku pun menyuruh Yuri duduk kembali, lalu mengambilkan ia minum agar lebih tenang."ATM nya aku tak pernah minta uang, salah besar, ini salahku, ia jadi menganggap gampang semuanya, seharusnya ATM itu aku yang pegang meskipun punya gaji sendiri," sesal Yuri sembari mengepal jarinya."Aku pun menyesal setiap bulan hanya dijatah olehnya, kenapa aku tak diberi tahu pin ATM bahkan mobile bankingnya. Ah semuanya sangat tertutup, seharusnya ini tidak boleh terjadi dalam rumah tangga," sesalku juga.Keterbukaan dalam berumah tangga itu sangat penting, terutama masalah keuangan. Jika sudah tertutup seperti suamiku ini, seharusnya sudah dicurigai sejak dulu.
Kenapa aku baru sadar setelah memergoki status istri temannya yang berbeda nominal bonus akhir tahun? Setelah itu baru mulai menyelidiki ini semua, dan ternyata benar dugaanku, bahwa di balik tertutupnya suami masalah keuangan, ada selir di sana yang meminta jatah juga darinya.Sekitar lima menit setelah menerima panggilan masuk dari Raka, akhirnya ia mengirimkan sebuah foto.
"Raka kirim foto," celetuk Yuri sambil menepuk pahaku. Kemudian, ia mengusap lembut layar ponselnya, lalu membuka apa yang ia kirim.Sebuah foto resi transfer ke bank lain atas nama Septiani senilai sepuluh juta rupiah. Itu bukti transfer dari suaminya Yuri, bukan suamiku. Ada perasaan lega, itu artinya suamiku tidak memberikan wanita itu uang.[Ini foto resi pengambilan uang tunai sebanyak empat kali, sekali tarik 10 juta rupiah.] Itu pasti resi milik suamiku, siapa lagi kalau bukan dia? Rasanya ingin menyobek wajah mereka langsung jika sudah tiba di rumah.
Penarikan tunai ATM yang Mas Dafa miliki berlimit sehari maksimal sepuluh juta, ia pasti tidak akan mengambil lebih lagi. Sebab, aku yakin jatah yang ia berikan adalah jatah hasil penggelapan bonus akhir tahun yang berbeda ia sebutkan, yaitu dua kali gaji pokok.
Yuri menggelengkan kepalanya seraya tak percaya suaminya telah berani memberikan ke wanita lain sebanyak itu.
"Ini tidak bisa dibiarkan, aku jadi ingin cepat besok," ungkap Yuri sambil menggigit jarinya seraya geram dengan apa yang dilakukan suaminya. Begitu juga denganku, sangat muak dengan tingkah Mas Dafa yang telah berkhianat, padahal ada Kiana yang membutuhkan uang banyak untuk pendidikannya kelak."Kamu ada ide lain? Apa kita langsung ke rumah atasannya?" Kami terdiam sejenak, memikirkan ide apa yang pantas untuk membuat mereka kapok. Jika ke rumah atasannya membuat mereka kapok, aku siap maju.
Tidak lama kemudian, Yuri pun nyeletuk. "Nggak bisa begitu, kita tak mungkin ke rumah atasannya, kalau istri atasannya malah jadi mencurigai kita bagaimana?" tanya Yuri balik sambil menutup matanya dengan tangan sebelah kiri. Hampir setengah jam kami duduk kembali, Yuri yang sudah pamit pun lupa untuk bergegas pulang karena mendengar kenyataan pahit yang ia dengar dari Raka.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanyaku lagi. Namun, tiba-tiba ponsel Yuri berdering kembali, ada telepon masuk dari Raka.
"Raka lagi," bisiknya sambil mengusap layar ponsel yang ia genggam, lalu mengaktifkan speakernya.Aku pun mendekat, rasanya tak ingin ketinggalan berita sekecil apapun tentang suamiku, Dafa.
"Halo, Mbak. Saya punya informasi penting, tadi ada satu temannya lagi yang baru menikah siri dengan wanita pilihan comblangnya. Jadi di sini tuh ada comblang, tapi lelaki, ia seusia suami Mbak. Orang sini juga sepertinya," ungkap Raka membuatku terkejut. Ada yang menikah lagi? Astaga, itu club mobil atau club biro jodoh?
"Kamu rekam pernikahan mereka atau tidak?" tanya Yuri menyelidik.
Siapa lagi yang menikah secara diam-diam? Kenapa jadi seperti ini gerombolan yang tadinya hanya izin merefresh otak! Jika sudah seperti ini, aku takkan pernah percaya lagi pada Mas Dafa. Ia benar-benar sudah lupa anak dan istri."Rekam, tapi dari belakang, Mbak. Khawatir ada yang lihat, ini juga masih ramai, rekan-rekannya sedang bersalaman," jawab Raka lagi.
