"Perkenalkan, nama saya Elliot McLain. Saya berasal dari kota Northland dan akan menetap disini. Mohon kerjasamanya untuk dua tahun ke depan."
Lily menatap tidak percaya ke arah pria yang saat ini juga tengah menatapnya intens. Pria yang tadi dengan tiba-tiba menariknya, ternyata seorang murid baru di kelasnya.Yang benar saja? Bukankah beberapa menit yang lalu pria itu berkata, ia sangat mengenal Lily?Beruntung Lily memilih untuk pergi dan tidak berurusan dengannya!"Hei, apa kalian saling kenal?" Clara, teman sebangku Lily menyikut lengan Lily yang bebas.Clara menyadari tatapan antara keduanya yang seolah saling kenal satu sama lain."Tidak, dan aku tidak ingin mengenalnya," tegas Lily acuh tak acuh.Gadis itu kemudian berpura-pura sibuk dengan membuka bukunya. Ia sangat malas beradu argumen dengan teman sebangkunya yang jika sudah penasaran, ia rela menggali lubang untuk mengorek informasi."Hei, apa kalian saling kenal?"Lihat, bukan? Tidak mendapat jawaban dari Lily, gadis itu sekarang bertanya kepada Elliot yang secara kebetulan duduk di belakang Clara.Sejujurnya, hanya itu bangku kosong yang tersisa."Aku sangat mengenalnya," jawab Elliot tersenyum samar.Clara mencodongkan wajahnya ke arah Lily yang duduk di sisi kanannya. "Kau bilang tidak mengenalnya," bisiknya lagi.Lagi-lagi Lily memilih mengabaikannya, dirinya merasa malas bahkan untuk berbicara. Entah jawaban apa yang akan ia berikan, Clara pasti tidak akan puas."Clara, jika ingin terus mengobrol, sebaiknya kamu keluar!" tegas Miss Bonnie yang berdiri di depan papan tulis.Lily terkikik melihat wajah Clara yang tertekuk saraya berucap 'maaf'. Bisa Lily pastikan, dalam benaknya gadis itu sedang merutuki sang guru.Ya, setidaknya Lily tidak harus mendengar pertanyaan-pertanyaan lagi dari Clara. Terima kasih Miss Bonnie, Anda memang sang penolong!***"Lily, bisa kita bicara?""Tidak ada yang perlu dibicarakan, El. Kita tidak seakrab itu." Lily beranjak dari tempat duduknya namun tertahan oleh Elliot yang sengaja menghadangnya.Ia berniat keluar dari sisi kiri, akan tetapi Clara turut menahannya, seolah dengan sengaja berkomplotan dengan pria asing ini."Clara," dengus Lily.Namun, gadis itu tetap bergeming, bola matanya justru menatap ke arah lain."Hei, aku tidak tahu kalian sangat dekat hingga bersekongkol untuk menahanku." Lily berujar sarkas dengan kedua lengan yang bersedekap di dada. Ia memandangi kedua orang di sisi kanan dan kirinya secara bergantian.Clara yang merasa tersindir mengerucutkan bibirnya. "Aku hanya penasaran, sepertinya Elliot sangat ingin berbicara denganmu.""Penasaran ada batasnya, Clara. Bukan ranahmu mencampuri urusan orang lain."Seketika, Clara berdiri lalu menggeser tubuhnya, membiarkan Lily lewat."Maaf, El. Aku tidak bisa membantumu menahan Lily. Kau lihat sendiri, bukan? Gadis itu sangat keras kepala." Clara berucap setelah melihat Lily keluar dari kelas."Tidak masalah, Clara. Lily benar, ini urusanku dengannya. Terima kasih sudah membantu."Elliot mengembangkan senyum samar yang tentu saja membuat pipi Clara bersemu merah.Pria berkacamata dengan garis wajah tampan, hidung mancung, serta alis tajam itu, benar-benar melumpuhkan kinerja otaknya."Sebenarnya, apa hubungan kalian?""Aku hanya menyukainya."Belum sedetik Clara menaruh harapan, ia harus tertampar fakta menyakitkan yang meluruhkan ekspektasinya.Ya, Clara akui. Lily memang cantik bahkan tanpa harus sibuk berdandan. Tubuhnya yang mungil dan ramping, serta kulit putih bersih ditambah wajah kecil dengan cekungan di kedua pipinya membuat gadis itu semakin manis."Tapi kamu harus berhati-hati