Share

06. Sebuah Ambisi

Sesuai tantangan yang Ana berikan, Rezvan benar-benar mendatangi gadis itu ke tempat yang telah diarahkan. Ia tersenyum miring. Meskipun pertengkaran tadi memperlihatkan bahwa dirinya yang menjadi seorang pelaku, tetapi itu sudah cukup membuktikan kepadanya bahwa Ana juga akan merasa tidak nyaman ketika ada yang membicarakan soal keluarganya.

Ya, pada akhirnya Rezvan tahu akan apa yang terjadi mengenai keluarga Ana. Tidak sia-sia dirinya mencari informasi dari sana sini, meskipun harus ada ancaman dulu terhadap seseorang yang pernah satu sekolah dengan Ana ketika masih SMP.

Inilah akibatnya melawan seorang Rezvan Adhitama, apalagi membawa nama keluarga. Dia takkan segan-segan menyakiti orang yang telah mencemari nama baik keluarganya.

Dia bisa melihat seorang gadis berjaket sedang menyilangkan tangan sembari memperhatikan dirinya, berada di tengah-tengah taman. Ternyata Ana sudah lebih dulu sampai ke tempat itu dan bersiap-siap mengenai apa yang akan terjadi di antara keduanya. Ia membuka bahkan melempar jaket serta tasnya ke sembarang arah. Pandangannya sangat menusuk, namun Rezvan tidak menjadi segan olehnya.

Lelaki itu pun meladeni Ana dengan sama-sama melepaskan tasnya ke samping. Dia kembali memancing Ana.

"Ini yang kau mau, kan? Memang apa yang salah soal perkataanku tadi? Apa karena aku benar, bahwa ibumu selingkuh dan ayahmu pergi meninggalkan rumah?" tuturnya yang menyerang Ana lewat beberapa pertanyaan.

Ana yang sudah berjarak semester dari Rezvan, dengan cepat meraih kerah baju pemuda tersebut. Kini, pandangan Rezvan sama gelapnya seperti anak Hawa itu.

"Tutup mulutmu!"

"Kau ingat pernah membicarakan hal buruk soal keluargaku? Ini balasan yang pantas untukmu," tutur Rezvan.

"Aku berbeda darimu, si**an! Kau tahu apa soal keluargaku? Sedangkan kau," Secara berani, jari telunjuk Ana menunjuk kepada Rezvan hingga menyentuh dadanya, "bahkan satu sekolah pun tahu kau dan keluargamu itu tidak punya rasa malu dan tidak memiliki rasa tanggung jawab. Apa yang terjadi dengan para korban? Apakah mereka dijadikan pelaku olehmu? Polisi dibayar untuk melakukan itu?"

Tak terduga, Rezvan mengambil kesempatan ini untuk melayangkan sebuah pukulan ke pipi Ana. Perempuan itu jatuh terduduk dan menyadari rasa sakit yang menyebar di wajah. Akan tetapi, hal itu tidak membuatnya berhenti begitu saja.

Rezvan membentaknya. "Jangan bertindak seperti kau mengetahui semua hal!"

"Kau juga tidak tahu apapun soal aku! Kau tidak tahu apa alasan ayahku pergi! Memangnya kau siapa hingga bisa membicarakan itu? Mengapa kau ikut campur urusan keluargaku, br***sek?!" Lalu, Ana membalas serangan Rezvan dengan membanting badan anak Adam itu ke tanah dan mencekiknya kuat-kuat.

Meski begitu, tetap saja tenaga Ana tidak lebih kuat dibanding Rezvan. Jadi, Rezvan berhasil menyingkirkan Ana lewat tarikan pada rambutnya sekuat mungkin hingga si gadis merasa kesakitan dan refleks membebaskan Rezvan dari tangannya.

Sekarang, mereka saling menyerang satu sama lain. Rezvan menggunakan tenaganya, sanggup mencederai Ana yang tergolong gadis biasa yang pandai bela diri. Tetapi, Ana berhasil mengimbangi keadaan memakai kecerdikannya mencari posisi demi mengunci gerakan Rezvan, juga menghindari beberapa serangan Rezvan.