"Kamu hati-hati, jangan terlalu dekat, Raka," pesan Yuri padanya. Kemudian, Yuri hendak ingin mematikan teleponnya. Namun, tiba-tiba ada suara dari kejauhan di seberang sana."Kamu siapa sih? Kenapa ngikutin saya terus?" Kedengarannya itu suara Mas Dafa. Telepon pun terputus, Raka memutuskan sambungannya. Sepertinya ia sudah mulai dicurigai oleh Mas Dafa dan rekan-rekannya."Nah loh, Mbak, sepertinya Raka ketahuan," celetuk Yuri membuatku tegang.
"Aku yakin orang bayaran kamu cerdas, Yuri," bisikku meyakinkan. Padahal hati ini pun terasa bergetar ketika mendengar suara Mas Dafa menegur Raka.
Yuri bangkit kembali, dan berencana melanjutkan pulang yang tadi sempat tertunda. Namun, bel rumah tiba-tiba berbunyi.
Ting ... tong ....Aku menoleh ke arah Yuri sambil melepaskan senyuman ragu."Siapa, ya, yang datang?" tanya Yuri membuatku semakin cemas. Jangan-jangan itu mertuaku yang datang. Kemarin ia kan ke sini disuruh Mas Dafa. Tidak menutup kemungkinan, hari ini pun ia ke sini."Kamu tunggu di sini, atau sembunyi dulu, Yuri? Eh, tapi mobil kamu kan ada di depan," cetusku jadi salah tingkah.Aku menelan sedikit salivaku seraya gugup. Kemudian, berusaha tenang dengan menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Perlahan kaki ini melangkah untuk membuka pintunya.BersambungBab 8Aku segera membuka pintunya sambil menyiapkan alasan jika itu benar mertuaku yang datang.Kubuka pintu dengan lebar, dan setelah melihat sosok yang datang aku pun menghela napas lega."Mbak Kinan, ada apa Mbak?" tanyaku pada tetangga yang datang. Ternyata tetangga sebelah rumah yang ke sini. Kulihat ia membawa mangkuk yang ditutupi piring."Aku masak tumis jamur, cobain deh, Mbak," ucapnya sembari menyodorkan mangkuk tersebut. Aromanya sungguh menggugah selera, pasti enak rasanya. Ya, Kinan memang pandai memasak, tiap kali ia masak aku selalu kebagian mencicipi."Wah, dari aromanya saja sudah bikin lapar, makasih banyak ya," ucapku sambil mengendus-endus makanannya."Itu temannya Mbak Aura?" tanya Kinan. Sebaiknya aku harus
Bab 9"Apa sih teriak-teriak?" tanya Mas Dafa, ia pun bertanya dengan nada sedikit meninggi. Tiba-tiba aku teringat ucapan Yuri, besok adalah hari kehancuran para suami yang berkhianat. Sepertinya tak perlu lah tanyakan celana dalam yang kutemukan dengan memakai otot. Buang-buang tenaga saja."Mas Dafa yang katanya tampan, aku mau tanya ini milik siapa? Kenapa ada di tas kamu?" tanyaku dengan mengangkat kedua alis. Tanganku memegang celana dalam hanya dengan ujung jari. Tak lupa aku tutup lobang hidung ini dengan tangan sebelah kanan."A-anu, Sayang. A-aku pun nggak tahu itu milik siapa, hemm jangan-jangan anak-anak yang lain nih iseng biar kita ribut," elak Mas Dafa dengan terbata-bata.Sudah kuduga, ia takkan mengakui meskipun bukti ada di depan mata. Padahal ada bukti yang lebih akurat lagi sudah dipegang oleh Yuri
Bab 10POV DafaSudah hampir setahun setengah aku menjalani pernikahan siri dengan Ayumi Titta Devi. Seorang gadis desa yang dikenalkan oleh Pak Gilang, atasan di pabrik.Awalnya kami mendirikan club mobil untuk touring sekadar refreshing. Namun, Pak Gilang menyodorkan seorang wanita cantik, muda, dan baby face tentunya.Tidak hanya aku yang disodorkan, semua yang ikut club disodorkan olehnya. Namun, ada beberapa yang menolak dengan alasan belum bisa berlaku adil dengan istri pertamanya.Malam sebelum berangkat touring, ponselku berisik hingga malam. Aku sempat tertidur karena kelelahan, tapi tiba-tiba saja mata ini terbuka kembali. Lalu kulihat layar ponsel penuh dengan notifikasi grup. Kutengok ke arah Aura yang sudah terbaring, terlintas kekhawatiran bila Aura membaca sedikit pesan yang ada di jendela ponselku. Meskipun aku kunci
