Awal Mula Takdir Bekerja
Dua tahun lalu…
Rasanya Gery mulai bosan dengan pembahasan ini, pembahasan yang terus berulang dari waktu ke waktu, bahkan sekarang pembahasan itu mulai sering terdengar dari mulut sang kekasih.
"Bisa gak kita gak bahas ini terus?" ucapnya dengan nada kesal.
"Dan bisa gak kamu pertimbangkan usulan aku?" balas perempuan cantik bernama Gitsa. "Ini demi kita, demi masa depan kita," ucapnya mengiba.
"Demi kita?" Dengan sinis dia mengulang ucapan sang kekasih. "Kita apa kamu?"
"Please, Ger. Jangan kayak gini. Jangan nyudutin aku kayak gitu!" Gitsa mulai mengeluarkan air mata.
Dia pun sama lelahnya dengan Gery, lelah merayu kekasihnya itu untuk mau kerja di bidang yang sebetulnya ia pun tahu, Gery tak berminat sedikitpun untuk terjun ke dunia bisnis. Tapi dia tak bisa mengabaikan permintaan orang tua kekasihnya yang terus mengiba agar bisa meluluhkan hati putra mereka.
Pun dengan keluarganya, bahkan Papanya mengancam tak akan merestui mereka jika kekasihnya itu masih keukeuh dengan bisnis kafenya yang sedang ia jalani beberapa tahun ini. Bagi orang tuanya, bisnis yang Gery jalani saat ini tak ada masa depan, tak akan mampu menghidupi dirinya yang notabenenya terlahir dari keluarga kaya.
"Bukannya kamu sering bilang kalau kamu cinta sama aku, bahkan kamu berniat nikah sama aku. Jadi aku minta, buktikanlah kalau kamu cinta aku, bahwa kamu mau memperjuangkan aku. Karena kalau kamu tetap begini, Papa gak akan pernah restuin kita," ucap Gitsa dengan derai air mata.
"Kamu terus nyuruh aku berjuang. Sekarang aku tanya sama kamu, apa yang udah kamu perjuangkan buat aku? Apa pernah sekali aja kamu ngebanggain aku di depan mereka? Atau apa pernah sekali aja kamu bilang sama Mommy aku, kalau aku begitu bahagia dengan bisnis yang aku geluti sekarang?"
Kali ini Gitsa langsung terdiam, ucapan kekasihnya terlalu memojokkan dirinya.
"Gak pernah, kan?" lanjut pria itu lagi.
"Ya, karena …."
"Cukup! Gue lagi males berantem." Kali ini dia tak lagi berkata aku. "Mungkin seminggu ini gue gak balik ke sini. Elunya juga lagi gak bisa diapa-apain." Pria itu terlampau murka.
Seperti itulah egoisnya seorang Gerry Alexander Chen, dia akan pergi meninggalkan siapa saja begitu saja tanpa memikirkan apa yang orang lain rasakan, termasuk kekasihnya sendiri.
Pria itu langsung bergegas pergi dari apartemen elit miliknya, yang sejak setahun lalu menjadi hunian untuk dirinya dan sang kekasih.
Tapi belum sempat pintu lift yang ia naiki tertutup, wajah sang kekasih kembali terlihat di depan pintu lift sembari menjaga agar pintu itu tidak tertutup.
"Kita bahas ini nanti lagi. Gue lagi males!" ucapnya pada gadis cantik dengan lelehan air mata di pipinya.
"Tapi aku mau bahas ini sekarang. Atau kita gak usah bahas apapun lagi!" Sepertinya moodnya yang sedang naik turun saat datang bulan membuat ego gadis itu meningkat.
"Terserah elo aja. Gak ada ruginya buat gue kehilangan elo," jawab Gery dengan angkuhnya. Nampaknya ego lebih mendominasi pria tampan itu.
"Oke, fine. Hubungan kita cukup sampe di sini. Gue gak mau lagi mempertahankan cinta palsu tanpa pembuktian dari lo." Entah setan dari mana yang baru saja memprovokasi pikiran Gitsa, akhirnya gadis cantik yang biasanya lebih sering mengalah itu mengucapkan kata-kata putus.
"Bangsatt!" Gery murka, benar-benar murka apalagi saat melihat sang kekasih dengan begitu sombongnya menatap remeh ke arahnya sebelum pergi meninggalkannya dengan langkah tegak dan pasti.
Bagaimana bisa kekasih yang biasanya mengalah itu merendahkan dirinya bahkan memutuskan hubungan mereka dengan cara yang memalukan?
Meskipun ini bukan kali mereka bertengkar hingga putus, tapi biasanya Gery lah yang memutuskan gadis itu, setelahnya Gitsa akan meminta maaf padanya. Kemudian hubungan mereka pun kembali seperti sedia kala. Seperti itulah biasanya. Tapi baru kali ini Gery melihat Gitsa seperti itu, dia tidak seperti Gitsa si gadis baik yang ia kenal.
Dengan marah dan hati membara Gery melajukan mobil sportnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Sambil berpikir kemana dia akan tidur malam ini. Dan saat otaknya belum menemukan tempat yang pas untuk ia tuju, ponselnya berbunyi. Ternyata dari Awan, sang manajer kafe yang entah ada apa menelpon malam-malam begini.
