Share

BIDADARI YANG HILANG
BIDADARI YANG HILANG
Penulis: Bintang Aldebaran

1. Tak Mau Tahu

Seperti biasa, aku selalu disuguhkan oleh pemandangan yang tak aku suka. Bukannya dandan cantik saat suami pulang, Allea justru menyambutku dengan penampilan yang berantakan. Rambut dicepol satu, wajah tak sedap dipandang, daster yang kedodoran, itulah istriku. Meski aku datang dengan raut wajah tak suka, tetapi dia selalu tersenyum seolah tak tahu jika aku membenci penampilannya ini.

"Kamu belum mandi?" tanyaku seraya menahan aroma tubuh istriku.

"Aku baru selesai masak dan memandikan anak-anak. Sebentar lagi aku akan mandi, tapi kamu gantian jaga mereka, ya!" balasnya enteng.

"Kamu nggak tahu aku capek kerja? Aku pulang ke rumah untuk istirahat. Ini malah disuruh jaga anak-anak. Gimana, sih?" gerutuku kesal. "Lagian, kenapa kamu belum mandi jam segini?" tanyaku.

"Tadi Arvin mecahin banyak telur. Waktuku tersita untuk membersihkan telur-telur yang berceceran di lantai," jawabnya.

Seketika aku naik pitam. "Bagaimana bisa? Kamu jadi ibu itu gimana? Kenapa bisa Arvin mecahin banyak telur?" tanyaku emosi.

Aku bergegas melihat ke area dapur. Kubuka lemari pendingin yang ada di sana. Betapa terkejutnya aku saat melihat telur di dalam tersisa dua biji saja.

"Allea!" seruku.

Wanita yang sudah kunikahi selama enam tahun itu mendekat. Kulihat wajahnya yang hanya bisa cengar-cengir tanpa merasa bersalah.

"Tadi aku sedang membantu Ansel buang air ke kamar mandi. Saat kembali, ternyata Arvin sudah membuka kulkas dan bermain telur," jelasnya.

Aku menutup lemari pendingin tanpa menimpali ucapan istriku. Kulihat tiga anakku berlarian ke sana kemari. Betapa pusingnya aku melihat mereka yang super aktif. Ketiga anakku tidak ada yang pendiam.

Aku terkejut ketika Afkar—putra pertama kami—melempar bola ke arahku. "Papa, ayo main!" ucap anak berusia lima tahun itu.

Aku melemparkan bola itu dengan asal. "Papa capek," balasku kemudian pergi ke kamar.

Betapa pusing aku mendengar mereka berlarian dan berteriak. Belum lagi istriku yang ikut mengejar mereka. Untuk apa, sih, mengikuti mereka berlarian? Lagi pula, mereka juga adik kakak. Tidak mungkin jika kakak akan melukai adiknya.

"Mas, aku mau mandi," ucap istriku.

"Mandi, ya, mandi aja! Nggak perlu laporan ke aku. Lagian, kamu mandi atau nggak, itu sama aja," balasku.

"Kamu jagain anak-anak, ya, tolong!" ucapnya memelas.

"Yaudah, tinggal kunci pintu, beres!" balasku.

"Tapi kamu awasi mereka! Biasanya mereka suka naik meja dan mengambil apapun."

"Duh, bawel! Sana mandi!" sentakku.

Aku duduk di ruang tengah dan melihat mereka bermain. Sudah lelah aku berteriak untuk meminta mereka berhenti berlarian, tetapi mereka tidak ada yang mendengarkan. Ya sudah, lebih aku bermain ponsel daripada pusing sendiri melihat tingkah bocah berusia dua, empat dan lima tahun itu.

Aku melihat foto-foto istriku saat masih gadis. Dia begitu cantik dan menarik. Tubuhnya sangatlah terawat. Kulitnya bersih dan aromanya selalu wangi. Dulu, dia adalah sekretarisku di kantor. Dia sangat cerdas dan sabar. Itu sebabnya aku memilih dia menjadi istri. Namun, semakin ke sini, dia justru berubah total.

Rambut Allea tidak lagi wangi seperti dulu. Saat kusentuh rambutnya yang sekarang, terasa lepek dan berminyak. Kulitnya juga tak lagi lembut seperti dulu. Wajahnya pun kusam dan tak segar seperti dulu. Apa susahnya merawat diri sendiri untuk menyenangkan suami?

'Brak!'

Aku tersentak saat mendengar suara benda jatuh yang disusul dengan suara tangis. Bergegas aku menghampiri Arvin yang tergeletak di lantai sambil menangis dan menjerit. Ada cairan merah yang keluar dari mulutnya. Seketika aku menjadi panik. Tak lama kemudian, Allea keluar dengan tergesa-gesa.

"Arvin!" Allea merebut bocah dua tahun itu dari gendonganku dengan cepat.

Dia berlari ke kamar kami dan mengambil sesuatu. Entah apa yang akan dia lakukan kepada putra bungsu kami itu. Arvin masih menangis sejadi-jadinya. Kulihat Allea juga turut meneteskan air mata seraya menenangkan Arvin.

Daster yang dikenakan oleh Allea ternoda oleh cairan merah yang tadi keluar dari mulut Arvin. Saat kutanya, Allea hanya diam. Allea mengajak Ansel dan Afkar agar memasuki kamar mereka. Kamar anak-anak memang masih kujadikan satu. Rencananya, jika sudah besar nanti akan aku pisah.

