Namun, alih-alih mengatakannya, Reiz justru berdeham, "Ekhem. Bukankah kau akan mengikuti interview?"
"Benar, tapi izinkan saya membantu Anda lebih dulu sebagai ucapan terima kasihku."Melihat ketulusan dari mata Eliza, Reiz pun mengangguk. Ia langsung menjelaskan apa sebenarnya yang membuatnya kebingunan saat ini."Dokumen yang berisi penawaran harga dari Royal Gold Company. Tolong carikan itu untukku."Tidak membuang waktu, Eliza langsung bergegas mencarikan dokumen itu dalam lemari besar tersebut.Tumpukan dokumen di dalamnya memang cukup banyak. Bahkan Eliza juga merasa kebingungan. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya saat sudah lebih dari sepuluh menit tidak menemukan dokumen yang dicarinya.Namun karena ia sudah berkata ingin membantu, Eliza harus mencarinya hingga ketemu."Baiklah. Jika hanya mencari tidak ketemu. Lebih baik sambil merapikan saja dokumen-dokumen ini. Pasti akan lebih mudah menemukannya."Eliza mulai merapikan dokumen yang berantakan itu, ia menyesuaikan dengan tanggal bulan dan tahun. Ia juga menyusun berdasarkan jenis dokumen itu dengan baik.Sementara itu, Reiz dari belakang memperhatikan Eliza yang sedang sibuk sendiri. Pria itu sengaja membiarkannya tanpa memberikan perintah apapun.'Rupanya dia punya skill administrasi yang bagus,' gumam Reiz dalam hatinya."Ini dia," seru Eliza. Ia sangat senang, akhirnya dapat menemukan barang yang dicari oleh pria itu.Ia segera memberikan dokumen tersebut kepada Reiz yang masih berdiri memperhatikan Eliza dari belakang."Bos, ini adalah dokumen yang Anda cari." Eliza menyodorkan dokumen itu dengan napas tersengal kelelahan.Reiz mengambil dokumen itu dan memeriksa. Reiz sangat mengapresiasi bantuan Eliza yang telah berhasil menemukan dokumen yang dicarinya. Dan, semua dokumen di lemarinya juga telah tersusun sangat rapi berkat Eliza.Tanpa disadari, Eliza melakukannya hingga memakan waktu tiga jam lamanya. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Eliza yang melihat arlojinya sangat terkejut."Bos, aku sudah terlambat sekali. Aku akan pergi sekarang."Eliza langsung berlari keluar ruangan itu tanpa mendengar Reiz yang berusaha menghentikannya.Eliza memencet tombol lift ke lantai satu, dan menemui wanita resepsionis tadi."Bu, saya sudah rapi dan sekarang ingin ikut interview," ujar Eliza dengan napas tersengal.Bukan langsung menjawab, wanita itu menatap sinis Eliza dari ujung rambut dan ujung kaki. Karena Eliza sangat lama pergi bersama bosnya tadi, wanita itu seolah memiliki pemikirin yang buruk tentang Eliza."Humh. Kau pasti puas sudah merayu Bos Reiz untuk ikut interview ya? Dasar, gadis nakal. Rela melakukan apapun untuk mendapat pekerjaan."Mendengar tuduhan yang tidak berdasar itu membuat Eliza sangat naik pitam."Apa kau bilang, gadis nakal? Kata-katamu sangat menyakiti hati saya. Apa karena kau sudah mendapat pekerjaan jadi kau berhak untuk sombong dan memandang rendah diriku?" teriak Eliza yang membuat beberapa orang sedang lewat itu menatap ke arah mereka.Tiba-tiba Reiz memegang lengan Eliza dadi belakang. Sontak wanita resepsionis itu kembali terkejut."Ikuti aku," ucap Reiz sambil menarik lengan Eliza untuk menaiki lift.Sementara wanita resepsionis disana kembali menutupi mulutnya, merasa takut jika Reiz mendengarkan ucapannya.Di dalam lift, Eliza berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia menatap pria yang tadi menariknya. "Bos?"Reiz hanya menoleh padanya dan tidak mengatakan apapun.Eliza menggigit ujung bibir bawahnya lalu berkata, "Kita mau