Share

4. Kumpulan Fakta

"Cassie, ceritakan apa yang terjadi."

Setelah menyapa Lily, Cassandra kembali duduk di sisi Edhie. Perempuan itu kembali mengeluarkan cairan bening dari matanya yang terlihat bengkak. Entah, sudah berapa banyak waktu yang ia habiskan untuk menangis.

"Richard, dia mengancam akan membunuh keluargaku jika aku tidak menikah dengannya, Ed! Tadi pagi… tadi pagi, ada orang yang dengan sengaja menyerempet mobil ayah hingga membuatnya menabrak pembatas jalan. Beruntung ayah selamat, tapi sore harinya, kembali ada seseorang yang mengikutiku." Cassandra menelungkupkan kedua telapak tangannya di wajah.

Perempuan itu berkata dengan napas yang terengah, pikirannya kembali pada kejadian yang menimpanya seharian tadi.

"Aku panik, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Akhirnya aku memutuskan terbang ke Southland untuk meminta tolong padamu malam ini juga!" lanjutnya yang sudah memperlihatkan wajahnya kembali dengan genangan air mata yang mengalir deras.

Dengan sekali tarikan napas, perempuan itu menceritakan garis besar kronologi peristiwa yang ia alami.

Bibir Edhie sedikit bergetar untuk membuka suara, tidak tahu jika Cassandra telah mengalami hal buruk seperti itu. Richard—tunangan gadis itu justru membuatnya celaka. Rahang pria itu mengeras dengan otot leher yang menonjol. Kedua telapak tangannya pun kini sudah mengepal di atas lutut, dengan otot-otot yang terlihat kentara.

"Aku mengalah bukan untuk membiarkan Cassie terluka," desisnya dalam hati.

Ia kemudian menghembuskan napas perlahan, otaknya harus berpikir secara rasional untuk saat ini.

Sedangkan Lily yang masih berdiri tak jauh dari mereka, mengamati Edhie yang tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari Cassandra. Seluruh pusat perhatian Edhie saat ini, berada pada perempuan itu.

Dengan perlahan, Lily berbalik untuk kembali ke kamarnya, meninggalkan dua orang dewasa dengan masalah mereka.

"Lalu, dimana kedua orang tua mu sekarang?"

"Mereka masih di Northland, Ed. Aku takut terjadi apa-apa pada mereka."

Edhie kemudian beranjak dari duduknya. Ia menoleh ke arah Joe yang juga berdiri tak jauh dari mereka berdua.

"Kau sudah mendengarnya, 'kan, Joe? Malam ini juga kita ke rumah Cassie dan siapkan beberapa pengawal untuk berjaga-jaga. Kita buktikan kepada pria itu, dengan siapa dia berhadapan!" perintah Edhie dengan sorot mata yang tajam.

Binar mata tercetak jelas dari wajah Cassandra yang sedari tadi meredup. Tidak salah perempuan itu datang kesini untuk meminta pertolongan.

"Terima kasih, Ed! Terima kasih," ucapnya tulus.

"Tidak perlu, Cassie. Kau temanku, siapapun yang berani membuatmu terluka, akan berurusan denganku." Edhie menjawab dengan dingin.

Tangannya mengepal erat, rasanya tidak sabar untuk menghabisi pria yang sudah berani menyentuh orang yang sangat ia pedulikan.

Melihat tubuh Cassandra yang masih bergetar, Edhie memberanikan diri untuk merengkuhnya. "Tenanglah, Cassie. Kau datang di tempat yang tepat."

Hanya dalam waktu beberapa menit, Edhie sudah bersiap berangkat dengan beberapa pengawalnya. Tentu saja, Joe tetap ikut di sisi Edhie.

Menggunakan kendaraan pribadi, mereka bersama Cassie terbang menuju ke tempat dimana Cassie tinggal dan juga merupakan tanah kelahiran Edhie. Northland, sebuah negara tempat dimana Edhie menyimpan kenangan buruk.

***

Dari balkon kamarnya, Lily dapat melihat rombongan Edhie yang meninggalkan mansion tanpa berpamitan dengannya.

Hal itu sudah biasa bagi Lily. Ada kalanya Edhie tiba-tiba harus pergi meninggalkan Lily dengan beberapa pengawal dan juga pelayan di mansion besar itu.

Lily menutup balkonnya, tak lupa ia kunci dari dalam. Gadis itu berjalan menuju ranjang lalu membaringkan tubuhnya di atas.

"Edhie sudah membenarkan perkataan kakak itu," lirih Lily bermonolog.

Pandangannya tertuju pada langit-langit kamar yang dengan cahaya lampu temaram.

Suasana hening menarik Lily untuk mengingat kembali obrolannya dengan Cassandra empat tahun yang lalu.

"Edhe pria baik, bukan? Ia merawatmu dengan sangat baik."

Gadis yang masih berusia sepuluh tahun itu mengangguk dengan mata berbinar.

"Kakak menyukai Edhie?"

"Ya… kakak sangat menyukainya." Perempuan yang sedang duduk memangku Lily itu, menyisir rambut lurus Lily dengan penuh perhatian.

"Aku juga menyukai, Edhie!" teriak gadis polos itu dengan menampilkan deretan gigi putih bersih terawat.

Cassandra, perempuan itu tertawa lalu menangkup kedua pipi gempil Lily.

"Tapi, rasa suka Kakak dan rasa suka Lily kepada paman Edhie berbeda," jelas perempuan itu yang kini menatap lekat manik mata Lily.

