(POV Allea)Bu Yeni menemuiku dan mengajakku bicara empat mata. Wanita tua itu meminta kejelasan, sejelas-jelasnya tentang hubunganku dengan Mas Reno. Jujur, aku tidak bisa berbicara banyak karena mengingat dirinya saja sudah membuatku sangat tertekan. Lagi-lagi Bu Yeni memahamiku. Entah mimpi apa aku bisa bertemu orang sebaik Bu Yeni. ***Hari ini Bu Yeni ingin mengajak anak-anak ke Taman Pelangi. Awalnya aku keberatan dan tidak setuju karena taman itu dekat dengan rumah Mas Reno. Namun, Bu Yeni memaksa karena ingin melihat anak-anak bermain bebas dan jajan di sana. Memang, taman itu sangat luas. Cocok untuk semua kalangan dan sudah dilengkapi aneka jajanan yang cukup banyak."Sekali ini aja, Lia! Aku juga pengin jalan-jalan sama anak kecil. Aku suka iri kalau lihat seseorang main sama cucu-cucunya. Apalagi si Arga itu nggak nikah-nikah," curhatnya kepadaku. Memang, Bu Yeni hanya memiliki satu putra, yaitu Arga. Apalagi di usianya yang tak lagi muda ini sedang membutuhkan teman agar
(Kembali ke POV Reno)Sudah tiga hari ini, aku mengurus anak-anak seorang diri. Mbak Veni? Pulang karena si kembar mendadak sakit. Allea juga tidak datang sampai detik ini. Entah kenapa ibu dari anak-anakku itu sangat tega. Kupikir dia akan kembali. Jika tidak demi diriku, setidaknya demi anak-anak. Rumah, aku bersihkan seadanya. Makan, aku pesan melalui aplikasi. Aku tidak sanggup jika harus memasak. Selain tidak ahli, anak-anak juga selalu mengganggu. Semua pakaian mereka kusut karena aku tidak bisa menyetrikanya bahkan tidak ada waktu. Belum lagi mereka kompak mencari ibunya. Pekerjaan juga menjadi kacau. Terpaksa aku harus bekerja dari rumah. Datang ke kantor hanya beberapa saat kemudian kembali lagi. Saat pergi, anak-anak kutinggal di rumah. Seluruh pintu dan jendela aku kunci. Barang-barang yang mudah pecah dan benda tajam sudah aku amankan. Semua mainan mereka aku berikan supaya tidak mencari saat aku pergi. Pengasuh? Ya, aku saat ini sedang berusaha mencari pengasuh. Aku ti
Senyumku hilang seketika. Kupikir dia adalah Allea, ternyata bukan. "Hai, Pak Reno!" "Ada apa, Mon?" tanyaku kepada Monica. "Saya bawa makanan untuk Pak Reno dan anak-anak."Monica menyerahkan rantang susun kepadaku. "Kenapa kamu repot-repot?" tanyaku. "Nggak repot, kok, Pak. Saya cuma ingin berbagi makanan aja." Aku menerima makanan pemberian Monica. Memang, dia sudah tahu perihal kepergian Allea. "Terima kasih," ujarku kemudian. "Di mana anak-anak? Boleh saya menemui mereka?" Aku hanya mengangguk kemudian mempersilakan Monica untuk masuk. "Hai!" Monica menyapa anak-anak. Mereka hanya menoleh kemudian mengalihkan pandangan ke arahku. Ansel menghampiriku yang membawa rantang. "Apa itu, Pa?" tanyanya penasaran. "Makanan dari Tante Monica. Mau?" tawarku. Ansel mengangguk. Afkar yang sibuk dengan makanannya pun turut mendekat. "Biar saya bantu siapkan, ya. Saya ambilkan sesuatu, ya, Pak." Monica berdiri dan entah akan ke mana. "Kamu mau ke mana?" tanyaku. "Ke dapur." "Dudu
Kenapa semua ini harus terjadi kepadaku? Di saat aku dan anak-anak sedang membutuhkan Allea, kabar buruk tengah menimpa kami. Pantas jika tadi perasaan mendadak tidak enak saat melihat mobil yang kecelakaan di dekat jembatan. Mbak Veni dan Monica berada di rumah untuk menjaga anak-anak. Aku dan Mas Bram pergi untuk mencari keberadaan Alleaku yang dikabarkan jatuh ke bawah jembatan.Pikiran dan perasaanku saat ini benar-benar tidak karuan. Segala kemungkinan buruk terus terlintas. Meski Mas Bram memintaku untuk tetap berpikir positif, tetap saja tidak bisa. Alleaku mengalami kecelakaan dan jatuh ke bawah jembatan. Bagaimana aku bisa berpikir positif?Setibanya di lokasi kejadian, pikiran semakin kacau melihat ada mobil yang terguling di tepian sungai yang mengalir. Kupikir tadi adalah kecelakaan tunggal, ternyata di bawah sini ada mobil yang katanya ditumpangi oleh Allea. Separuh jiwaku seolah hilang. Tubuh mendadak lemas apalagi saat mengetahui sungai yang mengalir di bawah sini cuku
