Share

2. Pengakuan Edhie

"Perkenalkan, nama saya Elliot McLain. Saya berasal dari kota Northland dan akan menetap disini. Mohon kerjasamanya untuk dua tahun ke depan."

Lily menatap tidak percaya ke arah pria yang saat ini juga tengah menatapnya intens. Pria yang tadi dengan tiba-tiba menariknya, ternyata seorang murid baru di kelasnya.

Yang benar saja? Bukankah beberapa menit yang lalu pria itu berkata, ia sangat mengenal Lily?

Beruntung Lily memilih untuk pergi dan tidak berurusan dengannya!

"Hei, apa kalian saling kenal?" Clara, teman sebangku Lily menyikut lengan Lily yang bebas.

Clara menyadari tatapan antara keduanya yang seolah saling kenal satu sama lain.

"Tidak, dan aku tidak ingin mengenalnya," tegas Lily acuh tak acuh.

Gadis itu kemudian berpura-pura sibuk dengan membuka bukunya. Ia sangat malas beradu argumen dengan teman sebangkunya yang jika sudah penasaran, ia rela menggali lubang untuk mengorek informasi.

"Hei, apa kalian saling kenal?"

Lihat, bukan? Tidak mendapat jawaban dari Lily, gadis itu sekarang bertanya kepada Elliot yang secara kebetulan duduk di belakang Clara.

Sejujurnya, hanya itu bangku kosong yang tersisa.

"Aku sangat mengenalnya," jawab Elliot tersenyum samar.

Clara mencodongkan wajahnya ke arah Lily yang duduk di sisi kanannya. "Kau bilang tidak mengenalnya," bisiknya lagi.

Lagi-lagi Lily memilih mengabaikannya, dirinya merasa malas bahkan untuk berbicara. Entah jawaban apa yang akan ia berikan, Clara pasti tidak akan puas.

"Clara, jika ingin terus mengobrol, sebaiknya kamu keluar!" tegas Miss Bonnie yang berdiri di depan papan tulis.

Lily terkikik melihat wajah Clara yang tertekuk saraya berucap 'maaf'. Bisa Lily pastikan, dalam benaknya gadis itu sedang merutuki sang guru.

Ya, setidaknya Lily tidak harus mendengar pertanyaan-pertanyaan lagi dari Clara. Terima kasih Miss Bonnie, Anda memang sang penolong!

***

"Lily, bisa kita bicara?"

"Tidak ada yang perlu dibicarakan, El. Kita tidak seakrab itu." Lily beranjak dari tempat duduknya namun tertahan oleh Elliot yang sengaja menghadangnya.

Ia berniat keluar dari sisi kiri, akan tetapi Clara turut menahannya, seolah dengan sengaja berkomplotan dengan pria asing ini.

"Clara," dengus Lily.

Namun, gadis itu tetap bergeming, bola matanya justru menatap ke arah lain.

"Hei, aku tidak tahu kalian sangat dekat hingga bersekongkol untuk menahanku." Lily berujar sarkas dengan kedua lengan yang bersedekap di dada. Ia memandangi kedua orang di sisi kanan dan kirinya secara bergantian.

Clara yang merasa tersindir mengerucutkan bibirnya. "Aku hanya penasaran, sepertinya Elliot sangat ingin berbicara denganmu."

"Penasaran ada batasnya, Clara. Bukan ranahmu mencampuri urusan orang lain."

Seketika, Clara berdiri lalu menggeser tubuhnya, membiarkan Lily lewat.

"Maaf, El. Aku tidak bisa membantumu menahan Lily. Kau lihat sendiri, bukan? Gadis itu sangat keras kepala." Clara berucap setelah melihat Lily keluar dari kelas.

"Tidak masalah, Clara. Lily benar, ini urusanku dengannya. Terima kasih sudah membantu."

Elliot mengembangkan senyum samar yang tentu saja membuat pipi Clara bersemu merah.

Pria berkacamata dengan garis wajah tampan, hidung mancung, serta alis tajam itu, benar-benar melumpuhkan kinerja otaknya.

"Sebenarnya, apa hubungan kalian?"

"Aku hanya menyukainya."

Belum sedetik Clara menaruh harapan, ia harus tertampar fakta menyakitkan yang meluruhkan ekspektasinya.

Ya, Clara akui. Lily memang cantik bahkan tanpa harus sibuk berdandan. Tubuhnya yang mungil dan ramping, serta kulit putih bersih ditambah wajah kecil dengan cekungan di kedua pipinya membuat gadis itu semakin manis.

"Tapi kamu harus berhati-hati dengan para pengawalnya," ujar Clara tiba-tiba yang membuat kening El berkerut.

"Pengawal?"

"Hm." Clara mengangguk lalu mengarahkan pandangannya kepada El. "Lily selalu dikelilingi bodyguard suruhan pamannya. Karena itu, banyak siswa laki-laki yang tidak berani mendekatinya."

El mengangguk mengerti. "Lalu, siapa yang kau sebut 'paman' itu?"

"Ah! Sejak kecil Lily tinggal dan dirawat oleh pamannya. Tapi ini rahasia, mereka sejujurnya tidak ada hubungan darah. Terkadang aku takut hal buruk akan menimpa Lily. Aku sendiri tidak tahu pekerjaan pamannya," lirih Clara mengumbar segala informasi yang ia punya kepada El.