Posisi mereka saat ini saling duduk berhadapan.

"Berbeda?"

"Hm… Lily menyukai paman Edhie sebagai paman, bukan? Kalau kakak menyukai Edhie sebagai laki-laki dewasa, rasa suka sesama orang dewasa." Cassandra tersenyum hingga matanya menyipit.

"Tapi, Edhie bukan paman Lily," lirih gadis itu dalam hati.

"Sayang sekali Edhie harus terikat denganmu, Lily… dia sudah memutuskan untuk mengabdikan seluruh hidupnya hanya untukmu, sebagai bentuk penyesalan karena sudah menjadi penyebab perginya kedua orang tuamu," lirih Cassandra dengan tatapan lurus ke depan.

Entah dengan sengaja atau tidak, Cassandra mengucapkan kalimat berat itu di hadapan gadis yang masih belum bisa mencerna setiap perkataannya.

Sedangkan Lily, gadis itu masih terdiam dengan mata bulat yang terus menatap Cassandra.

Mungkin dulu Lily belum paham dengan maksud dari perkataan Cassandra, tapi ingatan gadis itu sangatlah tajam. Semakin dewasa, Lily jadi semakin paham, tetapi memutuskan untuk menyimpannya sendirian.

"Edhie sudah mengaku. Lalu, bagaimana dengan selanjutnya? Jika Edhie benar membunuh kedua orang tuaku, apa aku harus membalas dendam? Tapi aku sangat menyukainya."

Tadi, ketika di mobil, Lily sengaja mengabaikan pengakuan Edhie. Lily denial, ia memaksa otaknya untuk beranggapan bahwa yang diucapkan Edhie adalah candaan.

Lalu, ketika Edhie kembali menceritakan, tanpa ada embel-embel pengakuan, Lily berusaha untuk mempercayai hal itu saja. Sesaat sebelum Cassandra kembali dan mendobrak kembali ingatan masa lalu Lily.

Gadis itu membuang napas boros lantas memutuskan untuk memejamkan mata, memaksa otaknya untuk tertidur dan mengabaikan gemuruh pemikirannya.

"Apa aku pantas tetap berada disini?"

***

Lily bisa saja mengabaikan segala fakta tentang Edhie. Selama ini dia dirawat baik oleh pria itu, dan itu sudah cukup membuatnya merasa bersyukur.

Hidup diperlakukan layaknya seorang putri raja, dengan bergelimang harta, serta para bodyguard dan pelayan yang memperlakukannya dengan sangat baik, bukankah semua itu adalah hal yang paling diinginkan setiap orang?

Tapi justu disinilah gadis itu saat ini. Di atap gedung sekolah, berhadapan dengan sosok yang kemarin ia sebut sebagai pria asing.

"Syukurlah, Lily, kau mau mendengarku." Mata pria itu menatap manik mata Lily dengan penuh kelembutan.

Dari pandangannya seolah pria itu sedang berbicara dengan sosok yang sudah lama tidak pernah ia temui.

Lily memilih untuk membuang muka, kedua lengannya masih bersedekap di depan dada. Otaknya berpikir, apakah yang ia lakukan saat ini sudah benar?

Tapi, Lily butuh satu fakta lagi untuk pembenaran. Meskipun dalam hatinya Lily berharap bukan Edhie lah pelakunya.

Lalu, apa yang akan Lily lakukan setelah mendengar jawaban dari pria itu?

Lily menggigit bibir bawahnya, keningnya berkerut, menimbang-nimbang tekad di dalam hatinya.

"Kau penasaran tentang kematian orang tua mu, bukan?" Suara Elliot memecah keheningan setelah terdiam cukup lama.

Lily kembali menoleh ke arah pria di hadapannya. "Aku sudah tahu penyebabnya."

"Kau sudah tahu jika kedua orang tuamu dibunuh?"

"Jadi, semua itu benar? Kau tahu siapa yang membunuh mereka?"

"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang."

"Apa-apan? Kau mempermainkanku?!" Lily hampir berteriak tidak terima. Rasa gemuruh di dadanya membuncah, merasa bodoh sudah berharap jika orang di depannya akan menceritakan semuanya.

"Tidak, bukan seperti itu, Lily. Ini terlalu rumit, dan aku tidak bisa mengatakannya sekarang." Elliot buru-buru menepis tuduhan buruk Lily terhadapnya.

Gadis itu mendongak, menghembuskan napas dengan boros. Sejenak kemudian, ia kembali menatap lurus pria di depannya.

"Lalu apa tujuanmu mengirim pesan waktu itu?"

"Agar kau berhati-hati, Lily. Situasimu cukup berbahaya, tapi aku belum bisa mengeluarkanmu dari situasi itu sekarang. Aku belum memiliki kuasa yang cukup—"

Belum selesai Elliot berbicara, Lily melangkahkan kakinya untuk melewati pria itu.

"Hei, aku belum selesai berbicara," cegah Elliot mencekal lengan Lily agar tidak menjauh.

"Aku tidak suka orang yang berbelit-belit."

Jarak mereka saat ini hanya terpaut tiga jengkal, dengan sorot mata saling beradu tatap.

Elliot menghembuskan napas berat. Ia memejamkan matanya sesaat sebelum menjelaskan, "Kau itu sandra, Lily. Kau itu dijadikan jaminan keluarga," lirih Elliot dengan sorot mata meredup.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status