Beberapa saat kemudian, tak lagi kudengar tangisan Arvin. Entah apa yang sudah Allea lakukan. Saat kudatangi, pintu kamar anak sudah terkunci. Mungkin Allea sekalian menidurkan ketiga anak kami. Ya sudah, lebih aku mandi, makan kemudian tidur.

Di setiap sudut ruangan selalu kutemukan mainan anak-anak. Sesekali kakiku terasa sakit ketika menginjak salah satu mainan mereka. Entah apa saja yang dilakukan Allea seharian ini. Bukan seharian, melainkan setiap hari. Aku selalu melihat pemandangan ini setiap hari.

Menasihati Allea sudah sering kulakukan. Jawabannya antara iya dan sudah. Dia bahkan mengaku sudah membersihkan rumah dan merapikan mainan anak-anak, tetapi kata Allea mereka berulah lagi.

***

"Anak-anak sudah tidur?" tanyaku kepada wanita berdaster itu. Mau mandi atau tidak, penampilan Allea sama saja, tidak ada perubahan sama sekali.

"Sudah," jawabnya singkat.

"Mereka sudah makan?" tanyaku karena aku tidak mendengar suara anak-anak setelah mereka masuk kamar tadi.

"Sudah. Aku membawa makanan ke kamar dan menyuapi mereka," balasnya.

Aku hanya manggut-manggut sambil memperhatikan tangannya yang begitu cekatan menyiapkan makanan untukku. Jujur, hal yang paling menyenangkan ketika di rumah adalah memakan masakan Allea. Aku akui seluruh masakannya begitu memanjakan lidah.

"Mas, aku ingin kamu mencarikan pengasuh atau asisten untukku di rumah," ucap Allea yang membuat selera makanku seketika berkurang.

"Untuk apa?" tanyaku.

"Untuk membantuku menjaga anak-anak, Mas."

Aku terdiam sejenak. Sejak anak ke dua lahir, Allea selalu menginginkan jasa pengasuh. Aku tidak suka menggunakan jasa pengasuh. Aku ingin seluruh anakku mendapat asuhan langsung dari orang tua terutama ibunya.

"Sudah berapa kali aku bilang? Aku tidak setuju jika menggunakan jasa pengasuh atau asisten. Untuk urusan anak, aku tidak bisa mempercayai orang luar. Hanya kamu yang aku percaya untuk mengasuh mereka," jelasku.

"Kalau begitu, saat aku meminta bantuan, tolong kamu jaga mereka dengan baik! Jangan hanya ponsel yang menjadi pusat perhatian! Kamu lihat sendiri bagaimana Arvin terjatuh tadi? Bibirnya sekarang terluka seperti sariawan. Apalagi selera makannya sedang berkurang, pasti dia akan semakin tidak mau makan jika keadaannya begini," ucapnya.

Seketika aku memukul meja. "Kamu nyalahin aku atas kejadian itu? Anak-anak sendiri yang memang tingkahnya super aktif. Sudah aku bilang agar diam, tapi mereka tidak mau dengar," jawabku.

"Kamu juga, ngapain nyuruh aku jagain mereka kalau kamu nggak percaya sama aku?" sambungku.

"Kamu selalu keberatan, 'kan, jika aku meminta tolong? Itu sebabnya aku minta kamu untuk mencarikan pengasuh, Mas," ujarnya.

"Tidak! Aku tidak setuju. Lebih baik kamu diam dan jangan menghilangkan selera makanku!" sentakku.

Allea pun pergi. Kulihat dia sedang merapikan mainan anak-anak yang berserakan. Wajahnya begitu pucat, mungkin dia sedang menahan amarahnya kepadaku.

Usai makan, kulihat seluruh ruangan sudah bersih dan rapi. Mainan anak-anak sudah berada di tempat yang semestinya. Apa harus menunggu malam dulu baru bisa merapikan mainan mereka? Aku mengedarkan pandangan mencari wanita yang sudah melahirkan tiga anakku itu. Tubuhku merasa lelah dan ingin sekali dipijat. Namun, aku mendadak kesal saat melihat Allea tengah tidur di ruang tengah. Enak sekali dia! Jam segini sudah tidur. Piring bekas makanku belum dicuci, dia sudah main tidur saja.

"Allea! Bangun!" Aku mengguncang tubuh kecil itu.

Dia membuka mata kemudian bergegas duduk saat melihatku. "Ya, Mas? Ada apa? Apa anak-anak mencariku?"

"Mereka tidur." Aku lekas berbaring di kasur lantai dan menunjuk punggung. "Pijat bagian ini!" pintaku.

Allea melakukannya tanpa banyak protes. Namun, semakin lama pijatannya semakin tidak terasa. "Kamu yang bener, dong, kalau mijat!" kataku.

"Aku lelah dan lapar, Mas. Tanganku gemetar. Aku makan dulu, ya. Nanti aku pijat lagi," ujarnya sambil beranjak.

Aku menarik tangan Allea. "Aku nggak mau tahu. Pijat aku dulu! Setelah itu kamu boleh makan," sentakku kesal. Enak saja dia mau main pergi. Dia lelah? Apa dia tidak tahu jika aku lebih lelah karena bekerja untuk menafkahi mereka?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status