"Boleh saya pinjam handuk?" izin Bunga dengan terus menggigil.
"Oh ... ya." Gading mengangguk. Sebentar saya ambilkan."
Gading bangkit. Dia menderap menuju kamar. Pemuda itu menarik salah satu handuk koleksinya di lemari. Pemuda beralis tebal itu kembali menemui Bunga. Dirinya lantas menyerahkan handuk pada Bunga.
"Terima kasih," ucap Bunga saat menerima handuk dari Gading.
Bunga langsung mengeringkan rambutnya. Lalu turun mengeringkan tangan dan kaki. Tiba-tiba tanpa malu gadis itu membuka dua kancing depan seragamnya. Seperti tengah menggoda, dia menggosok lehernya dengan sangat pelan.
"Saya buatkan teh hangat untuk kamu, ya," putus Gading karena merasa risih melihat tingkah murid didiknya itu.
Gading kembali meninggalkan Bunga. Dirinya kini beranjak ke dapur. Dia membuka kabinet atas dapurnya.
Tangannya cekatan mengambil cangkir dan dua toples berisi gula dan teh, lantas meraciknya menjadi teh manis hangat. Setelah jadi Gading membawanya ke hadapan Bunga.
"Silakan diminum," suruh Gading begitu menaruhnya di meja.
"Terima kasih," ucap Bunga kembali menipiskan bibir. Namun, dia tidak lekas menyentuh minuman dalam cangkir tersebut.
"Kamu belum jawab pertanyaan saya tadi. Ada apa kamu hujan-hujanan ke sini?" Gading mengulangi pertanyaannya.
Bunga menunduk sembari memainkan roknya. Sehingga sedikit tersingkap pahanya yang putih mulus. Lagi-lagi Gading harus membuang pandangan.
"Saya butuh bantuan Bapak?" cetus Bunga kemudian.
"Bantuan? Ada PR Fisika?" tebak Gading dengan polosnya.
"Eum ... Pak saya masih kedinginan." Bunga mengalihkan topik lagi, "boleh saya pinjam baju kering Bapak?"
Gading mengangguk. Dirinya cukup kasihan melihat tubuh Bunga yang terus saja bergetar kedinginan. Dia juga sudah menyayangi Bunda seperti adik sendiri.
Apalagi kakak Bunga adalah kekasih hatinya. Namun, dia dan kakak Bunga sepakat merahasiakan hubungan mereka di hadapan Bunga atau orang tuanya. Alasannya tidak lain adalah kenyamanan untuk Bunga. Keduanya tidak mau Bunga jadi canggung jika tahu kalau guru fisika dan lesnya ternyata adalah calon kakak iparnya
Tanpa mengulur waktu, Gading kembali menuju kamar. Dia sedikit bingung saat membuka pintu lemari.
"Gak ada baju wanita di sini," gumamnya sembari melihat-lihat tumpukan bajunya. "Kamar ibu juga dikunci."
Mata Gading terus mencari pakaian yang cocok dikenakan oleh Bunga. Hingga akhirnya manik cokelat gelapnya tertuju pada kaos oblongnya yang cukup besar. Dia juga menarik salah satu celana training panjangnya.
"Nah ... pakailah!" suruh Gading begitu tiba di hadapan Bunga.
"Terima kasih." Bunga tersenyum lebar, "ngomong-ngomong, Bapak salah ngasih garam ke minuman saya, ya?"
"Hah? Maksudnya?" Alis Gading bertautan.
"Tehnya rasanya asin, Pak." Bunga membalas sambil menyengir geli.
"Masa sih?" Kening Gading berkerut tidak percaya.
"Iya. Gak percaya? Nih coba rasain sendiri." Bunga mengulurkan cangkir berukuran sedang dengan warna putih itu pada Gading.
Gading menerima cangkir tersebut. Pemuda itu menyesap perlahan. Lalu mengecapnya.
"Enggak kok! Ini manis," elak Gading begitu mencicipi minuman buatannya sendiri.
"Asin, Pak." Bunga bersikeras dengan ucapannya, "coba deh minum yang banyak, biar jelas asin atau tidaknya!" suruhnya yakin.
Gading manut. Dia meminum lebih banyak lagi teh hangat tersebut. "Ini manis, Bunga," tegas Gading yakin. Dia menaruh cangkir teh itu kembali ke meja.
Bunga terkikik geli.
"Kenapa kamu ketawa?"