"Ada apa?" ketusnya, tanpa mengurangi kecepatan mobilnya.
"Eh, maaf Pak. Saya cuma mau tanya, malam ini Bapak jadi kan rapat dengan karyawan kafe?" tanya Awan agak ragu.
Sialan, Gery betul-betul lupa tentang rapat malam ini. Setelah menghembuskan nafasnya dengan kasar untuk mencoba mengatur emosinya, pria itu pun menjawab, "Saya lagi di jalan menuju kafe." Segera dia menutup panggilan telepon itu secara sepihak tanpa menunggu balasan Awan.
Beberapa menit kemudian, panggilan telepon kembali masuk. "Apa lagi? Kan tadi gue udah bilang, kalau gue udah di jalan. Bentaran lagi juga nyampe," ketusnya yang mengira panggilan itu dari manajer kafenya lagi.
"Gerry!" Suara tua yang begitu familiar di telinganya membentaknya dengan sangat keras.
"Mommy?"
Tanpa berbasa-basi lagi, Rosy sang Mommy langsung memberondongnya dengan banyak cacian, karena saking kesalnya kepada sang putra. Bukan tanpa sebab dia melakukan hal itu, karena beberapa menit lalu, Gitsa yang ia tahu adalah kekasih sang putra, menghubunginya untuk memberitahukan bahwa gadis itu memilih menyerah.
Makin kesal saja Gery setelah mendengar cacian sang mommy, apalagi saat mendengar bahwa Gitsa menghubungi mommynya dan mengadukan dirinya. Dan itu artinya Gitsa tak main-main dengan kalimat perpisahan tadi. Semakin kencang saja laju mobil yang ia kendarai.
Sepenting itukah sebuah jabatan tinggi untuk sebuah hubungan?
Sepenting itukah nama besar untuk dianggap layak jadi calon menantu idaman?
Gery berkali-kali memukul stir mobil tak berdosa yang menjadi sasaran kemarahannya. Sedangkan mulutnya tak henti memproduksi kata-kata kasar sebagai cara meluapkan emosi yang mengungkung dirinya.
"BRENGSEEEEEEKKK!!" pekik Gery memekakkan telinganya sendiri dan kini sambil membentur-benturkan kepalanya ke stir mobil.
Dan tiba-tiba mobil yang baru beberapa pekan ia beli menabrak sesuatu hingga terdengar bunyi yang begitu mengejutkan dirinya.
Benar saja seperti dugaannya, ternyata tanpa sengaja dia telah menabrak sebuah motor.
Seorang wanita berhelm retro berwarna merah muda, terlihat tergeletak beberapa meter dari letak motornya, sedangkan seorang lagi adalah pria tua dengan darah bercucuran dari belakang kepalanya.
Inilah hari dimana dunia Gery dijungkir balikan oleh TAKDIR.
Perubahan hormon ibu hamil,membuat sifat gadis itu jadi banyak berubah, perempuan yang biasa giat bekerja itu jadi tiba-tiba saja jadi malas bekerja, jangankan bekerja, mandi pagi saja malas, karena setiap kali badannya tersentuh airnya, rasa mual pasti datang mendera. Bukan hanya itu saja, moodnya sangat mudah berubah, rasa bahagia dan sedih seperti hanya terpisah sehelai benang. Pagi ini contohnya, Gerry begitu terkejut saat mendengar suara isak tangis dari balik selimut yang masih membungkus tubuh sang istri. Dia menangis seperti seorang istri yang teraniaya, sama persis dengan para aktris di sinetron azab.“Kamu kenapa? Mual?” tanya Gerry dengan lembut dan penuh kasih. Sungguh, Kia pun bingung dengan dirinya sendiri, hanya karena mengingat drama romantis yang ia tonton semalam saja sudah membuat dirinya seperti seorang istri yang tidak dicintai, karena sikap Gerry yang tidak seromantis aktor-aktor dalam drama itu.“Kamu kenapa, aku tanya? Atau mau apa?” Gerry masih bersabar men
“Kalian emang mau kemana sih?” tanya Amora penuh curiga saat melihat sang suami dan dua pria sableng lainnya itu berpakaian rapi di malam hari.“Nganter Gerry, katanya ada sesuatu yang harus dia urus di sini,” jawab Thomas sambil melingkarkan jam rolex di pergelangan tangannya.“Kamu gak ada niatan macem-macem kan?” Amora langsung memandang sang suami dengan sinis.“Ini bukan waktunya kamu cemburu, Sayang. Di sini gak ada klab malam atau sejenisnya, cuman ada pasar malem yang katanya baru besok malem mulai buka,” jawab Thomas, dan segera mengecup singkat bibir sang istri sebelum wanita itu kembali mengucapkan hal-hal negatif kepadanya.Kejadian yang hampir sama pun terjadi di kamar lainnya, tepatnya di kamar Gerry dan Kia. Kia merasa ada yang sedang suaminya sembunyikan kepadanya, karena Gerry yang biasa mageran tiba-tiba memberitahukan dirinya bahwa dia dan kedua sahabatnya akan keluar malam itu.“Aa sebenernya mau kemana sih? Kalau emang mau ke rumah Pak Kades, kenapa gak ajak Pak R
