Share

7. Hampir Gila

Tanpa menunggu lama, aku segera meluncur ke taman. Aku melaju dengan kecepatan tinggi supaya cepat sampai. Mudah-mudahan saja mereka masih di sana. Untung jarak rumah ini ke Taman Pelangi tidaklah jauh.

Pandanganku langsung tertuju ke arah Mbak Veni di tempat parkir mobil. Kulihat dia seperti menghalangi Allea. Aku segera ke sana dan turun dari mobil.

"Allea!" seruku.

Allea berlari entah ke mana. Aku dan Mbak Veni mengejar. Sementara, Mas Bram kulihat bersama anak-anakku di mobil. Allea terus berlari ke arah keramaian sehingga membuatku susah mendapatkannya. Dia seperti orang ketakutan saat melihatku.

"Argh! Sial!" Aku tak sengaja menabrak seseorang yang tengah makan sosis. Sosisnya terjatuh dan sausnya mengotori pakaianku. Dia marah dan ibunya menahanku. Sementara, kulihat Mbak Veni terus mengejarnya.

Anak remaja yang sosisnya terjatuh itu minta ganti rugi. Aku memberinya selembar uang berwarna biru. Kulanjutkan langkah dan mendapati Mbak Veni tengah berhenti dengan napas tersengal-sengal.

"Mbak, di mana Allea?"

"Nggak tahu. Aku kehilangan jejak. Terlalu banyak orang di sini," jawabnya ngos-ngosan.

Astaga! Rasanya aku ingin membenturkan kepala yang sudah cenat-cenut dari tadi. Tiba-tiba saja Mas Bram menelepon dan mengatakan jika Allea kembali ke tempat parkir.

"Cepat! Allea berusaha mengajak anak-anak pergi lagi," ucap Mas Bram.

Hah! Cepat sekali Allea berputar langkah. Mungkin dia memanfaatkan keramaian ini untuk kembali ke sana tanpa sepengetahuanku. Cerdik sekali dia mengecoh kami!

"Allea!" seruku saat tiba di tempat parkir. Namun, Allea seperti orang ketakutan saat melihatku. Dia berlari lagi. Saat aku hendak mengejar, Mbak Veni menahan.

"Kenapa, Mbak?" tanyaku.

"Bawa anak-anakmu pulang!" pinta Mbak Veni sambil mengusap keringat di dahi.

"Loh? Allea gimana?"

"Gampang! Allea pasti akan terpancing untuk pulang menemui anak-anak," jawabnya.

Benar juga yang dikatakan Mbak Veni. Jika aku membawa ketiga anakku pulang, pasti Allea juga akan pulang dengan sendirinya. Allea tidak bisa hidup tanpa anak-anak.

"Bagaimana Mbak Veni bisa membawa tiga anakku ke dalam mobil tadi?" tanyaku penasaran.

"Ceritanya panjang. Membawa Ansel dan Afkar ke sini itu penuh perjuangan. Tujuanku untuk memancing Allea agar dia mau ikut dengan kami, tapi dia nggak mau masuk ke mobil. Saat Allea memaksa ngajak anak-anak pergi, aku langsung merebut Arvin dan memasukkannya ke mobil bersama Ansel dan Afkar. Maksudku biar Allea nggak jadi pergi dan mau masuk mobil, tapi ternyata Allea semakin menjadi dan terus berusaha mengambil mereka," jelas Mbak Veni.

Aku menciumi ketiga anakku. Mereka masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Mereka menangisi ibunya. Ketiga anakku bersahutan melontarkan kata 'Mama'.

Aku membawa mereka kembali ke rumah. Namun, tangis mereka tak kunjung reda. Mereka menginginkan Allea. Tiba-tiba, aku terkejut melihat Ansel yang mengamuk.

Ansel melemparkan dan menjatuhkan benda apapun di sekitarnya. Dia bahkan menangis, menjerit, berguling, hingga salto. Ansel memukul benda-benda yang ada. Kami kewalahan menenangkan Ansel yang seperti itu. Allea selalu menyebutnya ini dengan tantrum.

Aku mendekap putra ke duaku itu. Kupeluk ia dengan erat. Tangisku tumpah sejadi-jadinya. Bagaimana bisa Allea mengatasi Ansel jika tengah tantrum? Kami bertiga saja kewalahan melakukannya. Bagaimana Allea melakukannya seorang diri? Lagi-lagi penyesalan atas sikapku itu semakin bertambah.

Setelah satu jam, Ansel mulai tenang. Mas Bram pamit pulang untuk mengajak anak-anak mereka kemari. Mbak Veni tetap di sini dan akan menunggu Allea datang. Mbak Veni menuturiku bagaimana caranya mengurus anak. Saat aku hendak membawa Arvin ke kamar mandi karena buang air, Afkar merengek minta makan. Kuminta Afkar bersabar, tetapi dia justru marah dan semakin rewel.

"Aku buatkan makanan untuk Afkar. Kamu ganti popok Arvin," kata Mbak Veni yang sedari tadi memeluk Ansel.

"Ya, Mbak."

Aku mengajak Arvin ke kamar mandi. Ini pertama kali aku mengganti popok anakku. Berantakan? Tentu saja. Aku kewalahan karena Arvin langsung mengambil gayung dan bermain air. Membersihkan kotoran anakku saja aku tidak bisa.

Setelah cukup lama di kamar mandi, aku keluar membawa Arvin. Seluruh pakaiannya basah akibat kebodohanku yang tidak becus mengurus anak. Kulihat Ansel tengah berdiri sambil sesenggukan.

"Ansel mau mainan baru?" tanyaku kepada bocah yang memandangiku dari tadi.

Ansel mengangguk. Aku mengulurkan tangan supaya dia mendekat.