kemana Bos?"Reiz seolah menatapnya bingung. "Bukankah kau ingin interview?"Pertanyaanya membuat Eliza membelalak. "Ya, benar. saya ingin interview. Apa Anda bisa membantu saya, Bos?"Reiz hanya mengangguk dengan wajah datarnya yang dingin.Namun Eliza tidak dapat membendung kebahagiaannya. Dengan polos ia melakukan selebrasi kecil. "Yes yes yes."Reiz ternyenyum tipis melihat tingkah lucu gadis itu. Sangat energik dan tidak patah semangat. Skill yang sulit ditemui dimasa kini.Lift berhenti di lantai dua belas. Pintu lift yang terbuka memperlihatkan ruangan itu dari luar, yang tampak sama dengan milik pria yang sedang bersama Eliza sekarang."Ikuti aku," perintah Reiz lalu dia melangkah lebih dulu dan berhenti di depan pintu ruangan itu, mengetuknya."Masuklah," ucap seseorang dari dalam. Eliza yakin dia adalah Bos Vico yang di maksud wanita resepsionis tadi.Dalam benak Eliza, Vico adalah pria berusia empat puluhan dan memiliki wajah yang seram, seperti seorang bapak-bapak diktator di dalam serial televisi."Ayo," ajak Reiz setelah membuka pintu tersebut.Eliza pun masuk lebih dulu, lalu disusul Reiz yang kemudian menutup pintu itu kembali.Reiz meghampiri Vico yang sedang mendunduk dengan satu tangan yang menangkup wajahnya itu sehingga tidak telihat jelas oleh Eliza."Ada seorang gadis yang ingin ku rekomendasikan padamu.""Reiz, jangan mengajakku bercanda. Aku tidak sedang mencari pacar saat ini," tolak Vico dengan angkuh dan tanpa menatap sang adik lebih dulu."Kenapa kau selalu berpikir tentang gadis seperti itu? Dia ingin melamar sebagai sekretarismu."Menyadari dia telah salah paham pada saudara, Vico langsung mengangkat wajahnya. Ia menatap dingin gadis yang dibawa oleh Reiz.Melihat wajah Vico, Eliza kembali dibuat takjub. 'Apakah disini adalah perusahaan model? Mengapa mereka sangat tampan?'Vico adalah direktur utama perusahaan tersebut. Dia tampak sangat berbeda dengan visual yang dibayangkan oleh Eliza. Pria itu benar-benar tampan. Garis wajahnya sangat tegas dan memiliki iris mata yang cantik."Dia?" tanya Vico sambil menunjuk dengan malas.Reiz mengangguk. "Betul, dia memiliki skill yang bagus dan aku rasa cocok menjadi sekretarismu."Vico diam sekejap. Lalu berkata,"Apakah kau lulusan universitas terbaik di negeri ini?"Eliza sangat terkejut dengan pertanyaan Vico, ternyata kualifikasi yang di inginkannya benar-benar tinggi. Pantas saja wanita di resepsionis tadi sangat keras menolaknya.Eliza hanya menggelengkan kepalanya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Karena dari awal pembicaraan sudah jelas sangat tidak mungkin dirinya akan lolos."Lalu kau lulusan dari universitas apa?""Saya belum lulus kuliah, Bos. Saya sebenarnya terancam putus kuliah karena kendala biaya. Maka dari itu, saya ingin mengikuti interview untuk mendapat pekerjaan," ucapnya lirih.Vico langsung membuang nafas kasar setelah mendegar penjelasan Eliza. Gadis itu benar-benar tidak layak menjadi sekretarisnya."Apa kau gila, Reiz? Bagaimana bisa kau membawa gadis yang bahkan akan putus kuliah untuk menjadi sekretarisku?""Tapi dia memiliki skill. Aku rasa dia layak kau berikan kesempatan.""Apa dia pacarmu?" tanya Vico langsung.Pertanyaan itu sontak membuat Eliza terkejut dan langsung menggelengkan kepalanya menyangkal hubungan yang dituduhkan itu."Bawa dia pergi."Deg!"Apakah saya ditolak?" Tanpa sadar, pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut Eliza.Vico sontak memandangnya tajam. "Apa kau tidak mendengar ucapanku tadi? Aku rasa, Reiz salah menilaimu."