Kia pikir ucapan Gerry yang akan mendatangi rumah Pak Kades hanya bualan saja. Untungnya saja semalam Kia berhasil mengalihkan perhatian sang suami yang ngeyel ingin mendatangi rumah kepala desa dengan cara mengajak sang suami melakukan ritual mengasikan yang mereka sukai, ditambah lagi cuaca malam tadi memang kurang mendukung, makin giat saja Gerry membuat suasana kamar mereka memanas.Tapi tidak untuk pagi ini, sebab Gerry sudah meminta sang adik ipar memanggil ketua RT di sana untuk menemani dirinya ke kantor balai desa agar bisa bertemu langsung dengan si kepala desa.“Aa, gak usah ke sana sih, mending titip pesen aja sama Pak RT, jadi biar Pak RT yang nyampein pesen Aa, ke Pak Kades,” pinta Kia, masih berusaha merayu sang suami di detik-detik terakhir.Pak RT yang ternyata masih kerabat Kia segera mengangguk setuju, sebab dia juga cukup sungkan untuk bertemu kepala desa hanya untuk membahas soal perbaikan jalan ke kampung mereka dalam waktu singkat, ditambah lagi hanya karena al
Mommy Rossi berusaha mengalihkan ngidam sang menantu dengan berbagai makanan mewah. Dia bahkan menyewa koki hotel bintang lima untuk memasak menu-menu andalan yang biasa diminati para tamu.“Ayo sayang, dimakan. Mommy sengaja sewa koki hotel buat masak makanan buat kamu,” ujar wanita itu, saat memanggil sang menantu untuk makan siang. “Tadi pagi Mommy liat kamu gak ngabisin sarapan kamu.”“Iya, Mom. Gak tau kenapa rasa makanan yang aku makan jadi aneh semua, dan kadang bikin aku mual,” jelas Kia yang masih betah meringkuk di balik selimutnya.“Wajar, kebanyakan perempuan yang lagi hamil muda emang begitu.”“Emang Mommy gak ngalamin kayak gini waktu hamil si Aa?” Kia yang sebetulnya sangat malas beranjak dari ranjang, akhirnya memaksakan diri untuk bangun. Sungguh perlakuan sang ibu mertua yang terlampau baik membuatnya sangat tidak enak hati.“Mommy tau hamil aja pas udah lima bulan, karena ada yang gerak di perut Mommy.”“Mommy emang gak merhatiin siklus haid Mommy?”“Siklus haid Mom
Gerry yang begitu bahagia langsung membawa Kia kepada sang Mommy yang saat itu masih berada di salah satu butiknya. Dengan senyum yang sejak tadi tak pernah pudar dari wajah tampannya, Gerry menggandeng tangan Kia ke dalam butik dengan tergesa-gesa.“Sabar A, pelan-pelan atuh!” tegur Kia yang merasa dirinya seperti diseret-seret sang suami.“Aku udah gak sabar liat reaksi mertua kamu,” jawabnya bersemangat. “Mau aku gendong, takutya kamu capek?”Belum apa-apa Gerry sudah berlebihan memperlakukan istrinya.“Dari rumah ibu ke sini aja, aku kuat nyetir sendiri, masa jalan dari parkiran ke dalem aja pake digendong?” Kia terkekeh geli. “Ya siapa tau aja kamu capek abis nyetir,” jawab Gery kemudian kembali menggandeng tangan sang istri, namun kini dengan langkah lebih santai, walaupun hatinya sama sekali tidak santai. Seperti biasa, kedatangan mereka selalu disambut ramah para karyawan butik, tapi jika biasanya Gerry bersikap cuek dan selalu tak acuh pada sapaan mereka, namun hari ini ber
(Beberapa jam sebelum kedatangan Kia)“Maaf, karena ada sedikit kesalahan teknis, acara harus kami undur sekitar 30 sampai 60 menit,” ujar Gerry kepada semua narasumber yang datang siang itu. meskipun kesalahan ini murni bukan karena ulahnya, Gerry selaku anak dari pemilik stasiun televisi itu tetap harus menurunkan egonya untuk meminta maaf.“Mau gimana lagi?” sahut salah seorang dari mereka.“Dan sebagai permintaan maaf kami, saya akan mentraktir makan siang di restoran saya. Bagaimana?” usul Gerry, mencairkan suasana.Para narasumber pun terlihat senang menanggapi usulan calon penerus kerajaan bisnis Chen. Beberapa di antara mereka bahkan baru mengetahui bahwa Gerry adalah anak tunggal dari pemilik stasiun televisi swasta tersebut. Mereka termasuk Gitsa langsung diantar oleh mobil operasional perusahaan yang cukup mewah ke salah satu cabang restoran Cina milik Gerry yang letaknya tak jauh dari tempat tersebut.Gerry sengaja memesankan sebuah privat room ukuran besar untuk menjaga