Home / Horor / BONEKA KEMATIAN / MALAM YANG ANEH

Share

MALAM YANG ANEH

Author: Alya Snitzky
last update Last Updated: 2025-03-13 13:00:38

Daru ingin sekali tidur, tetapi Soraya mengajaknya bermain. Gadis kecil itu memang sangat dekat dengannya. Beberapa kali lelaki itu menguap dan Kalina yang melihat hal itu hanya bisa menggelengkan kepala.

Kalina pun mendekati ayah dan anak yang sedang asik bermain itu.

“Aya, main sama Mama aja, yuk? Biar Papanya bisa tidur,” kata Kalina sambil tersenyum lembut pada sang putri. Namun, Soraya menggelengkan kepalanya, “Nggak mau, Ma. Aya mau mainnya sama papa.”

“Tapi, kasian loh papa. Kan semalam papa dinas, baru pulang pagi. Kalau ga istirahat, nanti papa sakit,” kata Kalina lagi.

“Nggak mau, Ma. Aku masih mau main sama Papa dan Bella juga. Kami kan lagi jamuan minum teh, Mama.”

“Bella?” tanya Kalina sambil mengerutkan dahinya.

Soraya menatap Kalina, “Iya Ma … ini loh Bella. Aku kasi nama boneka ini Bella,” jawabnya.

Kalina hanya membulatkan bibirnya, ia menatap boneka yang berada dalam pelukan sang anak. Boneka itu memang sangat menggemaskan. Dengan mata biru, rambut panjang yang dikepang dua dan gaun berwarna pink yang sangat cantik. Entah siapa yang sudah meninggalkan boneka selucu itu di depan pintu rumah mereka tadi pagi.

“Aku pikir kamu yang membelikannya untuk Soraya,” kata Daru.

Kalina menggelengkan kepala, “Nggak. Tadi pagi, waktu aku dan Aya membuka pintu untuk membeli sayur boneka ini sudah tergeletak begitu saja. Karena bonekanya bersih seperti baru, aku izinkan Aya untuk mengambilnya. Aku  malah sempat berpikir kamu yang membelinya, lalu meletakkan di depan pintu diam-diam.”

Daru terkekeh, “Kalo aku yang membelinya, pasti ada kotaknya. Ya sudahlah, mungkin memang ada yang membuangnya.”

Mereka pun kembali bermain hingga Soraya akhirnya merasa ngantuk dan meminta Daru untuk menemaninya tidur siang. Karena memang Daru pun sudah mengantuk sejak tadi, ia pun dengan senang hati memenuhi permintaan Soraya.

“Papa tidur juga, ya. Kan tadi papa bilang ngantuk,” kata Soraya dengan manja.

“Iya sayang. Papa tidur di sini, kok,” jawab Daru. 

Soraya mengangguk dan memejamkan matanya. Namun, Daru yang tadinya mengantuk sama sekali tidak bisa tidur. Tetapi bayangan jenazah Anwar menari-nari di benaknya seolah tak mau pergi. Melihat Soraya sudah pulas, Daru pun perlahan turun dari ranjang dan keluar kamar.

Kalina yang sedang duduk menonton televise mengerutkan dahi melihat sang suami keluar dari kamar anak mereka dengan wajah lesu.

“Katanya mau tidur?”

“Kita ke taman, yuk,” ajak Daru alih-alih menjawab pertanyaan sang istri.

Mendengar ajakan Daru ke taman, Kalina sudah mengerti jika sang suami saat ini sedang butuh bercerita. Wanita cantik itu pun mengangguk sambil tersenyum.

“Kamu duluan ke sana, Mas. Aku nyusul sambil bawa teh,” kata Kalina. 

Daru menganggukkan kepalanya, kemudian ia pun segera melangkah menuju ke taman belakang rumahnya. Taman di belakang rumah itu memang sengaja dibuat untuk tempatnya bersantai bersama sang istri. Ada kolam ikan kecil dan juga ditanami aneka bunga warna warni favorit Kalina.

Sambil duduk, lelaki itu menyalakan rokoknya. Dan tak lama kemudian, Kalina datang dengan dua cangkir teh serta sepiring pisang goreng hangat.

“Ada masalah, Mas? Apa ada kasus yang berat?” tanya Kalina.

Daru menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan, “Anwar meninggal dunia, dan ….”

Daru pun menceritakan apa yang sudah terjadi kepada Kalina. Termasuk juga kondisi Anwar yang sangat mengenaskan ketika ia ditemukan.

“Aku tidak apakah orang yang melakukan hal itu  masih waras atau tidak. Tapi, hanya orang yang jiwanya terganggu mampu melakukan hal sekeji itu,” kata Daru.

Kalina menarik napas panjang, ia yakin jika saat ini Daru pasti sangat terpukul karena Anwar adalah sahabat baiknya yang paling dekat dengan keluarga mereka.

“Bagaimana kalau kamu meminta libur untuk satu hari saja supaya pikiranmu bisa jauh lebih tenang dan kamu bisa menyelesaikan kasus ini dengan baik,” kata Kalina.