Reiz sudah mengerti sikap kakaknya itu, hanya bisa menghela napas."Ayo kita keluar," ajaknya pada Eliza yang mengikutinya dari belakang.Reiz tidak tahu sebelumnya, jika Eliza adalah masih berstatus sebagai mahasiswa. Jika ia tahu, dia juga tidak akan repot-repot membantunya untuk bertemu Vico. Karena Reiz saja sudah dapat memberikan jawabannya.Wajah Eliza sangat terlihat putus asa. Namun Reiz tidak bisa membantunya meskipun ia adalah adik dari Vico sendiri.Pria itu mengantar Eliza hingga ke lantai satu. "Saya akan pergi sendiri. Terima kasih Anda telah membantuku," ucap Eliza lalu membungkuk sebelum keluar dari lift."Maafkan aku," ucap Reiz."Anda tidak bersalah. Saya lah yang bersalah karena saya hanyalah seorang mahasiswa yang hampir putus kuliah."Sekali lagi Eliza membungkukkan badannya sebelum akhirnya pergi meninggalkan pria itu.------Lima hari sudah berlalu, Eliza yang sudah hampir putus asa dengan hidupnya masih terlelap di kasur empuknya. Alarm ponsel dari tadi sudah be
"Aku sangat cemas! Kamu sudah seminggu lebih tidak masuk kampus dan susah dihubungi. Lalu, kenapa kamu tidak membalas pesanku?" gerutu Susan sahabat baiknya di kampus.Puas memeluk meluapkan rindu pada sahabatnya, Susan langsung masuk ke dalam rumah Eliza tanpa menunggu dipersilahkan. Susan langsung pergi ke meja makan untuk mencari makanan disana. Setelah pulang dari kampus perut Susan menjadi sangat berisik. Untuk itu ia memutuskan untuk mampir ke rumah Eliza melepas rindu sekaligus menumpang makan siang."Kamu tidak masak?" tanya Susan setelah membuka tudung saji diatas meja."A-aku,""Astaga, dikulkasmu juga tidak ada apapun. Hanya ada air putih dan, sisa susu hanya sedikit?" ujar Susan sambil menunjukkan kotak susu yang diambil dari dalam kulkas."Dan ini, roti yang sudah expired kenapa tidak kamu buang?" tambahnya setelah memeriksa isi kulkas Eliza lagi.Susan masih tidak bisa berkata-kata, mengapa bisa kulkas sampai tidak ada makanan sedangkan saat ini dia sangat lapar sekali.
Eliza menaiki tangga dan menghampiri wanita pemilik rumah yang sudah melihatnya dengan kedua tangan yang berkacak pinggang."Bu Raya, bukankah Anda memberikanku kesempatan hingga besok?""Aku datang karena melihat kau memiliki orang yang bisa diandalkan," jawab wanita itu sambil memiringkan kepalanya sedikit untuk melihat Susan yang baru muncul setelah memastikan dirinya telah memarkir mobil dengan benar.Eliza turut menoleh ke belakangnya, dimana Susan baru muncul. "Maaf Bu. Tapi saya tidak dapat mengandalkan siapa-siapa. Dia hanyalah teman saya.""Aku tidak peduli. Tampaknya dia memiliki banyak uang. Hei kau, apa kau teman gadis ini?"Susan sontak mengangkat kedua alisnya bingung, namun dari wajahnya Susan bisa menebak, sepertinya wanita paruh baya itu memiliki urusan uang dengan Eliza."Ya, aku sahabat baiknya. Ada apa?""Baguslah. Kalau kau memang sahabatnya, bayarkan uang sewa untuknya. Dia sudah telat selama satu minggu!" Eliza mengerjapkan kedua matanya menahan malu. Lalu meno
"Mereka tidak akan peduli padaku." Susan mengambil sebuah apel lalu langsung menggigitnya. Susan menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang tempatnya biasa menginap."Apa sebaiknya aku mengganti beberapa perabotan yang sudah tidak layak?" "Tidak perlu. Semuanya masih sangat bagus. Jangan lakukan apapun lagi, mengerti?" Susan hanya mencebik sambil mengangguk perlahan.----------Pagi-pagi ini Eliza sudah sangat rapi, ia mengenakan kemeja berwarna putih dan celana kain berwarna hitam. Penampilannya sangat rapi seperti seorang anak magang baru. Eliza kembali memperhatikan penampilannya dari kaca. Ia memiringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kerapian dirinya dalam mengenakan pakaian.Lalu ia mendekatkan wajahnya ke cermin, memastikan riasannya sudah menempel dengan baik. Diraihnya sebuah lipstik di atas meja lalu mengoleskannya ke bibir tipisnya. Beberapa kali Eliza mengatupkan bibirnya untuk meratakan warna lipstiknya.Sedangkan Susan masih baru membuka mata. Itu pun kare