"Nanti beli mainan baru, tapi Ansel makan dulu sama Tante Veni dan Kakak," kataku membujuknya.

Ansel mengangguk lagi kemudian menghampiri Mbak Veni yang sedang diteror Afkar karena makanan tak kunjung jadi. Aku pergi ke kamar anak untuk mengganti pakaian Arvin. Untung pakaian anak-anak masih ada yang tertinggal di sini.

Belum apa-apa, Arvin sudah lari. Saat hendak kupakaikan popok baru, dia pergi. Dia berlari sambil tertawa seolah sedang bermain.

"Arvin, pakai popok dulu!" kataku.

Arvin tidak mendengarkan. Dia terus berlari. Aku pun mengunci pintu kamar kemudian menggendongnya. Kuletakkan bocah kecilku itu di kasur. Dua kaki berhasil masuk lubang popok, tetapi masih belum terpasang sempurna. Namun, Arvin dengan cepat berguling dan kembali berlari. Dia menjauh kemudian duduk melepaskan popoknya dengan paksa.

Astaga! Apakah ini yang dilakukan Allea setiap hari bahkan setiap saat? Ini masih baru Arvin yang kuhadapi, belum Afkar dan Ansel. Begini saja rasanya aku ingin menjerit dan marah, tapi bagaimana Allea bisa sesabar itu?

"Mbak, udah matang?" tanyaku setengah berteriak kepada Mbak Veni.

"Udah. Ini mau nyuapi mereka," jawabnya.

"Biar aku yang menyuapi mereka. Tolong gantikan pakaian Arvin, Mbak! Aku nggak bisa," ucapku merasa malu.

Kami beralih tugas. Aku menyuapi Afkar dan Ansel secara bergantian. Saat mereka menanyakan Allea, aku mengatakan bahwa Allea sedang membeli mainan untuk mereka. Untung saja mereka percaya dan semoga Allea segera kembali.

Jujur, ini pertama kalinya aku menyuapi mereka. Sulit? Tentu sangat sulit. Mereka makan sambil bermain. Ditambah mereka yang tidak mau diam di satu tempat. Aku sampai heran, apakah kaki mereka tidak lelah? Aku yang memperhatikannya pun sangat lelah. Ditambah lagi harus mengikuti mereka ke sana kemari.

"Bagaimana bidadari cantik itu melakukannya dengan baik dan seorang diri?" batinku terus bertanya-tanya. Sungguh, setelah ini aku akan menempatkan Allea pada posisi yang sebenarnya, yaitu ratu. Ya, selain bidadari, Allea adalah ratuku. Pantaskah aku memperlakukan seorang ratu sekejam dan seegois itu?

Tiba-tiba saja Ansel dan Afkar berebut mainan. Mereka tidak mau mengalah. Keduanya sama-sama ingin memiliki mainan itu. Padahal, aku sudah membelikannya masing-masing.

"Cukup! Sudah! Jangan berebut!" kataku berusaha memisahkan.

Mereka semakin menjadi. Ansel mendorong Afkar sehingga Afkar terjatuh dan menangis.

"Ansel! Nggak boleh begitu!" hardikku.

"Afkar, berikan mainan itu kepada adikmu!" pintaku kepada putra sulungku.

Afkar tidak mau melepaskan mainannya. Ansel kembali ingin mendorong kakaknya. Namun, berhasil kutahan. Menjadi Allea beberapa menit saja sudah membuatku hampir gila. "Oh, astaga! Allea, bagaimana kabar mentalmu selama ini?"

Mbak Veni keluar dari kamar sambil menggendong Arvin yang menangis karena mencari keberadaan ibunya. "Aku beli susu dulu. Siapa tahu dia haus dan ngantuk." Mbak Veni pun bergegas membeli susu dan botol di minimarket terdekat.

Kini, tiga putraku tengah bersamaku. Arvin masih menangis mencari ibunya, Afkar menangis karena mainannya hendak direbut sang adik. Ansel pun marah dan masih berusaha mengambil mainan di tangan Afkar.

Aku terkejut saat Ansel tiba-tiba membanting piring di tanganku. Untung saja peralatan makan anak-anak tidak terbuat dari bahan yang mudah pecah. Namun, makanan berserakan. Nasi dan lauk berceceran. Lantai menjadi kotor dan lengket.

"Afkar, berikan mainan itu kepada Ansel!" pintaku karena mengendalikan emosi Ansel sangatlah susah. Aku tidak ingin dia marah lagi seperti tadi.

"Nggak. Ini punyaku," jawab Afkar keras kepala.

"Astaga! Pinjamkan sebentar!" titahku lagi.

"Nggak mau."

"Mama ... Mama!"

"Papa, aku mau mainan itu! Papa!"

"Ini punyaku."

"Aku mau itu!"

"Jangan! Ini punyaku!"

"Mama ... Mama!"

"Cukup!" sentakku kepada mereka. Suara mereka bersahutan di kepala dan membuatku gila. Arvin masih terus mencari ibunya. Ansel dan Afkar juga tidak ada yang mau mengalah.

Tiba-tiba aku ingat, aku pernah berjanji tidak akan memarahi mereka, tetapi dalam keadaan seperti ini sangatlah sulit untuk mengendalikan amarah. Demi meredam emosi, aku mencoba untuk diam dan memejamkan mata. Namun, air mata ini perlahan keluar. Tangisku pecah bersama mereka. Aku tak ada bedanya dengan anak-anak yang membutuhkan Allea saat ini.

Aku meraih tangan Ansel dan Afkar. "Sini! Pukul papa, Nak! Pukul papa! Selama ini papa nggak pernah memperhatikan kalian dan mama kalian. Pukul papa!" teriakku frustasi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
tina asmita
laki laki kebanyakan bgt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status