(POV ARGA)Aku mengusap lembut tangan wanita cantik yang ada di hadapanku. Senyum yang dia berikan adalah senyum paling indah yang pernah kudapat. Kami memang tidak terlalu dekat saat SMP dulu. Kami hanya berbeda kelas, tetapi saling tahu.Sudah sejak SMP aku mengincarnya, tetapi tak berani mendekati. Alasannya sepele, yaitu tidak ingin mengganggu prestasinya. Dia cukup terkenal di sekolah. Dia sangat aktif di berbagai organisasi. Jangankan mendekati, mengobrol satu menit saja itu sudah syukur.Kupikir akan mendekatinya saat SMA nanti. Namun, rencana tidak sesuai ekspektasi. Aku harus pindah kota mengikuti keinginan kedua orangtua. Mereka menyekolahkan aku di sekolah ternama yang ada di salah satu kota besar di Indonesia.Rindu? Jelas sekali aku sangat merindukan Allea. Tidak ada akses untuk menghubungi dirinya. Teman-teman juga tidak tahu di mana dan berapa nomor telepon Allea. Kabar yang kudengar saat itu Allea juga pindah ke luar kota. Sudah, harapanku untuk mendapatkan Allea semak
(Kembali ke POV Reno)Sudah hampir enam bulan aku dan anak-anak hidup tanpa Allea. Apakah Alleaku mati? Tidak. Aku sangat yakin jika Allea masih hidup. Jika memang mati, sudah pasti jasadnya akan ditemukan mengapung. Namun, hingga detik ini tidak ada penemuan jasad wanita. Suara wanita yang sempat kudengar beberapa bulan lalu adalah suara Allea. Sayangnya, orang-orang menganggap aku berhalusinasi. Aku yakin jika Allea berada di tempat lain. Pasti seseorang di sana telah menolongnya dan Allea trauma untuk kembali kepadaku. Mungkin Allea memang sengaja meninggalkan anak-anak bersamaku supaya aku merasakan bagaimana menjadi dirinya.Aku memang tengah merasakan itu. Jujur, aku tidak sanggup dan mengaku kalah. Arvin diasuh oleh Mbak Veni di rumahnya, sedangkan Afkar dan Ansel tetap bersamaku dan dibantu seorang pengasuh. Ya, aku menggunakan bantuan pengasuh karena tak sanggup jika harus melakukannya seorang diri. Hebatnya Allea mengasuh tiga anak sekaligus tanpa bantuan siapapun. Ditamba
Segera aku pamit pulang karena hari juga sudah malam. Khawatir apabila Bu Dewi kewalahan menghadapi Ansel dan Afkar yang penuh drama saat hendak tidur. Bu Dewi adalah pengasuh anak-anak. Kesabarannya hampir setara dengan Allea. ***"Papa, kenapa Mama belum pulang?" Pertanyaan itu kerap kali ditanyakan oleh Afkar saat aku hendak menidurkannya. "Mama kerja, Sayang. Mama akan pulang jika uangnya sudah banyak. Mama ingin membeli mainan yang banyak untuk kalian," kataku mencoba menghibur kerinduan Afkar kepada Allea. Sungguh, pedih hati ini melihat anak-anak yang merindukan ibunya. Kuusap lembut kepala mereka. Ansel terlihat sudah terlelap. Afkar pun perlahan mulai memejamkan mata. Allea, kembalilah demi anak-anak! Aku berjanji tidak akan bersikap seperti dulu. Usai menidurkan anak-anak, aku kembali ke kamar. Kurebahkan tubuh di sana sambil memandang foto pernikahanku dengan Allea yang tercetak dalam ukuran besar.Sayang, kamu sangat cantik! Dulu, mendapatkan Allea penuh perjuangan.
"Allea, kamu Allea, 'kan? Kamu Allea, istriku." Aku menggenggam tangannya dan kupaksa dia untuk mendekat. Namun, dia menolak. "Siapa Allea? Saya bukan Allea, maaf," katanya. "Aku tahu kamu Allea. Buka maskermu, Sayang! Aku dapat mengenalimu dari mata dan caramu menatap. Ayo pulang, Sayang! Anak-anak rindu," ujarku. "Tolong lepaskan saya! Saya bukan Allea. Saya tidak mengenal Anda." "Lepaskan dia!" Seorang laki-laki menarik tangan Allea dan menjauhkannya dariku. "Anda ...." Laki-laki itu menatapku dengan lekat. Aku pun sama karena seperti mengenalnya. "Pak Arga?" Ya, aku baru ingat. Dia adalah Arga, rekan bisnis Mas Bram. "Pak Reno, ya? Kenapa Pak Reno menarik tangan dia? Dia calon istri saya, Pak." Pernyataan Arga membuatku terkejut. "Calon istri?" gumamku bertanya-tanya.Aku kembali melirik wanita yang bersembunyi di belakang Arga. Wanita itu enggan menunjukkan dirinya lagi. Mungkin dia ketakutan karena kutarik-tarik tadi. Entah kenapa aku merasa bahwa dia adalah Allea. "Pak