dengan para pengawalnya," ujar Clara tiba-tiba yang membuat kening El berkerut."Pengawal?""Hm." Clara mengangguk lalu mengarahkan pandangannya kepada El. "Lily selalu dikelilingi bodyguard suruhan pamannya. Karena itu, banyak siswa laki-laki yang tidak berani mendekatinya."El mengangguk mengerti. "Lalu, siapa yang kau sebut 'paman' itu?""Ah! Sejak kecil Lily tinggal dan dirawat oleh pamannya. Tapi ini rahasia, mereka sejujurnya tidak ada hubungan darah. Terkadang aku takut hal buruk akan menimpa Lily. Aku sendiri tidak tahu pekerjaan pamannya," lirih Clara mengumbar segala informasi yang ia punya kepada El.Sedangkan El sendiri hanya mengangguk, seolah informasi yang baru saja ia dengar itu sudah menjadi hal biasa."Tenang saja, Lily. Aku akan membantumu keluar dari sana," ucap El dalam hati.Dengan langkah gontai, Lily berjalan menuju keluar gerbang. Energinya seakan terkuras hari ini, karena ada pelajaran olahraga yang melelahkan.Lily tidak membenci olahraga, ia justru menyukainya. Hanya saja hari ini adalah hari pertama jadwal bulanannya, membuat perut gadis itu serasa di remas-remas tak tertahan.Lily yang tidak kuat berjongkok di tengah-tengah gerbang sekolahnya."Lily!" panggil El yang dari tadi mengekorinya dengan jarak yang masih cukup jauh.Pria itu mempercepat langkahnya. Akan tetapi, langkah kakinya tiba-tiba terhenti, ketika ada seorang pria yang datang menghampiri Lily."Apa dia paman Lily? Tapi, pria itu masih terlihat muda." Elliot bergumam sendirian sambil mengamati pria dengan tubuh kekar dan tegap itu dari kejauhan."Hei, bocah! Kenapa duduk disini?""Ed?! Bagaiman bisa?"Edhie membantu Lily berdiri, namun kaki Lily mendadak lemas hingga membuatnya terduduk kembali."Ini hari pertamamu, bukan?"Edhie berjongkok membelakangi Lily tepat di depan gadis itu, membuat Lily menaikkan sebelah alisnya."Tunggu apa lagi? Cepat naik! Atau kamu ingin aku gendong ala bridal style?" toleh Ed ke arah Lily yang masih bergeming.Muka Lily merah padam mendengar pertanyaan Edhie yang pastinya hanya bercanda.Punggung Edhie terasa memberat setelah gadis itu mendaratkan bobotnya disana.Edhie dengan sigap berdiri dengan kedua lengan menahan kaki Lily, seolah tidak ada beban berat di punggungnya."Apa aku berat?""Kau harus makan banyak. Bagaimana bisa tubuhmu seringan kapas?"Lily tersenyum samar, mendaratkan dagunya di pundak Edhie."Apa kau tidak berkerja?""Urusanku sudah selesai.""Kamu bahkan tahu ini hari pertamaku."Edhie tidak menjawab.Tadi pagi tanpa sengaja ia mendengar Lily meminta obat pereda nyeri haid kepada sang asisten rumah tangga, karena itu ia tahu Lily sedang haid."Apa rasanya sangat sakit?""Hm."Setelah sampai di mobil hitam berkilat yang terparkir di luar sekolah, Edhie menurunkan Lily untuk duduk di jok samping kemudi.Pria itu membuka pintu dengan meletakkan tangan di atas kepala Lily agar sang gadis tidak terbentur.Setelah memakaikan seat belt di tubuh Lily, Edhie menutup pintu lalu berjalan memutar untuk duduk di balik kemudi."Dimana paman Jovan?""Aku sengaja menjemputmu sendiri."Lily mengangguk dengan rasa hangat yang menjalar di seluruh tubuhnya. Sudut bibirnya terangkat tanpa bisa gadis itu tahan.Bukankah perlakuan Edhie kepadanya sangat manis jika dilihat dari sudut pandang perempuan?Seketika mood Lily berubah setelah tanpa sengaja melihat Elliot yang berdiri di pintu gerbang sekolah.Lily mendengus kesal, memikirkan pria itu yang secara tiba-tiba mengatakan hal tidak penting yang membuat Lily semakin kehabisan energi."Ada apa?" tanya Edhie menyadari perubahan raut wajah Lily.Lily menggeleng pelan. "Sebaiknya