Share

BIDADARI YANG HILANG
BIDADARI YANG HILANG
Author: Bintang Aldebaran

1. Tak Mau Tahu

last update Last Updated: 2022-11-14 12:24:30

Seperti biasa, aku selalu disuguhkan oleh pemandangan yang tak aku suka. Bukannya dandan cantik saat suami pulang, Allea justru menyambutku dengan penampilan yang berantakan. Rambut dicepol satu, wajah tak sedap dipandang, daster yang kedodoran, itulah istriku. Meski aku datang dengan raut wajah tak suka, tetapi dia selalu tersenyum seolah tak tahu jika aku membenci penampilannya ini.

"Kamu belum mandi?" tanyaku seraya menahan aroma tubuh istriku.

"Aku baru selesai masak dan memandikan anak-anak. Sebentar lagi aku akan mandi, tapi kamu gantian jaga mereka, ya!" balasnya enteng.

"Kamu nggak tahu aku capek kerja? Aku pulang ke rumah untuk istirahat. Ini malah disuruh jaga anak-anak. Gimana, sih?" gerutuku kesal. "Lagian, kenapa kamu belum mandi jam segini?" tanyaku.

"Tadi Arvin mecahin banyak telur. Waktuku tersita untuk membersihkan telur-telur yang berceceran di lantai," jawabnya.

Seketika aku naik pitam. "Bagaimana bisa? Kamu jadi ibu itu gimana? Kenapa bisa Arvin mecahin banyak telur?" tanyaku emosi.

Aku bergegas melihat ke area dapur. Kubuka lemari pendingin yang ada di sana. Betapa terkejutnya aku saat melihat telur di dalam tersisa dua biji saja.

"Allea!" seruku.

Wanita yang sudah kunikahi selama enam tahun itu mendekat. Kulihat wajahnya yang hanya bisa cengar-cengir tanpa merasa bersalah.

"Tadi aku sedang membantu Ansel buang air ke kamar mandi. Saat kembali, ternyata Arvin sudah membuka kulkas dan bermain telur," jelasnya.

Aku menutup lemari pendingin tanpa menimpali ucapan istriku. Kulihat tiga anakku berlarian ke sana kemari. Betapa pusingnya aku melihat mereka yang super aktif. Ketiga anakku tidak ada yang pendiam.

Aku terkejut ketika Afkar—putra pertama kami—melempar bola ke arahku. "Papa, ayo main!" ucap anak berusia lima tahun itu.

Aku melemparkan bola itu dengan asal. "Papa capek," balasku kemudian pergi ke kamar.

Betapa pusing aku mendengar mereka berlarian dan berteriak. Belum lagi istriku yang ikut mengejar mereka. Untuk apa, sih, mengikuti mereka berlarian? Lagi pula, mereka juga adik kakak. Tidak mungkin jika kakak akan melukai adiknya.

"Mas, aku mau mandi," ucap istriku.

"Mandi, ya, mandi aja! Nggak perlu laporan ke aku. Lagian, kamu mandi atau nggak, itu sama aja," balasku.

"Kamu jagain anak-anak, ya, tolong!" ucapnya memelas.

"Yaudah, tinggal kunci pintu, beres!" balasku.

"Tapi kamu awasi mereka! Biasanya mereka suka naik meja dan mengambil apapun."

"Duh, bawel! Sana mandi!" sentakku.

Aku duduk di ruang tengah dan melihat mereka bermain. Sudah lelah aku berteriak untuk meminta mereka berhenti berlarian, tetapi mereka tidak ada yang mendengarkan. Ya sudah, lebih aku bermain ponsel daripada pusing sendiri melihat tingkah bocah berusia dua, empat dan lima tahun itu.

Aku melihat foto-foto istriku saat masih gadis. Dia begitu cantik dan menarik. Tubuhnya sangatlah terawat. Kulitnya bersih dan aromanya selalu wangi. Dulu, dia adalah sekretarisku di kantor. Dia sangat cerdas dan sabar. Itu sebabnya aku memilih dia menjadi istri. Namun, semakin ke sini, dia justru berubah total.

Rambut Allea tidak lagi wangi seperti dulu. Saat kusentuh rambutnya yang sekarang, terasa lepek dan berminyak. Kulitnya juga tak lagi lembut seperti dulu. Wajahnya pun kusam dan tak segar seperti dulu. Apa susahnya merawat diri sendiri untuk menyenangkan suami?

'Brak!'

Aku tersentak saat mendengar suara benda jatuh yang disusul dengan suara tangis. Bergegas aku menghampiri Arvin yang tergeletak di lantai sambil menangis dan menjerit. Ada cairan merah yang keluar dari mulutnya. Seketika aku menjadi panik. Tak lama kemudian, Allea keluar dengan tergesa-gesa.

