Daru ingin sekali tidur, tetapi Soraya mengajaknya bermain. Gadis kecil itu memang sangat dekat dengannya. Beberapa kali lelaki itu menguap dan Kalina yang melihat hal itu hanya bisa menggelengkan kepala.
Kalina pun mendekati ayah dan anak yang sedang asik bermain itu.
“Aya, main sama Mama aja, yuk? Biar Papanya bisa tidur,” kata Kalina sambil tersenyum lembut pada sang putri. Namun, Soraya menggelengkan kepalanya, “Nggak mau, Ma. Aya mau mainnya sama papa.”
“Tapi, kasian loh papa. Kan semalam papa dinas, baru pulang pagi. Kalau ga istirahat, nanti papa sakit,” kata Kalina lagi.
“Nggak mau, Ma. Aku masih mau main sama Papa dan Bella juga. Kami kan lagi jamuan minum teh, Mama.”
“Bella?” tanya Kalina sambil mengerutkan dahinya.
Soraya menatap Kalina, “Iya Ma … ini loh Bella. Aku kasi nama boneka ini Bella,” jawabnya.
Kalina hanya membulatkan bibirnya, ia menatap boneka yang berada dalam pelukan sang anak. Boneka itu memang sangat menggemaskan. Dengan mata biru, rambut panjang yang dikepang dua dan gaun berwarna pink yang sangat cantik. Entah siapa yang sudah meninggalkan boneka selucu itu di depan pintu rumah mereka tadi pagi.
“Aku pikir kamu yang membelikannya untuk Soraya,” kata Daru.
Kalina menggelengkan kepala, “Nggak. Tadi pagi, waktu aku dan Aya membuka pintu untuk membeli sayur boneka ini sudah tergeletak begitu saja. Karena bonekanya bersih seperti baru, aku izinkan Aya untuk mengambilnya. Aku malah sempat berpikir kamu yang membelinya, lalu meletakkan di depan pintu diam-diam.”
Daru terkekeh, “Kalo aku yang membelinya, pasti ada kotaknya. Ya sudahlah, mungkin memang ada yang membuangnya.”
Mereka pun kembali bermain hingga Soraya akhirnya merasa ngantuk dan meminta Daru untuk menemaninya tidur siang. Karena memang Daru pun sudah mengantuk sejak tadi, ia pun dengan senang hati memenuhi permintaan Soraya.
“Papa tidur juga, ya. Kan tadi papa bilang ngantuk,” kata Soraya dengan manja.
“Iya sayang. Papa tidur di sini, kok,” jawab Daru.
Soraya mengangguk dan memejamkan matanya. Namun, Daru yang tadinya mengantuk sama sekali tidak bisa tidur. Tetapi bayangan jenazah Anwar menari-nari di benaknya seolah tak mau pergi. Melihat Soraya sudah pulas, Daru pun perlahan turun dari ranjang dan keluar kamar.
Kalina yang sedang duduk menonton televise mengerutkan dahi melihat sang suami keluar dari kamar anak mereka dengan wajah lesu.
“Katanya mau tidur?”
“Kita ke taman, yuk,” ajak Daru alih-alih menjawab pertanyaan sang istri.
Mendengar ajakan Daru ke taman, Kalina sudah mengerti jika sang suami saat ini sedang butuh bercerita. Wanita cantik itu pun mengangguk sambil tersenyum.
“Kamu duluan ke sana, Mas. Aku nyusul sambil bawa teh,” kata Kalina.
Daru menganggukkan kepalanya, kemudian ia pun segera melangkah menuju ke taman belakang rumahnya. Taman di belakang rumah itu memang sengaja dibuat untuk tempatnya bersantai bersama sang istri. Ada kolam ikan kecil dan juga ditanami aneka bunga warna warni favorit Kalina.
Sambil duduk, lelaki itu menyalakan rokoknya. Dan tak lama kemudian, Kalina datang dengan dua cangkir teh serta sepiring pisang goreng hangat.
“Ada masalah, Mas? Apa ada kasus yang berat?” tanya Kalina.
Daru menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan, “Anwar meninggal dunia, dan ….”
Daru pun menceritakan apa yang sudah terjadi kepada Kalina. Termasuk juga kondisi Anwar yang sangat mengenaskan ketika ia ditemukan.
“Aku tidak apakah orang yang melakukan hal itu masih waras atau tidak. Tapi, hanya orang yang jiwanya terganggu mampu melakukan hal sekeji itu,” kata Daru.
Kalina menarik napas panjang, ia yakin jika saat ini Daru pasti sangat terpukul karena Anwar adalah sahabat baiknya yang paling dekat dengan keluarga mereka.
“Bagaimana kalau kamu meminta libur untuk satu hari saja supaya pikiranmu bisa jauh lebih tenang dan kamu bisa menyelesaikan kasus ini dengan baik,” kata Kalina.