kita segera pulang," pinta Lily menyandarkan kepalanya pada bantalan jok.Gadis itu memejamkan matanya, merasakan sensasi nyeri di perutnya yang tak kunjung mereda."Apa kita perlu ke rumah sakit?" tanya Edhie dengan raut wajah cemas.Pria itu mencondongkan tubuhnya untuk mendekat ke arah Lily. Jemarinya menyelipkan beberapa helai rambut Lily yang menutupi wajah cantiknya ke belakang telinga.Sontak saja, Lily membuka matanya mendapatkan sentuhan itu lalu mendapati wajah Edhie yang sudah berada di hadapannya.Lily terdiam untuk sepersekian detik, ia lalu mengalihkan pandangannya. "Tidak perlu, Ed. Aku hanya butuh istirahat."Diam-diam Lily menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Lily dapat merasakan degup jantungnya yang kian bertalu-talu seolah akan melompat dari tuannya.Edhie mengangguk mengerti, pria itu lantas kembali ke posisinya lalu memacu mobil ke area jalan raya setelah mengenakan seat belt.Keheningan menyapu keduanya selama perjalanan. Edhie fokus pada jalanan, sedangkan Lily menatap keluar jendela. Sedari tadi, ada yang mengganggu pikiran gadis itu."Lily, bagaimana jika aku berkata bahwa aku yang telah membunuh kedua orang tuamu?" tanya Edhie tiba-tiba.Setelah dipersilahkan masuk ke ruangan dominus, Edhie lantas menghadap lelaki tua yang sepertinya sudah menunggu kedatanganya.“Bagaimana rencamu selanjutnya? Kamu sudah menaikkan harga transaski.”Edhie tidak goyah mendengar tuduhan dari sang dominus. Ia jelas sudah tahu jika ini semua merupakan siasat dari Oliver yang bekerja sama dengan Tuan Oswald.“Saya akan berusaha agar kerugian itu tidak terjadi—”“—dan jika terjadi?”“Saya akan membayar kerugian itu.”“Jangan terlalu naif Caldwell, kau pasti tahu apa yang aku inginkan.”Rahang Edhie mengeras, ia menarik napas dalam sebelum menjawab, “Saya akan mengakui ketidakmampuan saya di hadapan seluruh keluarga besar di rapat tahunan nanti.”Senyum Oswald terbit seketika.Ya. Bukan harta yang Oliver dan dominus inginkan, melainkan harga diri Edhie yang jatuh serta krisis kepercayaan dari para anggota keluarga besar terhadap kelurga Caldwell.Tidak mudah bagi Edhie membangun kepercayaan dari keluarga besar lain, terlebih dengan sikap ideal
“Karena di sini cukup berbahaya, saya sebagai perwakilan dari Tuan Gunther, ingin meminta bayaran lebih dari pihak Landville.”Tepat seperti dugaan Aaron dan Joe, semua yang terjadi di sini hanya sebuah jebakan untuk merugikan keluarga Caldwell.***“... Baiklah, tidak masalah. Besok aku akan menemui Tuan Oswald. ... Ya. Kau tempatkan saja Tuan Kaiser di hotel dekat dermaga. ... Hm. Perketat penjagaan di sana. Kalian harus bergantian, jangan sampai ada yang kelelahan. Terutama Aaron, jangan biarkan dia terjaga semalaman. ... Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Joe. Aku serahkan urusan di sana padamu.”Edhie menutup panggilan dengan seringai tipis. “Ganti rugi, eh?”“Kita harus ke istana dominus besok ... tunggu ...,” sejenak setelah Edhie mengucapkan hal tersebut pada Jovan, ia pun lantas menggumam, “bagaimana dengan Lily?”“Ada apa, Bos?”“Aku sedang memikirkan, apa aku harus meninggalkan Lily di mansion atau membawanya bersamaku.”Jovan turut terdiam.“Sepertinya membiarkan nona Li
