BRUGHH
Seorang berbadan besar dengan kepala plontos menabrak. Tubuhku yang lumayan kurus ini sampai harus terjungkal karenanya. Begitu juga dengan lelaki tersebut.
Map yang tengah kupeluk jatuh berserakan. Berkas-berkas yang telah dipersiapkan untuk melamar pekerjaan berhamburan. Si lelaki pun mengalami hal yang serupa. Kulihat tas yang ia pegang terlempar akibat benturan. Anehnya kenapa tas itu seperti kepunyaan seorang wanita.
"Jambrettt!"
Tiba-tiba terdengar suara wanita berteriak. Pria plontos yang masih terengah-engah napasnya itu gegas bangkit. Lalu langsung menyambar tas kulit yang terlihat begitu mewah itu. Dan lari terbirit-birit.
"Jambrettt!"
Wanita cantik dengan kaca mata hitam di atas kepalanya kembali berseru. Sekarang aku paham, pria plontos itu adalah berandal. Aku harus menolong perempuan itu. Lantas mata ini bergerak mencari alat untuk menghentikan laju. Kebetulan ada sebuah batu yang cukup besar. Lumayan jika digunakan untuk menimpuknya.
Tanpa membuang waktu lagi kuraih batu tersebut. Lantas mulai melemparkan benda berat tersebut. Beruntung tepat sasaran. Si jambret itu tersentak kaget saat kepalanya terkena batu.
Jambret itu membalikkan badan dengan wajah murka. Tentu saja nyaliku ciut melihatnya. Namun, sudah kepalang tanggung. Aku harus menghadapi. Kembali mata ini mencari-cari sesuatu untuk jaga-jaga.
Sayangnya hanya sebuah batu pun sulit didapat. Akhirnya setelah bingung mencari senjata, sementara si jambret kian mendekat. Maka tanpa ragu lagi kulepas sepatu pantofel berhak lima centimeter ini. Tanganku langsung menolak sepatu hitam tersebut dan tepat sasaran. Sepatu itu mendarat mulus mengenai perut besar si bandit.
"Kurang aj*r!" Si bandit berteriak marah.
Sepatu di kaki sebelah kiri aku lepas. Lantas kugunakan lagi untuk menimpuk si kepala plontos. Pria itu menangkis serangan sepatuku dengan bahunya yang telah terlapisi jaket kulit itu.
Selanjutnya si berandal berlari mendekat. Aku sekuat tenaga ingin menghindar. Namun, sudah kena tubruk terlebih dulu. Tubuhku terjerembab kembali. Dan si kepala plontos langsung menjambak. Dia menarik rambut yang kuikat kucir kuda ini ke atas tinggi-tinggi. Membuat mulutku memekik kesakitan.
"Awww!"
Aku menjerit sakit karena tidak hanya menjambak, si bandit sialan ini juga menampar pipiku kuat-kuat. Selain meninggalkan rasa panas dan sakit di pipi, telinga ini juga berdenging karenanya. Rasa asin terkecap di lidah. Sepertinya bibirku pecah lantas berdarah akibat gamparan tangan besar si berandal. Tidak sampai di situ, dia juga mengunci tubuhku.
Di antara rasa sakit itu otak ini berjalan. Tenagaku tidak cukup kuat untuk melawan. Apalagi sejak tadi pagi perutku belum terisi makanan. Hanya segelas air teh untuk pengganjal ketika berangkat mencari pekerjaan.
Tiba-tiba aku teringat jika seorang pria perkasa bisa bertekuk pasrah apabila keintimannya ditendang. Dan adegan seperti itu sering kutonton di sinetron. Tanpa membuang waktu lagi, kugigit keras tangan si bandit yang masih menarik rambut.
"Arghhh!" Si bandit mengerang kesakitan.
Cekalan pada rambut terlepas. Kesempatan ini tidak kusia-siakan. Dengan segenap tenaga yang terkumpul kutendang kemaluan si bandit sekeras mungkin.
"Aduuuhhh!" Mulut si bandit mengaduh kesakitan lagi.
Pria tinggi besar itu sampai terbungkuk-bungkuk saking sakitnya barangkali. Lalu tiba-tiba dua petugas keamanan datang. Keduanya menyerang si bandit dengan pentungan.