Hingga pada akhirnya, mereka berdua sama-sama terengah-engah akibat terlalu lelah. Rezvan mengakui Ana bukan perempuan biasa yang ketika mendapat luka akan merasa tersakiti, diam, kemudian menangis. Begitu juga dengan apa yang dipikirkan Ana, Rezvan bukanlah lawan yang bisa dia remehkan karena mau bagaimanapun, Rezvan merupakan seseorang yang terlahir sebagai laki-laki.

Rezvan mendapat rasa sakit di bagian perut, leher, pipi, juga kaki. Sedangkan yang Ana rasakan berada di bagian perut, wajah, dan lengan. Sayangnya mereka masih mengibarkan bendera peperangan. Jadi, pertarungan ini belum benar-benar berakhir.

Di saat Ana lengah, Rezvan hendak melangkahkan satu kakinya sebelum seseorang menutupi tubuh Ana dan berdiri di hadapan si perempuan. Napasnya berhembus berat, kentara tengah ragu-ragu mengenai keputusannya untuk melindungi Ana.

"Damar?" ucap Ana melirih.

"Hentikan ini, Ana. Jangan menyiksa dirimu sendiri dengan cara ini! Mengapa jadi kau yang harus menanggung semua ini? Ingatlah, aku penyebabnya. Tolong jangan dilanjutkan!" Damar menyeru juga meminta kepada Ana.

Rezvan menjawab, "Kau ingin jadi pahlawan kesiangannya? Menjadi pangerannya? Jangan bersikap sok berani kalau kemarin saja kau tidak bisa menatap mataku!"

"J-justru karena aku yang mengawali pertengkaran kalian, maka dari itu aku perlu menghentikan ini!"

Rezvan tidak berkata-kata lagi. Lelaki itu memutuskan untuk melangkah meraih tasnya dan pergi dari tempat tanpa berbalik badan lagi. Di belakang, Ana jatuh ke pelukan Damar. Dia memandang ke langit dan membiarkan tubuhnya berada dalam dekapan Damar.

"Tolong jangan terluka! Ini semua salahku." Damar menunduk, menyesali perbuatannya karena tidak bisa melindungi Ana hingga membuatnya cedera.

Lalu, Ana membalasnya, "Untuk apa kau menyalahkan dirimu sendiri? Sudah kubilang, ini bukan karena dirimu."

Akan tetapi, Damar nampak menggeleng-geleng meskipun perlahan. "Tidak, ini memang salahku karena saat itu awal mula kalian bertengkar. Karena aku tak cukup berani melawan Rezvan, membuatmu membelaku. Jika aku melakukannya sedari awal, keadaanmu yang seperti sekarang ini takkan pernah terjadi."

Dan Ana tiba-tiba menceketuk, "Ya, dan pertemuan kita juga tidak akan jadi begini. Bersyukurlah atas setiap pertemuan yang terjadi dalam hidupmu. Terkadang setelah mendapat perpisahan, itu hanya akan menyakiti kita."

Damar tak lagi bersuara, karena apa yang Ana ucapkan memang benar adanya. Ia hanya menyaksikan Ana yang mengistirahatkan diri tanpa memedulikan keadaan sekitar. Malahan Ana bilang untuk meminjam paha Damar agar dia bisa tiduran.

Suasana saat ini sangat mendukung Ana yang ingin mendamaikan hati serta pikirannya. Penat telah berkelahi dengan rezvan. Setidaknya dia ingin lelaki itu mendapat pelajaran agar tidak lagi mengungkit-ungkit soal keluarganya.

***

Ana sangat bersyukur begitu melihat pesan dari ibunya kalau sang ibu harus pergi ke rumah adiknya. Katanya, bibi dari gadis itu dilarikan ke rumah sakit tanpa menjelaskan penyebab yang membuat bibinya menjadi seperti itu. Di satu sisi, Ana jadi mengkhawatirkan sang bibi. Di sisi lain, Ana tidak harus mendengar beragam pertanyaan keluar dari mulut ibunya mengenai luka yang Ana dapatkan. Dia tak mau ibunya tahu Ana bertengkar dengan seseorang lagi.