“Tapi-“
“Hanya satu hari, aku rasa Mas Yudistira bisa mengerti dan memberimu waktu,” kata Kalina.
Daru mengetuk- ngetukkan jarinya, menimbang usulan sang istri. Tetapi, akhirnya ia pun mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi KOMPOL Yudistira, atasan sekaligus juga sahabat baiknya.
Sesuai saran istrinya, Daru pun meminta izin 1 hari untuk menenangkan dirinya.
“Istirahatlah, tapi setelah itu aku harap kamu bisa kembali bekerja, Daru. Kasus ini harus kita selesaikan, jangan sampai membiarkan pembunuh berdarah dingin berkeliaran lama-lama di luar sana.”
“Baik Komandan, terima kasih atas pengertiannya. Lusa aku akan kembali bertugas seperti biasanya.”
Kalina mengusap bahu Daru dengan lembut. “Sudah lega?” tanyanya.
Daru menganggukkan kepalanya lalu menghabiskan tehnya. Sepasang suami istri itu membicarakan hal-hal yang ringan supaya suasana tegang sedikit mencair.
Setelah merasa jauh lebih tenang, Daru dan Kalina pun masuk kembali ke dalam rumah. Namun, saat melewati dapur Daru mengerutkan dahinya.
“Kenapa Mas?” tanya Kalina yang melihat sang suami tiba-tiba berdiri terpaku.
“Itu … boneka milik Soraya. Rasanya tadi boneka itu ada di kamarnya. Kenapa tiba-tiba ada di sini?” kata Daru sambil menunjuk boneka Soraya yang tergeletak di meja dapur, tepat di samping tempat pisau.
“Papa … liat Bella? Dia nggak ada!”
Daru dan Kalina serempak menoleh, tampak Soraya berjalan menghampiri kedua orang tuanya.
“Kok udah bangun?” tanya Kalina sambil menggendong putrinya itu.
“Boneka aku ngga ada, Ma.”
Daru pun segera meraih boneka Bella kemudian memberikannya kepada Soraya.
“Ini Bella ada kok. Mungkin tadi kamu lupa menyimpannya,” kata Daru.
"Reza, kalau ini cuma rekayasa, sumpah, aku bakar semua server di sini!"Yudistira berdiri di depan layar monitor dengan wajah tegang. Matanya membelalak, tangan terkepal, napas memburu. Di layar, tampak rekaman hitam-putih dari sudut rumah Daru—dapur sempit yang tak pernah terlihat istimewa. Sampai malam itu.“Bapak pikir saya sedang bercanda?" sahut Reza dari balik meja kerja, jari-jarinya masih menari di atas keyboard. "Ini hasil retasan dari kamera tetangga Pak Daru. Saya sudah memverifikasi checksum file-nya tiga kali. Tidak ada manipulasi. Bukan deepfake. Ini ... asli.”Daru, yang duduk di sisi lain ruangan bawah tanah mereka, masih terdiam. Wajahnya tertutup bayangan cahaya dari layar, tapi dalam sorot matanya tergambar campuran antara pengakuan dan penolakan. Seolah ia tahu apa yang akan muncul berikutnya—tapi tetap berharap itu tidak terjadi.Di layar, waktu menunjukkan pukul 03.11 dini hari.Pintu dapur terbuka sedikit. Lalu ... boneka Bella muncul. Sendiri. Tanpa siapa pun
"Soraya! Lepaskan itu!"Kalina menjerit dalam gelap. Suaranya menggema di ruang tak dikenal yang dikelilingi kabut dan bayangan. Soraya berdiri beberapa meter darinya, mengenakan gaun tidur putih yang biasa ia kenakan di rumah. Namun ada yang janggal. Wajah anak itu menunduk, tubuhnya gemetar ... dan di tangannya, boneka Bella tergenggam erat."Soraya ... Nak, itu bukan mainan lagi. Mama mohon, kasih ke Mama," ucap Kalina, matanya berkaca-kaca.Anak itu mendongak perlahan. Wajahnya masih wajah Soraya — tapi matanya kosong. Bukan kosong biasa. Gelap, dalam, seolah lubang tak berdasar mengintai di balik pupilnya."Papa ... bilang waktunya balas dendam. Kan, Ma?"Suara itu bukan suara Soraya. Lebih berat, lebih tua. Seperti suara dari kerongkongan yang lupa cara menjadi manusia.Tiba-tiba, dari perut boneka Bella, merayap keluar kabut hitam pekat. Kabut itu berwujud seperti tangan—panjang, ramping, dan menjulur ke arah dada Soraya. Kalina menjerit, berlari ke depan, tapi tubuhnya seperti