Akhirnya, kedua petugas keamanan itu berhasil meringkus sang penjahat. Lantas menggelandangnya ke kantor untuk dimintai pertanggungjawaban.
Aku sendiri lekas memungut tas mewah bermerk brand terkenal dari negeri Napoleon itu.Sementara itu orang-orang yang tadi melihat saja kala aku menghajar bandit, mulai mendekat. Begitu juga dengan sang pemilik tas mahal tersebut.
"Mbak, gak papa?" tanya wanita cantik berbaju bagus dengan ikat pinggang kecil di perut itu dengan lembut. Mata lentiknya yang berhias maskara menatapku perhatian.
"Saya baik," jawabku memaksakan untuk tersenyum. Walau sebenarnya pipi dan rambut ini masih terasa sakit. "Ini tasnya. Silahkan diperiksa barang kali ada yang hilang." Kuserahkan tas kulit warna putih tersebut.
Wanita cantik berkalung mutiara merah muda itu menerima tasnya. Lalu mulai memeriksa isinya. "Alhamdulillah ... isinya masih utuh," ujarnya disertai senyuman.
"Syukurlah." Aku berucap lega.
Selanjutnya kupunguti berkas-berkas yang tercecer. Wanita muda itu ikut membantu. Ketika kuambil sepatu bekas melempar si bandit, hati ini tergerus sedih. Sebab hanya itu sepatu satu-satunya yang ada. Dan kini kembali robek.
Padahal beberapa hari lalu sudah kututup dengan lem super. Mungkin memang sebaiknya harus diganti dengan yang baru. Andai aku punya uang lebih.
"Bibir Mbak berdarah, mari saya bawa berobat." Aku tersentak dari lamunan mendengar tawaran dari wanita cantik itu. Tawaran tulus dari perempuan umurnya terlihat lebih muda dariku.
"Mari!"
Aku tak kuasa menolak lagi. Saat tangannya terulur, ragu-ragu aku sambut. Benar-benar tangan yang halus bak kulit pantat bayi. Pastinya dia tidak pernah bekerja kasar.
Mendadak aku jadi rendah diri. Telapak tangan ini penuh kapal di mana-mana. Pertanda diri ini memang seorang pekerja keras. Aku takut jika tangan halusnya lecet menggenggam telapak tangan kasar ini.
Perempuan yang tinggi badannya lebih satu jengkal itu membawaku hingga mobilnya. Mobil sedan berwarna putih yang terlihat begitu mengkilat. Begitu masuk hawa sejuk dari mesin pendingin udara menusuk kulit. Masih dengan menyunggingkan senyum, wanita itu mulai melajukan mobil.
"Kalo boleh tahu, namanya siapa Mbak?" Perempuan cantik itu bertanya dengan pandangan fokus ke depan. Sementara kaca mata hitam sudah di hidungnya. Menambah kesan anggun yang mendalam.
"Nama saya Kira ... Shakira," jawabku sambil mengatupkan kedua tangan di dada.
"Saya Nina. Sandrina," balasnya dengan senyum yang menawan.
Selanjutnya mobil yang kami tumpangi berhenti sebuah klinik. Seorang dokter memeriksa, lalu menutup luka di samping bibir ini dengan plester. Setelah itu Sandrina mengajakku ke suatu tempat.
"Mbak Kira kerja di mana?" tanya Sandrina dalam perjalanan.
"Saya baru kena PHK dua Minggu lalu. Hari ini rencananya keliling melamar pekerjaan." Aku menjawab jujur.
"Kenapa di-PHK?"
Aku tersenyum kecut mendengar pertanyaan peduli dari gadis ini. "Saya karyawan kontrak dan masa kontrak saya sudah habis," jawabku menunduk menatapi map yang berada dalam pangkuan ini.
"Mbak Kira sudah menikah?" Sandrina bertanya dengan sangat hati-hati. Mungkin takut jika pertanyaan yang ia lontarkan tidak berkenan di hati.
"Saya single mom," balasku jujur.
"Oh ... maaf," ucap Sandrina tampak tidak enak hati.
"Gak papa." Aku tersenyum kecil.
Sandrina membawaku ke sebuah mal. Gadis berambut hitam legam itu membelikanku sebuah sepatu. Bibirku ternganga melihat harga yang tertera di label. Bagiku itu cukup mahal. Sandrina juga membelanjakan aku beberapa buah kemeja dan tas.