"Bapak mau juga saya kerjain, hi ... hi ... hi." Bunga cekikikan.
Gading menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dia tidak terlihat kesal di hadapan muridnya.
"Kamu belum jawab pertanyaan saya. Ada apa datang ke sini?"
"Eum ... saya ganti baju dulu, ya Pak?" tukas Bunga mengalihkan perhatian, "di mana saya bisa ganti baju?"
Gading bergeming sejenak. "Kamu bisa ganti baju di kamar mandi. Letaknya di samping dapur."
"Oke ... saya ganti baju dulu, ya Pak." Bunga bangkit berdiri dengan semringah.
Gadis mungil itu meninggalkan guru dan tasnya begitu saja. Gading sendiri memilih kembali menuju ruang tengah. Dia ingin meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda karena kedatangan Bunga. Yaitu mengoreksi hasil ulangan murid-muridnya.
"Pak Gading."
Gading sontak menoleh saat tiba-tiba pundaknya dipegang oleh seseorang. Wajah imut Bunga kembali menampakkan diri. Sontak dia lekas menyingkirkan tangan mungil nan halus itu dari pundaknya. Gading kian dibuat melongo melihat pakaiannya yang digunakan oleh Bunga.
"Kenapa cuma pake kaos oblong saja? Kenapa celana trainingnya tidak dipake?" protes Gading lumayan jengah melihat kelakuan Bunga.
Gadis itu hanya mengenakan kaos oblong. Sehingga sebagian paha dan betis mulusnya terpampang jelas. Benar-benar mengundang.
"Habisnya celana Bapak kepanjangan buat saya. Kan kaki saya pendek, Pak," balas Bunga tanpa malu.
Gading mendengkus resah. "Oke, sekarang katakan apa maksud kedatangan kamu ke sini? Saya gak punya banyak waktu. Lihat tugas saya menumpuk!" Tangan Gading menunjuk tumpukan buku di meja.
"Anu, Pak. Masih ada materi yang belum aku pahami," sahut Bunga dengan nada manja. "Sebentar saya ambil tasnya," pamitnya kemudian.
Gading menelan ludah saat melihat pinggul Bunga yang berlenggak-lenggok. Pemuda itu menggelengkan. Berusaha mengusir pikiran kotor yang tiba-tiba bersarang di kepalanya.
Tidak lama Bunga kembali dari ruang tamu. Tanpa canggung dia duduk di samping Gading. Gadis itu membuka tasnya untuk mengambil buku tugas.
"Tugas yang ini, Pak." Bunga menyodorkan buku tugasnya.
Gading sendiri cukup tersentak saat kulitnya beradu dengan kulit Bunga. Gadis itu sengaja menyenggol lengannya. Sebagai guru privat Bunga, mereka pernah tidak sengaja kontak fisik. Namun, baru kali ini Gading merasakan keanehan.
Gading seperti merasa tersengat aliran listrik ribuan kilowatt saat kulit mereka bersinggungan. Dan yang lebih anehnya tiba-tiba aliran darahnya naik. Lalu sesuatu di bawah sana menegang tidak terkendali.
FLASH BACK OFF
"Aku ... aku merasa kalo Bunga mencurangi aku," ungkap Gasing dengan tatapan getir.
"Maksudnya gimana, Mas?" Pertanyaan Galang mewakili perasaan hatiku.
"Karena mendadak aku tidak bisa mengendalikan diri untuk menyentuh Bunga."