Eliza berbalik, menatap kelakuan pria itu yang semakin membuatnya geram. Napasnya tersengal naik turun menahan emosi dan takut secara bersamaan."Kemarilah. Percuma jika kau ingin melawan. Semua pegawaiku akan langsung senang ketika aku menawarkannya.""Aku berbeda dengan mereka. Dan aku sama sekali tidak tertarik lagi untuk bekerja disini. Jadi biarkan aku pergi." "Tentu tidak semudah itu. Aku sudah meloloskan interview mu. Jadi kau sudah resmi menjadi karyawan restoran ini. Dan kau juga harus melakukan prosedur sesuai kontrak."Pria itu mengantongi kembali kunci pintu ruangan itu. Lalu ia berjalan ke mejanya percaya diri, meskipun dengan celana dalam yang masih terlihat jelas. Pria itu mengambil sebuah kertas dari laci, lalu melemparkannya ke hadapan Eliza."Baca baik-baik peraturan itu."Eliza bergegas mengambil kertas itu dan membacanya dengan teliti. Tertera beberapa poin prosedur pekerjaan yang membuatnya tercengang. Poin dua adalah setelah interview dan diterima maka karyawan
Susan langsung paham, kemudian menarik kembali tubuh Eliza dalam pelukannya."Katakan padaku, dimana toko itu berada?"Eliza mengangguk sambil kembali terisak dalam dekapan sahabatnya.Dua hari setelah kejadian itu, Eliza sudah dapat mengontrol traumanya berkat bantuan Susan.Susan terus membantu Eliza memberikan doktrin-doktrin yang baik untuk otaknya. Mereka telah membuat sebuah rencana untuk melakukan pembalasan. Mereka akan melakukannya malam ini. Eliza dan Susan menyeringai seram, saat menatap rentetan rencana pembalasan di sebuah papan tulis yang tergantung di dinding kamar mereka."Apa kamu siap, El?" "Yes, girl. I am ready for sure.""Ok. Just kill him then."Jadi di sinilah Susan. Dia sudah melakukan pengintaian selama dua malam sebelum hari eksekusi rencana bersama El.Jadwal pria pemilik restoran itu telah dikantongi dengan rapi. Demikian juga jadwal para pelayan yang dan kunjungan pelanggan ke restoran. Mereka juga telah melakukan riset tentang pria itu melalui media sos
Keesokan harinya, Eliza bangun sangat awal. Dia langsung ke dapur,membuat sandwich untuk sarapan dan juga bekal. Eliza tampak sangat bersemangat, dia bersenandung lirih sambil menggoyang-goyangkan kepalanya kadang-kadang.Susan yang mencium aroma kopi cappucino dan sandwich panggang itu pun bangkit dari ranjangnya. Dia beranjak mengikuti indra penciumannya hingga sampai ke meja makan. Dengan mata kantuknya, Susan menarik kursi lalu menempelkan pantatnya pada alas kursi yang sedikit empuk itu, menunggu hidangan sampai di hadapannya. "Mana kopi untukku?" tanya Susan "Ouh hallo, morning Baby. Kopi untukmu, segera datang." Eliza mengantarkan secangkir kopi cappucino hangat untuk Susan.Susan mengambilnya lalu menyeruput kopi miliknya itu, sementara El sudah lebih dulu menyeruput miliknya tadi.Susan melebarkan matanya perlahan kala mendengar nyanyian yang lebih mirip suara tangisan itu samar. Kedua tangan Susan menyangga dagunya. "Apa kamu sedang sedih, El? Kenapa kamu menangis sambil
Rasa penasaran Vico membuahkan sebuah pertanyaan di benaknya, Vico segera menyadarkan diri. Tidak ada gunanya dia merasa penasaran pada perempuan yang tidak jelas itu. Vico segera memencet tombol lift untuk menutup pintunya. Ada sebuah rapat penting sedang menunggunya pagi ini. Sebuah mega proyek baru yang sedang direncanakannya, akan mulai dilaksanakan per awal bulan depan mendatang.Ting tung.Eliza memencet bel ruang kerja Reiz, dimana secara otomatis kunci pintu itu terbuka setelahnya. Eliza melongokkan kepalanya ke dalam sebelum memasuki ruangan itu. Guna memastikan dirinya tidak salah masuk ruangan, meskipun dia tahu ruangan itu benar seperti dalam ingatannya."Masuklah," perintah Reiz yang melihat Eliza sudah datang.Eliza tersenyum simpul, kemudian masuk sesuai perintah pria yang sudah menunggunya. "Selamat pagi, Tuan.""Pagi. Duduklah."Gegas, Eliza duduk di kursi yang tersedia di depan meja kerja pria itu."Saya ucapkan terima kasih, karena Anda telah berbesar hati memberi