Lily berdiri membelakangi Elliot.“Jadi, seperti ini, ya, rasanya menjadi Edhie,” ucapnya sebelum meninggalkan Elliot sendirian.Gadis itu keluar ruangan dengan perasaan berkecamuk. Tidak biasanya Elliot bersikap seperti itu. Sesaat sebelum dirinya menuju ke lantai dua, ia berpapasan dengan Edhie.“Hai, Ed.”“Hai, Lily.” Edhie menghentikan langkahnya. “Apa kau ada kelas tiga hari ke depan?”Kening Lily berkerut. “Hanya persiapan ujian, ada apa?”“Baguslah. Sebaiknya kau tetap berada di dalam rumah selama tiga hari ini.”Lily bisa menangkap raut kecemasan dari wajah Edhie, tentu saja hal itu mengganggu pikiran Lily. “Apa terjadi sesuatu?”Edhie menggulung lengan kemejanya sebelum menjawab, “Aku hanya tidak mau kejadian tempo hari terulang kembali.”Tidak perlu dijelaskan lagi. Kejadian yang Edhie maksud sudah pasti kejadian dimana Oliver Halberd nekat menemui Lily di kampusnya.Lily hanya bisa mengangguk menurut. “Hanya tiga hari, bukan? Minggu depan aku ada ujian.”“Ya. Hanya tiga har
Edhie bersiap untuk memerintahkan beberapa pengawal pilihannya. Joe dan juga Aaron, dua orang kepercayaan Edhie ditugaskan untuk memimpin pasukan.“Bos, aku ingin ikut dengan mereka,” pinta Jovan kepada Edhie.“Kau tetap bersamaku menjaga Lily. Kita harus mengawasinya penuh tiga hari ini.” Edhie bersedekap memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi.“Entahlah, ada dua hal yang aku pikirkan, Jovan. Aku harap kau mau bekerja sama.”Jovan tidak berani membantah lagi, ia kemudian mundur sejajar kembali dengan barisannya.“Aku tidak peduli jika pada akhirnya kalian ada yang berkhianat, yang perlu kalian ingat… ada harga sepadan yang harus kalian bayar jika berani melakukannya.” Edhie menatap tegas satu persatu barisan berjas hitam yang berjumlah dua puluh orang itu. Permintaan Dominus kali ini memang cukup banyak, bahkan Edhie harus mengerahkan dua orang kepercayaannya.“Loyal atau tidak, itu pilihan kalian.”Berkaca pada kasus sebelumnya, Edhie merasa jika kali ini siasat
“Lily, banyak hal yang ingin aku katakan,” ujar Edhie yang kini mengambil kesempatan mencuri waktu sebelum melaksanakan mandat dari sang Dominus.“Hm? Apa ini akan memakan waktu lama?”Lily yang duduk di balkon ruang tengah, menoleh ke arah Edhie yang baru saja tiba di rumah.Edhie melepas kancing atas kemejanya, ia gulung lengan tangannya hingga sebatas siku. Rambutnya sudah tidak serapi keberangkatannya tadi. “Apa kau ada urusan?”“Tidak. Kau yang memintaku untuk langsung pulang, aku kira ada sesuatu yang penting.”“Memang. Aku hanya ingin menjelaskan siapa kamu sebenarnya.”“Ed? Apa kau yakin?”Edhie melangkah untuk mendekat ke arah Lily. Ia memilih duduk di kursi panjang, tempat dimana Lily duduk.“Tidak. Sungguh, jika boleh jujur, aku ingin kamu menjadi Lily seperti ini saja yang tidak tahu apa-apa soal keluargamu.” Sorot mata Edhie menerawang lurus ke depan. Hamparan taman yang asri, serta kemilau cahaya matahari yang mulai terbias dengan warna senja, merubah suasana yang awaln
“Siapa tahu, bukan?”Telapak tangan Edhie mengepal. “Saya hanya berusaha menebus dosa masa lalu.”Dominus melihat Edhie dengan ekor matanya. Entah apa yang dipikirkannya, ada rasa tidak suka yang tersirat dalam pandangannya. Edhie sangat tahu, ada sesuatu yang Dominus rencanakan terhadap dirinya. Feelingnya berkata, sesuatu itu adalah hal yang mengancam keluarga Caldwell. Sederhananya, Edhie pernah melapor tentang perbuatan Halberd yang mendistribusikan barang haram dari kepulauan seberang untuk di edarkan di kepulauan Landville. Akan tetapi, Dominus sama sekali tidak mengambil tindakan. “Jika tidak ada hal penting lain, saya pamit undur diri,” ujar Edhie berpamitan.“Tunggu, aku butuh tambahan pengawal di pelabuhan St. Marina. Tenang saja, kali ini aku tidak meminta secara cuma-cuma. Akan ada bayaran lebih, karena pekerjaan ini cukup berat.”“Apa boleh saya mengetahui, pekerjaan apa kali ini?”Kecurigaan Edhie semakin menguat. Pelabuhan St. Marina adalah pelabuhan yang menjadi temp