Share

3. Kembalinya sang Mantan

Keheningan tercipta sesaat Edhie mempertanyakan hal yang sama sekali tak terduga bagi Lily. Hanya suara deru mesin mobil yang melaju serta sesekali suara klakson kendaraan dari luar terdengar.

Lily, gadis itu menatap Edhie yang tengah fokus menyetir. Tak lama kemudian, bahunya bergetar, disusul dengan gelak tawa yang tanpa bisa ia tahan.

Jika bukan karena perutnya yang lagi-lagi seperti diremas hingga membuatnya mengerang, Lily belum berniat menghentikan tawanya. Sudut matanya bahkan sampai berair.

Edhie menelan ludah, sembari melirik Lily dengan ekor matanya. Kenapa respon gadis itu justru tertawa? Apa karena saking bencinya Lily sampai bingung berekspresi?

"Kau konyol, Ed!"

"Apa?" Pria itu tampak tercengang sesaat, tapi fokusnya kembali ke arah jalanan yang cukup padat.

"Bagaimana mungkin seorang Edhie mampu membunuh orang?" ucapnya lagi dengan tawa yang akan meledak tapi terpaksa Lily tahan. Gadis itu tidak ingin kembali merasa sakit yang teramat sangat di bagian perutnya.

"Sudahlah, hentikan ucapan omong kosongmu," pinta Lily lantas mengarahkan pandangannya ke luar jendela.

Lagi-lagi Edhie menelan ludahnya, lalu mengusap wajahnya dengan tangan kiri.

"Hei, aku tidak bercanda."

"Ya, ya, ya, terserah, Ed! Bangunkan aku jika sudah sampai di rumah." Lily berucap tak acuh dan dalam sekejap mata gadis itu sudah terpejam dengan napas yang beraturan.

Dinginnya AC tidak mampu mengobati hawa panas dalam diri Edhie. Ia mumbuka kancing kemeja bagian atas lalu menggulung lengan hingga sebatas siku. Jalanan yang padat, dengan cuaca panas, serta kemacetan di lampu merah benar-benar menguras tenaga Edhie.

Sesekali, ia melirik ke arah Lily yang sudah terlelap dengan tenang. Wajah gadis itu sedikit tertutupi dengan beberapa helai rambut coklatnya yang panjang.

Sambil menunggu lampu menyala hijau, Edhie menyandarkan kepalanya di stir mobil, menatap dengan jelas wajah Lily. 

"Aku tidak mungkin jadi pembunuh, bukan?" lirih pria itu seraya menghembuskan napas berat.

Edhie kembali menekan pedal gas sebelum mendapat serbuan klakson dari kendaraan yang berada di belakangnya. Perjalanan kali ini terasa cukup jauh untuknya.

***

"Jadi, Ed… orang tuaku sudah meninggal?"

Saat ini Lily sedang berbicara empat mata dengan Edhie di balkon kamar gadis itu. Malam yang tenang dengan gemerlap cahaya bintang yang menyebar di langit gelap, tidak sesuai dengan gambaran suasana hati Lily saat ini.

Meskipun Lily tidak pernah menginginkan untuk bertemu kedua keluarganya—atau mungkin pernah, gadis itu tetap merasakan kehilangan.

"Lily." Edhie memegang bahu kecil gadis itu. "Kau… Ah! Tidak mungkin kau akan baik-baik saja." Edhie kemudian melingkarkan lengannya di tubuh Lily, tidak ada penolakan darinya.

"Aku sedih, tapi juga merasa hampa di saat yang bersamaan, Ed. Aku ingin menangis, tapi menangisi apa? Aku bahkan tidak ingat wajah mereka."

"Siapa yang tidak sedih ketika kehilangan orang tuanya, Lily. Menangislah." Tanpa banyak bicara, Edhie melingkarkan lengan ke tubuh kecil Lily. 

Tidak ada penolakan dari gadis itu, ia justru mempererat pelukan mereka, mencari ketenangan dalam dada bidang orang yang selama ini merawatnya.

"Terima kasih, Ed. Sudah merawatku selama ini. Tidak ada hal yang bisa aku berikan untuk membalas segala kebaikanmu," ujar Lily disela-sela isakannya.

Ya, dalam pelukan Edhie, Lily menumpahkan segala perasaannya.

Edhie terdiam cukup lama, ia letakkan dagunya di puncak kepala Lily. Pria itu mengusap lembut punggung Lily, lalu menghembuskan napas perlahan.

"Tugasmu hanya perlu bahagia, Lily. Aku akan melakukan segala cara, agar kamu bisa menemukan kebahagiaan."