"Gak papa. Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih karena Mbak Kira sudah menolong saya," ujarnya saat kutolak pemberian darinya beserta beberapa lembar uang merah.
"Menolong seseorang adalah kewajiban karena Allah ta'ala. Dan saya tidak ingin mendapatkan imbalan atas kewajiban yang harus dilakukan," ujarku saat Sandrina bersikeras memaksa.
Sandrina tidak berkutik mendengar jawabanku. Gadis ramping itu mengembalikan baju-baju itu dan tas kembali ke tempatnya. Namun, sepatu pantofel hitam berhak sepuluh centimeter itu tetap ia sodorkan untukku. Dia beralasan jika sepatuku perlu diganti.
Sandrina tidak hanya berhati baik. Akan tetapi, juga pengertian. Mengetahui perutku bernyanyi keroncongan, dia mengajak makan ke gerai ayam. Ketika sedang menunggu pesanan, Sandrina menelepon seseorang.
"Tunangan saya baru saja membuka cabang distronya. Sepertinya dia butuh banyak karyawan. Semoga Mbak Kira bisa diterima," ujar Sandrina usai menutup ponsel.
"Terima kasih." Aku terharu mendengarnya.
Lima belas menit berlalu. Kami menikmati ayam goreng ini dengan saling bercerita. Sandrina selain cantik dan baik, dia juga ramah. Gadis itu tampak senang mendengar cerita putri semata wayangku.
"Sudah lama, Sayang?"
Aku mengenal suara itu. Suara yang dulu begitu kurindukan. Suara membuatku jatuh cinta hingga melayang ke udara. Namun, tidak lama terjungkal ke jurang keterpurukan.
Dengan sekuat tenaga yang berhasil dihimpun, kutengok pemilik suara tersebut. Fix. Dialah ayah dari putri semata wayangku.
Next
Pov author"Alhamdulillah!"Shakira meraupkan kedua tangannya pada wajah. Air matanya merembes. Namun, ini air mata kebahagiaan dan haru. Anaknya baru saja lolos dari maut."Aku ingin ketemu bayiku, W*." Shakira merengek. Ia ingin sekali melihat rupa putrinya. Dalam mimpi wajah sang putri terlihat samar."Nanti kalo Mbak Kira pulih, kita lihat bareng, ya." Salwa membujuk lembut.Shakira mengangguk manut. Pengaruh anastesi sudah mulai menghilang. Wanita itu meringis menahan perih di perut bekas sayatan operasi. Untuk menyamarkan sakit, dirinya memilih memejam kembali.Sementara itu Ibu yang kepayahan dari tadi siang merasa amat lelah. Wanita itu merebahkan tubuh pada sofa kecil yang tersedia di ruang itu. Tidak sampai lima menit dirinya sudah menyelami alam mimpi.Di sisi lain Salwa merasakan lapar yang menghebat. Terakhir kali ia makan tujuh jam lalu di kampusnya. Dia ingin mengajak Ibu. Namun, melihat sang Ibu tertidur dengan lelapnya, Salwa memilih pergi sendiri. Gadis itu meninggalk
Pov Jamieidaaak!"Aku berseru takut. Sementara Ibu Siti dan Salwa pun sudah pecah tangisnya. Beruntung ada dokter didampingi perawat yang masuk untuk memeriksa bayi lain."Dokter, tolong bayi saya," mohonku dengan suara yang bergetar."Iya, Bapak mohon tenang dan tunggu di luar, ya." Pria berseragam itu mengangguk pelan."Tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok. Berapa pun biayanya akan saya bayar," desakku saking ketakutannya."Iya, Bapak tunggu di luar, ya!"Perawat pendamping dokter pun mendorong tubuhku untuk ke luar ruangan. Salwa dan Ibu Siti cukup patuh untuk beranjak sebelum disuruh. Sementara beberapa tenaga medis masuk untuk ikut melakukan tindakan.Aku yang merasa tidak bertenaga bersandar pada dinding. "Kamu harus kuat putraku," kataku pada diri sendiri.Mata ini kembali menatap ruangan di depan. Rasanya tidak sanggup jika harus melihat putriku kecilku yang tengah mendapatkan penanganan.Tiba-tiba saja aku teringat Allah. Aku perlu menghadap Sang Pencipta. Akan k