"Arvin!" Allea merebut bocah dua tahun itu dari gendonganku dengan cepat.

Dia berlari ke kamar kami dan mengambil sesuatu. Entah apa yang akan dia lakukan kepada putra bungsu kami itu. Arvin masih menangis sejadi-jadinya. Kulihat Allea juga turut meneteskan air mata seraya menenangkan Arvin.

Daster yang dikenakan oleh Allea ternoda oleh cairan merah yang tadi keluar dari mulut Arvin. Saat kutanya, Allea hanya diam. Allea mengajak Ansel dan Afkar agar memasuki kamar mereka. Kamar anak-anak memang masih kujadikan satu. Rencananya, jika sudah besar nanti akan aku pisah.

Beberapa saat kemudian, tak lagi kudengar tangisan Arvin. Entah apa yang sudah Allea lakukan. Saat kudatangi, pintu kamar anak sudah terkunci. Mungkin Allea sekalian menidurkan ketiga anak kami. Ya sudah, lebih aku mandi, makan kemudian tidur.

Di setiap sudut ruangan selalu kutemukan mainan anak-anak. Sesekali kakiku terasa sakit ketika menginjak salah satu mainan mereka. Entah apa saja yang dilakukan Allea seharian ini. Bukan seharian, melainkan setiap hari. Aku selalu melihat pemandangan ini setiap hari.

Menasihati Allea sudah sering kulakukan. Jawabannya antara iya dan sudah. Dia bahkan mengaku sudah membersihkan rumah dan merapikan mainan anak-anak, tetapi kata Allea mereka berulah lagi.

***

"Anak-anak sudah tidur?" tanyaku kepada wanita berdaster itu. Mau mandi atau tidak, penampilan Allea sama saja, tidak ada perubahan sama sekali.

"Sudah," jawabnya singkat.

"Mereka sudah makan?" tanyaku karena aku tidak mendengar suara anak-anak setelah mereka masuk kamar tadi.

"Sudah. Aku membawa makanan ke kamar dan menyuapi mereka," balasnya.

Aku hanya manggut-manggut sambil memperhatikan tangannya yang begitu cekatan menyiapkan makanan untukku. Jujur, hal yang paling menyenangkan ketika di rumah adalah memakan masakan Allea. Aku akui seluruh masakannya begitu memanjakan lidah.

"Mas, aku ingin kamu mencarikan pengasuh atau asisten untukku di rumah," ucap Allea yang membuat selera makanku seketika berkurang.

"Untuk apa?" tanyaku.

"Untuk membantuku menjaga anak-anak, Mas."

Aku terdiam sejenak. Sejak anak ke dua lahir, Allea selalu menginginkan jasa pengasuh. Aku tidak suka menggunakan jasa pengasuh. Aku ingin seluruh anakku mendapat asuhan langsung dari orang tua terutama ibunya.

"Sudah berapa kali aku bilang? Aku tidak setuju jika menggunakan jasa pengasuh atau asisten. Untuk urusan anak, aku tidak bisa mempercayai orang luar. Hanya kamu yang aku percaya untuk mengasuh mereka," jelasku.

"Kalau begitu, saat aku meminta bantuan, tolong kamu jaga mereka dengan baik! Jangan hanya ponsel yang menjadi pusat perhatian! Kamu lihat sendiri bagaimana Arvin terjatuh tadi? Bibirnya sekarang terluka seperti sariawan. Apalagi selera makannya sedang berkurang, pasti dia akan semakin tidak mau makan jika keadaannya begini," ucapnya.

Seketika aku memukul meja. "Kamu nyalahin aku atas kejadian itu? Anak-anak sendiri yang memang tingkahnya super aktif. Sudah aku bilang agar diam, tapi mereka tidak mau dengar," jawabku.

"Kamu juga, ngapain nyuruh aku jagain mereka kalau kamu nggak percaya sama aku?" sambungku.

"Kamu selalu keberatan, 'kan, jika aku meminta tolong? Itu sebabnya aku minta kamu untuk mencarikan pengasuh, Mas," ujarnya.

"Tidak! Aku tidak setuju. Lebih baik kamu diam dan jangan menghilangkan selera makanku!" sentakku.

Allea pun pergi. Kulihat dia sedang merapikan mainan anak-anak yang berserakan. Wajahnya begitu pucat, mungkin dia sedang menahan amarahnya kepadaku.

Usai makan, kulihat seluruh ruangan sudah bersih dan rapi. Mainan anak-anak sudah berada di tempat yang semestinya. Apa harus menunggu malam dulu baru bisa merapikan mainan mereka? Aku mengedarkan pandangan mencari wanita yang sudah melahirkan tiga anakku itu. Tubuhku merasa lelah dan ingin sekali dipijat. Namun, aku mendadak kesal saat melihat Allea tengah tidur di ruang tengah. Enak sekali dia! Jam segini sudah tidur. Piring bekas makanku belum dicuci, dia sudah main tidur saja.