Setelah perasaan Lily cukup lega, keduanya kini duduk di sofa yang tersedia di balkon. Pandangan mereka menatap lurus ke depan.

"Seperti apa kedua orang tuaku, Ed?"

"Mereka orang baik, Lily. Orang yang sangat baik."

Lily menghembuskan napas lega. "Setidaknya sekarang aku tahu, mereka tidak membuangku, Ed."

"Kebakaran di mansion keluarga yang menyebabkan mereka harus…" Edhie tercekat, rasanya tidak sanggup untuk melanjutkan perkataannya, ia takut akan melukai gadis kecilnya.

"Lalu, aku? Bagaimana aku bisa selamat?"

"Saat itu kau sedang bermain denganku, usiamu baru tujuh bulan, dan aku sering mengajakmu bermain. Kita berada di ruang berbeda dengan orang tuamu, dan berhasil selamat."

Lily mengangguk mengerti mendengar penjelasan dari Edhie. Sekarang sudah tidak ada lagi pertanyaan yang mengganjal di hatinya terkait kedua orang tuanya.

"Kenapa kamu memutuskan untuk merawatku, Ed?"

"Karena sejak kecil kau sudah menempel padaku." Edhie mendaratkan punggungnya di sandaran sofa. Kepalanya mendongak angkuh, seolah Lily lah yang menginginkan dirawat olehnya.

Gadis itu mendengus, menatap tidak percaya ke arah Edhie. "Kepercayaan dirimu tidak pernah berkurang, Ed."

Edhie menaikkan bahunya acuh tak acuh.

"Lihatlah! Sampai sekarang kau juga masih menempel padaku."

"Itu karena kita tinggal bersama! Kita ini suami-istri, Ed. Apa kau lupa?" Kali ini Lily yang tersenyum jumawa kepada pria dewasa di sampingnya.

"Kau boleh bercanda seperti itu kepadaku, Lily. Tapi, tidak ke orang lain!" Edhie berkata ringan tanpa beban.

Gadis yang terancam itu mengerucutkan bibirnya. "Belum menikah saja sudah protektif."

"Hei! Sebenarnya kau belajar seperti itu dari mana?" geram Edhie. Matanya melirik sinis gadis belia yang bertingkah seperti perempuan dewasa itu.

Sedangkan, sang pelaku hanya terkekeh sambil menjulurkan lidahnya.

"Anak jaman sekarang benar-benar di luar nalar!" gerutunya lagi.

Candaan mereka terpaksa harus terhenti ketika pintu kamar Lily diketuk oleh seseorang.

"Ada apa, Joe?" tanya Edhie setelah membukakan pintu.

"Ada tamu, Bos."

Edhie melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Benda pipih itu menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia ingat tidak ada janji dengan siapapun.

"Lebih baik Anda melihat sendiri, Bos."

Edhie mengernyitkan keningnya, tak lama kemudian pria itu keluar dari kamar Lily diikuti dengan gadis itu yang terlihat sama penasarannya.

Seorang perempuan, duduk di sofa ruang tamu. Belum terlihat siapa pemilik rambut hitam legam yang duduk membelakangi Edhie itu. 

"Cassie?" Suara berat Edhie yang mendekat, membuat perempuan yang dipanggil Cassie menoleh.

"Ed!" Perempuan dengan balutan dress sedikit terbuka itu berdiri lalu menghamburkan tubuhnya ke dada bidang Edhie. "Ed, tolong aku!" ucapnya dengan cairan bening yang sudah mengalir dari pelupuk mata sang perempuan.

"Hei, tenanglah. Ada apa?" Edhie mengurai pelukan mereka dan membawanya untuk duduk.

Sedangkan, di belakang Edhie, Joe, dan Lily sedang memperhatikan mereka.

"Lily? Kau sudah besar rupanya," sapa perempuan itu yang sudah mengusap air matanya. Ia kembali berdiri lalu mendekat ke arah Lily dan memeluknya.

"Kamu masih ingat aku, 'kan?"

Dengan berat hati, Lily membalas pelukan sang perempuan. Ia berusaha menaikkan sudut bibirnya agar tidak terlihat isi hatinya dengan kentara.

"Tentu saja, Kakak."

Ya. Tidak mungkin Lily akan lupa siapa perempuan itu. Perempuan yang beberapa tahun lalu, berhasil membuat orang yang Lily sukai patah hati teramat dalam.

Cassandra, mantan kekasih Edhie yang juga sahabat pria itu. Pun juga orang yang sama yang pernah mengatakan kepada Lily bahwa Edhie lah penyebab kedua orang tuanya meninggal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status