“Tapi-“

“Hanya satu hari, aku rasa Mas Yudistira bisa mengerti dan memberimu waktu,” kata Kalina.

Daru mengetuk- ngetukkan jarinya, menimbang usulan sang istri. Tetapi, akhirnya ia pun mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi KOMPOL  Yudistira, atasan sekaligus juga sahabat baiknya.

Sesuai saran istrinya, Daru pun meminta izin 1 hari untuk menenangkan dirinya.

“Istirahatlah, tapi setelah itu aku harap kamu bisa kembali bekerja, Daru. Kasus ini harus kita selesaikan, jangan sampai membiarkan pembunuh berdarah dingin berkeliaran lama-lama di luar sana.”

“Baik Komandan, terima kasih atas pengertiannya. Lusa aku akan kembali bertugas seperti biasanya.”

Kalina mengusap bahu Daru dengan lembut. “Sudah lega?” tanyanya.

Daru menganggukkan kepalanya lalu menghabiskan tehnya. Sepasang suami istri itu membicarakan hal-hal yang ringan supaya suasana tegang sedikit mencair.

Setelah merasa jauh lebih tenang, Daru dan Kalina pun masuk kembali ke dalam rumah. Namun, saat melewati dapur Daru mengerutkan dahinya.

“Kenapa Mas?” tanya Kalina yang melihat sang suami tiba-tiba berdiri terpaku.

“Itu … boneka milik Soraya. Rasanya tadi boneka itu ada di kamarnya. Kenapa tiba-tiba ada di sini?” kata Daru sambil menunjuk boneka Soraya yang tergeletak di meja dapur, tepat di samping tempat pisau.

“Papa … liat Bella? Dia nggak ada!”

Daru dan Kalina serempak menoleh, tampak Soraya berjalan menghampiri kedua orang tuanya.

“Kok udah bangun?” tanya Kalina sambil menggendong putrinya itu.

“Boneka aku ngga ada, Ma.”

Daru pun segera meraih boneka Bella kemudian memberikannya kepada Soraya.

“Ini Bella ada kok. Mungkin tadi kamu lupa menyimpannya,” kata Daru.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BONEKA KEMATIAN   KEDAMAIAN

    "Kamu nggak lelah, Nak?" tanya Kalina dari bangku taman, suaranya lembut tapi ada nada khawatir di dalamnya.Soraya hanya tertawa, berlari-lari kecil dengan sepasang sandal berbunga yang agak kebesaran. Di tangannya tergenggam boneka kecil buatan sendiri — bukan Bella, tapi mirip, lengkap dengan pita biru muda di lehernya.Rambutnya yang mulai panjang bergoyang seiring gerak lincahnya, dan di wajahnya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama ... ada damai.Daru berdiri beberapa meter di belakang Kalina, tangannya menyilangkan lengan di dada. Sorot matanya tak pernah lepas dari Soraya. Ia tersenyum, tipis, tapi sungguh. Meski bayang-bayang masih menyelinap di sudut benaknya, hari ini terasa berbeda. Ringan. Sejuk."Dia mulai bisa tertawa lagi," gumam Kalina pelan, bergeser mendekat ke Daru, lalu menggenggam tangannya. "Mimpi buruknya udah jarang. Malam tadi dia tidur tanpa terbangun sama sekali.""Ku dengar," sahut Daru. "Dan aku bersyukur ..."Ia menatap Soraya yang kini sedang memu

  • BONEKA KEMATIAN   JALAN BARU

    "Kamu serius, Mas?" suara Kalina bergetar di ruang tamu rumah mereka, pagi itu. Soraya duduk di sofa, menggulung kembali kartu gambar yang baru selesai ia kerjakan. Di mejanya, kopi yang belum diminum masih mengepul ringan.Daru menatap kedua wanita yang paling ia sayangi. Mata Kalina penuh tanya, sesekali berkaca, sementara Soraya menanti dengan harapan di wajah polosnya."Aku akan mundur," kata Daru pelan. "Dari kepolisian. Aku … aku ingin jadi penyelidik independen."Kalina mengerutkan alis. "Mundur? Di tengah momentum? Setelah semua yang Mas sudah lakukan?""Justru karena itu," jawab Daru tegas. "Karena sekarang aku mengerti ... kalau hanya berhenti di ranah institusi, seringkali keadilan masih bisa dibungkam. Aku nggak bisa lagi jadi bagian dari sistem yang sama."Soraya menatap Daru. "Papa ... maksudnya Papa tidak jadi polisi lagi?"Daru tersenyum lembut. "Iya, Nak. Tapi Papa masih akan menyelidiki kejahatan untuk orang-orang yang nggak punya suara."Soraya menatap Papanya lama,