Bab 11POV Dafa"Kamu itu mempertanyakan sesuatu yang benar-benar di luar wewenang kamu, ini uangku, terserah dong mau untuk apa, kan yang bayar juga aku nantinya, kalau kamu tidak percaya dengan ucapanku, ya sudah, jangan perpanjang masalah kecil jadi besar," tegasku pada Aura. Ya, aku harus menegaskan ini padanya. Ia tak punya hak untuk mengatur uang yang aku peroleh dari keringat sendiri, yang terpenting nafkah untuknya tetap aku berikan."Ya, aku tidak berhak, mentang-mentang hanya ibu rumah tangga, kalau begitu caranya, aku akan cari kerja juga, biar kamu tak seenaknya melakukan ini terhadapku," pungkasnya terkesan merajuk. Ia balik badan, lalu tarik selimut untuk segera tidur."Loh, aku belum makan, kenapa sudah tidur?" tanyaku sambil menarik selimutnya kembali."Bodo amat, kamu cari makan sendiri saja," timpalnya berl
Bab 12POV AuraLelaki memang sering kali berkelit dalam kebohongan yang ia buat. Sudah bohong lalu menutupi kebohongan lainnya dengan kebohongan lagi dan lagi. Itu semua sudah menjadi hal yang lumrah sering ditemui di sekitar.Baiklah, masalah emas yang ia gesek melalui kredit card sudah aku tutup, anggap selesai dan tak pernah ada masalah soal ini, itu yang Mas Dafa harapkan.Aku segera tarik selimut, begitu pun Mas Dafa, ia ikut tidur dalam keadaan perut kosong, sebab aku tak mau diajaknya cari makan.***Pagi ini aku sarapan dengan sudah berpakaian rapi. Kemudian, Mas Dafa pamit dengan terburu-buru, seperti biasa ia pergi dengan menggunakan motor kesayangannya.
Bab 13POV Aura"Mungkin salah orang, Mas, saya nggak pernah keluar rumah jika tidak bareng suami," sanggahku terhadapnya.Lelaki itu diam sejenak, sepertinya mengingat kembali wajahku. Namun, tiba-tiba Mas Dafa mengeluh kesakitan kaki dan tangannya. "Aw! Sakit, Dek. Seluruh badan aku sakit, apalagi kaki dan tangan," keluh Mas Dafa."Mas, memang kerjaan Mas Dafa selama ini berat ya? Kok sampai begini?" tanyaku pada lelaki tadi, ini kesempatanku untuk mengalihkan pembicaraan juga."Dafa pindah bagian, Mbak. Sekarang di bagian limbah, mungkin karena baru pegang kerjaan ini jadi belum terbiasa," jelas lelaki itu.Aku pura-pura tidak mengetahui, dan pura-pura simpatik pada Mas Dafa."Mas, kamu dipindah kerjanya? Kenapa bisa dipindah? Yang sabar ya, Mas," ungkapku sambil memijat kakinya."Kalau begitu, kami pamit dulu ya, Mbak," ucap rekan yang satunya.Setelah mereka pe
Bab 14POV AuraAku terus menyecar Mas Dafa di hadapan mama dan papa mertua. Sebab, mereka pun tidak mengetahui kelakuan anak lelakinya. Aku ingin tahu kira-kira apa reaksi mereka setelah mengetahui semuanya."Tunggu, Dafa, maksudnya gimana sih? 2 juta kamu transfer Mama atau justru sebaliknya?" tanya mama kini semakin membuat mataku membulat. Dari pertanyaan yang barusan mama lontarkan, aku bisa mencerna bahwa mama yang memberikan transferan untuk Mas Dafa."Mah, jadi Mas Dafa itu bilang bahwa ia memberikan Mama tiap bulan 2 juta, itu rutin, kalau tidak salah sudah setahun setengah, makanya Mas Dafa tak punya tabungan," jelasku dengan senyum mengembang.Mama yang tadinya berdiri kini duduk di sebelah anaknya. Sepertinya ia ingin dengar dari mulut anaknya sendiri."Kamu minta 2 juta pada Mama tiap bulan, bukan terbalik gini, jelaskan pada Aura seperti itu biar tidak ada lagi salah paham," suruh mama.
Bab 15POV AuraAku giring orang tuaku ke arah kamar, agar sekalian berkumpul dengan besannya. Mereka pun saling berjabat tangan ketika bertemu satu sama lainnya.Mas Dafa yang berbaring pun mengulurkan tangannya pada kedua orang tuaku."Kamu sakit apa, Dafa?" tanya Papa Malik setelah Mas Dafa mengecup punggung tangannya."Seluruh tubuhku sakit, Pah. Rasanya seperti dipukuli warga sekampung," jelas Mas Dafa pada papaku.Kiana rindu juga pada papanya, ia menyergap tubuhnya seperti biasa. Aku yang tadi sedang menggenggam tangan Kiana pun ikut menghampirinya.Pelukan hangat seorang anak untuk papanya takkan ia rasakan lagi setelah ini. Aku berjanji ini untuk yang terakhir kalinya tubuh anakku berada di pelukan lelaki tak punya hati itu. Setidaknya Mas Dafa memikirkan