Flashback – Lima Tahun Sebelumnya "Aku udah kerja sampai malam, Ratih. Aku nyoba semua cara! Tapi Ayu butuh operasi itu sekarang, bukan nanti!"Suara Bayu menggema di ruang kontrakan sempit yang dindingnya tipis dan lantainya lembap. Di depannya, Ratih—istrinya—duduk dengan wajah lelah, tubuh kurusnya menggigil sambil memandangi termos kecil yang hanya berisi air hangat.“Mas ... kita bisa cari pinjaman lain. Mungkin dari koperasi ... atau Pak RT…”Bayu menggeleng keras. “Udah! Semua pintu udah gue ketok! Mereka cuma mau jaminan. Kita punya apa, Ratih? Kompor rusak? TV kecil? Semua itu nggak cukup!”Ratih terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia menahannya.Di balik tirai kamar sempit, suara batuk kecil terdengar. Lembut. Lemah.Ayu.Mereka segera beranjak. Di ranjang kecil dengan seprai kusam, Ayu terbaring. Wajahnya pucat, napasnya pendek-pendek. Selang oksigen menempel di hidungnya. Di tangannya, boneka tua bergaun merah muda—Bella—tergenggam erat. Boneka itu dulunya milik ibu
"Harga naik dua ratus per strip. Kalau nggak suka, cari yang lain."Suara pria itu serak, dengan tatapan mencurigakan dan tangan yang tak pernah berhenti bergerak di bawah meja. Daru—dengan hoodie abu-abu pudar, celana jeans belel, dan kumis palsu tipis—menyodorkan segepok uang tunai tanpa banyak bicara.Matanya tak berkedip, memperhatikan sekitar warung kopi semi-terbuka yang jadi titik pertemuan di gang sempit belakang Stasiun Kota."Gue bukan nyari harga murah. Gue nyari akses langsung ke yang ngatur jalur tengah," kata Daru, suaranya serak dibuat-buat. "Gue bukan pemula. Orang dalam bilang, lo bisa bawa gue ke orang yang bisa atur pengiriman."Pria itu—dikenal di lapangan sebagai Jalu—mengangkat alis. "Siapa orang dalam lo?""Bayu."Jalu langsung diam. Wajahnya menegang. Ia menyipitkan mata, menilai Daru dari ujung kaki hingga kepala. "Bayu udah mati.""Justru itu. Gue nyari tahu kenapa dia mati. Dan siapa
Malam itu, Jakarta diguyur hujan tanpa jeda, seolah langit sedang menyembunyikan sesuatu yang tak sanggup lagi ditahan. Di sebuah kafe tua yang sudah tak beroperasi sejak pandemi, Daru duduk di sudut ruangan gelap bersama Yudistira.Bau lembap dan kayu lapuk bercampur dengan aroma kopi basi dari mesin tua di pojok bar. Lampu neon menggantung rendah, berkedip pelan seperti bernapas berat."Kau yakin tempat ini aman?" bisik Yudistira, matanya tak lepas dari jendela berdebu."Kalau pun disadap, kita nggak bicara lewat saluran resmi," jawab Daru. Suaranya pelan tapi tegas. "Mulai malam ini, kita bergerak di luar sistem."Yudistira mengangguk pelan. Tak ada seragam. Tak ada badge. Hanya dua penyidik yang menolak tunduk pada kenyataan yang dipelintir kekuasaan.Daru membuka tas ranselnya, mengeluarkan map lusuh yang berisi sketsa, foto korban, dan cetakan potongan laporan forensik. Di tengahnya, peta koneksi."Setiap korban ini punya jejak ke satu
Ruang rapat lantai empat kantor Kepolisian Daerah Jakarta itu dingin, terlalu dingin untuk ruangan penuh orang. Di tengah ruangan bundar, tujuh pejabat tinggi kepolisian duduk berjajar. Setiap mata memancarkan tekanan, setiap diam memuat banyak pesan.Daru berdiri di depan proyektor. Tubuhnya tegap, tapi sorot matanya menyimpan bara. Di layar belakangnya, terbuka lembaran laporan visual peta pengiriman narkoba tahun 2018—jalur Marunda ke Tanjung Priok. Di bagian bawah ada foto si kurir, wajahnya tersorot dari rekaman dashcam yang diperoleh Reza."Lima tahun lalu," suara Daru terdengar jelas, meski tenang, "operasi penggerebekan ini menghasilkan dua puluh satu penangkapan dan barang bukti bernilai miliaran. Tapi ada satu nama yang menghilang dari laporan resmi. Bayu Darmawan, kurir freelance yang diduga bagian dari jaringan, tapi tidak pernah diadili. Ia tewas dalam pengejaran."Beberapa kepala mulai menoleh. Daru melihatnya, tapi tetap tenang.