  • BONEKA KEMATIAN   BONEKA KOSONG

    "Kau menaruh ini di sini?" suara Kalina meninggi, menggema di halaman belakang rumah. Tangannya menunjuk ke arah kursi taman tua yang berada di bawah pohon mangga.Daru menyipitkan mata, berjalan mendekat. Di kursi itu, tergeletak sebuah boneka lusuh—Bella. Boneka itu duduk diam, punggungnya bersandar ke sandaran kayu, kedua tangannya jatuh ke sisi tubuh, dan kepalanya sedikit menunduk seolah sedang tidur.Namun, yang paling mencolok adalah matanya. Dua lubang hitam kosong, tanpa cahaya, tanpa nyawa. Tak ada kilatan merah. Tak ada gerakan. Hanya kehampaan."Bukan aku," gumam Daru akhirnya. Ia mengulurkan tangan, menyentuh kain boneka itu. Dingin. Kaku. Seperti ... benda mati pada umumnya."Aku tadi pagi nyapu halaman. Nggak ada apa-apa. Tiba-tiba pas keluar bareng Soraya, boneka ini sudah di situ. Duduk manis kayak baru pulang dari sekolah." Kalina menahan napas. "Mas ... aku takut."Daru menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. "Bawa Soraya ke dalam. Kunci semua pintu. Biar

  • BONEKA KEMATIAN   DUNIA YANG TERSISA

    "Kau yakin nggak mau ikut ke upacara resmi?" tanya Yudistira dari balik kemudi, matanya melirik Daru lewat kaca spion dalam.Daru duduk di kursi penumpang belakang mobil dinas, menatap keluar jendela. Matanya sayu, tidak karena lelah fisik, tapi karena beban yang tak bisa dijelaskan."Aku sudah cukup berdiri di bawah sorotan. Saatnya kalian yang maju.""Tapi kau yang mulai semua ini, Dar. Tanpa kau, kita masih kerja di balik layar sambil terus ketakutan. Sekarang ... semua gembong narkoba, jaringan korupsi, bahkan pejabat bayangan sudah jatuh. IRJEN Gunawan mungkin mati dengan cara yang aneh, tapi dampaknya nyata.""Justru karena itu," gumam Daru. "Aku nggak ingin semua keberhasilan itu diikatkan pada satu orang. Apalagi orang sepertiku."Yudistira menghela napas. "Kau masih merasa bersalah soal Bella?"Daru tak menjawab, tapi jemarinya yang mengepal di pangkuan cukup jadi jawaban.***Jakarta berubah. Bukan jadi kota yang suci—itu tidak pernah mungkin tapi seiring bergugurannya para

  • BONEKA KEMATIAN   KUTUKAN

    "Kita tidak bisa menahan dia di sini lebih lama, Daru. Polisi militer sudah mengendus lokasi ini. Kalau mereka datang dan menemukan IRJEN terikat di ruang bawah tanah, kita semua tamat." Suara Yudistira terdengar tegas, tapi nadanya menahan cemas.Daru berdiri menatap pintu besi di ujung lorong bawah tanah. Lampu di atasnya berpendar redup. Aldo sedang memantau jalur komunikasi dari laptopnya, headset menggantung di telinga."Sebentar lagi," ujar Daru pelan. "Ku rasa ... belum selesai.""Apa maksudmu belum selesai? Kita sudah menyiarkan pengakuannya ke seluruh negeri. Kita punya jejak digital. Kita punya saksi.""Tapi dia belum diadili oleh yang seharusnya."Yudistira menatap Daru tajam. "Jangan bilang kamu menunggu Bella."Daru tidak menjawab tapi sorot matanya cukup sebagai jawaban.Sementara di ruangan sempit itu, IRJEN duduk sendirian. Kepalanya tertunduk, napasnya berat. Tak ada lagi senyum sinis atau ejekan. Hanya peluh dingin dan tatapan kosong ke lantai.Suhu udara tiba-tiba t

  • BONEKA KEMATIAN   PENGADILAN TANPA HAKIM

    "Kau sedang apa? Membuat teater moral di ruang lembab ini?" suara IRJEN Gunawan parau, setengah mengejek, terdengar memantul dari dinding batu.Daru berdiri membelakangi satu-satunya lampu yang tergantung di langit-langit ruang bawah tanah vila. Sinar kuningnya jatuh tepat ke wajah IRJEN Gunawan yang duduk terikat di kursi besi. Wajah tua itu bengkak, darah kering menempel di pelipis dan sudut bibirnya tapi tatapannya ... masih congkak."Aku cuma mau mendengar kau bicara. Dengan jujur untuk sekali saja dalam hidupmu."IRJEN tertawa pendek. "Jujur? Kepada siapa? Kepadamu? Kepada negara yang membiarkan tikus-tikus macam aku naik pangkat? Kepada rakyat yang cuma bisa menggonggong di layar komentar?""Kepada dirimu sendiri. Karena sebentar lagi, semua yang kau katakan akan didengar oleh jutaan orang."IRJEN Gunawan mendongak, senyumnya melebar. "Rekaman? Kamera? Itu semua bisa disangkal. Bukti bisa dibakar. Saksi bisa dibungkam. Kau tahu itu, Daru. Kau lebih tahu dari siapa pun."Daru men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status