Dia meminta Kinanti untuk datang ke rumah. Menjadi yang pertama kali sepanjang hidup Ana, membawa teman ke tempat tinggalnya tersebut. Mengundang Kinanti untuk menemaninya, dan mungkin dirinya juga harus bercerita soal kejadian tadi sore di taman. Setelah mengirim lokasi rumah Ana, gadis itu hanya tinggal duduk manis sembari mempersiapkan peralatan obatnya.

Karena Ana sudah berpesan agar Kinanti langsung masuk ke rumahnya, maka gadis bertudung cokelat tersebut sudah berada di depan Ana dengan mata yang membulat begitu ia sampai di tempat.

"Apa yang terjadi denganmu, Na?" Kinanti spontan meremas kedua bahu Ana.

Bukannya menjawab pertanyaannya, Ana malah berkata, "Waalaikusalam."

Kinanti mengerjap-ngerjapkan sepasang indra penglihatannya. Dan ia baru sadar akan sesuatu. Lantas, Kinanti tersenyum malu-malu. "Maaf, lupa. Terlalu panik. Assalammualaikum," ucapnya.

Ana mengangguk-anggukan kepala. "Waalaikusalam."

"Jadi, mengapa kau bisa begini?" Kemudian, Kinanti pun mengambil alih untuk mengobati Ana.

"Tadi sore, aku habis berkelahi dengan Rezvan."

"KAU GILA?!" Tanpa Kinanti sadar, teriakannya sukses mengejutkan Ana dan mungkin tetangga di seberang sana. Ana bersumpah, suara Kinanti sangat keras.

Dia menjauhkan Kinanti terlebih dahulu. Mengambil beberapa buah es batu, memasukkannya ke dalam kain, lalu kembali mengompres luka bekas bogem mentah karya Rezvan. 

"Ya, aku sangat gila sampai rasanya masih ingin memukulinya lagi."

Kinanti meringis melihat luka gores di alis Ana. Ia tidak mengetahui bahwa yang menyebabkan luka tersebut muncul adalah cincin yang Rezvan kenakan.

"Memangnya apa yang sudah dia lakukan hingga kau marah?"

Ana mengeratkan lagi kepalan tangannya. "Dia sudah menghina ibuku. Aku tidak mungkin berdiam diri saja."

Berat menjalani kehidupan seperti Ana. Gadis berambut hitam sebahu itu tahu permasalahannya seperti apa. Karena ketika itu terjadi, Ana sudah berada di umur 7 tahun, waktu yang setidaknya cukup untuk memahami kondisi rumah tangga orang tuanya. Dan barulah ia tahu, mereka tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.

Ibunya tidak pernah selingkuh. Yang membuatnya sebal adalah wanita yang sudah melahirkannya itu masih percaya suaminya akan kembali pulang, sedangkan Ana bahkan bersiap-siap akan menendangnya kembali ke luar. Tidak peduli orang itu adalah ayahnya.

Kinanti memang tidak mengetahui masalah yang Ana miliki. Namun, satu hal yang pasti dari dirinya.

"Aku tidak mau kau terluka seperti ini lagi. Kau temanku, Na, dan aku juga tak ingin membiarkanmu begini lagi. Ini karena aku peduli padamu. Aku tahu kau marah. Tapi, beradu pukul dengannya hanya akan membuat situasi menjadi lebih rumit. Ada jalan lain agar kau bisa membuktikan kalau dia salah dan kau benar, dan itu akan lebih menguntungkanmu. Bisa kan, Na? Buktikan kalau kau memang bisa melakukannya!"

Hingga di titik ini, Ana merasa tidak yakin. Sejujurnya diberi kepercayaan seperti yang Kinanti lakukan kepadanya malah membuat Anamerasa tidak nyaman. Ana takut akan kegagalan, dan apa yang Kinanti bicarakan hanya sebuah mimpi hitam yang perlu dia kubur.

Akan tetapi, itu hanyalah beberapa menit yang lalu sebelum sorot mata Ana berubah menjadi lebih tegas. Dia meraih tangan Kinanti dan menggenggamnya.

"Aku pun akan membuktikan kepadamu kalau aku akan berhasil suatu hari nanti, Kinan. Akan aku buktikan juga kalau ibuku tidak pernah bersalah dan penindasan itu adalah hal yang salah. Akan aku hancurkan laki-laki itu hingga dia bertekuk lutut kepadaku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status