Share

Chapter 2

Namun, alih-alih mengatakannya, Reiz justru berdeham, "Ekhem. Bukankah kau akan mengikuti interview?"

"Benar, tapi izinkan saya membantu Anda lebih dulu sebagai ucapan terima kasihku."

Melihat ketulusan dari mata Eliza, Reiz pun mengangguk. Ia langsung menjelaskan apa sebenarnya yang membuatnya kebingunan saat ini.

"Dokumen yang berisi penawaran harga dari Royal Gold Company. Tolong carikan itu untukku."

Tidak membuang waktu, Eliza langsung bergegas mencarikan dokumen itu dalam lemari besar tersebut.

Tumpukan dokumen di dalamnya memang cukup banyak. Bahkan Eliza juga merasa kebingungan. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya saat sudah lebih dari sepuluh menit tidak menemukan dokumen yang dicarinya.

Namun karena ia sudah berkata ingin membantu, Eliza harus mencarinya hingga ketemu.

"Baiklah. Jika hanya mencari tidak ketemu. Lebih baik sambil merapikan saja dokumen-dokumen ini. Pasti akan lebih mudah menemukannya."

Eliza mulai merapikan dokumen yang berantakan itu, ia menyesuaikan dengan tanggal bulan dan tahun. Ia juga menyusun berdasarkan jenis dokumen itu dengan baik.

Sementara itu, Reiz dari belakang memperhatikan Eliza yang sedang sibuk sendiri. Pria itu sengaja membiarkannya tanpa memberikan perintah apapun.

'Rupanya dia punya skill administrasi yang bagus,' gumam Reiz dalam hatinya.

"Ini dia," seru Eliza. Ia sangat senang, akhirnya dapat menemukan barang yang dicari oleh pria itu.

Ia segera memberikan dokumen tersebut kepada Reiz yang masih berdiri memperhatikan Eliza dari belakang.

"Bos, ini adalah dokumen yang Anda cari." Eliza menyodorkan dokumen itu dengan napas tersengal kelelahan.

Reiz mengambil dokumen itu dan memeriksa. Reiz sangat mengapresiasi bantuan Eliza yang telah berhasil menemukan dokumen yang dicarinya. Dan, semua dokumen di lemarinya juga telah tersusun sangat rapi berkat Eliza.

Tanpa disadari, Eliza melakukannya hingga memakan waktu tiga jam lamanya. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Eliza yang melihat arlojinya sangat terkejut.

"Bos, aku sudah terlambat sekali. Aku akan pergi sekarang."

Eliza langsung berlari keluar ruangan itu tanpa mendengar Reiz yang berusaha menghentikannya.

Eliza memencet tombol lift ke lantai satu, dan menemui wanita resepsionis tadi.

"Bu, saya sudah rapi dan sekarang ingin ikut interview," ujar Eliza dengan napas tersengal.

Bukan langsung menjawab, wanita itu menatap sinis Eliza dari ujung rambut dan ujung kaki. Karena Eliza sangat lama pergi bersama bosnya tadi, wanita itu seolah memiliki pemikirin yang buruk tentang Eliza.

"Humh. Kau pasti puas sudah merayu Bos Reiz untuk ikut interview ya? Dasar, gadis nakal. Rela melakukan apapun untuk mendapat pekerjaan."

Mendengar tuduhan yang tidak berdasar itu membuat Eliza sangat naik pitam.

"Apa kau bilang, gadis nakal? Kata-katamu sangat menyakiti hati saya. Apa karena kau sudah mendapat pekerjaan jadi kau berhak untuk sombong dan memandang rendah diriku?" teriak Eliza yang membuat beberapa orang sedang lewat itu menatap ke arah mereka.

Tiba-tiba Reiz memegang lengan Eliza dadi belakang. Sontak wanita resepsionis itu kembali terkejut.

"Ikuti aku," ucap Reiz sambil menarik lengan Eliza untuk menaiki lift.

Sementara wanita resepsionis disana kembali menutupi mulutnya, merasa takut jika Reiz mendengarkan ucapannya.

Di dalam lift, Eliza berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia menatap pria yang tadi menariknya. "Bos?"

Reiz hanya menoleh padanya dan tidak mengatakan apapun.

Eliza menggigit ujung bibir bawahnya lalu berkata, "Kita mau kemana Bos?"