Aku dan Galang saling berpandangan. Kami mengenal Gading dengan baik. Dia anak yang tidak neko-neko. Jarang berbohong pada kami. Ketika kutatap seksama, sinaran maniknya memancarkan kejujuran."Kira-kira apa motif Bunga menggoda kamu?" tanyaku penasaran."Entahlah, Bu." Gading menggeleng pelan, "walaupun aku mengajar dia privat, tapi di luar kami gak begitu deket. Eum ... di sini aku yang memang membatasi diri bergaul dengan murid perempuan.""Mungkin Bunga naksir kamu, Mas." Galang beropini.Gading menghela napas. "Aku gak tahu.""Kelakuan dia bagaimana di sekolah?" Aku bertanya lagi."Setahuku Bunga itu anak yang ceria. Dia termasuk siswa yang populer. Temannya banyak," terang Gading kalem. "Sayangnya nilai akademisnya gak begitu bagus. Makanya dia minta privat sama aku.""Oh ...." Aku dan Galang mengangguk bersamaan."Bunga ada punya cowok gak, Mas?""Aku gak tahu. Kan sudah dibilang, kami gak begitu dekat," balas Gading sembari menatap adiknya, "cuma sepertinya dia banyak penggema
"Jadi serius kamu sudah bisa mendapatkan ciuman dari Pak Gading?" tanya teman Bunga dengan penasaran. Gading yang mendengar namanya disebut menghentikan langkah. Dia bersembunyi di balik pilar untuk mencuri dengar percakapan siswi-siswi populer itu."Gak cuma ciuman, aku malah bisa ngajak Pak Gading tidur," sahut Bunga jumawa.DEG!Gading sendiri tertohok mendengar jawaban Bunga. Dia tidak menyangka jika Bunga bisa berkata seperti itu dengan santainya."Nih kalo gak percaya." Bunga mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya. Sontak ketiga teman Bunga langsung berebut ingin melihat.Gading kini ternganga. Pemuda itu teringat kejadian seminggu yang lalu. Di sela permainan panasnya dengan Bunga, Gading teringat jika remaja itu terlihat mengotak-atik ponselnya. Namun, karena nafsunya sedang di ubun-ubun, saat itu Gading tidak peduli. "Gilaaa! Kalian bener-bener hot," seru ketiga teman Bunga begitu melihat video pada gadgetnya Bunga. Ketiganya saling bersitatap, lalu terbahak bersama. "Lh
"Bunga beneran bilang seperti itu?" tanyaku tidak percaya ketika Gading merampungkan ceritanya."Iya, Bu. Buat apa aku bohong?" sahut Gading terlihat jujur, "makanya setelah dengar pengakuan Bunga, aku memutuskan untuk berhenti kasih les ke dia.""Bener-bener bocah nakal ya si Bunga itu," timpal Galang seraya geleng-geleng."Salah pergaulan kalo menurut aku." Gading menanggapi omongan adiknya."Kok kamu bisa tahu, Ding?" Kini aku yang penasaran."Walau gak begitu dekat, tapi aku tahu dengan siapa Bunga bergaul.""Anak-anak nakal?" Aku dan Galang menebak bersamaan."Lebih tepatnya anak-anak yang kurang kasih sayang." Gading meralat."Elina, ketua gengnya Bunga setahuku anak broken home. Walau pun kedua orang tuanya berada, tapi selalu kesepian karena tinggal sendiri. Kalo Bunga ... kedua orang tuanya terlalu sibuk menurutku. Seperti gak punya waktu buat anaknya," jelas Gading menerangkan. Anak itu adalah guru privat keduanya, jadi wajar jika sedikit paham kondisi keluarga mereka. "Kasi
Walau pun terlihat tidak begitu bersemangat, tetapi Gading mengindahkan nasihatku. Dia memang anak yang penurut. Makanya saat kusuruh untuk menghubungi Mas Arif tanpa banyak bicara dia mengiyakan. Kuperintahkan agar Gading memberi tahu pada keluarga Bunga, bahwa kami akan bertandang. Tidak lama Gading mendapat balasan."Pak Arif bilang, mereka siap terima kita kapan saja, Bu," kata Gading saat membacakan balasan pesan dari Mas Arif."Baguslah," tanggapku tenang. Tangan ini tengah sibuk melipati baju-baju yang baru saja dijemur tadi siang. "Kira-kira kapan kita bersilaturahmi ke rumah Bunga, Ding?""Terserah Ibu," sahut Gading tampak tidak bersemangat."Kenapa lesu begitu?" tegurku menatap wajah Gading yang terlihat muram."Aku ... aku takut ketemu Nona, Bu." Gading mengaku dengan jujur."Jadi kamu belum bicara soal Bunga sama Nona." Aku menerka dengan heran. "Kenapa?" tanyaku saat Gading hanya menggeleng lemah."Nona kerja di Baturaja, Bu. Jadinya kami jarang ketemu," terang Gading p