Lampu di atas pintu kamar operasi telah padam. Pertanda jika operasi telah usai. Hati ini kian dag dig dug rasanya. Harap-harap cemas. Ketika pintu terbuka, aku, Aldi, dan Sandrina langsung bangkit berdiri. Aku sendiri lekas beranjak menemui dokter pria yang sedang membuka masker wajahnya. "Dok, bagaimana keadaan istri saya?" Aku bertanya dengan penasaran."Seperti yang sudah sangat saya jelaskan. Ibu dan anak sama-sama dalam keadaan bahaya," tutur Pak Dokter terdengar hati-hati. "Dan sesuai persetujuan jika kami harus memprioritaskan ibunya dulu--""Jadi anak saya gak selamat?" Aku menyambar karena takut. Rasanya tubuh ini terasa lemas. Dokter itu membetulkan letak kacamatanya. "Beruntungnya kami bisa menyelamatkan keduanya."Ucapan dokter tersebut laksana air es yang mengguyur kekeringan di hati ini. "Alhamdulillah!" Aku, Aldi dan Sandrina lagi-lagi kompak berseru karena lega. Tidak lupa aku langsung sujud syukur. "Terima kasih banyak ya Allah ...." Tangan ini meraup wajah deng
(Pov Jamie) "Shakira?!"Seseorang memanggil nama istriku. Shakira sendiri mengangkat wajah. Wajahnya yang pucat menjadi pertanda jika dia teramat kesakitan."Kamu gak papa, Kira?"Ternyata yang memanggil Shakira adalah Aldi. Pemuda itu datang bersama Sandrina. Keduanya gegas jongkok untuk menolong Shakira. Sedangkan aku masih membeku melihat darah merembes dari paha Shakira."Ini sakit banget, Nina," desis Shakira dengan tangan mencengkeram lengan Sandrina."Jamie, kok kamu cuma diam saja sih?" tegur Aldi tampak gemas, "cepetantolong selamatkan istri kamu!" desak Aldi sambil mengguncang lenganku.Aku tergagap. Syok membuat aku tidak mampu berpikir panjang. Dan sebenarnya diri ini sangat takut jika melihat darah. Namun, demi melihat wajah pucat Shakira aku harus kuat."Sa-kiiit ...." Shakirara merintih."Tolong jangan bicara lagi, Kira. Ini hanya akan membuatku semakin panik," pintaku kalut.Tanganku gemetar meraih pundak Shakira. Perlahan kuangkat tubuh wanita yang terus saja mendes
Malam minggu ini aku di rumah berdua saja sama Jamie. Kimie dari kemarin dibawa mama dan papanya Jamie untuk menginap di rumah mereka. "Jam, pergi nonton film di bioskop, yuk!" ajakku pada pria yang sedang asyik bermain game pada gadgetnya. Jamie menatapku dengan lekat. "Nonton film di bioskop?" Dia justru mengulangi perkataanku. "Iya nih, aku pengen banget nonton film KKN Di Desa Penari. Lagi sibuk banget nih di media sosial," jawabaku dengan wajah yang mupeng. "Jangan aneh-aneh deh, Kira." Mata Jamie kembali tertuju pada layar ipadnya. "Anehnya di mana? Orang istri pengen nonton film kok dibilang aneh," sahutku sedikit sewot. "Bukannya hari perkiraan lahir anak kita sebentar lagi?" tukas Jamie masih setia memainkan jarinya pada layar sentuh tersebut. "Lagian bukannya kamu paling anti sama film horor," imbuhnya sambil sedikit melirik padaku. "HPL anak kita masih dua minggu lagi kok." Aku mendekati pria yang malam ini begitu wangi itu. Padahal kemarin-kemarin aku justru membenc
(POV Jamie) Yesss!" Aku meninju udara. "Terima kasih ya Allah," ucapku tulus sembari meraup wajahnya. "Yeahhh!"Aku kembali berseru gembira usai menerima telepon dari Shakira. Istri tercintaku mengabarkan habis test pack dan hasilnya positif.Tanpa berpikir panjang, aku bangkit dari kursi bersandaran tinggi ini. Blazer yang menyampir pada sandaran kursi lekas kukenakan. Setelah rapi kuraih ponsel dan kunci mobil baru melangkah ke luar menuju meja Tia, sekretarisku."Saya izin pulang, ya. Mau temani Shakira ke dokter," pamitku pada perempuan berkaca mata itu."Memang Bu Kira sakit apa, Pak Jamie?" tanya Tia tampak serius.Aku tersenyum kecil. "Kami mau cek ke dokter kandungan."Mulut Tia terbuka. "Ibu Shakira hamil?"Aku mengangguk pelan. "Barusan dites sih positif, tapi kami butuh kejelasan dari dokter. Doakan semoga berita ini benar, ya.""Aamiin." Tia langsung meraup wajahnya dengan kedua tangan. "Sebelumnta selamat ya, Pak.""Sama-sama."Aku pun beranjak meninggalkan perempuan itu