Reiz seolah menatapnya bingung. "Bukankah kau ingin interview?"

Pertanyaanya membuat Eliza membelalak. "Ya, benar. saya ingin interview. Apa Anda bisa membantu saya, Bos?"

Reiz hanya mengangguk dengan wajah datarnya yang dingin.

Namun Eliza tidak dapat membendung kebahagiaannya. Dengan polos ia melakukan selebrasi kecil. "Yes yes yes."

Reiz ternyenyum tipis melihat tingkah lucu gadis itu. Sangat energik dan tidak patah semangat. Skill yang sulit ditemui dimasa kini.

Lift berhenti di lantai dua belas. Pintu lift yang terbuka memperlihatkan ruangan itu dari luar, yang tampak sama dengan milik pria yang sedang bersama Eliza sekarang.

"Ikuti aku," perintah Reiz lalu dia melangkah lebih dulu dan berhenti di depan pintu ruangan itu, mengetuknya.

"Masuklah," ucap seseorang dari dalam. Eliza yakin dia adalah Bos Vico yang di maksud wanita resepsionis tadi.

Dalam benak Eliza, Vico adalah pria berusia empat puluhan dan memiliki wajah yang seram, seperti seorang bapak-bapak diktator di dalam serial televisi.

"Ayo," ajak Reiz setelah membuka pintu tersebut.

Eliza pun masuk lebih dulu, lalu disusul Reiz yang kemudian menutup pintu itu kembali.

Reiz meghampiri Vico yang sedang mendunduk dengan satu tangan yang menangkup wajahnya itu sehingga tidak telihat jelas oleh Eliza.

"Ada seorang gadis yang ingin ku rekomendasikan padamu."

"Reiz, jangan mengajakku bercanda. Aku tidak sedang mencari pacar saat ini," tolak Vico dengan angkuh dan tanpa menatap sang adik lebih dulu.

"Kenapa kau selalu berpikir tentang gadis seperti itu? Dia ingin melamar sebagai sekretarismu."

Menyadari dia telah salah paham pada saudara, Vico langsung mengangkat wajahnya. Ia menatap dingin gadis yang dibawa oleh Reiz.

Melihat wajah Vico, Eliza kembali dibuat takjub. 'Apakah disini adalah perusahaan model? Mengapa mereka sangat tampan?'

Vico adalah direktur utama perusahaan tersebut. Dia tampak sangat berbeda dengan visual yang dibayangkan oleh Eliza. Pria itu benar-benar tampan. Garis wajahnya sangat tegas dan memiliki iris mata yang cantik.

"Dia?" tanya Vico sambil menunjuk dengan malas.

Reiz mengangguk. "Betul, dia memiliki skill yang bagus dan aku rasa cocok menjadi sekretarismu."

Vico diam sekejap. Lalu berkata,"Apakah kau lulusan universitas terbaik di negeri ini?"

Eliza sangat terkejut dengan pertanyaan Vico, ternyata kualifikasi yang di inginkannya benar-benar tinggi. Pantas saja wanita di resepsionis tadi sangat keras menolaknya.

Eliza hanya menggelengkan kepalanya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Karena dari awal pembicaraan sudah jelas sangat tidak mungkin dirinya akan lolos.

"Lalu kau lulusan dari universitas apa?"

"Saya belum lulus kuliah, Bos. Saya sebenarnya terancam putus kuliah karena kendala biaya. Maka dari itu, saya ingin mengikuti interview untuk mendapat pekerjaan," ucapnya lirih.

Vico langsung membuang nafas kasar setelah mendegar penjelasan Eliza. Gadis itu benar-benar tidak layak menjadi sekretarisnya.

"Apa kau gila, Reiz? Bagaimana bisa kau membawa gadis yang bahkan akan putus kuliah untuk menjadi sekretarisku?"

"Tapi dia memiliki skill. Aku rasa dia layak kau berikan kesempatan."

"Apa dia pacarmu?" tanya Vico langsung.

Pertanyaan itu sontak membuat Eliza terkejut dan langsung menggelengkan kepalanya menyangkal hubungan yang dituduhkan itu.

"Bawa dia pergi."

Deg!

"Apakah saya ditolak?" Tanpa sadar, pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut Eliza.

Vico sontak memandangnya tajam. "Apa kau tidak mendengar ucapanku tadi? Aku rasa, Reiz salah menilaimu." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status