Sedangkan El sendiri hanya mengangguk, seolah informasi yang baru saja ia dengar itu sudah menjadi hal biasa.

"Tenang saja, Lily. Aku akan membantumu keluar dari sana," ucap El dalam hati.

Dengan langkah gontai, Lily berjalan menuju keluar gerbang. Energinya seakan terkuras hari ini, karena ada pelajaran olahraga yang melelahkan.

Lily tidak membenci olahraga, ia justru menyukainya. Hanya saja hari ini adalah hari pertama jadwal bulanannya, membuat perut gadis itu serasa di remas-remas tak tertahan.

Lily yang tidak kuat berjongkok di tengah-tengah gerbang sekolahnya.

"Lily!" panggil El yang dari tadi mengekorinya dengan jarak yang masih cukup jauh.

Pria itu mempercepat langkahnya. Akan tetapi, langkah kakinya tiba-tiba terhenti, ketika ada seorang pria yang datang menghampiri Lily.

"Apa dia paman Lily? Tapi, pria itu masih terlihat muda." Elliot bergumam sendirian sambil mengamati pria dengan tubuh kekar dan tegap itu dari kejauhan.

"Hei, bocah! Kenapa duduk disini?"

"Ed?! Bagaiman bisa?"

Edhie membantu Lily berdiri, namun kaki Lily mendadak lemas hingga membuatnya terduduk kembali.

"Ini hari pertamamu, bukan?"

Edhie berjongkok membelakangi Lily tepat di depan gadis itu, membuat Lily menaikkan sebelah alisnya.

"Tunggu apa lagi? Cepat naik! Atau kamu ingin aku gendong ala bridal style?" toleh Ed ke arah Lily yang masih bergeming.

Muka Lily merah padam mendengar pertanyaan Edhie yang pastinya hanya bercanda.

Punggung Edhie terasa memberat setelah gadis itu mendaratkan bobotnya disana.

Edhie dengan sigap berdiri dengan kedua lengan menahan kaki Lily, seolah tidak ada beban berat di punggungnya.

"Apa aku berat?"

"Kau harus makan banyak. Bagaimana bisa tubuhmu seringan kapas?"

Lily tersenyum samar, mendaratkan dagunya di pundak Edhie.

"Apa kau tidak berkerja?"

"Urusanku sudah selesai."

"Kamu bahkan tahu ini hari pertamaku."

Edhie tidak menjawab.

Tadi pagi tanpa sengaja ia mendengar Lily meminta obat pereda nyeri haid kepada sang asisten rumah tangga, karena itu ia tahu Lily sedang haid.

"Apa rasanya sangat sakit?"

"Hm."

Setelah sampai di mobil hitam berkilat yang terparkir di luar sekolah, Edhie menurunkan Lily untuk duduk di jok samping kemudi.

Pria itu membuka pintu dengan meletakkan tangan di atas kepala Lily agar sang gadis tidak terbentur.

Setelah memakaikan seat belt di tubuh Lily, Edhie menutup pintu lalu berjalan memutar untuk duduk di balik kemudi.

"Dimana paman Jovan?"

"Aku sengaja menjemputmu sendiri."

Lily mengangguk dengan rasa hangat yang menjalar di seluruh tubuhnya. Sudut bibirnya terangkat tanpa bisa gadis itu tahan.

Bukankah perlakuan Edhie kepadanya sangat manis jika dilihat dari sudut pandang perempuan?

Seketika mood Lily berubah setelah tanpa sengaja melihat Elliot yang berdiri di pintu gerbang sekolah.

Lily mendengus kesal, memikirkan pria itu yang secara tiba-tiba mengatakan hal tidak penting yang membuat Lily semakin kehabisan energi.

"Ada apa?" tanya Edhie menyadari perubahan raut wajah Lily.

Lily menggeleng pelan. "Sebaiknya kita segera pulang," pinta Lily menyandarkan kepalanya pada bantalan jok.

Gadis itu memejamkan matanya, merasakan sensasi nyeri di perutnya yang tak kunjung mereda.

"Apa kita perlu ke rumah sakit?" tanya Edhie dengan raut wajah cemas.

Pria itu mencondongkan tubuhnya untuk mendekat ke arah Lily. Jemarinya menyelipkan beberapa helai rambut Lily yang menutupi wajah cantiknya ke belakang telinga.

Sontak saja, Lily membuka matanya mendapatkan sentuhan itu lalu mendapati wajah Edhie yang sudah berada di hadapannya.

Lily terdiam untuk sepersekian detik, ia lalu mengalihkan pandangannya. "Tidak perlu, Ed. Aku hanya butuh istirahat."

Diam-diam Lily menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Lily dapat merasakan degup jantungnya yang kian bertalu-talu seolah akan melompat dari tuannya.

Edhie mengangguk mengerti, pria itu lantas kembali ke posisinya lalu memacu mobil ke area jalan raya setelah mengenakan seat belt.

Keheningan menyapu keduanya selama perjalanan. Edhie fokus pada jalanan, sedangkan Lily menatap keluar jendela. Sedari tadi, ada yang mengganggu pikiran gadis itu.

"Lily, bagaimana jika aku berkata bahwa aku yang telah membunuh kedua orang tuamu?" tanya Edhie tiba-tiba.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status