"Allea! Bangun!" Aku mengguncang tubuh kecil itu.

Dia membuka mata kemudian bergegas duduk saat melihatku. "Ya, Mas? Ada apa? Apa anak-anak mencariku?"

"Mereka tidur." Aku lekas berbaring di kasur lantai dan menunjuk punggung. "Pijat bagian ini!" pintaku.

Allea melakukannya tanpa banyak protes. Namun, semakin lama pijatannya semakin tidak terasa. "Kamu yang bener, dong, kalau mijat!" kataku.

"Aku lelah dan lapar, Mas. Tanganku gemetar. Aku makan dulu, ya. Nanti aku pijat lagi," ujarnya sambil beranjak.

Aku menarik tangan Allea. "Aku nggak mau tahu. Pijat aku dulu! Setelah itu kamu boleh makan," sentakku kesal. Enak saja dia mau main pergi. Dia lelah? Apa dia tidak tahu jika aku lebih lelah karena bekerja untuk menafkahi mereka?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BIDADARI YANG HILANG   30. Akhir Kisah

    "Kenapa? Anak Mas Reno, 'kan, anak kamu juga. Masa', kamu mau sama bapaknya aja?" Sindiran Allea membuatku geleng-geleng kepala. "Al, udah!" ucapku. Kulihat Monica menggeleng pelan. "M–maaf, Bu. Saya tidak bermaksud ingin menjadi sugar baby atau istri ke dua. Tadi saya hanya bercanda saja," ucapnya kemudian. "Benar, 'kan, kalau mau jadi istri ke dua?" tanya Allea lagi.Monica menggeleng cepat. "Saya hanya bercanda, Bu. Maaf!" "Bercanda?" Allea mengernyit. "I–iya Bu. Saya hanya bercanda, kok. Maaf, ya! Saya pamit pulang dulu, permisi!" ujar Monica kemudian beranjak pergi. Aku melongo, nyali Monica menciut begitu saja setelah mendapat omongan sepanjang jalan kenangan dari Allea. Sok garang di belakang Allea. Nyatanya takut juga. Setelah Monica pergi, aku segera mengajak Allea masuk. Banyak pertanyaan yang akan kuberikan kepadanya. "Bu Dewi masih bekerja di sini, kenapa kamu mengatakan itu? Kamu mau memecatnya?" tanyaku. "Nggaklah, Mas." "Terus kamu hamil beneran?" tanyaku pena

  • BIDADARI YANG HILANG   29. Allea VS Monica

    "Masuk aja, yuk!" ajak Allea kepada Monica. "Terima kasih, Bu, tapi saya di sini saja. Saya hanya sebentar, kok," jawab Monica. "Kenapa?" tanya Allea. "Tidak apa-apa, Bu. Di sini saja," jawabnya. Untungnya dia menolak. Meski dia tidak memberitahu alasan menolak ajakan Allea untuk masuk, tetapi aku dapat menebak bahwa dia takut dengan kemoceng. "Kalau gitu, aku buatkan minum dulu, ya." Allea bergegas masuk untuk membuat minum.Aku dan Monica duduk di teras. Dia terus memperhatikan Allea yang melangkah ke dalam."Ada apa, Mon?" tanyaku."Nggak apa-apa. Cuma pengin tahu keadaan Pak Reno saja. Saya juga mau ngasih tahu kalau saya sudah pindah bekerja dan pindah kontrakan.""Terus? Apa hubungannya sama saya?" tanyaku heran."Ya ... saya cuma memberitahu. Siapa tahu Pak Reno kembali bekerja di kantor yang dulu terus mencari keberadaan saya."Aku menahan tawa mendengar penuturannya yang sangat percaya diri. "Mon, mana mungkin saya nyariin kamu. Saya juga sudah tidak bekerja di sana lagi

  • BIDADARI YANG HILANG   28. Tak Ingin Berjauhan

    Allea tertawa kecil. "Kan, tadi udah," jawabnya."Peluk, dong! Aku kangen," rayuku setengah berbisik."Al, satu tahun aku cari kamu. Pulang kerja cari kamu. Malam pun cari kamu. Aku berdiam diri di tempat kamu hilang sambil menunggumu datang. Aku mengabaikan orang-orang yang menganggap aku gila," sambungku.Allea berkaca-kaca sambil menggigit bibir bawah. Dia pun mendekatkan anak-anak kepadaku. Dia memeluk kami dengan penuh cinta."Aku juga rindu kalian semua," balasnya dengan manis."Anak-anak udah makan?" tanyanya kemudian."Mereka udah makan. Aku juga udah makan tadi. Kamu pasti lapar, ya? Kamu makan dulu. Bu Dewi tadi masak banyak karena memang banyak orang berdatangan," ucapku.Perut Allea terdengar keroncongan. Aku segera memintanya makan kemudian kembali bercengkrama denganku. Dia beranjak meninggalkanku. Namun, Afkar menahan tubuh Allea. Rupanya, bocah enam tahun itu masih rindu."Kangen, ya, sama mama," kata Allea. Afkar hanya mengangguk."Biar makanannya dibawakan ke sini sa