Selain beribadah, Jamie juga membawaku jalan-jalan ke tempat yang romantis yaitu Jabal Rahmah atau bukit kasih sayang. Jabal Rahmah adalah bukit kecil dengan ketinggian sekitar tujuh puluh meter.Tempat itu diyakini sebagai tempat bertemunya kembali Adam dan Hawa setelah berpisah ratusan tahun. Usai mereka diturunkan ke bumi dari surga karena mereka memakan buah terlarang yakni buah khuldi. Padahal Allah SWT sudah melarang tetapi setan terus menggoda.Bagi umat Islam sendiri Jabal Rahmah memiliki nilai sejarah yang cukup penting. Sebab di tempat tersebutlah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu terakhir. Yakni pada saat beliau menunaikan Haji Wada atau Haji terakhir dan sedang melakukan wukuf.Tempat ini terletak persis di padang Arafah, pinggiran timur kota Makkah. Sengatan terik matahari yang tajam tidak menyurutkan niat kami untuk mendaki bukit tersebut. Di atas bukit pemerintah Arab Saudi sudah membangun sebuah Tugu. Tugu tersebut diyakini sebagai tempat bertemunya Nabi Adam dan Hawa.
Keesokan harinya aku dan Lutfi mengisi waktu masih untuk bersantai di dalam hotel. Tujuan kami datang ke tanah suci selain untuk umroh juga memang ingin berbulan madu. Apalagi kami masih merasakan lelah setelah perjalanan panjang kemarin.Pukul delapan pagi waktu setempat aku dan Jamie turun untuk sarapan. Kebetulan kami mendapatkan fasilitas breakfast buffet. Di mana restoran tersebut menyajikan aneka makanan dan minuman.Berbagai sajian mulai dari hidangan pembuka sampai hidangan penutup tepah disediakan, ditata, dan diatur di atas meja buffet atau meja panjang. Pengunjung bisa bebas memilih dan mengambil makanan sendiri sesuai dengan selera makan mereka.Kebetulan pagi itu menu sarapannya adalah English breakfast. Pilihan aku jatuh pada sepotong roti bakar dengan olesan cokelat, telor omelet, sosis bakar, segelas cokelat hangat, dan beberapa potong buah semangka dan melon. Sementara Jamie mengambil roti panggang dengan olesan butter, daging asap, kacang yang dimasak dengan saos tom
Setelah puas berlibur dan menenangkan diri di vila Jamie selama seminggu, kami pun kembali ke Jakarta. Jamie langsung membawaku dan Kimie ke rumahnya sendiri. Rumah yang ia tinggali beberapa bulan terakhir saat ia memutuskan untuk hidup mandiri.Hal itu tentu saja membuat Kimie senang. Karena akhirnya mempunyai kamar pribadi sendiri. Selama ini dia harus berbagi ranjang denganku atau Ibu. Anak itu berulang kali mengucap terima kasih pada ayahnya karena kamarnya dikonsep laksana kamar seorang putri raja.Tujuh hari kemudian, jadwal keberangkatan ke tanah suci pun tiba. Sempat terjadi drama. Kimie memaksa ikut. Bocah itu nangis diajak serta."Bunda jahat! Bunda gak sayang aku! Kenapa aku gak boleh ikut," rajuknya dengan bibir yang maju sepuluh centi."Bukannya gak boleh, Sayang, tapi ini perjalanan khusus," jawabku mencoba memberi pemahaman."Perjalanan khusus apa?" tukas Kimie masih manyun. "Banyak kok teman-teman Kimie yang ikutan umroh. Jadi haji kecil," tuturnya kian jadi."Kimie ..