"Ibu ... Ibu lagi gak bercanda kan?" cecar Nona masih gemetar."Apa untungnya ibu bohong sama kamu?" sergah Sarita secepatnya, "tadi kupingmu dengar sendiri kan kalo ibunya Gading mau membahas masalah Gading dan Bunga bukan dengan kamu."Manik Nona kini beralih ke Gading. "Mas, tolong katakan kalo ini semua adalah bohong," pintanya penuh pengharapan.Gading mendesah bimbang. "Apa yang terjadi tidak seperti yang kamu pikirkan, Non," ujar Gading tidak berdaya."Jadi benar kamu telah menodai adikku?!" sergah Nona mulai naik pitam."Bunga jebak aku, Non." Gading membela diri."Lelaki pengecut!" Sarita meradang, "bukannya minta maaf telah berbuat asusila, malah tega menuduh anakku yang tidak-tidak," makinya sembari menunjuk-nunjuk Gading dengan geram."Sarita, jaga bicaramu!" Mas Arif memperingatkan."Aku marah karena anak kita dihamili gurunya, apa itu salah?!" sahut Sarita ketus. "Bukan kah kita sudah sepakat untuk menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin?" Lagi-lagi Mas Arif meng
"Dari kecil aku sudah terbiasa dinomorduakan." Bunga bercerita dengan air mata yang terus luruh membasahi pipi. "Kalian selalu mendahulukan kepentingan Nona. Jika kami bertengkar aku yang disalahkan. Kalo ketahuan Nona yang salah, aku disuruh memaafkan dan mengalah. Di sini aku seperti anak pungut kalian," tuturnya berapi-api dalam kesedihan.Mas Arif, Sarita, dan Nona diam seribu bahasa. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyangkal. Pertanda omongan Bunga adalah kebenaran."Apa pun alasannya, tindakan kamu ikut taruhan itu gak bener," ujar Mas Arif dingin."Kalo ayah beli apa yang aku minta aku juga gak bakalan mau ngelakuin itu." Bunga lekas merespon."Jangan-jangan ini bagian dari akalan kamu untuk menarik perhatian ayah dan ibu, benar?" Nona membuat asumsi.Bunga mengelak. "Gak juga, aku udah capek menarik perhatian mereka. Kejadian ini murni karena kebodohan aku." Bunga meraih tisu kembali. "Aku pikir gak papa ngelakuin itu karena gak bakalan hamil kalo cuma sekali. Ternyata ak
"Maaas! Sini naik cepetan!" Sarita berteriak dari atas. Mas Arif lekas bangkit. Pria itu setengah berlari menaiki tangga. Nona pun mengikuti ayahnya menyusul sang ibu. "Bungaaa, jangan main-main pisau!" Terdengar suara Mas Arif berseru. "Biarkan aku mati saja, Yah. Toh aku gak pernah dianggap juga," balas Bunga di sela isakannya. "Ding, kita lihat ke atas, yuk! Sepertinya Bunga berbuat nekat," ajakku dengan menarik lengan Gading. Gading melepas pegangan tanganku. "Biar saja, Bu. Itu bukan urusan kita," tolak Gading acuh tak acuh. "Kalo sampai terjadi apa-apa dengan Bunga bagaimana?" "Itu kemauan dia. Kita bisa apa?" sahut Gading datar. Sama sekali anak itu tidak tersentuh. Aku menghela napas. "Ibu tahu kamu sangat gedeg melihat kelakuan Bunga, tapi ada benihmu di rahimnya." Gading melengos. "Kamu sudah cukup salah dengan melakukan perzinahan kemarin. Sekarang jangan buat dosa lagi dengan menutup mata pada kondisi Bunga." Aku menasihati dengan lembut. "Bungaaa!" Teriakan dar
Aku tersenyum mendengarnya. Akhirnya ada sedikit kepedulian Sarita pada Bunga. "Terserah keluarga Bunga saja. Kami pihak laki-laki menurut saja.""Minggu ini konveksiku lagi banyak dapat orderan. Kalo memang keduanya mau diijabkan sebaiknya minggu depan saja." Sarita mengusulkan."Kami nurut, Mbak." Aku menyetujui."Dan ingat, ijab qobulnya jangan di sini. Tetangga kami akan curiga nanti." Sarita kembali memberi syarat."Boleh diselenggarakan di rumah saya." Aku memberikan penawaran.Pembicaraan sudah menemukan ujungnya. Aku dan Gading pun pamit undur diri. Apalagi waktu kian beranak malam.Dalam perjalanan pulang Gading memilih duduk di depan. Tidak di belakang menemaniku seperti saat berangkat. Anak itu memilih bungkam. Hingga sampai rumah Gading benar-benar tidak bersuara."Sudah pulang?" sambut Galang ketika membukakan pintu untuk kami. Aku tersenyum mengiyakan. Sementara Gading menerobos Galang dan langsung melenggang menuju kamarnya. Lelah membuatku menghempaskan tubuh di sofa.