  • BIDADARI YANG HILANG   27. Pertemuan yang Diimpikan

    (Kembali ke POV Reno)Penjelasan wanita yang sedang berada di kursi roda itu membuatku terkejut. Mbak Veni dan Mas Bram tega menggunakan Allea sebagai alat untuk kekayaan mereka. Kurang ajar memang pasangan suami istri itu. Sel tahanan adalah tempat yang cocok bagi mereka.Bu Yeni tiba-tiba mendapat kabar bahwa putranya telah ditangkap dan Allea akan tiba dalam beberapa saat. Wanita yang ada di kursi roda itu pamit pergi. Rasanya memang tidak tega melihat putra satu-satunya akan diproses hukum, tetapi itu juga keputusannya sendiri. Aku menyebut Bu Yeni sebagai wanita hebat karena mendidik anak tidak sekedar ucapan, tetapi juga tindakan.Kudengar suara orang ramai-ramai memasuki rumah. Aku masih di kamar dan belum latihan berjalan jauh. Hanya duduk dan mencoba menapak lantai sambil belajar berdiri beberapa detik kemudian maju dua langkah lalu duduk lagi."Alhamdulillah, akhirnya pulang dengan selamat." Itu seperti suara asisten Mbak Veni."Mama kangen," ucap seorang wanita yang suarany

  • BIDADARI YANG HILANG   26. Berlanjut Kesurupan (POV Allea)

    Gawat! Ada yang mencurigaiku. Namun, aku tetap tertawa layaknya Miss K. Tiba-tiba saja Arga menarik tubuhku dengan kasar dan menatapku. Aku menatapnya dengan senyum menyeringai."Kamu hanya pura-pura supaya bisa menghindar dariku? Begitu?" tanya Arga."Rawwrrrrr!" Aku mengerang dan mendorong tubuhnya. Kudekati Arga yang mulai takut. Kulingkarkan jari-jemariku di lehernya."Hihihihi ....""Lia! Le–lepas ...." Arga merintih.Aku tersenyum puas menatap Arga yang ketakutan. Kudorong tubuhnya hingga dia terjatuh. Aku menoleh ke arah anak buah Arga. Mereka semua mulai ketakutan menatapku."Hihihihi ...."Semakin aku melangkah, mereka semakin mundur. Kulempar meja kecil yang ada di hadapanku sambil tertawa. Mereka semua lari keluar rumah. Payah! Ini masih baru lempar meja. Aku pun kembali menatap Arga yang masih tidak berkutik. Kudekati dia dan betapa terkejutnya aku. Astaga! Arga ngompol."Hihihihi ...." Untung saja tawa lepas ini dapat tersalurkan melalui tawa Miss K. "Iiiiihihihihi ...."

  • BIDADARI YANG HILANG   25. Pura-pura Kesurupan II (POV Allea)

    "Terus gimana? Cuma ini tempat yang aman dari kejaran polisi," ucap Arga.Hah? Arga dikejar polisi? Kasus apa? Sungguh, aku masih bingung.Aku terus berjalan dan duduk di anak tangga. Rambut acak-acakan yang terus kumainkan dengan gaun putih yang kukenakan benar-benar mendukung sandiwara ini."Na na na ... hihihi ...."Mereka terus memperhatikan diriku. Penakut semua! Mereka tidak ada yang berani mendekat. Namun, seseorang yang memakai peci itu dilepas ikatannya dan perlahan berjalan ke arahku. Dia adalah salah satu dari orang-orang yang diikat Arga tadi."Siapa kau sebenarnya?" tanyanya.Aku tidak mengindahkan. Hanya kulirik sekejap lalu kembali memainkan rambut dan bersenandung."Keluar dari tubuh ini!"Aku menggeleng pelan. Namun, pria itu tiba-tiba memegang kepalaku. Dia membacakan doa kepadaku. Aku ini hanya pura-pura. Doa itu tidak akan berpengaruh apa-apa kepadaku. Aku ikuti saja doa yang dia bacakan. Sontak saja semua orang terkejut dan semakin takut.Arga? Nyalinya menciut. D

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status